Share

BERSAMA ALVIN

“Emangnya kita belanja di mana, Vin?” tanyaku saat kami hendak naik motor. 

“Di Pasar Baru,” jawabnya. 

“Tempat ruko Papaku berada ya?” 

“Iya,” 

Aku tersenyum simpul. Ini namanya sekali mendayung dua pulau terlampaui. Bisa menemani Alvin belanja, sekaligus mengintip ruko Papa. Ah ... bukan! Tepatnya ruko kosong di sebelah kepunyaan Papa. 

Ya! Aku memang berencana mengontrak ruko itu. Tentu saja karena ingin menyaingi Papa. Berbekal sedikit pengalaman, aku yakin mampu menghancurkan mereka dengan cara yang sehat. Apalagi Bude bilang Bu Sri selalu menjual dagangannya dengan harga yang mahal. Jadi, aku yakin akan mampu bersaing. 

“Bude bilang ada tempat kosong di pasar baru ya?” tanyaku lagi. 

“Iya, emangnya kenapa?” 

“Enggak kok, tanya aja. Kamu kenal pemiliknya?” 

“Kenal,” 

“Nanti antar aku ke sana ya?” mohonku. 

Alvin mengernyit heran. Sepasang matanya menatap lekat pada wajahku sampai aku salah tingkah. 

“Ngapain ke sana?” cecarnya. 

“Entar aku ceritain. Yuk berangkat!” ajakku. 

Kemudian, kami bersua segeea meluncur menggunakan sepeda motor. Ini kali pertama aku dibonceng saudara. Soalnya, aku anak tunggal. Pun dengan Mama yang juga anak semata wayang. Jadi praktis aku tak punya saudara dari Mama. 

Motor yang kami kendarai meluncur pelan membelah jalanan yang tak terlalu ramai oleh hilir mudiknya kendaraan. Berulang kali kuedarkan pandangan ke kanan kiri jalan sekedar untuk menikmati perjalanan. 

Tak sampai 15 menit, kami telah sampai di tempat tujuan. Gegas aku turun lalu mengekori langkah Alvin menuju tempat grosir sembako. 

Lalu, kami berhenti di depan sebuah ruko yang lumayan ramai. Kebanyakan yang berbelanja di sini membeli dalam jumlah yang lumayan banyak. Mungkin akan dijual kembali, sama seperti yang Alvin lakukan. 

“Ruko Papa yang mana, Vin?” tanya sambil mengamati barisan Ruko yang berjajar rapi. 

“Di sebelah sana. Itu yang paling besar,” jelas Alvin sembari menunjuk ke arah ruko yang tak terlalu ramai oleh pengunjung. 

“Aku ke sana sebentar ya,” pamitku. 

“Ngapain?” 

“Lihat-lihat aja,” sahutku. 

“Ya sudah, nanti aku tunggu di sini,” pesan Alvin. 

Sementara Alvin berbelanja, aku berjalan menuju tempat yang tadi ditunjuk olehnya. Perasaanku sedikit deg-degan khawatir akan bertemu Bu Sri dan dia kembali menghinaku. 

Langkahku berhenti di depan ruko kosong di sebelah punya Papa. Kuedarkan pandangan ke sekeliling mencoba melihat potensi jika tempat ini kujadikan toko sembako. Sepertinya prospek karena dekat pintu masuk. Jadi pengunjung akan langsung melihat. 

Aku tersenyum simpul sembari mengangguk. Tempatnya sudah ada, tinggal menghubungi pemiliknya. Berapa pun harganya akan kubeli. 

“Hei! Ngapain kamu ke sini!” bentak suara perempuan dari arah samping. 

Aku tersentak kaget, lalu menoleh pada sumber suara tersebut. Rupanya Bu Sri sedang memandangku dengan tatapan penuh selidik. 

“Enggak kok. Lagi jalan aja!” jawabku santai. 

Tak mungkin juga kuceritakan niatku ke sini. Biar saat semua siap akan menjadi kejutan buat Bu Sri. 

“Oh ... pasti kamu lagi mengawasi tokoku kan? Kamu ingin meminta bagian toko ini kan? Jangan harap!” Bu Sri tersenyum sinis. 

Lagi dan lagi. Aku sampai bosan mendengar dia bicara soal bagian atau warisan. Apa Bu Sri pikir aku sangat miskin sampai harus berebut harta? 

“Kalau iya kenapa?” Sengaja aku memancing agar dia tersulut emosi. 

“Enak saja! Ini punyaku. Bukan punya Mas Harjo! Jadi kamu tak punya hak sama sekali!” akunya. 

Aku tersenyum miris. Bisa-bisanya dia mengaku seperti itu, padahal menurut Bude ruko itu milik orang tuanya. 

Ah ... namanya juga gila harta. Jadi tak aneh jika mengaku-ngaku, takut aku merebut. 

Bukannya menyahut, aku justru beranjak pergi dari hadapan Bu Sri. Biar saja dia meradang karena diabaikan saat bicara. Pasti Ibu tiriku akan tersinggung karena kuabaikan. 

Kemudian, aku berhenti di depan toko tempat Alvin belanja. Duduk di atas jok motor, aku mengamati beberapa orang pejalan kaki. Sepertinya pasar ini lumayan ramai. 

Tak Lama, Alvin telah kembali dengan 3 karton belanjaan. Gegas aku turun lalu membantunya. 

“Sudah semua?” tanyaku. 

“Sudah. Pulang yuk!” ajaknya. 

“Antar aku dulu menemui pemilik ruko itu,” sahut sembari mengacungkan jemari telunjuk. 

“Tapi kita bawa barang banyak, Ve! Lain kali saja ya!” Alvin membujuk. 

Ah ... padahal aku ingin secepatnya membeli ruko itu. Rasanya sudah tak sabar ingin segera bersaing dengan Ibu tiri. 

Diam, aku memutar otak agar keinginanku segera terwujud. Kalau nanti sudah sampai rumah, belum tentu juga Alvin mau mengantar. Apalagi kami belum cukup akrab. 

“Bagaimana kalau belanjaannya suruh tukang ojek saja yang bawa balik. Kita langsung ke sana sekarang,” usulku. 

Alvin tampak keberatan, tapi pada akhirnya dia setuju. Sementara barang belanjaan di bawa tukang ojek, kami berdua segera meluncur tanpa harus dibebani barang belanjaan. 

**** 

Setelah melalui tawar menawar yang tak terlalu alot, akhirnya aku mendapatkan toko itu dengan harga yang tak terlalu mahal. Langsung saja kubayar menggunakan m-banking, jadi tak perlu ribet mencari uang cash. 

Hati ini bersorak girang sebab telah berhasil mendapat toko itu. Artinya, tak lama lagi aku siap untuk menghancurkan Ibu tiri. Untung sedikit tak masalah, yang penting semua pelanggan Bu Sri beralih menjadi pembeliku. Toh, menurut cerita Bude, Ibu tiriku menjual dengan harga yang sering ngawur, apalagi kalau yang membeli orang yang tak berpengalaman.

Pukul empat sore kami baru keluar dari rumah pemilik ruko tersebut. Alvin langsung mengajak pulang karena Bude sejak tadi sudah menelepon terus. 

Alvin mengemudikan motor dengan kecepatan sedang. Namun, tiba-tiba dia mengerem mendadak. Sontak aku kaget sampai tubuh kami menempel. 

“Apa-apaan sih!” Aku menggerutu sembari memukul bahu Alvin. 

Bukannya menyahut, Alvin justru memutar balik kendaraan, lalu melaju dengan kecepatan tinggi. Aku yang bingung bercampur takut refleks melingkarkan tangan di perutnya. 

Tiba-tiba Alvin memepet sebuah motor yang dikendarai dua sejoli. Sampai akhirnya kami berhenti di bahu jalan. Buru-buru Alvin turun lalu menarik lengan perempuan yang ada di boncengan, sedangkan si lelaki hanya diam saja di atas jok motor.

“Jadi benar kamu masih sering jalan sama mantanmu!” ucap Alvin setengah berteriak. 

“E ... anu, Vin. Aku bisa jelaskan,” ucap perempuan itu. 

“Jelaskan apalagi. Kamu sudah selingkuh, Sa! Mulai sekarang kita akhiri semuanya!” seru Alvin. 

Perempuan itu mencoba menjelaskan sesuatu, tapi Alvin abai dan langsung naik ke atas motor lalu meluncur pergi. 

Astaga! Rupanya perempuan itu kekasih Alvin. Pantas saja dia mengerem mendadak saat tadi kami berpapasan. 

Kasihan betul nasibmu, Vin! Dikhianati oleh perempuan yang menurutku tak cantik-cantik amat, padahal Alvin terhitung berwajah tampan. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status