Accueil / Romansa / MENANTU IMPIAN IBU / Bab 01. Dia, Aziel, Bu

Share

MENANTU IMPIAN IBU
MENANTU IMPIAN IBU
Auteur: HaniHadi_LTF

Bab 01. Dia, Aziel, Bu

Auteur: HaniHadi_LTF
last update Dernière mise à jour: 2024-10-02 03:56:13

"Aziel, Bu... Aziel. Dia Aziel, Bu!"

Suara Dini pecah, menggema di tengah taman rumah sakit jiwa yang lengang. Tubuhnya gemetar. Mata bening itu melebar, menatap sosok dari kejauhan dengan jari menunjuk penuh keyakinan.

Astri tercekat. Tangan tuanya refleks menggenggam jemari putrinya. Jemari yang dulu lembut kini tampak kurus dan pucat.

“Dini?”

Tubuhnya ia dekap erat, seolah takut suara itu menghilang lagi. “Alhamdulillah, akhirnya kamu mau bicara, Dhuk…”

Namun Dini menggeleng pelan, tetap menatap arah mushola kecil di ujung taman. “Itu... suaranya. Dia Aziel, Bu.”

Astri menoleh ke arah sumber suara. Lantunan ayat suci mengalun lembut dari pengeras suara mushola. Suara itu memang indah. Merdu dan menenangkan. Tapi bukan itu yang membuat Astri merinding.

Itu suara yang dikenalnya. Atau lebih tepatnya, suara yang diingat Dini, namun bagi Astri itu juga suara yang sepertinya dia kenal. Bagaimanapun dia telah lama menjadi abdi dalem pesantren dan melayani banyak siswa yang makan.

Aziel.

Nama itu seperti luka yang belum sembuh. Lelaki yang pernah mengisi hati Dini secara diam-diam di pesantren bertahun lalu. Yang membuat Dini melawan Astri, menangis, dan... akhirnya hancur.

Langkah kaki terdengar dari arah mushola. Seorang pemuda tinggi keluar, mengenakan kemeja putih polos dan peci hitam. Rambut lurusnya jatuh ke dahi, hampir menyentuh alis tebalnya.

Dia berhenti, mengambil pecinya. Wajahnya menegang saat melihat Astri.

“Bu... Astri?”

Astri nyaris tidak percaya. “Dilan? Astaghfirullah… Dilan Devangga?”

Dilan mengangguk pelan. “Saya kerja di sini sekarang, Bu. Di bagian klinis. Psikolog.”

Ia menatap gadis di samping Astri yang kini menunduk malu-malu. “Itu… Dini?”

Astri mengangguk. “Anak Ibu. Iya dia Dini, istrimu.”

Ada jeda. Udara terasa sesak. Dilan menelan ludah, matanya tak berkedip menatap Dini yang hanya membalas dengan lirikan cepat. Namun senyum malu-malu menghiasi wajahnya yang kemudian menunduk.

“Dini sakit,” lirih Astri. “Sejak… Aziel meninggal.”

Dilan mengernyit. “Aziel meninggal? Siapa dia, Bu?”

Astri menunduk, memeluk bahunya sendiri. “Saat bersama Dini. Kejadiannya rumit, Nak. Yang jelas, Aziel dibunuh saat bersama Dini. Tak tahu bagaimana kejadiannya. Setelah itu, Dini diam. Hampir setahun ini, hinggah Ibu tadi pagi membawanya ke sini sesuai saran tetangga.”

Dilan menghela napas panjang, menatap gadis yang pernah ia nikahi diam-diam atas desakan pesantren. Gadis yang saat itu belum siap. Gadis yang kini menatapnya seperti asing... dan sekaligus akrab.

“Maafkan Ibu, Nak,” suara Astri nyaris bergetar. “Ibu nggak bisa jaga dia. Dia mencintai orang lain. Dia menyebutmu Aziel... bukan Dilan.”

Ada gemuruh saat Dilan mendengar itu. Namun Dilan hanya tersenyum tipis. “Saya akan terima itu, Bu. Tapi saya tetap Dilan.”

Sejak hari itu, Dilan sering mengunjungi Dini. Tak lagi sebagai orang asing. Perlahan, Dini mulai bicara lebih banyak. Tertawa kecil. Kadang bertanya, “Kapan Aziel datang?” Dan Dilan akan menjawab dengan suara pelan, “Sudah pulang. Sekarang di sini.”

Lama-lama, dia terbiasa. Dengan senyum Dini yang belum sempurna. Dengan ucapan acak yang kadang menyakitkan. Tapi Dilan tetap di sana.

Suatu sore, saat matahari mulai turun di balik jendela rumah sakit, Dilan datang dengan sebuah pertanyaan.

“Bu,” katanya hati-hati. “Boleh saya bawa Dini pulang?”

Astri mematung. “Pulang? Maksudmu... ke rumahmu?”

“Saya ingin rawat dia di rumah, Bu. Lebih tenang. Lebih dekat. Mungkin... dia bisa sembuh.”

“Dia bukan Dini yang dulu, Le.” Mata Astri berkaca-kaca. “Dia bisa panggil kamu ‘Aziel’ kapan saja.”

Dilan menunduk, suaranya lembut. “Saya tahu. Tapi saya mencintai dia. Dan saya akan tetap bersamanya.”

Astri diam. Lalu bertanya dengan suara pelan, “Kamu yakin keluargamu setuju?”

“Kalau tidak... saya tetap bawa Dini, Bu. Saya urus sendiri.”

Astri menahan napas. Lalu berkata lirih, “Kalau dia tambah parah? Kalau semua makin hancur?”

“Saya enggak akan tinggalin dia, Bu,” ucap Dilan dengan mata berkaca. “Saya janji. Dulu dia nggak bisa terima saya, tapi sekarang saya akan tetap di sini. Untuk Dini. Untuk janji saya.”

Hening sesaat. Angin sore menyentuh pelipis mereka.

Astri mengusap mata yang mulai buram. “Ibu restui. Tapi jangan tinggalin dia. Apapun yang terjadi, jangan buat anak Ibu patah lagi.”

Dilan mengangguk pelan. “Tidak, Bu. Kali ini, saya akan pulang bersama dia.”

Sore itu, saat Dini duduk di taman dengan tangan memegang bunga plastik, dia tersenyum kecil pada Dilan yang duduk di bangku seberang.

“Aku mau pulang,” katanya pelan.

“Pulang ke rumah Aziel.”

Dilan mematung dengan menahan perkataan Dini yang mengatakan dia Aziel. Kemudian menjawab dengan suara nyaris tak terdengar, “Iya. Kita pulang, Din.”

Dan di kejauhan, matahari mulai tenggelam — bersiap membawa luka-luka lama itu pulang. Tapi tak seorang pun tahu...

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • MENANTU IMPIAN IBU   Menantu Impian Ibu 124

    Dini menyandarkan punggung ke kursi kayu dekat jendela, tangannya sibuk meraih stoples camilan yang tadi pagi dibawakan Giani. Keripik gurih itu ia kunyah pelan-pelan, seolah tak ada yang perlu dirisaukan. Perutnya memang besar, tapi wajahnya terlihat santai. Sesekali ia tersenyum sendiri ketika merasakan gerakan kecil dari bayi di rahimnya.Suara sandal berdecit di lantai terdengar dari arah pintu. Astri baru saja datang, membawa keranjang buah segar. Wajahnya sedikit lelah, tapi begitu melihat Dini masih santai ngemil, ia tertawa kecil. “Din, kamu kok malah enak-enakan ngemil, ya? Hamil tua begini biasanya orang malah rewel.”Dini pura-pura manyun, lalu menyodorkan stoples. “Coba Bu, enak banget. Makanya aku nggak bisa berhenti.”Namun tawa Astri mendadak terhenti ketika matanya menatap sesuatu. Langkahnya tertahan. Ia mengernyit, lalu cepat-cepat mendekati Dini. “Eh… Din, rok kamu… basah?”“Basah?” Dini menoleh, menepuk-nepuk bagian belakang roknya. Memang ada bercak basah yang cu

  • MENANTU IMPIAN IBU   Menantu Impian Ibu 123

    Pagi itu, senyum tak pernah lepas dari bibir Dilan. Meski langkahnya menuju parkiran sedikit tergesa, wajahnya tetap teduh, seakan ada cahaya yang menyertainya. Rekan-rekan kerjanya di rumah sakit jiwa bahkan sampai geleng kepala melihat perubahan itu."Dilan, tumben ya… senyum-senyum terus,” celetuk Evind sambil melirik berkas di tangannya.Dilan hanya terkekeh. “Biar awet muda, Vin.”“Awet muda apaan. Biasanya juga kamu serius mulu. Sekarang kayak anak SMA jatuh cinta,” sindir Evind setengah bercanda.Dilan tidak membantah, justru malah menunduk malu. Hatinya sudah penuh dengan bayangan wajah Dini. Sejak Dini hamil, setiap detik terasa begitu berarti.Jam istirahat siang, ia menelpon Dini. Suaranya bergetar menahan rindu.“Dek, kamu nggak muntah lagi, kan?” tanyanya lembut.Dini yang saat itu rebahan di kamar, menempelkan ponselnya ke telinga sambil memejamkan mata. “Alhamdulillah, nggak, Mas. Aku malah lagi ngantuk berat.”“Ya udah, istirahat aja. Jangan mikirin kuliah dulu.”Dini

  • MENANTU IMPIAN IBU   Menantu Impian Ibu 122

    Suara musik dari sound sistem berganti. Rupanya rombongan mempelai telah datang. Dini dan Dilan mengapit ibunya di depan. Di belakang mereka sudah tampak jajaran pakde dan budenya.MC memandu acara. Kali ini bukan MC Jawa. Karena mereka mengusung tema minimalis agar tidak sama dengan yang kemarin. Namun acara menyambut mempelai dengan Ibu memberinya minuman tetap dilaksanakan sebagai tradisi di desa mereka.Beda dengan kemarin yang mendudukkan kedua orang tua di pelaminan. Kali ini hanya mempelai yang di kursi kebesarannya. Nampak Fahmi yang tidak pernah memakai jas, terlihat tampan dengan jas senada dengan warna manten putri yang memakai warna seperti baju Dini. Selama ini Dini memang sering rundingan dengan masnya itu.Empat terima tamu yang terpajang di depan segera sibuk dengan memberikan bingkisan kepada undangan yang datang. Termasuk teman-teman Fahmi dan pengiring.Pak Kyai Ahyat yang datang disambut Dilan dan dipersilahkan duduk di kursi kebesaran jajaran depan yang telah disia

  • MENANTU IMPIAN IBU   Menantu Impian Ibu 121

    Pagi-pagi kembali Dini dan Dilan sudah harus ada di rumahnya. Dini harus dirias lagi untuk acara 'Walik Ajang' nama acara untuk menyambut kedua mempelai ke rumah besannya.Di depan halaman rumah Astri yang luas sudah terpasang terop dan pelaminan model minimalis. Tamu masih seperti kemarin, berdatangan dari berbagai desa di sekitar. Termasuk dari wali santri pondok yang sudah lama dan mengenal Astri sebagai abdi dalem yang sering membantu anak mereka sewaktu di pondok.Belum juga acara dimulai, terlihat dua buah mobil mewah memasuki halaman Astri. Nampak Pramono dan keluarganya datang. Demikian juga dengan keluarga Ajeng yang komplit bersama anak mereka, Sania.Astri yang sudah dirias dan membuat pangling besannya, khususnya Pramono, Ibra dan Ajeng, menyambutnya. Wanita tinggi berhidung mancung yang sebenarnya cantik itu tersenyum menyambut kedatangan besan mereka yang tidak disangka-sangkanya. Apalagi dengan keluarga besarnya."Ibu Kak Dini ternyata juga cantik ya," celetuk Kanaya, "p

  • MENANTU IMPIAN IBU   Menantu Impian Ibu 120

    Hari-hari sibuk Dini pun dimulai setelah dia mentyelesaikan ospeknya. Di kebunnya akhirnya dia menambah dua asisten baru yang membantu Harti. Dini hanya mengontrolnya sewaktu-waktu sambil terus promosi medsos. Keberadaan Binar pun juga menjadi hiburan Dini dan Dilan. Terlebih Dilan yang kadang malah mengajaknya jalan-jalan bersama Dini."Dek, jadi berapa hari kita di Ibu?""Terserah Mas, sih, aku masuk kuliah baru munggu depan.""Aku ambil cuti kan seminggu, sambil kita hoenymoon di sana, yuk! Kita sewa resort di puncak. Kan ghak jauh dengan Ibu,""Memangnya kenapa, Mas, pakek sewa resort?""Kamu kayak ghak ngerti orang desa sana. Kan yang bantuin banyak. itu pun ghak cuma satu dua hari. Tiga bahkan empat hari. Apalagi Fahmi jadi meramaikan pernikahannya. Ghak lagi sepi-sepi setelah toko bunganya maju.""Lalu?""Udara disana kan dingin.""Terus?""Ih, aku jitak ya, kamu! Dasar anak kecil ghak faham-faham."Dini terkekeh dengan kemarahan Dilan."Ok, Ok! Kamu malu keramasnya?"Dilan tert

  • MENANTU IMPIAN IBU   Menantu impian Ibu 119

    “Pisah! Pisah dulu!” suara lantang petugas pengadilan membuat ruangan yang sejak tadi riuh mendadak menegang. Dua orang yang sempat bersitegang segera dipisahkan. Dini menghela napas berat, tubuhnya terasa kaku. Ajeng di sampingnya pun melakukan hal yang sama, wajahnya pucat namun matanya menyala oleh amarah dan luka yang belum sembuh.Tak lama kemudian, suara protokol menggema. “Sidang perkara akan segera dibuka.”Semua orang bersiap. Danu yang duduk di bangku terdakwa, menegakkan tubuhnya. Wajahnya kaku, tetapi matanya tak pernah lepas dari Dini. Pandangannya tajam, seakan ingin menusuk setiap jengkal hati perempuan itu. Dini bisa merasakan bulu kuduknya meremang.Pramono datang bersama Giani. Lelaki itu menarik kursi di sisi Dini, lalu menunduk, membisikkan sesuatu. “Tenang, Din. Jangan goyah, semua akan berakhir hari ini.”Belum sempat Dini menanggapi, langkah cepat Kanaya terdengar. Gadis itu menepuk bahu Pramono ringan. “Pa, biar aku aja di sini,” ucapnya. Tanpa menunggu jawaban

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status