Share

RENCANA PEMBALASAN

Shiera cemberut sembari tangannya mengaduk-aduk gelas berisi lemon tea di depannya.

"Rasanya aku ingin resign saja dari sana. Semoga dia segera menggantikanku dengan Vania!" gerutu Shiera.

"Eeh ... jangan lah, Shie. Tahan lah sebentar lagi saja, siapa tahu dia berlagak hanya di awal-awal saja," Tasya mencoba menenangkan.

"Tidak mungkin, Tasya. Dia itu sudah menjengkelkan sejak dari orok rasanya. Kau tahu, meminta kopi saja harus di takar berapa kopi, gula dan creamernya. Belum lagi suhu airnya harus tepat 100°C. Gelasnya harus gelas keramik."

"Ya suhu 100°C kan mungkin artinya airnya harus mendidih dengan sempurna, Shiera. Dia mungkin kembung kalau minum kopi dengan air yang kurang matang. Dan soal gelas, itu karena gelas keramik menahan panas lebih lama. Jadi kopinya tidak cepat dingin, kau tahu?"

"Dan takaran campurannya? Harus gitu di takar dengan sempurna?" tanya Shiera, memelotot galak.

"Yah, siapa tahu dia memiliki sakit tertentu yang mengharuskannya menjalani diet ketat, kan. Kau jangan berprasangka dulu lah, Shie."

Shiera mendengus panjang. "Mungkin kau bersedia menggantikan posisiku menjadi sekretaris? Kalau iya, aku akan merekomendasikanmu padanya sebelum aku mengajukan resign!"

Tasya tertawa. "Shiera, Shiera. Pendidikanku tidak mengajarkanku untuk bekerja cepat di bawah tekanan sepertimu. Aku ini akuntan, biasa bekerja dalam konsentrasi tinggi, ketelitian, dan ketenangan. Tidak dengan berlarian ke sana kemari dan harus mengingat schedule padat setiap hari."

Shiera berdecak kesal.

“Lalu apa rencanamu, Sie?”

“Aku akan membalas perlakuannya padaku. Di dalam perjanjian konyol itu, aku telah memasukkan beberapa poin persyaratan seperti uang lembur dan sebagainya. Lihat saja, akan ku kuras habis hartanya melalui perusahaan!” seru Shiera menggebu-gebu.

 “Kau yakin kau bisa melakukannya?”

“Kenapa tidak? Kalau dia meminta jam kerja yang konyol, maka aku akan meminta bayaran dengan konyol pula!”

“Kau pikir dia akan setuju?”

“Dia sudah setuju, Tasya. Dia sudah menandatangani surat perjanjiannya.”

Tasya melongo menatap Shiera yang masih memasang raut marah di wajahnya, menggigit sepotong kentang seolah kentang itu lah biang dari semua kekesalan hatinya hari ini.

“Shie … apa kau tidak curiga Bos baru itu sedang merencanakan sesuatu padamu?” bisik Tasya, menatap cemas sahabatnya.

“Kenapa?”

“Kau lihat, kan. Mana mungkin seorang bos sepertinya berani mengambil keputusan untuk menghamburkan uang perusahaan begitu banyak hanya untuk mempertahankan seorang sekretaris.”

“Mungkin dia tahu kualifikasiku.” Shiera mengendikkan bahu. “Atau mungkin Tuan Jordan Hale mengancamnya agar tidak memecatku. Pria baik itu ….”

Tasya tertawa hambar.

"Masih muda saja gayanya sudah sok, mengalahkan ayahnya yang senior," gerutu Shiera.

"Justru masih muda itu biasanya suka berlagak karena membutuhkan pembuktian, ingin diakui publik bahwa dia mampu. Bukan begitu?"

"Aah, sudahlah. Semakin dibahas, aku semakin muak padanya," kata Shiera kesal, membanting garpu ke atas piring sampai menimbulkan bunyi nyaring.

"Nah, jadi bagaimana kalau kita membahas soal Ron saja. Sebenarnya apa yang terjadi padamu kemarin, Shie? Kenapa kau tidak menghubungiku?"

"Dia juga membuatku semakin bertambah kesal. Dasar pria brengsek!"

“Apa yang terjadi?”

“Dia berusaha menjualku pada teman-temannya.”

"Sudah aku bilang, kan."

"Ya. Menyesal aku tidak mendengarkan peringatanmu."

"Percayalah, Shie. Itu permainan Vania. Aku mendengarnya sendiri dia berbicara di telepon dan menyebut nama Ron berkali-kali."

"Aku tidak bisa menuduhnya tanpa bukti, Tasya."

"Kau tidak harus menuduhnya. Dan tidak perlu. Bukankah sudah kukatakan sejak awal. Kau hanya perlu berhati-hati pada Vania dan Ron. Mereka berdua bersekongkol untuk menjebak mu, Shie. Please percayalah padaku."

Shiera diam, meneguk minumannya beberapa kali. 

"Ya. Kali ini aku mempercayaimu. Maaf aku pernah dibutakan oleh rasa percayaku pada Ron."

"Tidak masalah. Cinta memang seperti itu, aku sudah terbiasa melihatnya. 

"Aku akan membalas perbuatan mereka." Shiera menyipit tajam, giginya mengeretak geram.

"Hati-hati, Shie. Mereka berdua itu iblis. Mereka sangat licik. Aku dengar dari Nana tadi, Vania berencana menjebakmu di depan bos baru kita, dan membuatmu dikeluarkan dengan tidak hormat. Nana bilang, Vania sepertinya marah sekali padamu. Apa kau baru melakukan sesuatu padanya?" tanya Tasya.

Senyum penuh kemenangan tiba-tiba saja tersungging di satu sudut bibir Shiera, membentuk lengkung miring jahat yang sempurna.

"Shiera ... apa yang kau pikirkan?" tanya Tasya ragu.

"Aku akan membalasnya. Aku akan mendekati Bos Dave, untuk membalas mereka, sekaligus membalas perlakuan bos arogan itu padaku."

"Hah?!"

"Vania tergila-gila pada pria itu, kan? Maka aku akan merebutnya."

"Shie, hati-hati. Pak Dave sepertinya bukan orang yang mudah didekati." Tasya mengingatkan.

"Aku akan mencari kelemahannya."

"Hati-hati, Shie. Jangan mempertaruhkan pekerjaanmu hanya demi membalas dendam."

"Dia akan menuai apa yang sudah di tanamnya, aku pastikan itu. Bukan hanya Vania, ku yakinkan kau. Ron juga pasti akan kehilangan pekerjaannya dalam waktu singkat, dan juga bos arogan itu. Akan ku buat dia tunduk padaku tanpa bisa membantah."

"Shie ...."

"Jangan khawatir, Tasya. Aku sudah punya rencana."

"Jangan gila, Shie."

"Terkadang gila itu perlu, demi mencapai tujuan yang kita mau."

"Tapi kau bisa kehilangan pekerjaan."

"Mau taruhan?" tantang Shiera, mata iblisnya berkilat jahat.

"Tidak. Kalau mata itu sudah berkilat bagai iblis neraka, aku tidak akan main-main denganmu," jawab Tasya, mengangkat bahu dengan malas.

"Bagus lah kalau kau mengerti."

"Tentu saja aku mengerti dengan baik. Kalau belum pernah melihatmu menjatuhkan puluhan singa dalam sekali tepuk, aku tidak akan berbicara seperti itu."

Shiera tertawa lirih, namun gema rendah tawanya terdengar bagai genderang perang di telinga Tasya.

"Boleh aku hanya melihat?"

"Tentu saja. Kau hanya perlu melihat dan merekam setiap kejadian. Tetapi jangan lupa ingatkan aku jika ada lubang di depan."

"Tentu. Aku akan selalu mengawasi langkahmu dan memastikan tidak ada pintu jebakan di bawah kakimu."

Shiera menyeringai lebar. "Thank you, Bestie. Kau sahabat terbaikku sejak kita bertemu. Aku berjanji tidak akan pernah melibatkanmu dalam masalah yang akan aku buat nanti."

"Apa kau akan membuat sebuah kekacauan besar?"

"Tidak, tidak besar. Hanya sedikit memiliki efek shocking therapy." 

"Kau yakin akan menjual dirimu pada bos Dave?"

"Enak saja. Tentu saja tidak. Aku hanya akan menaklukkannya supaya dia bersedia menuruti semua kemauanku."

"Dengan?"

"Yang jelas aku tidak akan menjual diri. Pria bossy itu tidak akan pernah menyentuh tubuhku seujung jari pun."

Tasya tersenyum lebar. "Baguslah. Karena aku tidak akan rela kalau sampai sahabatku menginjak harga dirinya sendiri hanya demi membalas dendam pada seseorang."

"Aku tidak serendah itu, Tasya."

Tasya tersenyum lebar, mengangguk, lalu mendorong piring ravioli ke depan Shiera, setelah dia menguranginya setengah di piringnya.

"Hmm ... jamur ravioli di sini rasanya tidak pernah berubah meski koki telah berganti generasi."

"Ya. Mereka benar-benar mengutamakan kualitas."

"Aku penasaran apakah kualitas perusahaan kita nanti akan tetap seperti ini setelah kepemimpinannya berganti generasi."

"Bukankah kau berencana menundukkan kepala bos muda kita. Jadi ku pikir, menjadi tanggung jawabmu untuk membawa bos besar yang baru berjalan tetap di jalurnya, kan."

Shiera menyeringai lebar. "Aku ini sedang mencari keuntungan untukku pribadi, Tasya. Tidak sedang ingin sok menjadi pahlawan dengan menyelamatkan perusahaan orang."

"Tapi kalau kau menikahi pak Dave, bukankah perusahaan itu juga akan menjadi milikmu?"

"SIAPA YANG AKAN MENIKAHINYA, HAH?!" teriak Shiera, sampai beberapa penghuni meja di samping keduanya, menoleh penasaran.

"Ssst! Lihat, mereka semua melihat kita."

Shiera cepat-cepat menutup mulut, wajahnya sedikit memerah.

"Dengar, Tasya. Aku hanya akan menggodanya supaya dia tergila-gila padaku dan bersedia menuruti apapun keinginanku termasuk memecat Vania dan Ron dari perusahaan, bukan mau menjalin rumah tangga sampai tua dengannya."

Tasya menggaruk ujung hidungnya yang tiba-tiba terasa gatal, bibirnya nyengir menahan tawa.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status