POV ARYA WIGUNA
Kulangkahkan kaki menuju pintu utama. Ingin segera meninggalkan rumah menuju surga baruku. Sikap Miranti benar-benar mengesalkan. Terlalu mengurusi urusan pribadiku.
Seharusnya dia tak mengusik caraku untuk bahagia. Kenapa dia harus seteliti itu mempertanyakan tentang noda lipstik itu. Wajarlah seorang suami mencari kesenangannya di luar sana kalau berada di rumah seperti dalam neraka.
Apalagi di kehamilannya kali ini sangat cerewet dan manja. Sudah tahu usia tak muda lagi masih saja hamil. Gak hamil saja aku malas pakai, apalagi dengan body yang melar seperti itu. Bisa membuat burungku tak mau bangun dan melempem kaya krupuk. Huch sebal sekali. Awas saja kalau dia berani melawanku, akan aku beri hukuman yang tak kan dilupakan seumur hidupnya.
Kuputuskan untuk pergi ke rumah istri mudaku. Sangat membahagiakan kalau aku mengingatnya. Dia adalah penyemangat hidupku. Bersamanya aku selalu gembira. Bibirnya yang ranum, tubuh indahnya yang sexi dan menggairahkan, oh benar-benar membuatku mabuk kepayang. Di usianya yang tak jauh dari usia putraku terasa sangat legit. Sulit di ungkapkan dengan kata-kata. Saat aku bersamanya, tak ingin melewatkan waktu sedetik saja untuk menyesap madu yang begitu manis. Oh aku sangat menikmatinya, sangat menggilainya.
Tak sabar untuk ke rumah Stefani yang berjarak hanya sejengkal dari rumahku. Segera membuka pintu. Bayangan indahku bersama Stefani menjadi musnah saat melihat kedua putra kembarku yang berdiri di balik pintu. Mukaku berubah masam melihat anakku yang berusia delapan belas tahun itu baru saja pulang. Kemana mereka malam-malam begini. Pasti baru pulang dari diskotek seperti kebiasaan yang kulakukan bersama stefani. Kenapa bisa hal buruk yang aku lakukan menurun kepada mereka? Bukankah mereka tidak tahu keburukanku. Ah, itu bukan salahku. Semua salah Miranti yang tak becus mendidik putraku. Percuma menyekolahkan mereka kalau hanya menjadi anak yang tak bermoral.
Kupasang wajah amarahku supaya kedua putraku takut. Entahh dengan cara apa aku harus mendidiknya untuk membuat mereka menjadi lebih baik.
“Umar, Amir darimana saja kalian tengah malam begini baru pulang? Apa kau mabuk-mabukkan dan pergi ke diskotik?!” tanyaku dengan berkacak pinggang di hadapan mereka.
“Enggak pah. Kami dari rumah om fajar ngerjain tugas. Laptop kita’kan rusak.” Jawab umar santai. Tak ada rasa takut sedikitpun kepadaku.
“Sejak kapan kau mulai belajar berbohong?!” teriakku di depan wajahnya.
“Tapi umar tidak bohong, pah. Umar bicara jujur, tanya saja sama Amir!” bantah putraku umar.
“Benar pah, Kak umar tidak bohong.” Jawab putaku Amir.
“Kalian bikin malu papah! Kenapa tidak bilang kalau laptop kalian rusak?! Minta mamahmu untuk membelikannya!”
“Umar sudah bilang sama Mamah. Tapi mamah bilang, lagi ngumpulin uang. Uangnya belum cukup untuk saat ini.”
“Alasan saja mamahmu itu. Dia sudah papah kasih duit. Minta saja padanya. Ingat, papah tidak mau kamu pergi lagi ke rumah Fajar! Papah tidak suka!”
“Tapi kenapa pah? Om Fajar orang yang sangat baik. Bahkan dia sering ngasih kami uang kok.” Jawab Umar putra sulungku. Dia lebih berani ketimbang amir. Entah sifatnya meniru siapa. Padahal miranti orang yang pendiam dan gampang dibodohi.
“Papah bilang tidak suka ya tidak suka! Aku papahmu dan turutilah perintahku!”
“Tapi mamah mengijinkan kami untuk dekat dengan Om Fajar! Dia orang yang sangat baik. Jadi papah jangan menuduhnya sembarangan!” teriak Umar di hadapanku. Anak itu benar-benar membuatku naik darah. Berani-beraninya dia membela orang lain daripada papahnya sendiri.
“Jaga bicaramu umar! Jangan berani melawan orang tua!”
“Umar tidak pernah berani melawan orangtua, kalau yang diajarkan benar! Lah ini, masa papah ngajarin umar untuk memutus silaturahmi dengan Om Fajar, teman papah sendiri! Itu kan lucu dan gak nyambung banget!”
“Umur, kecilkan suaramu! Kau sedang bicara dengan papahmu! Hormati aku!” aku makin naik pitam. Umar memang sangat berani. Bahkandia berani melawanku saat aku menghukum Miranti. Anak itu pernah memelintir tanganku saat aku menampar Miranti di depannya. Kurang ajar sekali anak satu ini. Beraninya melawan orang yang sudah berjuang keras mencari nafkah untuknya.
“Papah selalu minta di hormati. Tapi papah tidak pernah menghormati mamah dan juga menyayangi kami, anak-anakmu! Papah selalu sibuk dengan urusan di luar dan tak peduli pada kami!”
“Jaga bicaramu umar! Siapa yang mengajarimu untuk berani kepada orang tua?! Apa mamahmu yang mengajarinya?!”
“Jangan pernah salahkan Mamah. Aku sangat bangga dilahirkan dari rahim wanita seperti mamah. Tidak sepetti papah, aku bahkan menyesal punya ayah seperti papah!”
“Kurang ajar!” Tanganku mengepal. Aku sudah tak bisa menahan diri untuk memukulnya. Bukk, satu pukulan keras mengenai rahang Umar. Sengaja ku layangkan tinju untuk mendidiknya. Anak ini sungguh keterlaluan berani melawanku.
“Berhenti Mas!” ku dengar suara miranti. Aku menoleh ke arahnya yang sedang berlari menuruni anak tangga dan mendekat ke arah kami.
“Apa yang kau lakukan pada putraku?!” Miranti memukuli lenganku. Namun aku berhasil menguncinya.
“Siapa yang membuka pintu untukmu?! Aku sudah perintahkan untuk tidak keluar dari kamar!” aku benar-benar murka dengan sikap istriku yang tak menghargai perintahku.
“Tidak usah kau tanyakan itu! Satu kali lagi kau pukul anakku, aku akan hancurkan hidupmu, Arya wiguna!” aku melihat sorot mata istriku begitu mengerikan. Kilatan api kemarahn begitu nyata terlihat di sana. Belum pernah aku melihatnya seumur hidupku.nNamun aku tidak takut. Aku suaminya dan kepala rumah tangga. Siapapun tak bisa mengancamku termasuk juga Miranti.
“Aku memukul anakmu karena sudah kurangajar kepadaku! Apa kau yang sudah mengajarkan kepadanya untuk berani kepaku?!”
‘Tidak pah. Mamah tidak pernah mengajarkan kami seperti itu. Tapi sikap papah sendirilah yang membuatku berani melawan papah! Tidak sia-sia kakek memberiku nama umar. Aku harus menjadi seorang yang gagah berani sepeti umar bin khattab yang melawan kezaliman!”
“Tapi tidak dengan melawan papahmu! Makanya papah tidak suka kamu ikut acara rohani di sekolah, kalau hanya untuk melawan papah saja!”
“Cukup Mas! Jangan mengalihkan pembicaraan. Setidaknya dengan mengikuti kegiatan rohani di sekolah dia bisa tahu mana tentang kebenaran yang tak pernah di ajarkan olehmu!”
“Ya, dan umar jadi tahu, kalau ternyata tante-tante yang sering di kenalkan ke umar waktu umar masih kecil, ternyata selingkuhan papah! Dan papah berdosa besar karena sudah membohongi mamah!”
“Kurang ajar sekali umar lagi-lagi kau bicara bohong tentang papahmu!” ku layangkan lagi tinju ke arahnya. Namun istriku menghalanginya hingga aku kesal dan melampiaskan kekesalanku pada Miranti. Aku memukulnya tepat mengenai pipinya.
Aku puas telah memukulnya. Kulihat kedua putraku menolongnya. Aku hanya tertawa melihat kelemahan istriku.
“Makanya jangan berani melawanku Miranti. Kau hanya wanita lemah yang takkan mampu melawanku!”
Umar berdiri dan menatap ke arahku. Sorot matanya penuh amarah. Aku mundur selangkah. Masih teringat dalam memory otakku saat usianya masih lima belas tahun, dia pernah membantingku saat ku tampar Mranti. Tinggi badannya yang mencapai seratus delapan puluh senti dengan bobot tubuh yang proporsional membuat kekuatannya jauh melebihiku.
Dulu dia sangat menurut padaku dan berharap bisa melindungi seluruh keluargaku. Tapi kini dia seperti hendak memangsaku. Tidakkah dia lupa kalau aku ini papahnya. Aku bukannya takut. Namun melawannya pasti aku yang terkalahkan dan akan membuatku malu. Apalagi kalau stefani tahu. Bisa-bisa dia mengejek kejantananku.
4.KEDUA MANUSIA TERKUTUKPOV ARYA WIGUNAUmar terus mendekat kearahku. Tak bisa hal ini di biarkan. Sebagai orangtua, tak boleh kalah oleh anak ingusan itu. Takkan kubiarkan anak itu menang melawanku.“Mau apa kau, umar? Kau mau balas memukul papah?” tanyaku padanya.“Umar tidak pernah membalas saat papah menamparku. Tapi papah sudah memukul mamah, dan aku harus membalasnya!” jawab putraku kalap.Anak nakal itu mengepalkan tangannya dan siap memukulku.“Dia istri papah. Dan papah berhak memberinya hukuman!” jawabku tak mau kalah.“Tapi tidak dengan memukul! Jangan pernah sakiti mamah, atau papah berhadapan denganku!” umar menekan leherku hingga sakit tak tertahankan.“Jangan kurangajar kamu sama papah! Lepasin papah!” rasa sakit menekan seluruh syaraf leher dan juga tenggorokan, membuat kepalaku terasa berkunang-kunang. Kucoba melepaskan diri, tapi tangan juara taekwondo itu s
DATANGNYA BENALUPOV MIRANTICape sekali rasanya pagi ini. Kurebahkan tubuhku pada sofa tamu. Anak-anak sudah berangkat sekolah. Artinya, pekerjaan pagi sudah terselesaikan. Untung saja putraku mau membantu pekerjaan rumah hingga tak harus menyelesaikan sendiri.Ting tong, bel berbunyi. Dengan rasa malas, perlahan aku bangkit. Memegang perut yang sudah cukup besar. Tak sabar rasanya untuk segera melihat wajahnya. Lelaki atau perempuan sama saja. Yang penting lahir dengan kondisi sempurna, sehat dan selamat.Ting tong, ting tong! Bel berbunyi berkali-kali hingga memekakkan telinga. Siapa sebenarnya pagi-pagi begini sudah bertamu. Mana gak sopan lagi. Huh, malas rasanya untuk membuka pintu. Bel berbunyi lagi dan pintu digedor dengan keras. Hal itu membuatku takut. Jangan-jangan ada rampok yang menyatroni rumahku.“Ada apa sih brisik banget!” bentaknya.“Itu mas, ada tamu. Tapi gak sopan banget.”
6, KEPUTUSANKU“Tunggu! Rumah ini milikku, dan aku tak mengijinkannya!” seruku kepada para benalu itu.Mas Arya tersenyum sinis dan menggelengkan kepala. “Miranti, miranti, apa kau lupa? Siapa yang membeli rumah ini? Aku yang membelinya dari hasil keringatku sendiri menjadi jongos dari ayah kamu yang tukang kawin itu!”“Jaga bicaramu, Mas! Ayahku tak pernah menganggapmu sebagai jongosnya. Dan jangan pernah bilang ayahku tukang kawin! Kau tak tahu masalah yang melatarbelakangi semua itu!” sahutku dengan penuh emosi. Aku tak terima ayahku dihina oleh suamiku.“Loh, memang kenyataannya kok. Ayahmu itu kawin sampai empat kali. Kamu toh juga anak haram. Apa artinya kalau bukan tukang kawin?” sahut ibu mertuaku. Mereka benar-benar membuatku emosi.“Aku tak terima ayahku dihina seperti ini! Apa kalian lupa, kalian itu numpang hidup bersumber dari ayahku?! Aku bisa saja mencabut seluruh fasilitas yang s
RAHASIA STEFANI DAN UMARMas Arya terfokus kepada tas yang ku bawa. Reflek, tanganku melingkar untuk melindungi tas. Tatapan Mas Arya penuh curiga. Dia menarik tanganku untuk keluar rumah, lalu menutup pintu dari luar.Suamiku curiga dengan sikapku. Aku juga tak mengerti kenapa tangan ini reflek melindungi tas yang kubawa. Aku mencoba mengatur nafas dan bersikap tenang.“Apa yang kau bawa?” tanya suamiku dengan tetap terfokus pada tas yang masih kulindungi dengan tanganku.‘Oh ini, tas.” Jawabku singkat.“Isinya?!” suamiku mulai meninggikan suaranya dan aku sangat tak menyukainya.“Kecilkan suaramu! Aku bukan budakmu yang bisa kau bentak sesuka hati!” jawabku sengit dan tak mau kalah.“Jangan mengalihkan pembicaraan!”“Siapa yang mengalihkan pembicaraan?! Kau yang menyuruhku keluar dari rumah ini! Apa tak boleh juga aku membawa pakaianku?!
FAJAR TEMAN MASA KECILKUPOV MIRANTISudah sepuluh menit aku menunggu pak suryo, mantan pengacara perusahaan dan pak agus yang dulu mengurusi bagian keuangan. Mereka adalah orang yang menghargai waktu. Tanpa menunggu lama, kedua orang itupun sudah duduk di hadapanku. Setelah memesan minuman, kami berbasa-basi dengan menanyakan keadaan masing-masing. Setelah itu, keduanya menjelaskan kenapa bisa di berhentikan oleh suamiku.Aku sangat terkejut mendengar alasan suamiku memecat mereka. Dengan alasan perusahaan jatuh pailit hingga terpaksa menghentikan keduanya. Namun aneh, kenapa hanya mereka berdua saja tidak dengan yang lainnya. Pak agus menjelaskan karena beliau sering menolak keinginan mas arya untuk mencairkan dana yang begitu besar, walau berkali-kali suamiku mengancamnya. Diusianya yang sudah lanjut, pak agus dikenal sangat loyal dengan perusahaan. Dia benar-benar menjaga amanah dari ayahku.Selama berada dalam genggaman mas ary
KARYAWAN SONGONG“Apa yang kau lakukan?” terdengar suara seorang wanita begitu keras hingga mengagetkanku. Seketika aku menghentikan tanganku memukul fajar. Pria di hadapanku juga sama terkejutnya denganku. Wajahnya memucat seperti mayat. Aku dibuatnya heran. Seorang pengacara seperti fajar mendadak pucat melihat kedatangan wanita itu.Aku penasaran, semengerikan apa wajah wanita yang ada di belakangku itu. Perlahan, kuputar kepala. Alangkah terkejut saat melihatnya. Bukan hantu mengerikan ataupun monster. Bukan wanita gembul dan berwajah sadis. Tak seperti yang ada dalam bayanganku. Wanita itu begitu cantik dan sexy.Kupandangi dia dari ujung kepala hingga ujung kaki. Kakinya menapak di lantai, itu artinya dia manusia dan benar-benar cantik seperti bidadari dari langit. Rambutnya yang tergerai, kulitnya yang putih mulus, serta kaki jenjangnya benar-benar sempurna sebagai seorang wanita. Dia juga masih muda. Usianya tak jauh be
1O. BABAK PERTAMA PEMBALASAN“Berdirilah, pak. Kerjakan kembali tugas bapak. Dan tolong katakan kepada pak hilman, untuk mengumpulkan seluruh karyawan di ruangan meeting, sekarang juga!” Perintahku padanya. Aku tidak pernah merendahkan para karyawanku. Mereka sama saja manusia seperti kita. Ayahku yang mengajarkan kepadaku untuk berbuat baik kepada mereka yang telah berjasa kepada perkembangan usaha. Tanpa mereka kita bukan apa-apa. Pesannya yang masih kuingat dan dilaksanakan hingga kini.Kedua security itu telah pergi. Namun tidak dengan pria sontoloyo yang ada di hadapanku.“Kenapa anda masih di sini? Apa tidak tahu pintu keluar?!”“Jangan sombong! Tidak ada yang bisa memerintahku, kecuali pak arya. Tunggu, aku akan menghubungi beliau. Aku pastikan kau akan menyesal telah menghinaku!”“Silahkan, aku tunggu!” Aku melipat kedua lengan di depan dada. Melengkungkan satu sudut bibir dan menunggu h
ARYA MENGIKUTIKUAku masuk ke dalam mobil dan membanting pintu. Sesak di dada menahan amarah. Arya wiguna benar-benar mengujiku. Sudah tahu salah, tapi tak juga mau mengakuinya.Pertarungan ini belum selesai. Namun aku sudah merasa lelah. Sekuat apapun, aku tetap seorang wanita yang lemah. Bayangkan saja, aku harus melawan pria yang sangat kucintai, seorang pria yang bersanding denganku hampir sembilan belas tahun. Itu bukan waktu yang pendek.Dulu aku selalu melayaninya, memanjakan dan membuat dia bahagia. Tapi kini, aku harus membuatnya sengsara dan terluka. Mampukah meneruskan pembalasanku ini. Ya Alloh, berilah hamba kekuatan.Menelungkupkan wajah pada kemudi. Tanpa terasa airmataku luluh juga. Aku menangis? Ya, wajarkah? Lalu apa yang aku tangiskan.Wajar. Kerena aku bukan malaikat. Aku tetap manusia yang mencoba mencari keadilan. Biarlah terus menangis. Tak perlu malu mengeluarkan suara tangisan. Toh takkan ada y