Share

ANAK PAPA

Author: El Furinji
last update Last Updated: 2023-02-06 18:56:29

Selesai berpakaian, aku mematut diri di depan cermin yang terpasang di pintu lemari. Menyisir rambut lalu segera beranjak keluar sebab Bude sejak tadi sudah memanggil untuk makan siang. 

Melangkah ragu aku menuju dapur. Ada rasa segan jika aku harus menjadi beban bagi orang lain. Sampai dapur, Rupanya Bude sudah menunggu di depan meja makan, berseberangan dengan lelaki bernama Alvin itu. 

“Sini, Lintang! Kita makan sama-sama!” ajak Bude sembari melambaikan tangan. 

Aku menurut. Mendekat ke arah Bude kemudian menarik kursi kayu lalu meletakkan bokong di atasnya. 

Di atas meja berjejer lauk yang didominasi olahan berbahan dasar tempe. Aku menyendok nasi lalu mengambil sepotong tempe bacem. 

“Maaf ya, Lintang. Lauknya seadanya,” ucap Bude. 

“Enggak apa-apa Bude, ini juga sudah banyak kok,” sahutku. 

Lalu, kami bertiga mulai menikmati makan siang. Dalam hati aku sangat bersyukur bisa makan bersama meski dengan lauk sederhana. 

Saat kami tengah sibuk menikmati makanan, terdengar suara perempuan memanggil Alvin dari kejauhan. Aku menoleh pada sumber suara tersebut. 

 Tak lama, seorang perempuan berpakaian seksi mendekat ke arah kami. Tanpa permisi dia langsung menarik kursi dan duduk tepat di sebelah Alvin. 

Sorot mata perempuan itu tak henti memindai wajah, memperhatikanku. Dari caranya memandang, aku yakin dia tak suka denganku. 

Siapa pun dia, yang jelas dia tak sopan masuk ke rumah orang tanpa mengucap salam. Sebab, tadi Bude cerita kalau Alvin anak semata wayang. 

“Kamu yang namanya Lintang?” tanya perempuan itu dengan wajah masam. 

Aku terperangah karena perempuan itu bisa tahu namaku. Padahal kami baru pertama bertemu. 

“Iya,” sahutku sembari mengulurkan tangan. 

Bukannya menyambut, dia justru menepis. Kontan saja aku kaget dengan perlakuannya. 

“Enggak usah sok baik! Kamu ke sini mau merebut warisan kan? Atau jangan-jangan juga mau merebut Alvin dariku?” cecarnya. 

Aku mengernyit heran. Baru kali ini aku bertemu dengannya, tapi kok dia sudah berprasangka seperti itu? 

“Hush ... kalau ngomong yang benar, Ge! Dia itu kakakmu!” sambar Bude. 

Diam, aku mencoba mencerna kalimat Bude. Apa artinya dia anak Bu Sri? 

“Bukan! Dia bukan kakakku. Aku anak tunggal calon pewaris semua kekayaan  Bapak!” ungkap perempuan itu. 

“Gea, Lintang ini anak pertama Bapakmu! Jadi dia kakakmu,” jelas Bude. 

Aku menangguk paham. Ternyata perempuan yang dipanggil Gea itu anak Bu Sri. Pantas saja cara bicaranya angkuh persis ibunya.

“Halah .... palingan dia juga anak enggak jelas. Dulu ibunya sudah hamil saat dinikahi Bapak!” cibir perempuan bernama Gea. 

Sendok yang sedari tadi di tangan, semakin kugenggam dengan kuat. Sebisa mungkin aku menahan gemuruh di hati. Jika tak ingat posisiku yang sebagai tamu, sudah kugampar mulut perempuan itu. 

“Maaf! Aku tak butuh pengakuan sebagai kakak. Aku ke sini cuma mencari Papa. Jadi tolong! Jaga bicaramu. Jangan sekali-kali merendahkan Mama!” ucapku dengan nada suara penuh penekanan. 

Gea terperangah. Barangkali dia tak menyangka aku berani membalas ucapannya. 

“Kalau hanya mencari Bapak, kenapa kamu masih di sini? Kan sudah ketemu. Jadi harusnya kamu segera pulang. Atau jangan-jangan kamu mengincar kekayaan Bapak? Kan Bapak bilang kalian hidup miskin!” 

Entah apa yang Papa ajarkan kepada Gea sampai dia menjadi anak tak punya sopan santun begitu. Sebab, perilaku seorang anak bergantung kepada cara mendidiknya. 

Benar. Mama selalu bilang saat aku kecil kami hidup sengsara. Namun, sejak aku mampu mengingat, tak kulihat kemelaratan dalam hidup kami.

“Ge! Ini rumah Kami, jadi kami yang berhak menentukan siapa yang akan tinggal! Kami tak keberatan jika Lintang tinggal di sini!” ucap Alvin sembari melirik ke arahku. 

“Iya, Ge! Kami senang Lintang tinggal di sini,” timpal Bude. 

Berbeda denganku yang merasa terharu dengan kelapangan hati Bude dan anaknya, Gea justru mendengkus kesal. Sepertinya dia benar-benar tak suka aku tinggal di sini. 

“Jadi kamu lebih memilih Lintang ketimbang aku, Vin?” Gea meracau dengan mata sedikit mengembun, “harusnya kamu membelaku!” 

“Maaf, Ge! Aku tak membela siapa pun. Aku hanya melakukan kewajibanku sebagai kakak sepupu!” 

“Sama saja!” dengkus Gea dengan bulir bening yang telah luruh di pipi. 

Perempuan yang rambutnya dicat kemerahan itu terisak. Namun, baik Bude ataupun Alvin tak berusaha menenangkannya. Mereka semua tetap melanjutkan makan tanpa memedulikan Gea. 

Gea menyeka air mata. Lalu, sepasang matanya menatap nyalang ke arahku. 

“Dasar perempuan tak berpendidikan! Harusnya kamu nyadar kalau kamu di sini cuma akan jadi benalu!” ucap Gea setengah berteriak. 

Kalimatnya membuat Bude berhenti mengunyah. Detik berikutnya dia  menyambar gelas di depannya kemudian meneguk isinya hingga tandas. 

“Kamu belum tahu kehidupan Lintang kayak apa. Bisa jadi sekolahnya lebih tinggi. Jangan jadi anak sombong, Ge!” Bude menasihati. 

“Halah! Palingan juga lulusan SMK. Aku dong anak kuliahan!” Gea mengangkat dagunya. 

Walau sudah mencoba menghindar dari perseteruan, nyatanya aku tak bisa menahan untuk tetap diam. 

“Kalaupun hanya lulusan SMK, apa urusanmu! Toh tak menjadi bebanmu!” ucapku berusaha tenang. 

Menghadapi anak seperti Gea tak boleh ikut terpancing emosi. Biarkan saja dia sombong dulu! Kalau sudah waktunya, akan kubungkam mulut mereka hingga merasa malu dengan dirinya sendiri. 

“Cukup! Kalau kamu hanya mau bikin masalah, mending kamu pulang saja, Ge!” tegas Alvin. 

Gea merengut. Detik berikutnya dia bangkit berdiri kemudian mengacungkan jari telunjuk ke arahku. 

“Awas kau!” ancamnya lalu beranjak pergi tanpa permisi. 

Aku menggeleng pelan melihat kelakuan anak itu. Dia yang menghina, kenapa dia yang marah? 

“Enggak usah didengarkan ucapan anak itu! Dia memang sombong karena bapaknya paling kaya dikampung ini,” ucap Bude beberapa saat kemudian. 

“Iya, Bude!” sahutku. 

Lalu, kami melanjutkan makan meski seleraku sudah menguap. Mau tak mau kuhabiskan semua nasi yang sudah kadung ada di piringku. Jika tidak, aku khawatir Bude tersinggung. 

Selesai makan, kami mengobrol sejenak. Bude menyuruh Alvin belanja dagangan toko sekalian mengajakku jalan-jalan. 

“Enggak usah, Bu! Biar aku sendiri saja!” tolak Alvin. 

“Ya kan sekalian biar kalian akrab. Kalian ini saudara!” Bude terus membujuk. 

Kulihat Alvin enggan, tapi karena Bude terus memaksa akhirnya dia menurut. Pun denganku yang juga sebenarnya malas pergi dengan lelaki yang baru kukenal. Meski kami saudara, aku tak yakin bisa akrab dengan Alvin. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   TAMAT SESI 1

    Aku mendekati Mas Alvin yang sedang menikmati kopi di teras,sedangkan Gea langsung masuk ke dalam.“Dari mana kamu, Lintang?” tanya Mas Alvin.Meletakkan bokong di sebelah suami, aku menyandarkanpunggung pada sandaran kursi.“Dari rumah Bu Sri, Mas! Aku sudah membayar rumah itu,”sahutku.“Terus mau dikosongkan rumahnya?”“Enggaklah! Kan ada Gea!”Mas Alvin mengangguk. Detik berikutnya dia menyambar gelasdi atas meja, menyesap sebentar lalu meletakkan di tempat semula.“Mas ... aku boleh minta sesuatu enggak?” tanyaku kemudian.Mas Alvin menoleh dengan kening berkerut. “Minta apa?”“Begini, Mas! Sekarang aku dan Gea sudah baik. Dia akantinggal di rumah yang baru saja kubeli. Nah ... yang masih mengganjal dipikiran itu Papa. Biar bagaimanapun dia orang tuaku, sedangkan saat ini akuenggak tahu dia tinggal di mana,” sahutku.“Terus?”“Aku ingin kita tunda dulu kepergian sampai Papa ketemu. Nantirencananya aku suruh Papa tinggal bareng Gea. Boleh ya, Mas!” rengekku, meraihtangan Mas Alvin

  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   keputusan Gea

    Sampai rumah, Gea langsung berlari ke kamar sembari tanganmengucek mata. Aku bisa merasakan betapa hati gadis itu terluka, antara kecewadengan ibunya, juga malu padaku.Meninggalkan Alvin yang sedang memarkirkan motor, beranjakaku ke dalam menyusul Gea. Di saat seperti ini dia pasti butuh teman.Mengetuk pintu kamar Gea, aku memanggil namanya beberapakali, tapi tak kunjung ada sahutan. Nekat aku mendorong daun pintu yang rupanyatak di kunci. Gadis itu tengah terisak, duduk memeluk lutut di sudut kamar.Mendekat, aku mengelus pundak Gea berusaha menenangkan.“Sabar ya, Ge!” ucapku pelan.Bukannya menyahut, isaknya justru terdengar semakin jelas diantara nafas yang tersengal. Namun, aku tak melarang sebab tangis sedikitbanyak mampu meringankan beban di hati. Menangislah!“Mbak!” ucapnya setelah tangisnya mereda.“Iya,”“Kenapa kamu peduli denganku? Bukankah selama ini aku jahatsama kamu?” Gea menoleh, menatap lekat seperti mencari sesuatu di bola mataku.Melempar senyum, aku merapikan a

  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   kepedihan Gea

    Seperti biasa aku beranjak ke dapur setelah kamar beres. Ibutampak sudah berjibaku dengan pekerjaan, sedangkan Gea belum terlihat.Aku menyambar toples berisi gula, berniat membuat kopi untukMas Alvin. Sedikit demi sedikit hubungan kami mulai membaik, meski suamikumasih sedikit kaku.“Bu, Gea kok belum kelihatan. Tumben?” tanyaku sembarimenakar gula sesuai selera suami.“Gea tadi pamit pulang, ada yang penting katanya,” sahutIbu.“Penting apa sih?”“Enggak tahu juga sih, tapi dengar-dengar dari tetangga, BuSri mau jual rumah itu!”Sontak aku terperanjat. Rumah itu milik orang tua Papa.Meski aku tak mengenalnya, setidaknya bisa menjadi pengingat bahwa aku punyagaris keturunan darinya.“Kok dijual sih? Bukannya itu punya Kakek?” tanyaku setengahprotes.“Iya, tapi kan sekarang sudah berganti nama menjadi milik BuSri. Jadi ya dia bisa jual,” jelas Ibu mertua.Ada rasa tak terima jika rumah itu berpindah tangan. Seharusnyarumah itu hak Papa dam Ibu mertua, tapi malah jatuh ke tangan Bu Sri

  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   PAMIT

    Seminggu telah berlalu, tapi sikap Mas Alvin belum kembalimenghangat, padahal sudah kulakukan kewajiban sebagai seorang istri.Kemarin, saat mengurus pernikahan di KUA, Mas Alvin menolakmenggunakan mobil. Dia bilang kalau enggak ingin menggunakan apa pun darikekayaanku. Bukankah ini berlebihan?“Sampai kapan kita akan seperti ini, Mas?” tanyaku saat kamitengah berdua di kamar.“Apanya yang sampai kapan?” Mas Alvin balik tanya.Aku menghela nafas panjang lalu membuang perlahan. Entahsengaja atau tidak, tapi aku yakin Mas Alvin paham pertanyaanku.“Ya kita! Sampai kapan kamu akan mendiamkanku begini? Kita suamiistri, Mas! Bukan musuh!” jelasku berusaha sabar.Kata orang pengantin baru itu indah. Namun, nyatanya tidak!Kami menjalani hari penuh kekakuan. Bahkan urusan ranjang pun kami tak pernahmelakukan kecuali saat pertama kali dulu. Mas Alvin hanya mengecup kening saat mataini memejam. Bukankah ini menyedihkan?“Sampai aku bisa melupakan hujatanmu malam itu. Setidaknya,rasa sakit di ha

  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   DIABAIKAN

    Berkali-kali aku mengerjap, memaksa membuka mata yang masihterasa lengket. Kuraba Mas Alvin yang semula tidur di sebelahku. Namun, takkutemukan dia. Astaga! Dia tak membangunkan aku.Menyadari kalau bangun kesiangan, buru-buru aku bangkit lalumenyambar pakaian yang tercecer di lantai.Tadi malam, meski aku sudah merayu Mas Alvin, kami takmelakukan apa pun. Dia terus menolak dengan alasan yang tak jelas. Yang lebihmenyedihkan, saat tidur pun dia memunggungiku.Entah apa yang terjadi padanya, tapi yang jelas dia sepertisedang membalas. Sikap dinginnya itu lebih menyakitkan ketimbang sebuahtamparan.Beranjak keluar kamar, aku menemui Ibu mertua di dapur. Tanpadiminta aku langsung membantu beberes juga menyiapkan sarapan.“Mas Alvin ke mana ya, Bu? Kok enggak kelihatan?” tanyaku disela aktivitas kami.“Lagi di depan. Tadi Gea datang. Memangnya kamu belum ketemudia?” tanyanya balik.Mendengar Ibu mertua menyebut nama Gea, cemburu datang mengganggupikiran, apalagi Mas Alvin sedang bersama p

  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   KEMBALI

    Mobil yang kukendarai melaju pelan menembus sepinya malam.Sesekali aku menyapu wajah sekedar menepikan bayangan Mas Alvin agar tetap fokuspada jalanan.Tak lama, aku telah sampai di rumah. Hati berjingkrak girangsaat kulihat motor Mas Alvin terparkir di halaman rumah, bersebelahan denganmotor entah punya siapa. Buru-buru akuturun lalu beranjak masuk sambil berteriak.“Mas Alvin!” teriakku girang sembari membuka daun pintu yangtak tertutup rapat.Seketika senyum memudar saat menyaksikan pemandangan yangtak biasa. Mas Alvin tengah duduk berdua, saling berhadapan dengan seorangperempuan bernama Elsa.“Sudah pulang, Lintang?” sapanya dingin.Membunuh ego, aku beranjak mendekat pada suami.“Iya, Mas! Kamu ke mana saja beberapa hari ini? Aku terusmencarimu. Maafkan aku ya, Mas! Aku mengaku salah soal malam itu. Akumenyesal!” cerocosku sambil berusaha memeluk melepas rindu. Namun, kurasakansesuatu yang beda dengan Mas Alvin.Sama sekali dia tak membalas pelukan, atau sekedar mengeluspucuk k

  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   GARA-GARA NIKO

    Tiga hari telah berlalu. Namun, sampai detik ini Mas Alvinbelum juga kembali. Dibantu Ibu mertua, sudah kucari dia ke sana ke mari. Banyakteman dan tetangga kami datangi. Nyatanya usaha ini sia-sia belaka.Senja ini, aku rehat melakukan pencarian. Diam di terasmencoba menenangkan pikiran. Jika ditelisik lebih dalam, sepertinya Mas Alvinsengaja menghukumku.Lamunan buyar tatkala terdengar dering nada panggilan dariponsel yang tergeletak di atas meja. Melongok pada layar, kulihat nama Nikoyang tertera di sana. Dengan malas aku menerima panggilan itu.“Gimana, Lintang? Apa Alvin sudah ketemu?” tanya suarabariton dari seberang sana.“Belum, Nik,” sahutku.“Bagaimana kalau aku temani kamu nyari Alvin?”Aku mengernyit heran oleh tawaran yang dia berikan. Kenapajuga harus menemaniku, padahal kalau mau mencari tinggal berangkat sendirisaja, apalagi dia laki-laki.“Sorry, Lintang! Kamu jangan berpikiran macam-macam. Aku cumakasihan sama kamu kalau Alvin enggak cepat ketemu,” ucap Niko saat aku

  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   MENYUSUL

    Aku membawa tas yang belum sempat kubongkar isinya lalumemasukkan ke bagasi. Saat ini juga akan kususul Mas Alvin ke kampung halamansebagai bentuk permintaan maaf.“Aku berangkat dulu ya, Ma!” pamitku.“Iya, Sayang! Kejarlah cintamu. Mama doakan rumah tanggakalian baik-baik saja!”Setelah kami saling peluk, gegas aku melajukan kendaraan.Rasanya sudah tak sabar ingin bertemu Mas Alvin dan minta maaf. Semoga dia maumemaafkan kebodohan ini.Jalanan pagi ini tak terlalu ramai. Alhasil, dalam waktukurang dari 10 jam aku telah sampai di rumah Ibu mertua. Gegas aku turun lalumenemui perempuan yang sedang menatapku dari teras.“Assalamu alaikum, Bu!” ucapku, meraih tangannya dan menciumtakdim.“Waalaikum salam, Kok kamu sendirian Lintang? Alvin mana?”tanya perempuan itu dengan sepasang mata menatap pada pintu mobil.Aku tersentak kaget. “Loh ... bukannya Alvin sudah balikdari tadi malam, Bu?” tanyaku balik.Kali ini giliran Ibu mertua yang mengernyit heran. Dia terusmenatapku seperti bingung.

  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   nasihat

    Duduk memeluk lutut di sudut ranjang, aku mengenang semuatentang Mas Alvin-lelaki yang telah membodohiku. Awalnya dia terlihat begitubaik, bahkan hati ini mulai terpikat sejak saat itu.Seiring berjalannya waktu, rasa ini semakin nyata. Sebentarsaja tak bertemu, hati ini gundah gulana. Tak jarang aku bersikap manja sekedarmendapat perhatiannya.Selama ini aku selalu berpikir dia malaikat yang dikirimTuhan untuk menuntunku ke jalan yang benar. Kehadirannya kuharap mampumenyembuhkan luka akibat pengkhianatan. Namun, nyatanya salah. Dia justru datanguntuk meremukkan hati, menghancurkan segala mimpi.Lamunan buyar tatkala kudengar suara ketukan pintu kamar. Awalnyaaku bergeming, tapi karena terus diketuk, akhirnya aku menyahut juga.“Iya, Ma! Sebentar!” Aku bangkit, berdiri lalu beranjak membukapintu.“Lintang, Kamu kenapa? Kok sembab gitu?” tanya Mama saatmelihat keadaanku.“Enggak kok! Kurang tidur kali, Ma!” jawabku asal sembarimenghindar dari sorot matanya “ Mama ada apa jam segini su

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status