Giani merasa tak enak hati dengan yang dilakukan Dilan. Namun setelah Dilan menyalami Bramantyo, papanya Sisil, dia menjadi lebih lunak.
"Maaf, anakku yang satu ini dari kecil hidup di pesantren, jadi tolong dimaklumi," ujar pramono,
"Sini Dilan, duduk dekat Sisil," Rena, mamanya Sisil mempersilahkan Dilan. Namun Dilan hanya tersenyum.
"Di sini saja, Tan."
"Sisil ini teman satu fakultas sama Kanaya," jelas Rena.
Dilan mengangguk, dia dapat melihat Kanaya yang begitu akrap dengannya hinggah sering cekikikan bersama.
"Kita makan, yuk,.. ngobrolnya sambil makan saja," ajak Giani.
"Dia anak tunggal Tante Rena, lho, Dilan," kata Giani berusaha mengakrabkan Dilan dengan Sisil yang memang cantik dengan body aduhai itu. Tubuhnya yang tinggi proporsional dibalut gaun peach dengan lengan pendek, menampakkan kulit mulusnya yang sedikit terbuka.
"Dia pintar lho, Kak," kata Kanaya begitu mereka setelah makan duduk di taman dekat kolam.
"Heem, aku dapat melihatnya."
"Sisil, dia kakakku yang the best," ujar Kanaya lagi, "kamu ghak akan menemukan orang sebaik dia di dunia manapun."
"Adik aku sponsor, nih."
"Emang bener begitu," kata Kanaya yang sudah menggayut manja di lengan Dilan. Dia memang dekat dengan Dilan.
"Kak, tau ghak, Sisil itu sudah terjun di dunia bisnis membantu orangtuanya sejak SMA, menangani kontrak-kontrak besar dia sudah biasa."
"Wah, hebat, dong."
"Iya, ghak kayak Kakak, sukanya nangani pasien rumah sakit. Mending pasien biasa, ini Kakak pasien gila."
Dilan hanya ngakak. Sementara Sisil begitu antusias dengan apa yang dibicarakan Kanaya.
"Justru yang hebat itu kakakmu, Nay,.. dia bisa urus orang-orang seperti itu."
"Ei, kalian sudah akrab rupanya. Tante dengar kalian bahkan tertawa." Giani yang datang merasa senang dengan Dilan yang terlihat ceria dengan tawa kerasnya yang khas.
"Emang dia suka tertawa ngakak ya, Tan?"
"Heem, dia paling suka renyah kalau tertawa. Kalian pasti cocok kalau jalan bareng."
Dilan mendekati mamanya. "Ma, apa maksud Mama dengan perkataan itu?"
Giani memamerkan senyumnya ke Sisil, "Kami bermaksud menjodohkan kalian."
"Mama berfikir ghak, Dilan sudah memiliki Dini."
"Perkawianan macam apa yang kaujanjikan dalam hidup dengan bersama orang gila?"
"Kenapa tidak Davin saja, Ma?" protes Dilan, "dia cocok dengan Sisil yang sesama pebisnis. Usaha Mama akan maju pesat dengan menggandengkan mereka berdua."
"Kamu ngerti ghak sih, Mama menghawatirkan masa depanmu? Kamu memilih profesi itu silahkan, tapi apa yang kamu dapat tidak akan sebesar menjadi pengusaha. Sisil yang akan memberikan itu ke kamu."
"Tapi, Ma,.."
"Aku tidak akan mengusik pernikahan kalian selama kamu mau menuruti Mama. Kamu bisa sembuhkan Dini. Setelah itu kita lihat saja nanti. Kamu tidak akan menyesal setelah mengenal Sisil," ucap Giani masih dengan sesekali melempar senyumnya ke Sisil. " bukankah kamu berkata sama Mama, tujuanmu hanya untuk menyembuhkan gadis itu? "
Dilan mengacak rambutnya. Kini dia tau, kenapa Davin malah tidak diajak dalam jamuan makan malam ini. Selain Davin memang sesukanya dia jika setelah kerja, apalagi malam minggu, dia akan begadang dengan teman-temannya sampai malam, dan pulang mendekati subuh. Terkadang dengan bau alkohol.
"Kak, sini,.." Kanaya memanggil. Dilan yang pikirannya sudah tak lagi seger mendengar kata-kata mamanya, inginnnya dia menjauh, namun melihat Kanaya yang kembali baik kepadanya, dia tak bisa menolak. Kanaya memang sempat menjahui Dilan saat dia memilih Dini.
"Sisil, sudah malam, ayo pulang." Rena muncul dengan mengajak Sisil pulang.
"Iya, Mi," sahut Sisil sambil berdiri.
Dilan merasa lega dengan tak lagi pura-pura terus menemani Sisil.
"Sering main ke sini ya, Sil. Dilan tuh suka kalau kamu ke sini," ucap Giani saat mengantar keluarga itu ke luar. Sisil selintas memandang dengan senyum.
Dilan meredam perasaannya dengan ucapan mamanya. Kemudian segera beranjak ke kamarnya.
"Ingat yang Mama katakan, Dilan. Mama tidak main-main."
Dilan hanya mendengar tanpa menyahut teriakan Giani. Dia segera membuka pintu. Dilihatnya Dini masih tertidur pulas, demikian juga dengan Imah, yang tidur di lantai bawah, di karpet dekat TV dengan TV yang masih menyala.
"Bu, bangun!" Dilan menyentuh tangan Ima. Wanita setengah tua itu mengerjap.
"Maaf, Den,.. ketiduran."
"Ghak apa, Bu. Lagian yang Ibu jaga juga masih tidur lelap."
Ima tersenyum memandang Dini. Dia tau, Dini pasti kelelahan setelah apa yang dia kerjakan hari ini.
"Lagian, kenapa juga Ibu tidur di sini? Ibu kan bisa temani Dini dengan di atas?"
Ima hanya tersenyum. Dilan memang tak pernah membedakan siapa dirinya. Dia sudah diperlakukan dengan baik selama dia bekerja di rumah ini, sejak opanya masih hidup.
"Saya permisi duluh, Den."
Dilan yang baru teringat dengan apa yang akan ditanyakan, mengejar Ima sampai ke pintu. Namun tidak jadi saat melihat Ima sudah menutup kamarnya yang letaknya berjejer dengan kamar Sekar di ujung rumah ini. Besuk saja, pikirnya.
Dilan kembali ke kamar. Dilihatnya Dini masih tidur pulas. Dipeluknya Dini hangat dengan mata yang kembali mengaca. Segeralah sembuh Dini, aku tidak sabar melihatmu kembali sembuh. Aku ingin tau, apa setelah sembuh kamu bisa menerimaku atau masih membenciku lagi seperti duluh?
Dilan meraba-raba sampingnya. Masih mengantuk, dia mendapati Dini yang tak lagi di sisinya. Dengan cepat dia bangun. Dilihatnya kamar mandi, namun dia juga tak menemukan Dini. Dengan bergegas Dilan keluar, mencari keberadaan Dini.
Mata Dini sudah mengaca. Dilan hanya bisa merengkuhnya, membenamkan wajahnya dalam dekapannya. "Kita akan cari rumah kontrakan yang mungkin bisa untuk mengembangkan usahamu sekaligus bisa untuk kita tempati," janji Dilan, "kamu jangan lagi menangis." diciumnya kening wanita yang kini terisak di pelukannya."Nanti kalau diminta orangnya lagi gimana? Susah lagi kan?" protes Dini.Dilan terkikik. "Iya juga ya," cetusnya."Nah, kurang pinter juga kamu ya, Mas.""Iya, iya, Dek. Yang pinter kan cuma kamu. Terlebih kamu pinter mencuri."Dini mendorong dada Dilan. "Maksud Mas apa?""Aduh!" Dilan yang tidak menyangka sampai berpegangan di bibir tempat tidurnya. "Kamu ini ya,.. nggak lagi sedidh, nggak lagi senang, sukanya bikin aku mau celaka terus."Dini cemberut. "Habisnya, kamu ngomong begitu." Matanya sudah kembali mengaca. "Emang aku mencuri apa kamu.""Kamu kan mencuri hatiku, Dek.""Hih! Rasain ini." Dini sudah menghujani Dilan yang turun dari tempat tidurnya dengan tabokan bantal. "A
Dini yang membuka kunci rumah, segera mempersilahkan Profesor Satya dan Amira, istrinya masuk."Silahkan masuk, Pak, Bu."Memasuki rumah, sepasang suami istri itu sudah berdecak kagum. Wanita yang masih cantik di usianya yang sudah setengah baya tu bahkan berkeliling matanya menatap seluruh ruangan itu."Terus terang kami pangling dengan rumah kami sendiri. Bukan karena catnya yang kalian ganti ini, tetapi karena penataan dan pernak pernik ruangan yang kalian terapkan, sangat cantik," puji Amira.Dilan tersenyum memandang Dini, "Semua ini dia yang ngatur, Bu. Saya mana mengerti yang begituan. Cuma izin Bapak saja waktu ganti cat. Itu pun saya juga baru tau setelah selesai ngecatnya." Dialna merasa tak enak hati. "Untung Bapak setuju, kalau tidak bisa berabe."Tawa pun menggema. "Rumah tambah bagus kok nggak suka, ya nggak mungkin, Dilan," tutur Satya."Kamu memang pintar, Din," puji Amira lagi. "Sama bunga aja kamu telaten. Apalagi dengan nata beginian. Mencerminkan banget siapa dirimu
"Assalamualaikum, Din. Mana Bu Astri?" sapa pria itu, yang ternyata Pak RT."Ke Pak Kyai, Pak," jawab Dini sambil menggeser jilbabnya yang tadi dia pakai asalan. "Mau narik iuran kampung?"Pak RT terkekeh kecil. "Iya, Din. Seperti biasanya. Ini tadi saya baru tau kalau Bu Astri sudah kembali dari rumahmu, Din. Makanya saya datang sekalian."Dini mengangguk, lalu tanpa banyak basa-basi mengeluarkan uang dari dompetnya yang tadi ditaruh di sofa setelah berbelanja, dan menyerahkannya kepada Pak RT.Hampir mau keluar, Pak RT menoleh ke arah Dini. "Oya, Nak Dini. Selamat, ya. Kamu sudah berhasil melewati Barata dengan menjadi saksi itu. Kasihan Nak Aziel. Sekarang dia bisa hidup tenang setelah misteri kematiannya terungkap."Dini terdiam sesaat, ada semburat kesedihan di wajahnya. Ia menghela napas pelan. "Iya, Pak. Kita doakan saja keputusan hakim adil. Vonisnya belum keluar."Pak RT mengangguk mantap. "Tapi Bapak sudah lihat jalannya sidang yang ditayangkan live dari TV Pesantren. Insya
"Bapak siapa?" tanya Dini, menelisik pria berkulit sawo matang yang terlihat keras itu."Saya hanya mau lihat, apa rumah ini sudah bagus." "Kalau sudah bagus, kenapa ya Pak?" "Tolong bukakan pintuny. Saya mau masuk," ucap lelaki itu dengan sikap sombongnya. Seolah-olah dialah pemilik rumah itu. "Ada perlu apa ya, Pak?" Dini masih curiga dengan pria yang tidak begitu dikenalnya. Ditatapnya penuh selidik. Terkadang dia merasa tak asing dengan wajah itu, namun dia juga ghak terlalu yakin. "Saya hanya ingin tau, apa rumah bakal mantu saya sudah bener- bener bagus. Saya sudah mengeluarkan uang banyak untuk itu. Saya harus pastikan agar nanti kalau ada kerabat yang datang tidak malu-maluin.""Berarti Anda,..?" Dilan menerka."Kamu dapat menebak saya. Saya Pak Mail juragan buah dari kampung sebelah. Saya bapaknya Fatimah.""Oala, Pak,..kirain siapa tadi." Dilan langsung menyalami pria itu.Dilan lalu berbisik ke Dini. Dini yang orang sini malah yang tidak tau. Dilan memang tau hubungan c
Dilan sudah siap-siap, siapa tau Dini akan menipunya kembali. Namun yang ada Dini malah membuka kimononya. "Mau aku tipu lagi?""Aku sudah pakai jurus jika kamu melakukan itu lagi.""Mana jurusnya?""Ini,.." Dilan menarik pinggang Dini, dan meraih tengkuknya dengan bibir yang sudah menyentuh bibir Dini.Paginya. Pagi sekali Dilan sudah mengajak Dini naik motor Fahmi yang duluh sering dipakainya."Mau ke mana sih, Mas, pagi sekali? Dingin lagi udaranya.""Mau ke pasar Subuh. Biar rambutku kering di jalan. Malu nanti dilihat Fahmi ketauan aku mandi basa. Kemarin sih ya, kita ghak bawa hairdyer.""Kenapa malunya sama Mas Fahmi, bukan sama Ibu?" cibir Dini."Dia kan temanku Dek. Belum nikah lagi. Ya, malulah."Dilan sudah menstarter motornya. Sekali, dua kali, masih tak bisa. Sampai akhirnya Fahmi keluar. Dan benar saja, untuk yang pertama kali dilihat Fahmi adalah rambutnya Dilan."Ghak dingin, subuh-subuh udah keramas. Aku aja sampai Dhuhur baru mandi.""Ih, kamu ya,..!" timpuk Dilan ma
Dini mendekat, senyumnya tetap ramah meskipun bisa melihat raut kesal di wajah perempuan paruh baya di depannya. Wanita itu, mengenakan blus batik dengan tas selempang kecil yang sudah sedikit lusuh, tampak mengangkat setangkai bunga dengan ekspresi tak percaya."Masak iya, bunga begini semahal itu?" keluhnya, matanya menyipit menatap kelopak bunga seakan-akan menyalahkannya atas harga yang dipasang.Dini, yang sudah terbiasa menghadapi berbagai macam pelanggan, tetap tenang. Ia melirik sekilas ke arah bunga di tangan wanita itu, kemudian tersenyum."Ada yang bisa saya bantu, Bu?" ulangnya, suaranya lembut, nyaris berbisik seperti belaian angin sore yang masuk melalui celah pintu toko bunga miliknya.Wanita itu menatapnya lebih dekat, seakan baru menyadari sesuatu. "Ini Mbak Dini, ya?" tanyanya dengan raut penasaran.Dini mengangguk kecil. "Iya, Bu. Ada yang bisa saya bantu?"Wanita itu mendengus kecil, masih tak rela dengan harga yang tercantum di pot tanaman itu. "Ini, Mbak. Masak i