Share

ANAK PAPA

Selesai berpakaian, aku mematut diri di depan cermin yang terpasang di pintu lemari. Menyisir rambut lalu segera beranjak keluar sebab Bude sejak tadi sudah memanggil untuk makan siang. 

Melangkah ragu aku menuju dapur. Ada rasa segan jika aku harus menjadi beban bagi orang lain. Sampai dapur, Rupanya Bude sudah menunggu di depan meja makan, berseberangan dengan lelaki bernama Alvin itu. 

“Sini, Lintang! Kita makan sama-sama!” ajak Bude sembari melambaikan tangan. 

Aku menurut. Mendekat ke arah Bude kemudian menarik kursi kayu lalu meletakkan bokong di atasnya. 

Di atas meja berjejer lauk yang didominasi olahan berbahan dasar tempe. Aku menyendok nasi lalu mengambil sepotong tempe bacem. 

“Maaf ya, Lintang. Lauknya seadanya,” ucap Bude. 

“Enggak apa-apa Bude, ini juga sudah banyak kok,” sahutku. 

Lalu, kami bertiga mulai menikmati makan siang. Dalam hati aku sangat bersyukur bisa makan bersama meski dengan lauk sederhana. 

Saat kami tengah sibuk menikmati makanan, terdengar suara perempuan memanggil Alvin dari kejauhan. Aku menoleh pada sumber suara tersebut. 

 Tak lama, seorang perempuan berpakaian seksi mendekat ke arah kami. Tanpa permisi dia langsung menarik kursi dan duduk tepat di sebelah Alvin. 

Sorot mata perempuan itu tak henti memindai wajah, memperhatikanku. Dari caranya memandang, aku yakin dia tak suka denganku. 

Siapa pun dia, yang jelas dia tak sopan masuk ke rumah orang tanpa mengucap salam. Sebab, tadi Bude cerita kalau Alvin anak semata wayang. 

“Kamu yang namanya Lintang?” tanya perempuan itu dengan wajah masam. 

Aku terperangah karena perempuan itu bisa tahu namaku. Padahal kami baru pertama bertemu. 

“Iya,” sahutku sembari mengulurkan tangan. 

Bukannya menyambut, dia justru menepis. Kontan saja aku kaget dengan perlakuannya. 

“Enggak usah sok baik! Kamu ke sini mau merebut warisan kan? Atau jangan-jangan juga mau merebut Alvin dariku?” cecarnya. 

Aku mengernyit heran. Baru kali ini aku bertemu dengannya, tapi kok dia sudah berprasangka seperti itu? 

“Hush ... kalau ngomong yang benar, Ge! Dia itu kakakmu!” sambar Bude. 

Diam, aku mencoba mencerna kalimat Bude. Apa artinya dia anak Bu Sri? 

“Bukan! Dia bukan kakakku. Aku anak tunggal calon pewaris semua kekayaan  Bapak!” ungkap perempuan itu. 

“Gea, Lintang ini anak pertama Bapakmu! Jadi dia kakakmu,” jelas Bude. 

Aku menangguk paham. Ternyata perempuan yang dipanggil Gea itu anak Bu Sri. Pantas saja cara bicaranya angkuh persis ibunya.

“Halah .... palingan dia juga anak enggak jelas. Dulu ibunya sudah hamil saat dinikahi Bapak!” cibir perempuan bernama Gea. 

Sendok yang sedari tadi di tangan, semakin kugenggam dengan kuat. Sebisa mungkin aku menahan gemuruh di hati. Jika tak ingat posisiku yang sebagai tamu, sudah kugampar mulut perempuan itu. 

“Maaf! Aku tak butuh pengakuan sebagai kakak. Aku ke sini cuma mencari Papa. Jadi tolong! Jaga bicaramu. Jangan sekali-kali merendahkan Mama!” ucapku dengan nada suara penuh penekanan. 

Gea terperangah. Barangkali dia tak menyangka aku berani membalas ucapannya. 

“Kalau hanya mencari Bapak, kenapa kamu masih di sini? Kan sudah ketemu. Jadi harusnya kamu segera pulang. Atau jangan-jangan kamu mengincar kekayaan Bapak? Kan Bapak bilang kalian hidup miskin!” 

Entah apa yang Papa ajarkan kepada Gea sampai dia menjadi anak tak punya sopan santun begitu. Sebab, perilaku seorang anak bergantung kepada cara mendidiknya. 

Benar. Mama selalu bilang saat aku kecil kami hidup sengsara. Namun, sejak aku mampu mengingat, tak kulihat kemelaratan dalam hidup kami.

“Ge! Ini rumah Kami, jadi kami yang berhak menentukan siapa yang akan tinggal! Kami tak keberatan jika Lintang tinggal di sini!” ucap Alvin sembari melirik ke arahku. 

“Iya, Ge! Kami senang Lintang tinggal di sini,” timpal Bude. 

Berbeda denganku yang merasa terharu dengan kelapangan hati Bude dan anaknya, Gea justru mendengkus kesal. Sepertinya dia benar-benar tak suka aku tinggal di sini. 

“Jadi kamu lebih memilih Lintang ketimbang aku, Vin?” Gea meracau dengan mata sedikit mengembun, “harusnya kamu membelaku!” 

“Maaf, Ge! Aku tak membela siapa pun. Aku hanya melakukan kewajibanku sebagai kakak sepupu!” 

“Sama saja!” dengkus Gea dengan bulir bening yang telah luruh di pipi. 

Perempuan yang rambutnya dicat kemerahan itu terisak. Namun, baik Bude ataupun Alvin tak berusaha menenangkannya. Mereka semua tetap melanjutkan makan tanpa memedulikan Gea. 

Gea menyeka air mata. Lalu, sepasang matanya menatap nyalang ke arahku. 

“Dasar perempuan tak berpendidikan! Harusnya kamu nyadar kalau kamu di sini cuma akan jadi benalu!” ucap Gea setengah berteriak. 

Kalimatnya membuat Bude berhenti mengunyah. Detik berikutnya dia  menyambar gelas di depannya kemudian meneguk isinya hingga tandas. 

“Kamu belum tahu kehidupan Lintang kayak apa. Bisa jadi sekolahnya lebih tinggi. Jangan jadi anak sombong, Ge!” Bude menasihati. 

“Halah! Palingan juga lulusan SMK. Aku dong anak kuliahan!” Gea mengangkat dagunya. 

Walau sudah mencoba menghindar dari perseteruan, nyatanya aku tak bisa menahan untuk tetap diam. 

“Kalaupun hanya lulusan SMK, apa urusanmu! Toh tak menjadi bebanmu!” ucapku berusaha tenang. 

Menghadapi anak seperti Gea tak boleh ikut terpancing emosi. Biarkan saja dia sombong dulu! Kalau sudah waktunya, akan kubungkam mulut mereka hingga merasa malu dengan dirinya sendiri. 

“Cukup! Kalau kamu hanya mau bikin masalah, mending kamu pulang saja, Ge!” tegas Alvin. 

Gea merengut. Detik berikutnya dia bangkit berdiri kemudian mengacungkan jari telunjuk ke arahku. 

“Awas kau!” ancamnya lalu beranjak pergi tanpa permisi. 

Aku menggeleng pelan melihat kelakuan anak itu. Dia yang menghina, kenapa dia yang marah? 

“Enggak usah didengarkan ucapan anak itu! Dia memang sombong karena bapaknya paling kaya dikampung ini,” ucap Bude beberapa saat kemudian. 

“Iya, Bude!” sahutku. 

Lalu, kami melanjutkan makan meski seleraku sudah menguap. Mau tak mau kuhabiskan semua nasi yang sudah kadung ada di piringku. Jika tidak, aku khawatir Bude tersinggung. 

Selesai makan, kami mengobrol sejenak. Bude menyuruh Alvin belanja dagangan toko sekalian mengajakku jalan-jalan. 

“Enggak usah, Bu! Biar aku sendiri saja!” tolak Alvin. 

“Ya kan sekalian biar kalian akrab. Kalian ini saudara!” Bude terus membujuk. 

Kulihat Alvin enggan, tapi karena Bude terus memaksa akhirnya dia menurut. Pun denganku yang juga sebenarnya malas pergi dengan lelaki yang baru kukenal. Meski kami saudara, aku tak yakin bisa akrab dengan Alvin. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status