Semua yang hadir kaget dengan suara yang datang tiba-tiba. Seorang lelaki tinggi dengan badan agak gemuk melangkah mendekati kerabat dan tetangga Dini yang hadir.
"Saya juga ingin menyaksikan putra saya menikah. Maaf, saya terlambat," ucapnya kemudian.
Semua yang hadir memandang pria itu, Pramono Aji, dengan mempersilahkan dia duduk di sebelah mempelai.
"Pa, terimakasih sudah mau datang," kata Dilan kemudian. Sambil menandatangani berkas yang ada, Dilan akhirnya sedikit lega walau yang hadir dari keluarganya hanya papanya. Dia memang tak mungkin berharap mamanya akan datang setelah pertengkaran mereka.
Pak Penghulu pun dengan cepat meninggalkan tempat. Dia harus menikahkan orang lain lagi.
"Akhirnya kamu menikah juga. Maaf jika pernikahan kamu hanya seperti ini."
"Tidak apa-apa, Pa. Saya maklum dengan kondisi Dini. "
"Pak, maafkan saya jika semua ini tidak seperti yang Bapak harapkan untuk putra bapak." Astri mendekat dengan mengatupkan kedua tangan di dada. Dia lalu membimbing Dini untuk menyalami orang yang kini sudah menjadi ayah mertuanya.
Pramono mengelus kepala Dini, " Setelah kamu sembuh, insyaallah Papa akan memberikan pesta yang mewah untuk kalian."
Dini hanya tersenyum dengan memandang pria di depannya. Tangannya sudah tak lepas memegang lengan Dilan.
"Kami hanya butuh restu Papa, butuh dukungan Papa."
"Itu pasti Dilan," kata Pramono dengan terus memindai Dini yang sesekali melempar senyum cantiknya. Dia memang benar-benar cantik. Kulitnya yang bening begitu halus bagai sutra, pantas sekali putraku begitu tergila-gila padanya, bathinnya.
"O, ya,.. Bu, ini sekedar oleh-oleh dari saya. Maaf, tidak bisa membawa apa-apa ke sini." Pramono mengangsurkan sebuah amplop coklat tebal.
"Ghak usah, Pak. Ini semua yang ngatur juga Dilan. Makanan sebanyak ini juga datang sendiri, didatangkan Dilan. Kami hanya menyediakan tempat," kata Astri lalu memandang putrinya dengan mata mengaca, "Dini bisa mendapatkan pria sebaik Dilan saja, saya sudah berterimakasih. Semoga benar harapan Dilan, Dini bisa sembuh setelah bersamanya."
"Jangan ditolak, Bu. Ini sekedar oleh-oleh saja." Pramono masih bersikeras.
"Diterima saja, Bu." Dilan ikut memberikan suaranya.
"Kalau begitu, terimakasih, Pak. Saya jadi ghak enak hati."
"Baiklah, Dilan, Papa harus segera pergi, ada rapat penting dengan clien. Ditunggu Papa di rumah," pamit Pramono. Lagi-lagi pandangannya tak lepas dari Dini yang bergayut manja di lengan Dilan yang beranjak mengikuti papanya keluar.
"Terimakasih banyak, Pak, sudah datang." Astri ikut mengantar besannya bersama dengan Fahmi, hinggah keluar ke halaman rumahnya yang masih luas dengan ditumbuhi banyak tumbuhan buah.
"Dilan, kalian istirahat duluh, nanti sore saja kembali ke rumahmu," ucap Astri setelah tamu berpamitan.
"Iya, Bu. Kalau besuk Dilan ghak kerja, Dilan malah di sini saja duluh. Dilan kangen suasana desa ini. Dilan pingin ke Pak Kyai. Duluh waktu ngurus surat, juga belum bisa ke sana, bagaimanapun Dilan belum lama kerjanya, ghak bisa bolos sesukanya."
Dini masih bergayut manja di lengan Dilan, hinggah Dilan mengajaknya istirahat di kamar.
"Maaf, Le,... tidak seperti di rumahmu." Astri merasa tak enak hati dengan kondisi rumahnya.
"Bu, ghak usah sungkan. Kayak sama siapa saja. Bukannya dari duluh Dilan sudah tau rumah Ibu."
Astri tersenyum. "Biar Ibu saja yang gantiin pakaian pengantin Dini."
"Ghak usah, Bu. Dilan bisa kok ambil jarum-jarum di kepalanya itu."
"Terimakasih, Le," ucap Astri kembali. Lalu meninggalkan kamar Dini.
"Sini, kamu duduk," Dilan membimbing
Dini tersenyum malu.
Dengan cekatan Dilan mengambil jarum pentul yang menempel di jilbab yang dikenakan Dini.
"Jangan banyak gerak ya," himbaunya. Tak seberapa lama, dia sudah menyelesaikannya. Rambut ikal Dini kini terlihat. Rambut hitam legam itu ditali dengan tali rambut dengan posisi agak ke atas, rupanya perias sudah cukup dengan rambut Dini yang membuat jilbabnya lebih terkesan bagus. . Dilan mengurainya setelah Dini merasa tak nyaman dengan menunjuk ke rambutnya.
"Kekencengen," katanya mengadu.
"Kenapa tadi tak bilang ke mbak yang ngrias?" Dilan menelan ludahnya. Melihat betapa cantik bidadari yang di depannya kini dengan rambut terurai bergelombang sepunggung.
"Malu,"
Dilan lalu mengambil baju di kabinet. Sebuah rok santai berlengan pendek diambilnya. Dilan hampir tak mendapati baju bagus yang bisa dipakai Dini. Bajunya hanya sekedarnya saja. Sama seperti yang dia lihat saat di rumah sakit jiwa.
"Nanti sebelum ke rumahku, kita beli baju ya, Din?"
"Baju baru?"
"Heem
Wajah Dini nampak berbinar.
Dilan lalu mengambil peniti di baju pengantin Dini yang lumayan banyaknya karena tubuh kurus Dini membuat perias mengecilkan bajunya. Dia juga Melepaskan kancing belakangnya satu persatu. Dilan mengalihkan pandangannya melihat pemandangan indah di depannya.
"Aku lepas sendiri, Ziel. Kamu jangan lihat ya, aku mau ganti baju."
"Emang kenapa kalau lihat? Kita kan sudah halal. Aku juga,.." Dilan menutup mulutnya yang keceplosan. Sikap slengeannya muncul. Dia memang sedikit lelah dengan pura-pura tetap menjadi pribadi Aziel yang serius dan pendiam selama berada di rumaj sakit jiwa bersama Dini.
"Idih, kamu mulai nakal ya?"
Dilan tartawa kecil.
"Ayo, tutup mata sama bantal."
"Iya, iya." Dilan kembali terkekeh. Dia lalu membuka handphonenya. Namun Dini datang dan rebahan dis isinya. Sekejab Dilan terpana dengan wajah yang mengulas senyum itu. Rasa berdebar begitu menghantui degup jangtungnya.
"Akhirnya iIbu merestui pernikahan kita, Ziel."
Dilan masih terpana.
"Ziel, boleh aku meminta sesuatu?"
"Apa?"
"Aku ingin memelukmu."
Degup hati Dilan makin tak beraturan. Dia begitu mempesona. Ada yang bergeliak di jiwa lelakiku. Bukankah dia sudah halal bagiku? Tidak bolehkah aku lebih dari sekedar memeluk?
Mata Dini sudah mengaca. Dilan hanya bisa merengkuhnya, membenamkan wajahnya dalam dekapannya. "Kita akan cari rumah kontrakan yang mungkin bisa untuk mengembangkan usahamu sekaligus bisa untuk kita tempati," janji Dilan, "kamu jangan lagi menangis." diciumnya kening wanita yang kini terisak di pelukannya."Nanti kalau diminta orangnya lagi gimana? Susah lagi kan?" protes Dini.Dilan terkikik. "Iya juga ya," cetusnya."Nah, kurang pinter juga kamu ya, Mas.""Iya, iya, Dek. Yang pinter kan cuma kamu. Terlebih kamu pinter mencuri."Dini mendorong dada Dilan. "Maksud Mas apa?""Aduh!" Dilan yang tidak menyangka sampai berpegangan di bibir tempat tidurnya. "Kamu ini ya,.. nggak lagi sedidh, nggak lagi senang, sukanya bikin aku mau celaka terus."Dini cemberut. "Habisnya, kamu ngomong begitu." Matanya sudah kembali mengaca. "Emang aku mencuri apa kamu.""Kamu kan mencuri hatiku, Dek.""Hih! Rasain ini." Dini sudah menghujani Dilan yang turun dari tempat tidurnya dengan tabokan bantal. "A
Dini yang membuka kunci rumah, segera mempersilahkan Profesor Satya dan Amira, istrinya masuk."Silahkan masuk, Pak, Bu."Memasuki rumah, sepasang suami istri itu sudah berdecak kagum. Wanita yang masih cantik di usianya yang sudah setengah baya tu bahkan berkeliling matanya menatap seluruh ruangan itu."Terus terang kami pangling dengan rumah kami sendiri. Bukan karena catnya yang kalian ganti ini, tetapi karena penataan dan pernak pernik ruangan yang kalian terapkan, sangat cantik," puji Amira.Dilan tersenyum memandang Dini, "Semua ini dia yang ngatur, Bu. Saya mana mengerti yang begituan. Cuma izin Bapak saja waktu ganti cat. Itu pun saya juga baru tau setelah selesai ngecatnya." Dialna merasa tak enak hati. "Untung Bapak setuju, kalau tidak bisa berabe."Tawa pun menggema. "Rumah tambah bagus kok nggak suka, ya nggak mungkin, Dilan," tutur Satya."Kamu memang pintar, Din," puji Amira lagi. "Sama bunga aja kamu telaten. Apalagi dengan nata beginian. Mencerminkan banget siapa dirimu
"Assalamualaikum, Din. Mana Bu Astri?" sapa pria itu, yang ternyata Pak RT."Ke Pak Kyai, Pak," jawab Dini sambil menggeser jilbabnya yang tadi dia pakai asalan. "Mau narik iuran kampung?"Pak RT terkekeh kecil. "Iya, Din. Seperti biasanya. Ini tadi saya baru tau kalau Bu Astri sudah kembali dari rumahmu, Din. Makanya saya datang sekalian."Dini mengangguk, lalu tanpa banyak basa-basi mengeluarkan uang dari dompetnya yang tadi ditaruh di sofa setelah berbelanja, dan menyerahkannya kepada Pak RT.Hampir mau keluar, Pak RT menoleh ke arah Dini. "Oya, Nak Dini. Selamat, ya. Kamu sudah berhasil melewati Barata dengan menjadi saksi itu. Kasihan Nak Aziel. Sekarang dia bisa hidup tenang setelah misteri kematiannya terungkap."Dini terdiam sesaat, ada semburat kesedihan di wajahnya. Ia menghela napas pelan. "Iya, Pak. Kita doakan saja keputusan hakim adil. Vonisnya belum keluar."Pak RT mengangguk mantap. "Tapi Bapak sudah lihat jalannya sidang yang ditayangkan live dari TV Pesantren. Insya
"Bapak siapa?" tanya Dini, menelisik pria berkulit sawo matang yang terlihat keras itu."Saya hanya mau lihat, apa rumah ini sudah bagus." "Kalau sudah bagus, kenapa ya Pak?" "Tolong bukakan pintuny. Saya mau masuk," ucap lelaki itu dengan sikap sombongnya. Seolah-olah dialah pemilik rumah itu. "Ada perlu apa ya, Pak?" Dini masih curiga dengan pria yang tidak begitu dikenalnya. Ditatapnya penuh selidik. Terkadang dia merasa tak asing dengan wajah itu, namun dia juga ghak terlalu yakin. "Saya hanya ingin tau, apa rumah bakal mantu saya sudah bener- bener bagus. Saya sudah mengeluarkan uang banyak untuk itu. Saya harus pastikan agar nanti kalau ada kerabat yang datang tidak malu-maluin.""Berarti Anda,..?" Dilan menerka."Kamu dapat menebak saya. Saya Pak Mail juragan buah dari kampung sebelah. Saya bapaknya Fatimah.""Oala, Pak,..kirain siapa tadi." Dilan langsung menyalami pria itu.Dilan lalu berbisik ke Dini. Dini yang orang sini malah yang tidak tau. Dilan memang tau hubungan c
Dilan sudah siap-siap, siapa tau Dini akan menipunya kembali. Namun yang ada Dini malah membuka kimononya. "Mau aku tipu lagi?""Aku sudah pakai jurus jika kamu melakukan itu lagi.""Mana jurusnya?""Ini,.." Dilan menarik pinggang Dini, dan meraih tengkuknya dengan bibir yang sudah menyentuh bibir Dini.Paginya. Pagi sekali Dilan sudah mengajak Dini naik motor Fahmi yang duluh sering dipakainya."Mau ke mana sih, Mas, pagi sekali? Dingin lagi udaranya.""Mau ke pasar Subuh. Biar rambutku kering di jalan. Malu nanti dilihat Fahmi ketauan aku mandi basa. Kemarin sih ya, kita ghak bawa hairdyer.""Kenapa malunya sama Mas Fahmi, bukan sama Ibu?" cibir Dini."Dia kan temanku Dek. Belum nikah lagi. Ya, malulah."Dilan sudah menstarter motornya. Sekali, dua kali, masih tak bisa. Sampai akhirnya Fahmi keluar. Dan benar saja, untuk yang pertama kali dilihat Fahmi adalah rambutnya Dilan."Ghak dingin, subuh-subuh udah keramas. Aku aja sampai Dhuhur baru mandi.""Ih, kamu ya,..!" timpuk Dilan ma
Dini mendekat, senyumnya tetap ramah meskipun bisa melihat raut kesal di wajah perempuan paruh baya di depannya. Wanita itu, mengenakan blus batik dengan tas selempang kecil yang sudah sedikit lusuh, tampak mengangkat setangkai bunga dengan ekspresi tak percaya."Masak iya, bunga begini semahal itu?" keluhnya, matanya menyipit menatap kelopak bunga seakan-akan menyalahkannya atas harga yang dipasang.Dini, yang sudah terbiasa menghadapi berbagai macam pelanggan, tetap tenang. Ia melirik sekilas ke arah bunga di tangan wanita itu, kemudian tersenyum."Ada yang bisa saya bantu, Bu?" ulangnya, suaranya lembut, nyaris berbisik seperti belaian angin sore yang masuk melalui celah pintu toko bunga miliknya.Wanita itu menatapnya lebih dekat, seakan baru menyadari sesuatu. "Ini Mbak Dini, ya?" tanyanya dengan raut penasaran.Dini mengangguk kecil. "Iya, Bu. Ada yang bisa saya bantu?"Wanita itu mendengus kecil, masih tak rela dengan harga yang tercantum di pot tanaman itu. "Ini, Mbak. Masak i