Share

TAMU TAK DI UNDANG

Aku baca pesan chat dari Shella.

{Dewi, hallo shay, foto itu beneran suami lu bukan? kalau iya, lagi sama siapa sich wi? sorry kepo} dengan emot dua tangan menangkup.

Aku binggung menjawab, apa aku harus membuka aib suamiku, balasan apa yang akan kuketik untuk Shella?

Akhirnya kubalas pesan chat Shella.

{kamu lagi dimana Shell? ceritanya panjang, ketemuan aja yuk kalau longgar, nanti aku cerita, tapi sekarang titip sesuatu boleh nggak?}

Send.

Ting!

{Masih di Mall, lagi makan sama suami juga anak aku, suami lu juga, tapi nggak liat gue, lu mau titip apa?}

{Pesenin kuah seblak aja satu ember, terus tolong siram ke mereka berdua, aku penakut soalnya} dengan emot sedih dan menangkupkan dua tangan.

Send.

Shella mengirim chat dengan banyak emot tertawa.

Ting!

{jangan alim terus Dewi, ayo belajar sama gue, jadi perempuan pemberani, bar-bar, jangan mau harga diri lu di diinjak-injak terus, selagi benar lawan dong} dengan emot kepala yang sedang marah.

{Aku nggak tau Shella, harus gimana, ini rencana mau ke pengadilan agama, urus perceraian, tapi aku nggak tau caranya, takut juga sendirian ke pengadilan, takut bisa pergi tapi nggak bisa pulang} balasku dengan emot kepala sedih lalu emot tersenyum.

Send.

Ting!

{Yang gue tahu, fotocopy berkas berkas pernikahan, surat nikah dua-duanya, kartu keluarga, KTP, memang kapan mau ke pengadilan? chat gue ya, gue siap bantu, nanti diurus sama pengacara gue, kalau lu nggak balik, nggak ada besti yang bisa gue cerewetin} balas Shella.

{Beneran Shella, lu mau anter? Makasih Besti, eummach} Aku membalas chat shella dengan memberi banyak emot mencium.

Send.

Ting!

{Ih, Lebay, udah, gue cabut dulu ya, dah kelar makan nich anak-anak, oh ya Dewi, jangan lupa ya, hubungi gue kalau butuh bantuan}

{Alhamdulilah, siap Besti}

send.

Shella tak lagi menjawab, mungkin sedang perjalanan pulang, aku tahu keluarga Shella di kota tempat tinggal aku, Kakeknya seorang pensiunan polisi, pamannya Didik juga kepala polisi di kota ini.

Sejenak aku terdiam, beberapa menit tadi, aku tersenyum dan merasakan berkurang rasa sesak di dada saat bergurau dengan Shella, aku sedikit terhibur, apa ini berarti aku harus sering sering berkumpul lagi dengan sahabat-sahabat alumni sekolahku, jalin silaturahmi lagi walau hanya lewat group WA.

Setelah berumah tangga kami jarang kontak lagi, apalagi aku yang hidupnya pas-pasan, waktuku habis tercurah untuk mencari rezeky menafkahi anak-anakku.

Gegas aku berdiri, membuka pintu, lemari, membuka laci kecil lagi didalamnya, mengambil berkas- berkas yang diperlukan untuk pengajuan perceraian, setelah lengkap surat-surat asli kukumpulkan, aku bersiap diri untuk ke foto copy-an dan ke balai desa meminta surat pengantar, kurasa foto yang di kirim Shella tadi dan Screenshot-an chat mesra Bang Danu dan Renita cukup untuk bukti.

Aku ambil helm dan ku-stater maticku, melesat dengan kecepatan sedang ke arah yang kutuju, sesampainya di fotocopian aku harus menunggu, masih ada tujuh orang pengantri.

Aku berdiri menunggu giliran.

"Mb Dewi?" Seseorang memanggil namaku dan menepuk pundakku, aku menoleh, mencari suara yang memanggilku.

"Eum, Mb Surya ya? Yang punya depot sego soto dan rawon itu ya?" tebakku sambil mengingat, kalau tak salah dia teman alumni bang Danu, mereka sekelas, aku pernah di ajak makan di rumah makannya.

"Iya Mbak, masak lupa he he he, kok sendirian? Nggak sama Danu? Mau foto Copi?" tanyanya.

"Iya Mbak, ini," jawabku sambil memperlihatkan berkas yang mau di fotocopy.

Mbak Surya melihat berkas yang aku perlihatkan, lalu bertanya.

"Mau pengajuan hutang ke bank ya? Kok ada surat nikahnya?"

Aku menggeleng lemah, mungkin aku harus jujur dengan Mbak Surya, karena aku merasa, mungkin saja dia tahu banyak tentang pelakor dalam rumah tanggaku.

"Bukan mbak, ini buat pengajuan cerai," ujarku sambil tersenyum ke arahnya dan menunggu reaksinya

Seperti dugaanku, Mbak Surya terlonjak kaget sambil menepuk badanku lebih keras dari tadi.

"Loh, Yang bener Mbak Dewi, jangan bercanda ah, kalian itu pasangan serasi dan harmonis loh, nggak pernah denger ribut-ribut, ahh ... nggak percaya aku mbak," ujarnya.

Aku meringis memegang lenganku, bekas tepukan Mbak Surya, sakit, tapi aku tahu dia nggak sengaja, itu reflek karena rasa terkejutnya.

Aku nyalakan ponselku, kubuka galeri, kucari foto yang Shella kirim lalu kutunjukkan ke Mbak Surya.

Lagi lagi Mbak Surya terkejut, matanya melotot, mulutnya menganga dan tangannya mencubit lenganku dengan keras karena terkejut lagi.

"Aduh Mbak Surya, sakit," ujarku sambil pura-pura memberengut, kok ada ya orang kaget seperti ini, pikirku, wong kaget terus tangannya enteng mukul badan orang lain.

Orang-orang yang mengantri menoleh ke arah kami, karena teriakan Mbak Surya, aku tersenyum kecut, mempersilahkan mereka duluan, biar aku dan Mbak Surya belakangan, lalu kutarik tangannya untuk sedikit menjauh dari orang-orang.

"Ini 'kan Renita, mantan pacarnya di SMP dulu, bener-bener gila Danu sama Renita, sudah pada punya pasangan sah, kayak gini kelakuannya," sungutnya.

Aku lanjut bertanya.

"Yang aku heran, beraninya mereka umbar kemesraan nggak ada takut dan malunya loh Mbak, terus suami Renita ini nggak tau gitu, istrinya selingkuh?"

"Suaminya nggak pernah kelihatan, kalau reuni sekolah nggak pernah dibawa, kabarnya sich katanya, suaminya sudah tua, Renita itu Istri ke dua, tapi yang jelas suaminya Kerja di luar negeri, di jepang sih dengerku. Sudah tahunan, hartanya banyak, beli sawah dan tanah dimana-mana," Jelasnya panjang lebar.

"Ooooh ... sepertinya Renita ini kesepian kali ya Mbak, makanya cari pelampiasan he he," gurauku walau mataku mulai memerah lagi.

"Orang bodoh, nggak sadar kalau buat mainan, sudahlah Dewi, lelaki bajingan dan murahan begitu buang aja, kamu masih cantik, cari lagi yang baru, semoga dapat yang lebih baik ya, Aamiin yra, eh ... tapi kalau Danu tiba-tiba insyaf gimana? Kamu mau balikan nggak?" tanyanya.

Aku tertawa melihat ekspresi Mbak Surya yang ikut gemas bin jengkel dengan Danu dan Renita

Aku mencolek dagunya genit mengajaknya bercanda.

"Cari yang baru aja kali ya, aku juga pengen coba punya suami baru, kalau Allah masih kasih jodoh lagi."

Ucapanku disambut tawa tergelak dari Mbak Surya, dan lagi-lagi dia memukul lenganku, lalu aku gandeng tangannya untuk memberikan berkas yang mau di fotocopi pada pemilik fotocopy.

Setelah bertukar nomor W******p dengan Mbak Surya, aku bergegas ke kantor desa meminta surat pengantar.

Alhamdulillah semua dipermudah dengan bukti foto yang kubawa, lalu aku bergegas pulang.

Saat memasuki halaman rumahku yang tak berpagar, aku melihat dua orang telah menungguku, duduk di kursi kayuku yang ada di depan rumah, setelah dekat, diperhatikan lagi, ternyata kakak Iparku Bang Rizal dan Ibu mertua.

Keningku mengerut, mungkinkah kedatangan mereka untuk membahas masalah rumah tanggaku, kenapa Bang Danu tak ikut datang? Sekedar melihat anaknya.

Dadaku berdetak kencang lagi, jujur aku tak ingin bertemu, aku takut berdebat dan menangis lagi, namun aku mau kemana lagi? Aku tetap harus menemui mereka, harus siapkan mental menghadapinya.

Setelah kutepikan maticku, kuhampiri mereka, menyalaminya, mencium punggung tangan Ibu mertuaku, lalu membukakan pintu rumah dan mempersilahkan mereka masuk dan duduk.

Sebagai tuan rumah aku harus menghormati tamu yang masuk ke rumahku.

"Mau minum apa? Ibu, Abang, aku kebelakang dulu ya, siapin minum," kataku yang tiba tiba merasakan canggung menghadapi Ibu mertua dan kakak Iparku, tampa sadar aku memposisikan diriku sebagai orang asing sekarang.

Mereka berdua mengangguk, sepertinya agak gugup juga.

Lalu aku permisi kebelakang menyiapkan teh manis hangat, lalu keluar dan mempersilahkan minum.

Aku duduk di depan mereka, aku diam menunggu mereka mengawali bicara, mulutku rasanya enggan bicara, hilang respekku pada mereka sejak tau mereka sekeluarga kompak menyembunyikan perselingkuhan suamiku, aku lirik dari ujung mataku, Ibu mertuaku hanya diam termenung, seperti pasrah saja.

Selama ini beliau tak jahat dan julid padaku, Ibu memang tak banyak bicara dari dulu, aku paham dan mengerti apa yang dirasakan seorang ibu, dia bukan ingin membela anaknya, tapi hati seorang ibu yang akan selalu merangkul, melindungi dan memaafkan anak- anaknya, sebesar apapun kesalahannya, termasuk perselingkuhan, ibu tetap diam karena pilihan anaknya, yang bisa membuat mas Danu bahagia dan nyaman, tampa peduli ada hati yang tersakiti, buat apa juga mereka peduli padaku, toh aku hanya dianggap orang lain di keluarga mereka.

"Dewi, kedatangan kita hari ini pertama-tama untuk silahturahmi, yang kedua ingin penjelasan tentang hubungan kamu dan Danu," ujar Abang Iparku, memulai percakapan.

Aku masih terdiam, aku menata hatiku untuk meredam gemuruh karena emosi di dadaku, dan air mata yang ingin lolos dari pelupuk mata, kutahan sekuat mungkin.

Berkali-kali kutarik napas dan kuhembuskan perlahan agar tetap tenang.

"Apa saja yang sudah kalian dengar dari Bang Danu, mau penjelasan apa lagi, kami sudah sepakat berpisah, aku secepatnya mengajukan perceraian," jelasku tegas.

Ibu mertuaku akhirnya bicara setelah menghela napas panjang.

"Begini Nduk, Dewi, kemaren tiba-tiba Danu bilang mau cerai, minta restu."

Ibu terdiam sejenak, menghela dan menghembuskan nafas dengan gusar.

"Ibu mana yang mau merestui anaknya bercerai? Ibu nggak setuju."

Comments (4)
goodnovel comment avatar
Abigail Briel
emang emaknya danu gak tau anaknya bajingan?
goodnovel comment avatar
Saraswati_5
kenapa nggak setuju? apa ibu mertua dewi nggak tau kalau anaknya selingkuh? ih nyebut nama dewi aku kok jadi gimana ya, namanya sama ...
goodnovel comment avatar
Rifatul Mahmuda
kenapa nggak setuju?
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status