Share

2. PENGHIANATAN SUAMIKU

  1. PENGHIANATAN SUAMIKU

“Miranti, kamu kenapa?” Mas Arya terkejut melihat tubuhku yang terbaring lemas di lantai sembari memegangi perut. Dia menggendong tubuhku dan membaringkan di atas ranjang.

“Miranti, bangun. Kita ke dokter ya!” Mas Arya sangat mencemaskanku. Berkali-kali dia menepuk-nepuk pipiku. Dia mengira aku tak sadarkan diri. Tubuhku memang lemas, tapi aku tetap sadar. Semua kecemasan yang Mas Arya rasakan, bagiku itu palsu. Pria yang tega menghianati istrinya adalah pria yang pandai berbohong. Semua yang dia katakan hanya palsu belaka.

Aku tak ingin membuka mataku. Ingin rasanya aku akhiri saja hidupku. Rasa sakit yang aku rasakan tak bisa terbayar oleh apapun. Jiwaku lemah, ragaku tak ingin bersahabat dengan nyawa. Pergilah kau wahai nyawaku, aku tidak ingin bersamamu lagi. Pergi lah jauh dan bawa ragaku bersamamu. Aku tak mau melihat wajah suamiku lagi. Tanpa terasa airmata menetes di pipiku. Isak tangis lirih mulai terdengar, membuat suamiku tersenyum dan memelukku.

“Syukurlah, kau sudah sadar sayang.” Mas Arya mengecup keningku lembut.

Dulu akau sangat menyukai kecupan itu. Tanpa mendapat kecupan itu mataku tak mampu terpejam di malam hari. Suamiku tahu akan hal itu dan tak pernah absen untuk mengecup keningku saat berada di sampingku. Kini kecupan itu membuatku muak. Aku jijik dengan bibirmu yang sudah ternodai karena perselingkuhanmu. Bibir yang dulu sangat aku gilai, kini aku sangat membencinya. Pasti sudah menempel noda menjijikkan dari wanita selingkuhannya itu. Sakit dan terasa bagai tersayat ribuan jarum.

Mengingat anak dalam kandungan menyadarkan bahwa aku tak boleh mati. Aku tidak boleh kalah oleh Mas Arya. Kalau aku mati, kasihan anak-anakku. Bagaimana nasib mereka berada ditangan ayah yang tak peduli pada mereka. Belum lagi kalau dia menikahi selingkuhannya. Aku tidak rela hartaku jatuh ketangannya. Aku akan mencari bukti tentang perselingkuhannya. Aku harus bisa menahan diri.

“Kamu sudah sadar? Aku cemas sekali. Kamu kenapa sayang?” Mas Arya membelai rambutku. Ingin sekali aku menepisnya. Namun aku membiarkannya untuk menutup kecurigaanku.

“Aku enggak apa-apa Mas. Aku tadi mau beresin baju-baju kamu yang ada di koper. Tapi tiba-tiba badanku lemas. Maaf, tolong kamu beresin sendiri ya? Semua sudah terlanjur aku keluarkan.

“Iya tidak apa-apa. Sebentar ya.” Mas Arya beranjak hendak meninggalkanku. Namun aku mencegahnya saat melihat tanda merah keunguan di leher suamiku. Aku tahu betul itu tanda apa. Sebagai wanita yang bersuami aku tak meragukan bahwa itu tanda bahwa suamiku benar-benar punya selingkuhan. Hancur hatiku. Bumi seakan berhenti berputar. Ku pejamkan mata sejenak.

“Ada apa?” tanya suamiku.

“Leher kamu kenapa? Apa ada yang melukaimu?”

Mas Arya terlihat gugup. Dia berusaha menutupi leher dengan tangannya. Tak ada sepatah katapun keluar dari bibirnya. Wajahnya terlihat pucat dan tangannya sedikit gemetar.

“Kamu kenapa, Mas? Sakit?” tanyaku padanya.

“Tidak, aku hanya .... “

“Kau belum jawab pertanyaanku tadi.”

“Yang Mana ya?” suamiku berpura-pura lupa untuk menutupi kegugupannya.

“Masa kamu lupa sih? Itu tanda yang ada di leher kamu?”

“Oh ini,” Mas Arya mencoba memegang leher bagian yang lain.

“Bukan, itu yang sebelah kanan.”  Aku tahu suamiku terpojok. Dia tahu persis aku tak pernah meninggalkan bekas di sana. Kau sendiri yang melarangku untuk melakukan itu. Kau begitu tegas terhadapku, tapi tidak dengan selingkuhanmu. Seistimewa apa dia untukmu, Mas. Bahkan larangan terhadapku tapi tidak untuk wanita itu. Dadaku begitu sakit seperti tertindih batu yang sangat berat.

“Oh ini ... ini ....”

Ponsel Mas Arya berbunyi dan menjadi angin segar untuknya. Sejenak dia bisa menghidar  dari pertanyaanku. Aku melengkungkan sudut bibir. Itu takkan berlangsung lama. Sebentar lagi akan menghujanimu dengan pertanyaan yang pasti membuatmu terpojok.

Aku memasang telinga, mencoba mencuri dengar pembicaraan mas Atya di telpon. Walau suaranya begitu lirih, tapi lamat-lamat kupingku menangkap pembicaraan yang membuatku muak.

“Iya sabar, Aku juga menginginkanmu lagi, kau sangat menggairahkan. Nanti kalau istriku tertidur, aku pasti ke rumahmu. I love your body. Mmuach”

Cuih, menjijikkan sekali. Benar-benar membuat emosi naik. Dasar pria tak tahu diri. Sudah aku angkat derajatmu dan keluargamu, masih berani berselingkuh. Tunggu saja apa yang akan aku lakukan untuk membalas perbuatanmu. Aku kembali memegangi perut yang kembali di dera rasa sakit. Anak yang ada dalam perut saja tidak terima dengan perlakuan ayahnya.

“Dari siapa? kenapa harus menghindar dariku?” tanyaku dengan pertanyaan yang kembali memojokkannya.

“Oh itu, mmm ... dari manager resto yang ada di bandung. Katanya ada sedikit masalah sih.”

“Lalu, apa dia menyuruhmu untuk ke sana?”

“Iya.”

“Baguslah. Aku ikut denganmu,” Kataku dengan santai.

“Oh, tidak usah. Kehamilanmu sudah cukup besar. Sangat berbahaya kalau harus menempuh perjalanan jauh. Aku takut terjadi apa-apa dengan anakku.” Mas Arya mengelus perutku. Dia berusaha menolakku. Aku tahu, itu hanya alasannya saja. Padahal yang sebenarnya, dia akan pergi bersama selingkuhannya itu. Menyebalkan.

“Mas, perjalanan dari jakarta ke bandung gak butuh waktu lama. Paling dua jam aja sampai. Gak akan membuatku cape. Aku juga sudah lama tidak mengontrol restoran kita. Siapa tahu dengan kedatanganku, masalah di sana bisa teratasi.” Jawabku tegas. Aku tak boleh kalah dari suamiku.

“Apa kau tak percaya lagi padaku, Miranti?” Mas Arya terlihat tak senang dengan ucapanku.

“Bukan begitu, Mas. Tidak ada salahnya’kan kalau aku juga ingin memastikan reso kita baik-baik saja?”

“Sudahlah, hari sudah malam. Tidurlah. Besok pagi sekali aku akan berangkat ke bandung. Kau urus saja anak-anak. Jangan sampai mereka terlantar.” Mas Arya tidur di sampingku dan menarik selimut, lalu pura-pura tertidur.

Dia pikir aku sebodoh itu. Dengan berpura-pura tidur, kau pikir aku akan ikut tertidur. Arya wiguna, istrimu tak sebodoh itu. Aku akan tetap membuatmu terjaga. Atau setidaknya aku yang akan terjaga sampai pagi supaya rencanamu untuk menemuinya malam ini tak terlaksana.

Ponsel suamiku berbunyi. Aku penasaran dan melirik ke arah ponsel yang dari tadi terus berada dalam genggamannya. Satu pesan masuk pada aplikasi berwarna hijau. Pesan itu terlalu panjang, hingga aku tak bisa membacanya secara lengkap. Hanya balasan pesan singkat dari Mas Arya yang dapat kubaca.

[Sepuluh menit lagi otw.]

Hanya itu balasan darinya, lalu mematikan ponsel kembali. Kau pikir akan mudah lari dariku malam ini. Tidak akan kubiarkan kau pergi dari sisiku.

“Mas.”

“Hmm.”

“Aku mau tanya.”

“Besok saja, aku sudah ngantuk.”

“Harus sekarang.”

”Besok saja.” Mas Arya menutup kuping dengan bantal.

Benar-benar membuat tensi darahku naik. Kau yang mulai memancing emosiku. Tak perlu aku tahan lagi apa yang ingin aku ketahui. Kau menantangku, Arya. Lihatlah, aku atau kamu yang akan menyesal.

Aku menarik bantal yang menutupi telinga Mas Arya dengan kesal dan membantingnya ke lantai. “Bekas lipstik siapa yang ada di pakaianmu?!” Aku mulai terpancing emosi. Suamiku benar-benar tak menghargaiku sebagai istrinya. Hanya ingin bertanya harus menunggu besok. Keterlaluan sekali dia.

Mas Arya terkejut. Dia membalikkan badan dan menatap  tajam ke arahku.

“Apa maksudmu?! Jangan mengada-ada. Ini sudah malam. Tidurlah!” perintahnya. Namun aku mendengar suaranya bergetar. Dia mencoba mengalihkan pertanyaanku.

“Aku tidak mengada-ada. Semua ada buktinya.”

Mas Arya memukul ranjang. “Kamu ini cari gara-gara terus. Bikin aku malas pulang ke rumah!” Dia beranjak dari tempat tidur dan melangkah menuju pintu hendak keluar, tapi aku menahannya.

“Tunggu! Aku tidak mengada-ada. Aku punya buktinya.” Ku langkahkan kaki ke arah koper yang  masih berantakan. Aku memungut kemejanya satu persatu dan memperlihatkan kepadanya.

“Ini, semua kemejamu ada bekas lipstik dengan bentuk bibir yang sama!”

Wajah Mas Arya pucat. Dia tak mengira aku akan menunjukkan bukti yang bisa memojokkannya. Tapi bukan Mas Arya namanya kalau tak bisa mengelak.

“Mungkin saja itu bekas lipstik pengunjung yang tadi sempat menabrakku.” Mas Arya menjawab dengan sekenanya. Dia mulai kehilangan rasa percaya dirinya.

“Apakah orang yang menabrakmu adalah sama, dan kejadian itu berulang hingga disetiap kemejamu menempel noda lipstik dengan bentuk bibir yang sama?!” Aku makin kesal dengan suamiku dan tak bisa lagi mengendalikan emosi.”

Mas Arya terdiam. Dia mengusap wajahnya kasar berkali-kali dan terlihat tak tenang.

“Jelaskan padaku, jangan diam saja!” Aku mengguncang bahu suamiku.  Mataku terasa panas. Tanpa terbendung lagi, airmata menetes di pipi.

“Kau pasti sudah menghianatiku, Mas. Sakit hatiku, sakit Mas.” Aku terus memukul dada suamiku. Mas Arya tetap diam, lalu meraih tubuhku ke dalam pelukannya tanpa sepatah katapun. Bahkan kata maafpun tak terucap dari mulutnya, seolah perbuatannya tidak menyakitiku.

Aku melepas pelukannya dan kembali menuntut penjelasan dari suamiku. “kamu jelaskan Mas. Jangan diam saja.”

“Penjelasan apalagi. Kau sedang sensitif, jadi pikiranmu kemana-mana.” Mas Arya masih tetap mengelak. Dia tetap saja tak mau jujur.

Aku tak kehabisan akal. Ada satu lagi yang menjadi bukti terkuat. Segera kuambil alat kontrasepsi pria yang ada di dalam koper dan melemparkannya tepat mengenai wajah suamiku. Dia tersentak saat mendapati dus kecil bergambar wanita dan seorang pria yang terjatuh tepat di hadapannya.

Wajah Mas Arya kembali memucat. Dia sepertinya tak mengira aku akan menunjukkan bukti tersebut. Dia mengusap peluh yang membasahi wajahnya dengan telapak tangannya.

“Miranti, aku bisa jelaskan. Ini tidak seperti apa yang kamu duga. Itu bukan milikku aku menemukannya di toliet pom bnesin dan .... aku memungut sampah itu untuk aku buang dan .... “

“Kebohonganmu sangat tidak masuk akal. Sejak kapan kau jadi pemulung? Jawab yang jujur Mas, kau sudah selingkuh’kan? keterlaluan kamu, keterlaluan!” Aku menjerit histeris dan menangis sejadinya. Mas Arya menutup mulutku dengan telapak tangannya yang kekar supaya suaraku tak terdengar hingga keluar. Aku meronta tapi suamiku tetap membiarkanku hingga aku sesak nafas.

Tak mau menjadi korbannya, kugigit tangannya  hingga terlepas darinya.

Kembali berteriak memaki suamiku. Dan tanpa aku duga Mas Arya melayangkan tangannya ke arahku. Tamparannyasangat keras hingga membuat sudut bibirku menetes darah segar. Aku terdiam dan mengusap sudut bibir. Kembali menagis dan tak percaya suamiku tega melakukannya.

“Itu peringatanku yang pertama Miranti. Jangan lagi-lagi kau berani kepadaku! Jangan keluar kamar tanpa seijinku!” Mas Arya keluar dan membanting pintu dengan keras lalu menguncinya dari luar,

Aku menjatuhkan tubuhku ke lantai. Bukan hanya pipiku yang sakit, tapi hati ini lebih sakit. Rasanya bagai ribuan anak panah yang menusuk hati. Apa salahku. Aku sudah mengurus keempat anaknya dengan baik. Aku juga selalu melayani kebutuhannya. Tapi dia begitu tega menghianatiku. Sakit sekali rasanya hati ini.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ris Nadeak Laoly
satu kata utk wanita ini terlalu bucin dan bodoh.. lagian maling disuruh ngaku wkwkkwk
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status