Dilan dengan tak sabar mencari keberadaan Dini. Dia seperti orang yang sudah kesurupan. Baru juga dia beranjak pergi ke taman di belakang, dia menemukan makanan yang tercecer di bawah dekat meja makan. "Ternyata kamu kelaparan, Din," gumannya pelan. Dilan merasa bersalah, kenapa dia tak menyediakan roti atau apa di kamarnya.
Dilan kembali mencari keberadaan Dini dengan ke taman belakang. Terdengar raungan menyayat. Dilan yang tidak menyangka sama sekali mendekat. Menarik pria yang tak lain adalah adiknya sendiri dari tubuh Dini yang ditindihnya di balai dekat taman. Dipukulnya keras pria yang tubuhnya lebih besar dari dirinya itu hinggah terjungkal.
Dini yang ketakutan segera menghambur memeluk Dilan.
"Bisa-bisanya kamu melakukan ini. Tidak taukah kamu siapa dia?"
"Dia hanya wanita gila yang kaubawa kemari." Dengan sempoyongan Davin memegangi bibirnya yang keluar darah
"Yang kausebut wanita gila itu istriku, Davin!"
Ramai yang terjadi membuat Ima dan Sekar yang kamarnya dekat taman, berlarian menghampiri. Sekar kemudian memanggil majikannya.
"Kamu bikin ulah apa, Davin?" tanya Pramono.
"Davin, bibirmu berdarah. Siapa yang melakukan ini?"
"Menurut Mama siapa kalau bukan aku?" Dilan lalu merangkul Dini yang pakaianya tercabik dan menampakkan bagian atasnya yang robek.
"Belum apa-apa kamu sudah buat onar di sini. Dasar wanita gila!"
"Bisa-bisanya Mama membela Davin dengan mengatai Dini seperti itu? Kesalahan apa yang dibuat Dini hinggah dilecehkan seperti ini?"
"Dia yang pasti menggoda Davin."
"Mama sadar ghak sih, siapa Dini? Jangankan dia memikirkan menggoda pria, memikirkan dirinya sendiri saja dia tak mampu." Dilan lalu memapah Dini ke kamarnya. Dipeluknya Dini erat. Mata elang yang biasa berpijar ceria itu kini buram dengan air yang siap tumpah di sudutnya.
"Maafkn, Mas,...Din. Mas tidak bisa menjagamu."
"Dini takut!"
"Maafkan, Mas." Dilan sudah tak kuasa lagi membendung airmatanya.
Terdengar bunyi di perut Dini. "Kamu lapar?"
Dini mengangguk.
"Barusan Subuh, kita sholat duluh, ya,.. habis itu kita makan di luar sambil jalan-jalan."
Dini mengangguk. Dia bahkan mengambil pakaian untuk ganti dengan membawanya ke kamar mandi.
Dilan menatap Dini yang keluar dengan segar. Direngkuhnya kembali Dini.
"Mandi juga, ya,..kamu bau habis mukuli orang."
Dilan terkekeh mendengar kata-kata Dini
"Mau makan nasi pecel?" tanya Dilan setelah mereka sampai di warung.
"Kamu kenapa?" tanya Dilan dengan mengusap airmata Dini dengan ujung jarinya saat makanan disajikan.
"Ibu." Dini teringat ibunya. Makanan seperti inilah yang bisa Dini dapati di rumahnya.
"Makanlah, kamu harus makan dengan kenyang agar tak kurus kerempeng seperti itu. Kapan-kapan kalau Mas ada libur lumayan, kita bisa dolan ke Ibu. Biar Ibu senang kalau lihat kamu seger."
"Emang kamu juga pingin aku gendut?"
"Ya, ghak gendut-gendut amat sih, yang penting seger saja," ucap Dilan sambil merangkul Dini. "biar aku makin,.." Dilan mengerlingkan matanya.
"Tuh, kan, jadi orang lain lagi. "
Dilan terkekeh. Dia sudah tak ingin menggantikan pribadinya dengan menjadi orang kalem seperti Aziel.
"Bagaimana? Enak ghak pecelnya?"
"Heem. Enak. Kayak masakan Ibu," ujar Dini dengan masih mengunyah makanan di mulutnya dengan belepotan. Dilan mengambil tisu dan mengelap mulut di depannya dengan tersenyum geli. Apapun yang dilakukan Dini, bagi Dilan, lucu saja.
Dilan mengajak Dini mampir di toko roti yang tak jauh dari mereka makan. Dia ingat Dini yang tadi malam kelaparan sampai keluar dari kamarnya. Kembali Dilan teringat kejadian malam itu. Walau Davin tak sadar karena dalam pegaruh alkohol, Dilan menjadi kuatir dengan Dini.
Dilan keluar dari mobilnya setelah mereka sampai di rumah. Belum juga dia mengeluarkan Dini, dia sudah dikejutkan dengan wanita yang kini tengah duduk-duduk di depan rumahnya.
"Ummi,... kapan Ummi datang? Kenapa ghak bilang-bilang?"
"Biar kejutan untuk kamu," ucap Ajeng lalu menyambut uluran tangan Dilan dan membiarkan pemuda jangkung itu mencium tangannya.
"Kamu ya, bisa-bisanya menikah ghak kasih kabar ke Ummi," diacaknya rambut Dilan. Sekilas Ajeng terdiam, diingatnya kembali anaknya yang hampir setahun meninggalkannya. Sosok Dilan, walau berbeda karakter, mengingatkan dia pada Bian,... Biandra Azierul Alam.
"Semuanya tak normal seperti layaknya pengantin biasa, Ummi. Jadi Dilan tak berani berkoar-koar. Dilan hanya menunggu dia sembuh. Setelah itu, entah apa yang terjadi, lihat saja nanti."
"Maksud kamu apa?"
"Dia duluh teramat membenci Dilan, Mi."
"Lalu sekarang di mana gadis itu? Setidaknya kenalin ke Ummi."
Dilan terkekeh. Dia baru menyadari, selama itu dia membiarkan Dini di dalam mobilnya. Dilan kemudian beranjak ke mobilnya, membuka pintunya pelan. Ternyata Dini sedang tidur. Kembali Dilan mengeryitkan dahinya. Apa karena kejadian semalam dia kini tertidur, atau karena sesuatu? Tidurnya begitu lelap seperti orang kecapean.
"Dia ketiduran, Mi."
Ajeng terkekeh. "Ghak usah dibangunin, Dilan. Kamu angkat saja dia ke dalam kamar, biar dia lanjutkan tidurnya."
Dilan mengeluarkan Dini dan mengangkatnya. Melewati rumahnya dengan tersenyum menyapa kepada Ibra, suami Ajeng yang dipanggilnya Abi, yang kini tengah bercakap-cakap dengan mama dan papanya.
Ajeng yang mengikuti Dilan ke kamar, terlihat kaget dengan wajah gadis yang kini telah ditidurkan Dilan. Wajah itu, walau hanya sekali dia pernah bertemu dengannya, Ajeng seperti tak merasa asing. Bahkan dia duluh juga menunggu dia membuka mata dengan posisi tidur seperti ini.
Mata Dini sudah mengaca. Dilan hanya bisa merengkuhnya, membenamkan wajahnya dalam dekapannya. "Kita akan cari rumah kontrakan yang mungkin bisa untuk mengembangkan usahamu sekaligus bisa untuk kita tempati," janji Dilan, "kamu jangan lagi menangis." diciumnya kening wanita yang kini terisak di pelukannya."Nanti kalau diminta orangnya lagi gimana? Susah lagi kan?" protes Dini.Dilan terkikik. "Iya juga ya," cetusnya."Nah, kurang pinter juga kamu ya, Mas.""Iya, iya, Dek. Yang pinter kan cuma kamu. Terlebih kamu pinter mencuri."Dini mendorong dada Dilan. "Maksud Mas apa?""Aduh!" Dilan yang tidak menyangka sampai berpegangan di bibir tempat tidurnya. "Kamu ini ya,.. nggak lagi sedidh, nggak lagi senang, sukanya bikin aku mau celaka terus."Dini cemberut. "Habisnya, kamu ngomong begitu." Matanya sudah kembali mengaca. "Emang aku mencuri apa kamu.""Kamu kan mencuri hatiku, Dek.""Hih! Rasain ini." Dini sudah menghujani Dilan yang turun dari tempat tidurnya dengan tabokan bantal. "A
Dini yang membuka kunci rumah, segera mempersilahkan Profesor Satya dan Amira, istrinya masuk."Silahkan masuk, Pak, Bu."Memasuki rumah, sepasang suami istri itu sudah berdecak kagum. Wanita yang masih cantik di usianya yang sudah setengah baya tu bahkan berkeliling matanya menatap seluruh ruangan itu."Terus terang kami pangling dengan rumah kami sendiri. Bukan karena catnya yang kalian ganti ini, tetapi karena penataan dan pernak pernik ruangan yang kalian terapkan, sangat cantik," puji Amira.Dilan tersenyum memandang Dini, "Semua ini dia yang ngatur, Bu. Saya mana mengerti yang begituan. Cuma izin Bapak saja waktu ganti cat. Itu pun saya juga baru tau setelah selesai ngecatnya." Dialna merasa tak enak hati. "Untung Bapak setuju, kalau tidak bisa berabe."Tawa pun menggema. "Rumah tambah bagus kok nggak suka, ya nggak mungkin, Dilan," tutur Satya."Kamu memang pintar, Din," puji Amira lagi. "Sama bunga aja kamu telaten. Apalagi dengan nata beginian. Mencerminkan banget siapa dirimu
"Assalamualaikum, Din. Mana Bu Astri?" sapa pria itu, yang ternyata Pak RT."Ke Pak Kyai, Pak," jawab Dini sambil menggeser jilbabnya yang tadi dia pakai asalan. "Mau narik iuran kampung?"Pak RT terkekeh kecil. "Iya, Din. Seperti biasanya. Ini tadi saya baru tau kalau Bu Astri sudah kembali dari rumahmu, Din. Makanya saya datang sekalian."Dini mengangguk, lalu tanpa banyak basa-basi mengeluarkan uang dari dompetnya yang tadi ditaruh di sofa setelah berbelanja, dan menyerahkannya kepada Pak RT.Hampir mau keluar, Pak RT menoleh ke arah Dini. "Oya, Nak Dini. Selamat, ya. Kamu sudah berhasil melewati Barata dengan menjadi saksi itu. Kasihan Nak Aziel. Sekarang dia bisa hidup tenang setelah misteri kematiannya terungkap."Dini terdiam sesaat, ada semburat kesedihan di wajahnya. Ia menghela napas pelan. "Iya, Pak. Kita doakan saja keputusan hakim adil. Vonisnya belum keluar."Pak RT mengangguk mantap. "Tapi Bapak sudah lihat jalannya sidang yang ditayangkan live dari TV Pesantren. Insya
"Bapak siapa?" tanya Dini, menelisik pria berkulit sawo matang yang terlihat keras itu."Saya hanya mau lihat, apa rumah ini sudah bagus." "Kalau sudah bagus, kenapa ya Pak?" "Tolong bukakan pintuny. Saya mau masuk," ucap lelaki itu dengan sikap sombongnya. Seolah-olah dialah pemilik rumah itu. "Ada perlu apa ya, Pak?" Dini masih curiga dengan pria yang tidak begitu dikenalnya. Ditatapnya penuh selidik. Terkadang dia merasa tak asing dengan wajah itu, namun dia juga ghak terlalu yakin. "Saya hanya ingin tau, apa rumah bakal mantu saya sudah bener- bener bagus. Saya sudah mengeluarkan uang banyak untuk itu. Saya harus pastikan agar nanti kalau ada kerabat yang datang tidak malu-maluin.""Berarti Anda,..?" Dilan menerka."Kamu dapat menebak saya. Saya Pak Mail juragan buah dari kampung sebelah. Saya bapaknya Fatimah.""Oala, Pak,..kirain siapa tadi." Dilan langsung menyalami pria itu.Dilan lalu berbisik ke Dini. Dini yang orang sini malah yang tidak tau. Dilan memang tau hubungan c
Dilan sudah siap-siap, siapa tau Dini akan menipunya kembali. Namun yang ada Dini malah membuka kimononya. "Mau aku tipu lagi?""Aku sudah pakai jurus jika kamu melakukan itu lagi.""Mana jurusnya?""Ini,.." Dilan menarik pinggang Dini, dan meraih tengkuknya dengan bibir yang sudah menyentuh bibir Dini.Paginya. Pagi sekali Dilan sudah mengajak Dini naik motor Fahmi yang duluh sering dipakainya."Mau ke mana sih, Mas, pagi sekali? Dingin lagi udaranya.""Mau ke pasar Subuh. Biar rambutku kering di jalan. Malu nanti dilihat Fahmi ketauan aku mandi basa. Kemarin sih ya, kita ghak bawa hairdyer.""Kenapa malunya sama Mas Fahmi, bukan sama Ibu?" cibir Dini."Dia kan temanku Dek. Belum nikah lagi. Ya, malulah."Dilan sudah menstarter motornya. Sekali, dua kali, masih tak bisa. Sampai akhirnya Fahmi keluar. Dan benar saja, untuk yang pertama kali dilihat Fahmi adalah rambutnya Dilan."Ghak dingin, subuh-subuh udah keramas. Aku aja sampai Dhuhur baru mandi.""Ih, kamu ya,..!" timpuk Dilan ma
Dini mendekat, senyumnya tetap ramah meskipun bisa melihat raut kesal di wajah perempuan paruh baya di depannya. Wanita itu, mengenakan blus batik dengan tas selempang kecil yang sudah sedikit lusuh, tampak mengangkat setangkai bunga dengan ekspresi tak percaya."Masak iya, bunga begini semahal itu?" keluhnya, matanya menyipit menatap kelopak bunga seakan-akan menyalahkannya atas harga yang dipasang.Dini, yang sudah terbiasa menghadapi berbagai macam pelanggan, tetap tenang. Ia melirik sekilas ke arah bunga di tangan wanita itu, kemudian tersenyum."Ada yang bisa saya bantu, Bu?" ulangnya, suaranya lembut, nyaris berbisik seperti belaian angin sore yang masuk melalui celah pintu toko bunga miliknya.Wanita itu menatapnya lebih dekat, seakan baru menyadari sesuatu. "Ini Mbak Dini, ya?" tanyanya dengan raut penasaran.Dini mengangguk kecil. "Iya, Bu. Ada yang bisa saya bantu?"Wanita itu mendengus kecil, masih tak rela dengan harga yang tercantum di pot tanaman itu. "Ini, Mbak. Masak i
Dini baru saja menghembuskan napas lega ketika seseorang menepuk pundaknya. Dia menoleh dan melihat sosok Pak Pramono tersenyum padanya."InsyaAllah ada titik terang di sidang ini. Dan kenangan ada di pihak kita," ucap Pak Pramono sambil mengusap kepalanya dengan sayang.Dini menunduk, air mata menggenang di pelupuknya. Begitu banyak hal yang telah terjadi, begitu banyak fitnah yang menimpanya. Namun kini, satu per satu kebenaran mulai terungkap."Selamat, Kak Dini!"Suara ceria Kanaya membuyarkan lamunannya. Gadis itu mendekat dengan senyum lebar, lalu memeluk Dini erat. Di belakangnya, Davin ikut tersenyum sambil mengangguk sopan."Aku tahu Kak Dini tidak mungkin melakukan semua itu. Aku percaya sejak awal," bisik Kanaya, membuat Dini makin terharu.Namun, tak semua orang menunjukkan ekspresi yang sama. Giani, mertua Dini, hanya melipat tangan di dada. Wajahnya datar, tapi sorot matanya menunjukkan ketidakpuasan. Dalam hatinya, ia bergumam, "Aku pikir dia akan dipenjara selamanya."
Sekelompok pemuda pemudi datang menghampirinya."Mbak ingat kami?"Dini mencoba mengingat kembali.Seorang cewek mendekat. "Kemarin kami mau dekati Mbak, tapi saya lihat Mbak mendekati pria itu, sementara kami juga diajak ngobrol sama Pak Pramono dari kubu mana kami ini dan mau membela siapa.""Mbak, .. bukannya yang kasih minum aku ya,.." tebak Dini."Bener, Mbak. Kami mengikuti perkembangan kasus Mbak. Dari mulai Mbak diculik sampai kemarin di pengadilan. Rasanya kami berdosa jika kami membiarkan Mbak Dini hanya berjuang sendiri mengungkap hal yang seharusnya diungkap," ucap cewek itu.Seseorang datang mendekat sambil berdehem. Sepertinya dia satu diantara orang suruan Barata."Mbak Dini, sebentar ya," ucap dia permisi.Diin mengangguk dengan memperhatikan tngkah gadis yang sesekali melirik ke arahnya."Pak, tenang saja, kami tidak akan mengingkari perjanjian kita," ucap cewek itu, Ailin yang kemudian menepi dan menggiring orang yang mendekat sambil berdehem itu."Ingat, kami telah
"Selamat siang, adik-adik!" Dua orang lelaki menghadang sekelompok pemuda dan pemudi yang sedang menunggu bis yang lewat."Selamat siang, Pak! Ada yang bisa kami bantu?" tanya Mashad, ketua kelompok pecinta alam yang terdiri dari beberapa Mahasiswa dan mahasiswi PTN itu."Aku bisa minta sesuatuke kalian? tanya salah seorang diantara mereka yang lebih mendekat."Apa itu, Pak?""Sebelumnya perkenalkan, saya dari pihak terdakwa yang besuk lusa kalian akan menjadi saksinya."Sekelompok pemuda pemudi itu bersitatap. Mereka baru menyadari perkataan Pramono dan pesannya tadi agar mereka berhati-hati. Pramono bahkan menawarkan sebuah tempat tinggal untuk mereka tempati bersama, namun mereka menolak karena kesibukan mereka yang tak memungkinkan untuk diam di satu tempat dengan bersama."Lalu tujuan Bapak mencegat kami, mau apa?""Kami menawarkan sesuatu agar kalian bisa berbuat banyak hal dengan uang yang akan kami beri.""Lalu yang bapak inginkan apa?""Begini," Lelaki itu kemudian mengungka