Share

BERSAMA ALVIN

Author: El Furinji
last update Huling Na-update: 2023-02-06 18:57:25

“Emangnya kita belanja di mana, Vin?” tanyaku saat kami hendak naik motor. 

“Di Pasar Baru,” jawabnya. 

“Tempat ruko Papaku berada ya?” 

“Iya,” 

Aku tersenyum simpul. Ini namanya sekali mendayung dua pulau terlampaui. Bisa menemani Alvin belanja, sekaligus mengintip ruko Papa. Ah ... bukan! Tepatnya ruko kosong di sebelah kepunyaan Papa. 

Ya! Aku memang berencana mengontrak ruko itu. Tentu saja karena ingin menyaingi Papa. Berbekal sedikit pengalaman, aku yakin mampu menghancurkan mereka dengan cara yang sehat. Apalagi Bude bilang Bu Sri selalu menjual dagangannya dengan harga yang mahal. Jadi, aku yakin akan mampu bersaing. 

“Bude bilang ada tempat kosong di pasar baru ya?” tanyaku lagi. 

“Iya, emangnya kenapa?” 

“Enggak kok, tanya aja. Kamu kenal pemiliknya?” 

“Kenal,” 

“Nanti antar aku ke sana ya?” mohonku. 

Alvin mengernyit heran. Sepasang matanya menatap lekat pada wajahku sampai aku salah tingkah. 

“Ngapain ke sana?” cecarnya. 

“Entar aku ceritain. Yuk berangkat!” ajakku. 

Kemudian, kami bersua segeea meluncur menggunakan sepeda motor. Ini kali pertama aku dibonceng saudara. Soalnya, aku anak tunggal. Pun dengan Mama yang juga anak semata wayang. Jadi praktis aku tak punya saudara dari Mama. 

Motor yang kami kendarai meluncur pelan membelah jalanan yang tak terlalu ramai oleh hilir mudiknya kendaraan. Berulang kali kuedarkan pandangan ke kanan kiri jalan sekedar untuk menikmati perjalanan. 

Tak sampai 15 menit, kami telah sampai di tempat tujuan. Gegas aku turun lalu mengekori langkah Alvin menuju tempat grosir sembako. 

Lalu, kami berhenti di depan sebuah ruko yang lumayan ramai. Kebanyakan yang berbelanja di sini membeli dalam jumlah yang lumayan banyak. Mungkin akan dijual kembali, sama seperti yang Alvin lakukan. 

“Ruko Papa yang mana, Vin?” tanya sambil mengamati barisan Ruko yang berjajar rapi. 

“Di sebelah sana. Itu yang paling besar,” jelas Alvin sembari menunjuk ke arah ruko yang tak terlalu ramai oleh pengunjung. 

“Aku ke sana sebentar ya,” pamitku. 

“Ngapain?” 

“Lihat-lihat aja,” sahutku. 

“Ya sudah, nanti aku tunggu di sini,” pesan Alvin. 

Sementara Alvin berbelanja, aku berjalan menuju tempat yang tadi ditunjuk olehnya. Perasaanku sedikit deg-degan khawatir akan bertemu Bu Sri dan dia kembali menghinaku. 

Langkahku berhenti di depan ruko kosong di sebelah punya Papa. Kuedarkan pandangan ke sekeliling mencoba melihat potensi jika tempat ini kujadikan toko sembako. Sepertinya prospek karena dekat pintu masuk. Jadi pengunjung akan langsung melihat. 

Aku tersenyum simpul sembari mengangguk. Tempatnya sudah ada, tinggal menghubungi pemiliknya. Berapa pun harganya akan kubeli. 

“Hei! Ngapain kamu ke sini!” bentak suara perempuan dari arah samping. 

Aku tersentak kaget, lalu menoleh pada sumber suara tersebut. Rupanya Bu Sri sedang memandangku dengan tatapan penuh selidik. 

“Enggak kok. Lagi jalan aja!” jawabku santai. 

Tak mungkin juga kuceritakan niatku ke sini. Biar saat semua siap akan menjadi kejutan buat Bu Sri. 

“Oh ... pasti kamu lagi mengawasi tokoku kan? Kamu ingin meminta bagian toko ini kan? Jangan harap!” Bu Sri tersenyum sinis. 

Lagi dan lagi. Aku sampai bosan mendengar dia bicara soal bagian atau warisan. Apa Bu Sri pikir aku sangat miskin sampai harus berebut harta? 

“Kalau iya kenapa?” Sengaja aku memancing agar dia tersulut emosi. 

“Enak saja! Ini punyaku. Bukan punya Mas Harjo! Jadi kamu tak punya hak sama sekali!” akunya. 

Aku tersenyum miris. Bisa-bisanya dia mengaku seperti itu, padahal menurut Bude ruko itu milik orang tuanya. 

Ah ... namanya juga gila harta. Jadi tak aneh jika mengaku-ngaku, takut aku merebut. 

Bukannya menyahut, aku justru beranjak pergi dari hadapan Bu Sri. Biar saja dia meradang karena diabaikan saat bicara. Pasti Ibu tiriku akan tersinggung karena kuabaikan. 

Kemudian, aku berhenti di depan toko tempat Alvin belanja. Duduk di atas jok motor, aku mengamati beberapa orang pejalan kaki. Sepertinya pasar ini lumayan ramai. 

Tak Lama, Alvin telah kembali dengan 3 karton belanjaan. Gegas aku turun lalu membantunya. 

“Sudah semua?” tanyaku. 

“Sudah. Pulang yuk!” ajaknya. 

“Antar aku dulu menemui pemilik ruko itu,” sahut sembari mengacungkan jemari telunjuk. 

“Tapi kita bawa barang banyak, Ve! Lain kali saja ya!” Alvin membujuk. 

Ah ... padahal aku ingin secepatnya membeli ruko itu. Rasanya sudah tak sabar ingin segera bersaing dengan Ibu tiri. 

Diam, aku memutar otak agar keinginanku segera terwujud. Kalau nanti sudah sampai rumah, belum tentu juga Alvin mau mengantar. Apalagi kami belum cukup akrab. 

“Bagaimana kalau belanjaannya suruh tukang ojek saja yang bawa balik. Kita langsung ke sana sekarang,” usulku. 

Alvin tampak keberatan, tapi pada akhirnya dia setuju. Sementara barang belanjaan di bawa tukang ojek, kami berdua segera meluncur tanpa harus dibebani barang belanjaan. 

**** 

Setelah melalui tawar menawar yang tak terlalu alot, akhirnya aku mendapatkan toko itu dengan harga yang tak terlalu mahal. Langsung saja kubayar menggunakan m-banking, jadi tak perlu ribet mencari uang cash. 

Hati ini bersorak girang sebab telah berhasil mendapat toko itu. Artinya, tak lama lagi aku siap untuk menghancurkan Ibu tiri. Untung sedikit tak masalah, yang penting semua pelanggan Bu Sri beralih menjadi pembeliku. Toh, menurut cerita Bude, Ibu tiriku menjual dengan harga yang sering ngawur, apalagi kalau yang membeli orang yang tak berpengalaman.

Pukul empat sore kami baru keluar dari rumah pemilik ruko tersebut. Alvin langsung mengajak pulang karena Bude sejak tadi sudah menelepon terus. 

Alvin mengemudikan motor dengan kecepatan sedang. Namun, tiba-tiba dia mengerem mendadak. Sontak aku kaget sampai tubuh kami menempel. 

“Apa-apaan sih!” Aku menggerutu sembari memukul bahu Alvin. 

Bukannya menyahut, Alvin justru memutar balik kendaraan, lalu melaju dengan kecepatan tinggi. Aku yang bingung bercampur takut refleks melingkarkan tangan di perutnya. 

Tiba-tiba Alvin memepet sebuah motor yang dikendarai dua sejoli. Sampai akhirnya kami berhenti di bahu jalan. Buru-buru Alvin turun lalu menarik lengan perempuan yang ada di boncengan, sedangkan si lelaki hanya diam saja di atas jok motor.

“Jadi benar kamu masih sering jalan sama mantanmu!” ucap Alvin setengah berteriak. 

“E ... anu, Vin. Aku bisa jelaskan,” ucap perempuan itu. 

“Jelaskan apalagi. Kamu sudah selingkuh, Sa! Mulai sekarang kita akhiri semuanya!” seru Alvin. 

Perempuan itu mencoba menjelaskan sesuatu, tapi Alvin abai dan langsung naik ke atas motor lalu meluncur pergi. 

Astaga! Rupanya perempuan itu kekasih Alvin. Pantas saja dia mengerem mendadak saat tadi kami berpapasan. 

Kasihan betul nasibmu, Vin! Dikhianati oleh perempuan yang menurutku tak cantik-cantik amat, padahal Alvin terhitung berwajah tampan. 

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   TAMAT SESI 1

    Aku mendekati Mas Alvin yang sedang menikmati kopi di teras,sedangkan Gea langsung masuk ke dalam.“Dari mana kamu, Lintang?” tanya Mas Alvin.Meletakkan bokong di sebelah suami, aku menyandarkanpunggung pada sandaran kursi.“Dari rumah Bu Sri, Mas! Aku sudah membayar rumah itu,”sahutku.“Terus mau dikosongkan rumahnya?”“Enggaklah! Kan ada Gea!”Mas Alvin mengangguk. Detik berikutnya dia menyambar gelasdi atas meja, menyesap sebentar lalu meletakkan di tempat semula.“Mas ... aku boleh minta sesuatu enggak?” tanyaku kemudian.Mas Alvin menoleh dengan kening berkerut. “Minta apa?”“Begini, Mas! Sekarang aku dan Gea sudah baik. Dia akantinggal di rumah yang baru saja kubeli. Nah ... yang masih mengganjal dipikiran itu Papa. Biar bagaimanapun dia orang tuaku, sedangkan saat ini akuenggak tahu dia tinggal di mana,” sahutku.“Terus?”“Aku ingin kita tunda dulu kepergian sampai Papa ketemu. Nantirencananya aku suruh Papa tinggal bareng Gea. Boleh ya, Mas!” rengekku, meraihtangan Mas Alvin

  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   keputusan Gea

    Sampai rumah, Gea langsung berlari ke kamar sembari tanganmengucek mata. Aku bisa merasakan betapa hati gadis itu terluka, antara kecewadengan ibunya, juga malu padaku.Meninggalkan Alvin yang sedang memarkirkan motor, beranjakaku ke dalam menyusul Gea. Di saat seperti ini dia pasti butuh teman.Mengetuk pintu kamar Gea, aku memanggil namanya beberapakali, tapi tak kunjung ada sahutan. Nekat aku mendorong daun pintu yang rupanyatak di kunci. Gadis itu tengah terisak, duduk memeluk lutut di sudut kamar.Mendekat, aku mengelus pundak Gea berusaha menenangkan.“Sabar ya, Ge!” ucapku pelan.Bukannya menyahut, isaknya justru terdengar semakin jelas diantara nafas yang tersengal. Namun, aku tak melarang sebab tangis sedikitbanyak mampu meringankan beban di hati. Menangislah!“Mbak!” ucapnya setelah tangisnya mereda.“Iya,”“Kenapa kamu peduli denganku? Bukankah selama ini aku jahatsama kamu?” Gea menoleh, menatap lekat seperti mencari sesuatu di bola mataku.Melempar senyum, aku merapikan a

  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   kepedihan Gea

    Seperti biasa aku beranjak ke dapur setelah kamar beres. Ibutampak sudah berjibaku dengan pekerjaan, sedangkan Gea belum terlihat.Aku menyambar toples berisi gula, berniat membuat kopi untukMas Alvin. Sedikit demi sedikit hubungan kami mulai membaik, meski suamikumasih sedikit kaku.“Bu, Gea kok belum kelihatan. Tumben?” tanyaku sembarimenakar gula sesuai selera suami.“Gea tadi pamit pulang, ada yang penting katanya,” sahutIbu.“Penting apa sih?”“Enggak tahu juga sih, tapi dengar-dengar dari tetangga, BuSri mau jual rumah itu!”Sontak aku terperanjat. Rumah itu milik orang tua Papa.Meski aku tak mengenalnya, setidaknya bisa menjadi pengingat bahwa aku punyagaris keturunan darinya.“Kok dijual sih? Bukannya itu punya Kakek?” tanyaku setengahprotes.“Iya, tapi kan sekarang sudah berganti nama menjadi milik BuSri. Jadi ya dia bisa jual,” jelas Ibu mertua.Ada rasa tak terima jika rumah itu berpindah tangan. Seharusnyarumah itu hak Papa dam Ibu mertua, tapi malah jatuh ke tangan Bu Sri

  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   PAMIT

    Seminggu telah berlalu, tapi sikap Mas Alvin belum kembalimenghangat, padahal sudah kulakukan kewajiban sebagai seorang istri.Kemarin, saat mengurus pernikahan di KUA, Mas Alvin menolakmenggunakan mobil. Dia bilang kalau enggak ingin menggunakan apa pun darikekayaanku. Bukankah ini berlebihan?“Sampai kapan kita akan seperti ini, Mas?” tanyaku saat kamitengah berdua di kamar.“Apanya yang sampai kapan?” Mas Alvin balik tanya.Aku menghela nafas panjang lalu membuang perlahan. Entahsengaja atau tidak, tapi aku yakin Mas Alvin paham pertanyaanku.“Ya kita! Sampai kapan kamu akan mendiamkanku begini? Kita suamiistri, Mas! Bukan musuh!” jelasku berusaha sabar.Kata orang pengantin baru itu indah. Namun, nyatanya tidak!Kami menjalani hari penuh kekakuan. Bahkan urusan ranjang pun kami tak pernahmelakukan kecuali saat pertama kali dulu. Mas Alvin hanya mengecup kening saat mataini memejam. Bukankah ini menyedihkan?“Sampai aku bisa melupakan hujatanmu malam itu. Setidaknya,rasa sakit di ha

  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   DIABAIKAN

    Berkali-kali aku mengerjap, memaksa membuka mata yang masihterasa lengket. Kuraba Mas Alvin yang semula tidur di sebelahku. Namun, takkutemukan dia. Astaga! Dia tak membangunkan aku.Menyadari kalau bangun kesiangan, buru-buru aku bangkit lalumenyambar pakaian yang tercecer di lantai.Tadi malam, meski aku sudah merayu Mas Alvin, kami takmelakukan apa pun. Dia terus menolak dengan alasan yang tak jelas. Yang lebihmenyedihkan, saat tidur pun dia memunggungiku.Entah apa yang terjadi padanya, tapi yang jelas dia sepertisedang membalas. Sikap dinginnya itu lebih menyakitkan ketimbang sebuahtamparan.Beranjak keluar kamar, aku menemui Ibu mertua di dapur. Tanpadiminta aku langsung membantu beberes juga menyiapkan sarapan.“Mas Alvin ke mana ya, Bu? Kok enggak kelihatan?” tanyaku disela aktivitas kami.“Lagi di depan. Tadi Gea datang. Memangnya kamu belum ketemudia?” tanyanya balik.Mendengar Ibu mertua menyebut nama Gea, cemburu datang mengganggupikiran, apalagi Mas Alvin sedang bersama p

  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   KEMBALI

    Mobil yang kukendarai melaju pelan menembus sepinya malam.Sesekali aku menyapu wajah sekedar menepikan bayangan Mas Alvin agar tetap fokuspada jalanan.Tak lama, aku telah sampai di rumah. Hati berjingkrak girangsaat kulihat motor Mas Alvin terparkir di halaman rumah, bersebelahan denganmotor entah punya siapa. Buru-buru akuturun lalu beranjak masuk sambil berteriak.“Mas Alvin!” teriakku girang sembari membuka daun pintu yangtak tertutup rapat.Seketika senyum memudar saat menyaksikan pemandangan yangtak biasa. Mas Alvin tengah duduk berdua, saling berhadapan dengan seorangperempuan bernama Elsa.“Sudah pulang, Lintang?” sapanya dingin.Membunuh ego, aku beranjak mendekat pada suami.“Iya, Mas! Kamu ke mana saja beberapa hari ini? Aku terusmencarimu. Maafkan aku ya, Mas! Aku mengaku salah soal malam itu. Akumenyesal!” cerocosku sambil berusaha memeluk melepas rindu. Namun, kurasakansesuatu yang beda dengan Mas Alvin.Sama sekali dia tak membalas pelukan, atau sekedar mengeluspucuk k

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status