Home / Romansa / MENANTU IMPIAN IBU / Bab 07. Cewek untuk Dilan.

Share

Bab 07. Cewek untuk Dilan.

Author: HaniHadi_LTF
last update Last Updated: 2024-10-02 04:02:39

Giani merasa tak enak hati dengan yang dilakukan Dilan. Namun setelah Dilan menyalami Bramantyo, papanya Sisil, dia menjadi lebih lunak.

"Maaf, anakku yang satu ini dari kecil hidup di pesantren, jadi tolong dimaklumi," ujar pramono, 

"Sini Dilan, duduk dekat Sisil," Rena, mamanya Sisil mempersilahkan Dilan. Namun Dilan hanya tersenyum.

"Di sini saja, Tan."

"Sisil ini teman satu fakultas sama Kanaya," jelas Rena.

Dilan mengangguk, dia dapat melihat Kanaya yang begitu akrap dengannya hinggah sering cekikikan bersama.

"Kita makan, yuk,.. ngobrolnya sambil makan saja," ajak Giani.

"Dia anak tunggal Tante Rena, lho, Dilan," kata Giani berusaha mengakrabkan Dilan dengan Sisil yang memang cantik dengan body aduhai itu. Tubuhnya yang tinggi proporsional dibalut gaun peach dengan lengan pendek, menampakkan kulit mulusnya yang sedikit terbuka.

"Dia pintar lho, Kak," kata Kanaya begitu mereka  setelah makan duduk di taman dekat kolam.

"Heem, aku dapat melihatnya."

"Sisil, dia kakakku yang the best," ujar Kanaya lagi, "kamu ghak akan menemukan orang sebaik dia di dunia manapun."

"Adik aku sponsor, nih."

"Emang bener begitu," kata Kanaya yang sudah menggayut manja di lengan Dilan. Dia memang dekat dengan Dilan. 

"Kak, tau ghak, Sisil itu sudah terjun di dunia bisnis membantu orangtuanya sejak SMA, menangani kontrak-kontrak besar dia sudah biasa."

"Wah, hebat, dong."

"Iya, ghak kayak Kakak, sukanya nangani pasien rumah sakit. Mending pasien biasa, ini Kakak pasien gila."

Dilan hanya ngakak. Sementara Sisil begitu antusias dengan apa yang dibicarakan Kanaya. 

"Justru yang hebat itu kakakmu, Nay,.. dia bisa urus orang-orang seperti itu."

"Ei, kalian sudah akrab rupanya. Tante dengar kalian bahkan tertawa." Giani yang datang merasa senang dengan Dilan yang terlihat ceria dengan tawa kerasnya yang khas.

"Emang dia suka tertawa ngakak ya, Tan?"

"Heem, dia paling suka renyah kalau tertawa. Kalian pasti cocok kalau jalan bareng."

Dilan mendekati mamanya. "Ma, apa maksud Mama dengan perkataan itu?" 

Giani memamerkan senyumnya ke Sisil, "Kami bermaksud menjodohkan kalian."

"Mama berfikir ghak, Dilan sudah memiliki Dini."

"Perkawianan macam apa yang kaujanjikan dalam hidup dengan bersama orang gila?"

"Kenapa tidak Davin saja, Ma?" protes Dilan, "dia cocok dengan Sisil yang sesama pebisnis. Usaha Mama akan maju pesat dengan menggandengkan mereka berdua."

 "Kamu ngerti ghak sih, Mama menghawatirkan masa depanmu? Kamu memilih profesi itu silahkan, tapi apa yang kamu dapat tidak akan sebesar menjadi pengusaha. Sisil yang akan memberikan itu ke kamu."

"Tapi, Ma,.."

"Aku tidak akan mengusik pernikahan kalian selama kamu mau menuruti Mama. Kamu bisa sembuhkan Dini. Setelah itu kita lihat saja nanti. Kamu tidak akan menyesal setelah mengenal Sisil," ucap Giani masih dengan sesekali melempar senyumnya ke Sisil. " bukankah kamu berkata sama Mama, tujuanmu hanya untuk menyembuhkan gadis itu? "

Dilan mengacak rambutnya. Kini dia tau, kenapa Davin malah tidak diajak dalam jamuan makan malam ini. Selain Davin memang sesukanya dia jika setelah kerja, apalagi malam minggu, dia akan begadang dengan teman-temannya sampai malam, dan pulang mendekati subuh. Terkadang dengan bau alkohol.

"Kak, sini,.." Kanaya memanggil. Dilan yang pikirannya sudah tak lagi seger mendengar kata-kata mamanya, inginnnya dia menjauh, namun melihat Kanaya yang kembali baik kepadanya, dia tak bisa menolak. Kanaya memang sempat menjahui Dilan saat dia memilih Dini.

"Sisil, sudah malam, ayo pulang." Rena muncul dengan mengajak Sisil pulang.

"Iya, Mi," sahut Sisil sambil berdiri.

Dilan merasa lega dengan tak lagi pura-pura terus menemani Sisil.

"Sering main ke sini ya, Sil. Dilan tuh suka kalau kamu ke sini," ucap Giani saat mengantar keluarga itu ke luar. Sisil selintas memandang dengan senyum.

Dilan meredam perasaannya dengan ucapan mamanya. Kemudian segera beranjak ke kamarnya.

"Ingat yang Mama katakan, Dilan. Mama tidak main-main."

Dilan hanya mendengar tanpa menyahut teriakan Giani. Dia segera membuka pintu. Dilihatnya Dini masih tertidur pulas, demikian juga dengan Imah, yang tidur di lantai bawah, di karpet dekat TV dengan TV yang masih menyala.

"Bu, bangun!" Dilan menyentuh tangan Ima. Wanita setengah tua itu mengerjap.

"Maaf, Den,.. ketiduran."

"Ghak apa, Bu. Lagian yang Ibu jaga juga masih tidur lelap."

Ima tersenyum memandang Dini. Dia tau, Dini pasti kelelahan setelah apa yang dia kerjakan hari ini.

"Lagian, kenapa juga Ibu tidur di sini? Ibu kan bisa temani Dini dengan di atas?"

Ima hanya tersenyum. Dilan memang tak pernah membedakan siapa dirinya. Dia sudah diperlakukan dengan baik selama dia bekerja di rumah ini, sejak opanya masih hidup.

"Saya permisi duluh, Den."

Dilan yang baru teringat dengan apa yang akan ditanyakan, mengejar Ima sampai ke pintu. Namun tidak jadi saat melihat Ima sudah menutup kamarnya yang letaknya berjejer dengan kamar Sekar di ujung rumah ini. Besuk saja, pikirnya.

Dilan kembali ke kamar. Dilihatnya Dini masih tidur pulas. Dipeluknya Dini hangat dengan mata yang kembali mengaca. Segeralah sembuh Dini, aku tidak sabar melihatmu kembali sembuh. Aku ingin tau, apa setelah sembuh kamu bisa menerimaku atau masih membenciku lagi seperti duluh?

Dilan meraba-raba sampingnya. Masih mengantuk, dia mendapati Dini yang tak lagi di sisinya. Dengan cepat dia bangun. Dilihatnya kamar mandi, namun dia juga tak menemukan Dini. Dengan bergegas Dilan keluar, mencari keberadaan Dini.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MENANTU IMPIAN IBU   Menantu Impian Ibu 124

    Dini menyandarkan punggung ke kursi kayu dekat jendela, tangannya sibuk meraih stoples camilan yang tadi pagi dibawakan Giani. Keripik gurih itu ia kunyah pelan-pelan, seolah tak ada yang perlu dirisaukan. Perutnya memang besar, tapi wajahnya terlihat santai. Sesekali ia tersenyum sendiri ketika merasakan gerakan kecil dari bayi di rahimnya.Suara sandal berdecit di lantai terdengar dari arah pintu. Astri baru saja datang, membawa keranjang buah segar. Wajahnya sedikit lelah, tapi begitu melihat Dini masih santai ngemil, ia tertawa kecil. “Din, kamu kok malah enak-enakan ngemil, ya? Hamil tua begini biasanya orang malah rewel.”Dini pura-pura manyun, lalu menyodorkan stoples. “Coba Bu, enak banget. Makanya aku nggak bisa berhenti.”Namun tawa Astri mendadak terhenti ketika matanya menatap sesuatu. Langkahnya tertahan. Ia mengernyit, lalu cepat-cepat mendekati Dini. “Eh… Din, rok kamu… basah?”“Basah?” Dini menoleh, menepuk-nepuk bagian belakang roknya. Memang ada bercak basah yang cu

  • MENANTU IMPIAN IBU   Menantu Impian Ibu 123

    Pagi itu, senyum tak pernah lepas dari bibir Dilan. Meski langkahnya menuju parkiran sedikit tergesa, wajahnya tetap teduh, seakan ada cahaya yang menyertainya. Rekan-rekan kerjanya di rumah sakit jiwa bahkan sampai geleng kepala melihat perubahan itu."Dilan, tumben ya… senyum-senyum terus,” celetuk Evind sambil melirik berkas di tangannya.Dilan hanya terkekeh. “Biar awet muda, Vin.”“Awet muda apaan. Biasanya juga kamu serius mulu. Sekarang kayak anak SMA jatuh cinta,” sindir Evind setengah bercanda.Dilan tidak membantah, justru malah menunduk malu. Hatinya sudah penuh dengan bayangan wajah Dini. Sejak Dini hamil, setiap detik terasa begitu berarti.Jam istirahat siang, ia menelpon Dini. Suaranya bergetar menahan rindu.“Dek, kamu nggak muntah lagi, kan?” tanyanya lembut.Dini yang saat itu rebahan di kamar, menempelkan ponselnya ke telinga sambil memejamkan mata. “Alhamdulillah, nggak, Mas. Aku malah lagi ngantuk berat.”“Ya udah, istirahat aja. Jangan mikirin kuliah dulu.”Dini

  • MENANTU IMPIAN IBU   Menantu Impian Ibu 122

    Suara musik dari sound sistem berganti. Rupanya rombongan mempelai telah datang. Dini dan Dilan mengapit ibunya di depan. Di belakang mereka sudah tampak jajaran pakde dan budenya.MC memandu acara. Kali ini bukan MC Jawa. Karena mereka mengusung tema minimalis agar tidak sama dengan yang kemarin. Namun acara menyambut mempelai dengan Ibu memberinya minuman tetap dilaksanakan sebagai tradisi di desa mereka.Beda dengan kemarin yang mendudukkan kedua orang tua di pelaminan. Kali ini hanya mempelai yang di kursi kebesarannya. Nampak Fahmi yang tidak pernah memakai jas, terlihat tampan dengan jas senada dengan warna manten putri yang memakai warna seperti baju Dini. Selama ini Dini memang sering rundingan dengan masnya itu.Empat terima tamu yang terpajang di depan segera sibuk dengan memberikan bingkisan kepada undangan yang datang. Termasuk teman-teman Fahmi dan pengiring.Pak Kyai Ahyat yang datang disambut Dilan dan dipersilahkan duduk di kursi kebesaran jajaran depan yang telah disia

  • MENANTU IMPIAN IBU   Menantu Impian Ibu 121

    Pagi-pagi kembali Dini dan Dilan sudah harus ada di rumahnya. Dini harus dirias lagi untuk acara 'Walik Ajang' nama acara untuk menyambut kedua mempelai ke rumah besannya.Di depan halaman rumah Astri yang luas sudah terpasang terop dan pelaminan model minimalis. Tamu masih seperti kemarin, berdatangan dari berbagai desa di sekitar. Termasuk dari wali santri pondok yang sudah lama dan mengenal Astri sebagai abdi dalem yang sering membantu anak mereka sewaktu di pondok.Belum juga acara dimulai, terlihat dua buah mobil mewah memasuki halaman Astri. Nampak Pramono dan keluarganya datang. Demikian juga dengan keluarga Ajeng yang komplit bersama anak mereka, Sania.Astri yang sudah dirias dan membuat pangling besannya, khususnya Pramono, Ibra dan Ajeng, menyambutnya. Wanita tinggi berhidung mancung yang sebenarnya cantik itu tersenyum menyambut kedatangan besan mereka yang tidak disangka-sangkanya. Apalagi dengan keluarga besarnya."Ibu Kak Dini ternyata juga cantik ya," celetuk Kanaya, "p

  • MENANTU IMPIAN IBU   Menantu Impian Ibu 120

    Hari-hari sibuk Dini pun dimulai setelah dia mentyelesaikan ospeknya. Di kebunnya akhirnya dia menambah dua asisten baru yang membantu Harti. Dini hanya mengontrolnya sewaktu-waktu sambil terus promosi medsos. Keberadaan Binar pun juga menjadi hiburan Dini dan Dilan. Terlebih Dilan yang kadang malah mengajaknya jalan-jalan bersama Dini."Dek, jadi berapa hari kita di Ibu?""Terserah Mas, sih, aku masuk kuliah baru munggu depan.""Aku ambil cuti kan seminggu, sambil kita hoenymoon di sana, yuk! Kita sewa resort di puncak. Kan ghak jauh dengan Ibu,""Memangnya kenapa, Mas, pakek sewa resort?""Kamu kayak ghak ngerti orang desa sana. Kan yang bantuin banyak. itu pun ghak cuma satu dua hari. Tiga bahkan empat hari. Apalagi Fahmi jadi meramaikan pernikahannya. Ghak lagi sepi-sepi setelah toko bunganya maju.""Lalu?""Udara disana kan dingin.""Terus?""Ih, aku jitak ya, kamu! Dasar anak kecil ghak faham-faham."Dini terkekeh dengan kemarahan Dilan."Ok, Ok! Kamu malu keramasnya?"Dilan tert

  • MENANTU IMPIAN IBU   Menantu impian Ibu 119

    “Pisah! Pisah dulu!” suara lantang petugas pengadilan membuat ruangan yang sejak tadi riuh mendadak menegang. Dua orang yang sempat bersitegang segera dipisahkan. Dini menghela napas berat, tubuhnya terasa kaku. Ajeng di sampingnya pun melakukan hal yang sama, wajahnya pucat namun matanya menyala oleh amarah dan luka yang belum sembuh.Tak lama kemudian, suara protokol menggema. “Sidang perkara akan segera dibuka.”Semua orang bersiap. Danu yang duduk di bangku terdakwa, menegakkan tubuhnya. Wajahnya kaku, tetapi matanya tak pernah lepas dari Dini. Pandangannya tajam, seakan ingin menusuk setiap jengkal hati perempuan itu. Dini bisa merasakan bulu kuduknya meremang.Pramono datang bersama Giani. Lelaki itu menarik kursi di sisi Dini, lalu menunduk, membisikkan sesuatu. “Tenang, Din. Jangan goyah, semua akan berakhir hari ini.”Belum sempat Dini menanggapi, langkah cepat Kanaya terdengar. Gadis itu menepuk bahu Pramono ringan. “Pa, biar aku aja di sini,” ucapnya. Tanpa menunggu jawaban

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status