Share

3. KEBERANIAN UMAR PUTRAKU

  1. KEBERANIAN UMAR PUTRAKU

POV ARYA WIGUNA

Kulangkahkan kaki menuju pintu utama. Ingin segera meninggalkan rumah menuju surga baruku. Sikap Miranti benar-benar mengesalkan. Terlalu mengurusi urusan pribadiku.

Seharusnya dia tak mengusik caraku untuk bahagia. Kenapa dia harus seteliti itu  mempertanyakan tentang noda lipstik itu. Wajarlah seorang suami mencari kesenangannya di luar sana kalau berada di rumah seperti dalam neraka.

Apalagi di kehamilannya kali ini sangat cerewet dan manja. Sudah tahu usia tak muda lagi masih saja hamil. Gak hamil saja aku malas pakai, apalagi dengan body yang melar seperti itu. Bisa membuat burungku tak mau bangun dan melempem kaya krupuk. Huch sebal sekali. Awas saja kalau dia berani melawanku, akan aku beri hukuman yang tak kan dilupakan seumur hidupnya.

Kuputuskan untuk pergi ke rumah istri mudaku. Sangat membahagiakan kalau aku mengingatnya. Dia adalah penyemangat hidupku. Bersamanya aku selalu gembira. Bibirnya yang ranum, tubuh indahnya yang sexi dan menggairahkan, oh benar-benar membuatku mabuk kepayang. Di usianya yang tak jauh dari usia putraku terasa sangat legit. Sulit di ungkapkan dengan kata-kata. Saat aku bersamanya, tak ingin melewatkan waktu sedetik saja untuk menyesap madu yang begitu manis. Oh aku sangat menikmatinya, sangat menggilainya.

Tak sabar untuk ke rumah Stefani yang berjarak hanya sejengkal dari rumahku. Segera membuka pintu. Bayangan indahku bersama Stefani menjadi musnah saat melihat kedua putra kembarku yang berdiri di balik pintu. Mukaku berubah masam melihat anakku yang berusia delapan belas tahun itu baru saja pulang. Kemana mereka malam-malam begini. Pasti baru pulang dari diskotek seperti kebiasaan yang kulakukan bersama stefani. Kenapa bisa hal buruk yang aku lakukan menurun kepada mereka? Bukankah mereka tidak tahu keburukanku. Ah, itu bukan salahku. Semua salah Miranti yang tak becus mendidik putraku. Percuma menyekolahkan mereka kalau hanya menjadi anak yang tak bermoral.

Kupasang wajah amarahku supaya kedua putraku takut. Entahh dengan cara apa aku harus mendidiknya untuk membuat mereka menjadi lebih baik.

“Umar, Amir darimana saja kalian tengah malam begini baru pulang? Apa kau mabuk-mabukkan dan pergi ke diskotik?!” tanyaku dengan berkacak pinggang di hadapan mereka.

“Enggak pah. Kami dari rumah om fajar ngerjain tugas. Laptop kita’kan rusak.” Jawab umar santai. Tak ada rasa takut sedikitpun kepadaku.

“Sejak kapan kau mulai belajar berbohong?!” teriakku di depan wajahnya.

“Tapi umar tidak bohong, pah. Umar bicara jujur, tanya saja sama Amir!” bantah putraku umar.

“Benar pah, Kak umar tidak bohong.” Jawab putaku Amir.

“Kalian bikin malu papah! Kenapa tidak bilang kalau laptop kalian rusak?! Minta mamahmu untuk membelikannya!”

“Umar sudah bilang sama Mamah. Tapi mamah bilang, lagi ngumpulin uang. Uangnya belum cukup untuk saat ini.”

“Alasan saja mamahmu itu. Dia sudah papah kasih duit. Minta saja padanya. Ingat, papah tidak mau kamu pergi lagi ke rumah Fajar! Papah tidak suka!”

“Tapi kenapa pah? Om Fajar orang yang sangat baik. Bahkan dia sering ngasih kami uang kok.” Jawab Umar putra sulungku. Dia lebih berani ketimbang amir. Entah sifatnya meniru siapa. Padahal miranti orang yang pendiam dan gampang dibodohi.

“Papah bilang tidak suka ya tidak suka! Aku papahmu dan turutilah perintahku!”

“Tapi mamah mengijinkan kami untuk dekat dengan Om Fajar! Dia orang yang sangat baik. Jadi papah jangan menuduhnya sembarangan!” teriak Umar di hadapanku. Anak itu benar-benar membuatku naik darah. Berani-beraninya dia membela orang lain daripada papahnya sendiri.

“Jaga bicaramu umar! Jangan berani melawan orang tua!”

“Umar tidak pernah berani melawan orangtua, kalau yang diajarkan benar! Lah ini, masa papah ngajarin umar untuk memutus silaturahmi dengan Om Fajar, teman papah sendiri! Itu kan lucu dan gak nyambung banget!”

“Umur, kecilkan suaramu! Kau sedang bicara dengan papahmu! Hormati aku!” aku makin naik pitam. Umar memang sangat berani. Bahkandia berani melawanku saat aku menghukum Miranti. Anak itu pernah memelintir tanganku saat aku menampar Miranti di depannya. Kurang ajar sekali anak satu ini. Beraninya melawan orang yang sudah berjuang keras mencari nafkah untuknya.

“Papah selalu minta di hormati. Tapi papah tidak pernah menghormati mamah dan juga menyayangi kami, anak-anakmu! Papah selalu sibuk dengan urusan di luar dan tak peduli pada kami!”

“Jaga bicaramu umar! Siapa yang mengajarimu untuk berani kepada orang tua?! Apa mamahmu yang mengajarinya?!”

“Jangan pernah salahkan Mamah. Aku sangat bangga dilahirkan dari rahim wanita seperti mamah. Tidak sepetti papah, aku bahkan menyesal punya ayah seperti papah!”

“Kurang ajar!” Tanganku mengepal. Aku sudah tak bisa menahan diri untuk memukulnya. Bukk, satu pukulan keras mengenai rahang Umar. Sengaja ku layangkan tinju untuk mendidiknya. Anak ini sungguh keterlaluan berani melawanku.

“Berhenti Mas!” ku dengar suara miranti. Aku menoleh ke arahnya yang sedang berlari menuruni anak tangga dan mendekat ke arah kami.

“Apa yang kau lakukan pada putraku?!” Miranti memukuli lenganku. Namun aku berhasil  menguncinya.

“Siapa yang membuka pintu untukmu?! Aku sudah perintahkan untuk tidak keluar dari kamar!” aku benar-benar murka dengan sikap istriku yang tak menghargai perintahku.

“Tidak usah kau tanyakan itu! Satu kali lagi kau pukul anakku, aku akan hancurkan hidupmu, Arya wiguna!” aku melihat sorot mata istriku begitu mengerikan. Kilatan api kemarahn begitu nyata terlihat di sana. Belum pernah aku melihatnya seumur hidupku.nNamun aku tidak takut. Aku suaminya dan kepala rumah tangga. Siapapun tak bisa mengancamku termasuk juga Miranti.

“Aku memukul anakmu karena sudah kurangajar kepadaku! Apa kau yang sudah mengajarkan kepadanya untuk berani kepaku?!”

‘Tidak pah. Mamah tidak pernah mengajarkan kami seperti itu. Tapi sikap papah sendirilah yang membuatku berani melawan papah! Tidak sia-sia kakek memberiku nama umar. Aku harus menjadi seorang yang gagah berani sepeti umar bin khattab yang melawan kezaliman!”

“Tapi tidak dengan melawan papahmu! Makanya papah tidak suka kamu ikut acara rohani di sekolah, kalau hanya untuk melawan papah saja!”

“Cukup Mas! Jangan mengalihkan pembicaraan. Setidaknya dengan mengikuti kegiatan rohani di sekolah dia bisa tahu mana tentang kebenaran yang tak pernah di ajarkan olehmu!”

“Ya, dan umar jadi tahu, kalau ternyata tante-tante yang sering di kenalkan ke umar waktu umar masih kecil, ternyata selingkuhan papah! Dan papah berdosa besar karena sudah membohongi mamah!”

“Kurang ajar sekali umar lagi-lagi kau bicara bohong tentang papahmu!” ku layangkan lagi tinju ke arahnya. Namun istriku menghalanginya hingga aku kesal dan melampiaskan kekesalanku pada Miranti. Aku memukulnya tepat mengenai pipinya.

Aku puas telah memukulnya. Kulihat kedua putraku menolongnya. Aku hanya tertawa melihat kelemahan istriku.

“Makanya jangan berani melawanku Miranti. Kau hanya wanita lemah yang takkan mampu melawanku!”

Umar berdiri dan menatap ke arahku. Sorot matanya penuh amarah. Aku mundur selangkah. Masih teringat dalam memory otakku saat usianya masih lima belas tahun, dia pernah membantingku saat ku tampar Mranti. Tinggi badannya yang mencapai seratus delapan puluh senti dengan bobot tubuh yang proporsional membuat kekuatannya jauh melebihiku.

Dulu dia sangat menurut padaku dan berharap bisa melindungi seluruh keluargaku. Tapi kini dia seperti hendak memangsaku. Tidakkah dia lupa kalau aku ini papahnya. Aku bukannya takut. Namun melawannya pasti aku yang terkalahkan dan akan membuatku malu. Apalagi kalau stefani tahu. Bisa-bisa dia mengejek kejantananku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status