Karpet merah terbentang di teras rumah Bu Astri. Kursi-kursi plastik ditata berjejer, sebagian tamu memilih duduk lesehan. Aroma tumpeng nasi kuning, ayam goreng, dan oseng kacang panjang menyatu dengan bau tanah basah sisa hujan semalam.
"Ini syukuran apa, Bu?" bisik Bu Lastri pada Bu Ria yang duduk di sampingnya.
"Katanya Dini sudah pulang dari rumah sakit," jawab Bu Ria sembari menyeruput teh hangat.
"Tapi yang sibuk malah si Dilan, anak pesantren yang dulu sempat jadi idola gadis sini."
"Dia sekarang mau rawat Dini, Bu. Di rumahnya sendiri di kota."
"Tunggu, maksudnya... mereka udah nikah, toh?"
Bu Ria mengangguk pelan. "Dari dulu katanya udah nikah diam-diam. Waktu masih mondok."
Bu Lastri menghela napas. "Ya Allah... itu yang dulu katanya ketahuan di kamar mandi?"
"Shh... jangan keras-keras, Bu. Iya, katanya begitu."
Ibu-ibu di sekitar mereka mulai menajamkan telinga. Bu Ningsih ikut menyahut, suaranya pelan tapi penuh rasa ingin tahu. "Aku denger juga, Bu. Waktu itu Dini yang ikut ibunya ke kediaman Pak Kyai, main petak umpet sama anak Pak Kyai. Terus salah masuk pintu kamar mandi, ternyata Dilan yang berkunjung ke Kediaman Dalem lagi mandi. Pakai handuk doang."
"Astaghfirullah. Terus?"
"Ya itu, katanya Dini ketakutan, nyebut ada kecoak di kamar mandi itu. Ghak taunya karena takut malah peluk Dilan. Eh, Jihan—anak Pak Kyai—lihat, teriak, rame satu rumah."
Bu Ria geleng-geleng. "Akhirnya dinikahkan diam-diam ya?"
"Katanya Pak Kyai marah besar. Bu Astri juga sempat nangis-nangis."
Di dalam rumah, Dini duduk diam di dekat jendela, diapit teman-temannya yang prihatin dengan keadaan Dini. Ia memakai gaun putih sederhana. Matanya kosong, tapi bibirnya sesekali tersenyum melihat halaman depan yang penuh orang.
Dari balik tirai, Dilan berdiri memandangnya. Napasnya berat. Baju koko yang dikenakannya sedikit kusut. Sejak kemarin, bersama Fahmi, ia bolak-balik menyiapkan semua. Sewa terop sampai siapkan catering."
Bu Astri menghampiri Dilan. Ia memperhatikan Dilan yang berdiri diam, memegang botol air mineral tapi tak meminumnya.
"Kamu yakin keluargamu datang, Nak?" tanyanya hati-hati.
Dilan tersenyum kecil, walau matanya jelas menyiratkan resah. "Harusnya sih begitu, Bu. Sudah saya kabari dari kapan hari."
"Tapi kamu yang datang duluan,apa nggak capek bawa semua perlengkapan, makanan, bahkan nyiapin undangan sendiri."
"Supaya Ibu nggak repot," jawab Dilan lembut. "Saya cuma ingin Dini pulang dengan tenang. dido'akan banyak orang."
Astri diam. Dari matanya, lelah dan ragu bertaut jadi satu.
"Dia masih manggil kamu 'Aziel', Le."
"Saya tahu." Dilan menatap jendela, menatap Dini. "Tapi saya nggak keberatan."
"Kalau nanti dia kecewa? Kalau ternyata dia sadar kamu bukan Aziel?"
Dilan menatap Astri dalam. "Saya akan tetap bersamanya. Saya bukan pengganti. Saya suami yang dulu dia tolak... tapi sekarang saya ingin jadi satu-satunya tempat dia kembali."
Astri menghela napas. "Tamu-tamu sudah berdatangan. Tapi... mobil keluargamu belum kelihatan."
Di teras, Fahmi – kakak Dini – memanggil. "Bu, Ustaz Hafid sudah datang. Mau dimulai sekarang?"
Astri melirik Dilan. "Tunggu sebentar lagi. Mungkin keluarganya masih di jalan."
"Tetangga-tetangga udah dari tadi duduk, Bu. Kasihan kalau kelamaan."
Ustaz Hafid masuk, membawa map kecil. Senyum sopan di wajahnya tak mampu menyembunyikan rasa kikuk. Ia menghampiri Dilan dan menunduk pelan.
"Mas Dilan, mohon maaf. Pak Kyai tak bisa hadir. Ada sesuatu yang tak dapat beliau tinggal."
Tak ada emosi di wajah Dilan. Hanya anggukan. "Tidak apa-apa, Ustaz. Terima kasih sudah datang."
"Kalau berkenan, saya saja yang memimpin acara," kata Ustaz Hafid.
Dilan menoleh ke Astri. "Bagaimana, Bu?"
Astri tampak menimbang-nimbang. Tapi sebelum menjawab, Dini berdiri dari kursinya dan berjalan perlahan ke arah mereka.
"Aku mau ikut Aziel pulang," katanya pelan.
Dilan berdiri dan menyambutnya. Ia membisikkan di telinga Dini, "Kita pulang. Di sana ada kamar warna salem kesukaanmu, taman kecil, dan cermin seperti yang kamu suka."
Dini tersenyum. "Aziel, kamu baik."
Bu Astri menahan napas. Seulas air mata mengalir tanpa izin.
Dari arah dapur, ibu-ibu mulai memanggil-manggil. "Bu Astri, makanannya udah siap disajiin?"
Fahmi melangkah ke depan. "Kalau gitu, Ustaz, kita mulai saja ya."
Astri tak menjawab. Ia hanya menatap jalan depan rumah. Tak ada tanda-tanda mobil yang ditunggu. Tak ada suara mesin mendekat.
Dilan menunduk, memandangi sepatunya yang berdebu. Dalam hati, ia tahu... keluarganya tak akan datang. Mereka menolak sejak awal. Ibu dan adiknya tak pernah setuju dengan masa lalunya bersama Dini. Apalagi sekarang, saat Dini dalam kondisi seperti ini. Hanya ayahnya, harapan satu-satunya."
"Le," bisik Astri, "Kalau keluargamu nggak datang, kamu yakin masih mau bawa Dini?"
"Yakin, Bu. Saya nggak butuh persetujuan siapa-siapa untuk cinta yang saya perjuangkan sendirian dari dulu."
Astri ingin bicara, tapi Fahmi sudah berdiri di hadapan tamu.
"Bapak Ibu sekalian, mohon perhatian sebentar. Acara akan segera dimulai..."
Ustaz Hafid mengangguk, membuka mapnya dan bersiap memberi sambutan.
Namun baru satu langkah ia maju, terdengar suara keras.
"Tunggu!"
Semua kepala menoleh ke arah pagar bambu.
Suara itu asing. Terdengar tegas, lantang, dan mengandung sesuatu.
Dilan menoleh, wajahnya berubah.
Dan semua hadirin terpaku. Bahkan Ustaz Hafid membeku di tempatnya.
Dini menyandarkan punggung ke kursi kayu dekat jendela, tangannya sibuk meraih stoples camilan yang tadi pagi dibawakan Giani. Keripik gurih itu ia kunyah pelan-pelan, seolah tak ada yang perlu dirisaukan. Perutnya memang besar, tapi wajahnya terlihat santai. Sesekali ia tersenyum sendiri ketika merasakan gerakan kecil dari bayi di rahimnya.Suara sandal berdecit di lantai terdengar dari arah pintu. Astri baru saja datang, membawa keranjang buah segar. Wajahnya sedikit lelah, tapi begitu melihat Dini masih santai ngemil, ia tertawa kecil. “Din, kamu kok malah enak-enakan ngemil, ya? Hamil tua begini biasanya orang malah rewel.”Dini pura-pura manyun, lalu menyodorkan stoples. “Coba Bu, enak banget. Makanya aku nggak bisa berhenti.”Namun tawa Astri mendadak terhenti ketika matanya menatap sesuatu. Langkahnya tertahan. Ia mengernyit, lalu cepat-cepat mendekati Dini. “Eh… Din, rok kamu… basah?”“Basah?” Dini menoleh, menepuk-nepuk bagian belakang roknya. Memang ada bercak basah yang cu
Pagi itu, senyum tak pernah lepas dari bibir Dilan. Meski langkahnya menuju parkiran sedikit tergesa, wajahnya tetap teduh, seakan ada cahaya yang menyertainya. Rekan-rekan kerjanya di rumah sakit jiwa bahkan sampai geleng kepala melihat perubahan itu."Dilan, tumben ya… senyum-senyum terus,” celetuk Evind sambil melirik berkas di tangannya.Dilan hanya terkekeh. “Biar awet muda, Vin.”“Awet muda apaan. Biasanya juga kamu serius mulu. Sekarang kayak anak SMA jatuh cinta,” sindir Evind setengah bercanda.Dilan tidak membantah, justru malah menunduk malu. Hatinya sudah penuh dengan bayangan wajah Dini. Sejak Dini hamil, setiap detik terasa begitu berarti.Jam istirahat siang, ia menelpon Dini. Suaranya bergetar menahan rindu.“Dek, kamu nggak muntah lagi, kan?” tanyanya lembut.Dini yang saat itu rebahan di kamar, menempelkan ponselnya ke telinga sambil memejamkan mata. “Alhamdulillah, nggak, Mas. Aku malah lagi ngantuk berat.”“Ya udah, istirahat aja. Jangan mikirin kuliah dulu.”Dini
Suara musik dari sound sistem berganti. Rupanya rombongan mempelai telah datang. Dini dan Dilan mengapit ibunya di depan. Di belakang mereka sudah tampak jajaran pakde dan budenya.MC memandu acara. Kali ini bukan MC Jawa. Karena mereka mengusung tema minimalis agar tidak sama dengan yang kemarin. Namun acara menyambut mempelai dengan Ibu memberinya minuman tetap dilaksanakan sebagai tradisi di desa mereka.Beda dengan kemarin yang mendudukkan kedua orang tua di pelaminan. Kali ini hanya mempelai yang di kursi kebesarannya. Nampak Fahmi yang tidak pernah memakai jas, terlihat tampan dengan jas senada dengan warna manten putri yang memakai warna seperti baju Dini. Selama ini Dini memang sering rundingan dengan masnya itu.Empat terima tamu yang terpajang di depan segera sibuk dengan memberikan bingkisan kepada undangan yang datang. Termasuk teman-teman Fahmi dan pengiring.Pak Kyai Ahyat yang datang disambut Dilan dan dipersilahkan duduk di kursi kebesaran jajaran depan yang telah disia
Pagi-pagi kembali Dini dan Dilan sudah harus ada di rumahnya. Dini harus dirias lagi untuk acara 'Walik Ajang' nama acara untuk menyambut kedua mempelai ke rumah besannya.Di depan halaman rumah Astri yang luas sudah terpasang terop dan pelaminan model minimalis. Tamu masih seperti kemarin, berdatangan dari berbagai desa di sekitar. Termasuk dari wali santri pondok yang sudah lama dan mengenal Astri sebagai abdi dalem yang sering membantu anak mereka sewaktu di pondok.Belum juga acara dimulai, terlihat dua buah mobil mewah memasuki halaman Astri. Nampak Pramono dan keluarganya datang. Demikian juga dengan keluarga Ajeng yang komplit bersama anak mereka, Sania.Astri yang sudah dirias dan membuat pangling besannya, khususnya Pramono, Ibra dan Ajeng, menyambutnya. Wanita tinggi berhidung mancung yang sebenarnya cantik itu tersenyum menyambut kedatangan besan mereka yang tidak disangka-sangkanya. Apalagi dengan keluarga besarnya."Ibu Kak Dini ternyata juga cantik ya," celetuk Kanaya, "p
Hari-hari sibuk Dini pun dimulai setelah dia mentyelesaikan ospeknya. Di kebunnya akhirnya dia menambah dua asisten baru yang membantu Harti. Dini hanya mengontrolnya sewaktu-waktu sambil terus promosi medsos. Keberadaan Binar pun juga menjadi hiburan Dini dan Dilan. Terlebih Dilan yang kadang malah mengajaknya jalan-jalan bersama Dini."Dek, jadi berapa hari kita di Ibu?""Terserah Mas, sih, aku masuk kuliah baru munggu depan.""Aku ambil cuti kan seminggu, sambil kita hoenymoon di sana, yuk! Kita sewa resort di puncak. Kan ghak jauh dengan Ibu,""Memangnya kenapa, Mas, pakek sewa resort?""Kamu kayak ghak ngerti orang desa sana. Kan yang bantuin banyak. itu pun ghak cuma satu dua hari. Tiga bahkan empat hari. Apalagi Fahmi jadi meramaikan pernikahannya. Ghak lagi sepi-sepi setelah toko bunganya maju.""Lalu?""Udara disana kan dingin.""Terus?""Ih, aku jitak ya, kamu! Dasar anak kecil ghak faham-faham."Dini terkekeh dengan kemarahan Dilan."Ok, Ok! Kamu malu keramasnya?"Dilan tert
“Pisah! Pisah dulu!” suara lantang petugas pengadilan membuat ruangan yang sejak tadi riuh mendadak menegang. Dua orang yang sempat bersitegang segera dipisahkan. Dini menghela napas berat, tubuhnya terasa kaku. Ajeng di sampingnya pun melakukan hal yang sama, wajahnya pucat namun matanya menyala oleh amarah dan luka yang belum sembuh.Tak lama kemudian, suara protokol menggema. “Sidang perkara akan segera dibuka.”Semua orang bersiap. Danu yang duduk di bangku terdakwa, menegakkan tubuhnya. Wajahnya kaku, tetapi matanya tak pernah lepas dari Dini. Pandangannya tajam, seakan ingin menusuk setiap jengkal hati perempuan itu. Dini bisa merasakan bulu kuduknya meremang.Pramono datang bersama Giani. Lelaki itu menarik kursi di sisi Dini, lalu menunduk, membisikkan sesuatu. “Tenang, Din. Jangan goyah, semua akan berakhir hari ini.”Belum sempat Dini menanggapi, langkah cepat Kanaya terdengar. Gadis itu menepuk bahu Pramono ringan. “Pa, biar aku aja di sini,” ucapnya. Tanpa menunggu jawaban