"Ya, dia ini istriku sekarang, Mi."
"Maksud Ummi, siapa namanya?"
"Dini Yasmin, Mi. Kenapa?"
Ajeng mundur selangkah setelah dia berdiri mendekati Dini. Bayangan gadis yang terbangun dengan airmata mengalir hampir setahun yang lalu, terlintas kembali.
"Panggil aku Ummi seperti Aziel memanggilku," ucap Ajeng waktu itu. Namun gadis itu tak pernah memanggilnya sama sekali, bahkan sampai Ajeng berpamitan dan meninggalkan rumah itu, dia tak pernah merespon ucapannya. Dia hanya terdiam dengan sesekali airmata mengalir di pipinya yang tembem. Benarkah dia Dini yang sama?
"Ummi, mau di sini? Dilan keluar nyapa Abi."
"E,...i,..iya."
Dilan sejenak tertegun. Melihat reaksi umminya dia merasa ada sesuatu yang terjadi. "Tolong jaga dia, Mi."
Sampai di luar, Dilan sudah disambut pelukan oleh Ibra. Lelaki yang sudah seperti ayah bagi Dilan itu bahkan menepuk-nepuk punggungnya.
"Kenapa Shania tak ikut, Bi?" tanya Dilan yang baru menyadari kalau Shania tidak berada diantara mereka.
"Dia kan di pondok, Dilan. Baru juga kelas IX."
"O, iya, lupa."
" Cuma ghak di pondok yang sama kayak kamu dan Bian duluh. Katanya takut setelah kejadian yang menimpa Bian."
"O, ya,... Ib, apa yang membunuh Bian sudah ditangkap?" tanya Pramono.
"Sampai sekarang belum tau siapa yang membunuhnya. Kasusnya seperti ditutup begitu saja. Sepertinya pelakunya orang besar, sedangkan saksi juga tak ada. Satu-satunya yang tau kejadian yang menimpa anak saya hanya gadis itu. Sedangkan gadis itu tak bisa dimintai keterangan apa-apa. Sejak kejadian itu dia tak bisa berkata apa-apa. Hanya diam dengan sesekali meneteskan airmata."
"Kamu sudah laporkan ke polisi 'kan?" sela Giani.
"Sudah, Mbak. Tapi jawaban mereka tak memuaskan. Sepertinya mereka enggan menyelidiki kasus ini," Ibra menghela nafas panjang, "penyesalan memang datang belakangan. Kalau saja saya mengizinkan Bian menikahi gadis itu, mungkin tak seperti itu kejadiannya. Pikirku mereka masih anak-anak, belum mengerti apa makna pernikahan. Biar selesaikan sekolah duluh. Saat itu Bian sudah positif dapat beasiswa prestasi dari Al Azhar."
"Anakmu itu tipe orang yang serius, apa yang diinginkannya harus tercapai," ucap Pramono.
"Entah bagaimana ceritanya, sampai malam-malam mereka janjian keluar di dekat bumi perkemahan itu. Padahal Bian orangnya teguh agama, dia tak mungkin melakukan yang tidak-tidak dengan hanya berdua malam-malam kalau tidak karena terpaksa."
Dilan hanya mencerna cerita abinya. Mereka selama ini memang jarang berinteraksi dengan keluarga abinya itu. Saat kejadian itu pun mereka hanya datang mengungkapkan bela sungkawa ke Yogyakarta, tempat tinggal abinya. Itu pun keadaan amat berduka. Jangankan bercerita panjang lebar, umminya bahkan tak bisa menemuinya karena mengurung diri di kamar. Abinya juga tak bisa banyak berkata-kata. Kabut benar-benar menyelimuti keluarga itu dengan kepergian Bian yang tragis, dipukul orang di tengkuknya yang berakibat fatal sampai hilangnya nyawa.
"Berarti jalan satu-satunya hanya gadis itu. Apa kamu pernah menemui dia lagi?"
"Tidak, Mas. Umminya tak sanggup melihat gadis itu yang mengingatkan dia pada Bian."
"Tapi apa kamu rela anakkmu tak mendapatkan keadilan? Yang membunuhnya bahkan enak-enakan menikmati kebebasan?"
"Kalau dia saksi kunci, berarti gadis itu dalam bahaya," ucap Dilan terlenguh. "kesembuhannya berarti tidak diharapkan.'
"Sepertinya begitu Dilan."
"Terus, ini Abi cuma ke sini saja, atau mau ke sana, ceritanya?"
Ibra tersenyum. "Maunya sih mau ke sana, tapi transit duluh di sini. Ghak taunya kamar Ajeng dipakai pengantin baru."
"Pengantin baru apaan, Dik?" sela Giani. "La, itu orang gila di Menur di bawa kemari."
"Mama,.." Pramono tak enak hati melihat Dilan.
"Memang aku salah?"
"Orang gila bagaimana, Mbak?"
"Dini memang mengalami goncangan jiwa, Bi. Dia masuk rumah sakit jiwa di bawa ibunya. Karena saya memang mencintainya jauh sebelum kami menikah duluh, saya membawanya ke sini dengan harapan dia akan sembuh."
"Yang kamu harapkan juga palsu. Kalau sembuh dan dia tak mencintaimu? Bukankah kamu sudah bilang, duluh dia amat membencimu, lalu apalagi yang kauharapkan?"
"Setidaknya aku memberinya kesembuhan, Ma. Dan itu sudah cukup bagi aku."
"Cinta kamu emang kebangetan. Mama bantu do'a biar anak itu cepat sembuh. Mama yakin dia akan kembali membencimu. Dengan begitu Mama tak repot-repot memisahkan kalian."
"Mama,... do'a Mama kebangetan ya."
"Mas, saya permisi duluh," ucap Ibra tak enak hati dengan suasana panas yang terjadi.
Ibra membuka pintu kamarnya dan berusaha istirahat setelah perjalanan jauh yang mereka tempuh. Namun dia belum mendapati Ajeng di kamarnya. Ah, mungkin Ajeng lagi ke dapur atau keliling-keliling rumah ini, gumannya. Dia memang tidak tau kalau istrinya itu kini tertidur di sisi Dini. Dilihatnya rumah itu masih sama. Hermawan, ayah Ajeng dan Giani memberikan rumah itu ke Dilan agara mereka tak putus silaturrahmu karena Dialan sudah seperti anak bagi Ajeng.
Dilan yang masuk kamar mendapati umminya yang tidur bersisian dengan Dini merasa ada yang lain. Namun Dini yang kemudian bangun, menunjukkan jarinya ke arah ranjang, dimana seorang wanita berhijab tengah tertidur.
"Dia saudara Mama, namanya Ummi Ajeng."
"Ummi?" Dini memegang kepalanya, sepertinya dia mengingat sesuatu. "Panggil aku Ummi,...panggil aku Ummi!"
Dini terhuyung. Dilan menangkap tubuhnya. "Kamu kenapa?"
Dini menyandarkan punggung ke kursi kayu dekat jendela, tangannya sibuk meraih stoples camilan yang tadi pagi dibawakan Giani. Keripik gurih itu ia kunyah pelan-pelan, seolah tak ada yang perlu dirisaukan. Perutnya memang besar, tapi wajahnya terlihat santai. Sesekali ia tersenyum sendiri ketika merasakan gerakan kecil dari bayi di rahimnya.Suara sandal berdecit di lantai terdengar dari arah pintu. Astri baru saja datang, membawa keranjang buah segar. Wajahnya sedikit lelah, tapi begitu melihat Dini masih santai ngemil, ia tertawa kecil. “Din, kamu kok malah enak-enakan ngemil, ya? Hamil tua begini biasanya orang malah rewel.”Dini pura-pura manyun, lalu menyodorkan stoples. “Coba Bu, enak banget. Makanya aku nggak bisa berhenti.”Namun tawa Astri mendadak terhenti ketika matanya menatap sesuatu. Langkahnya tertahan. Ia mengernyit, lalu cepat-cepat mendekati Dini. “Eh… Din, rok kamu… basah?”“Basah?” Dini menoleh, menepuk-nepuk bagian belakang roknya. Memang ada bercak basah yang cu
Pagi itu, senyum tak pernah lepas dari bibir Dilan. Meski langkahnya menuju parkiran sedikit tergesa, wajahnya tetap teduh, seakan ada cahaya yang menyertainya. Rekan-rekan kerjanya di rumah sakit jiwa bahkan sampai geleng kepala melihat perubahan itu."Dilan, tumben ya… senyum-senyum terus,” celetuk Evind sambil melirik berkas di tangannya.Dilan hanya terkekeh. “Biar awet muda, Vin.”“Awet muda apaan. Biasanya juga kamu serius mulu. Sekarang kayak anak SMA jatuh cinta,” sindir Evind setengah bercanda.Dilan tidak membantah, justru malah menunduk malu. Hatinya sudah penuh dengan bayangan wajah Dini. Sejak Dini hamil, setiap detik terasa begitu berarti.Jam istirahat siang, ia menelpon Dini. Suaranya bergetar menahan rindu.“Dek, kamu nggak muntah lagi, kan?” tanyanya lembut.Dini yang saat itu rebahan di kamar, menempelkan ponselnya ke telinga sambil memejamkan mata. “Alhamdulillah, nggak, Mas. Aku malah lagi ngantuk berat.”“Ya udah, istirahat aja. Jangan mikirin kuliah dulu.”Dini
Suara musik dari sound sistem berganti. Rupanya rombongan mempelai telah datang. Dini dan Dilan mengapit ibunya di depan. Di belakang mereka sudah tampak jajaran pakde dan budenya.MC memandu acara. Kali ini bukan MC Jawa. Karena mereka mengusung tema minimalis agar tidak sama dengan yang kemarin. Namun acara menyambut mempelai dengan Ibu memberinya minuman tetap dilaksanakan sebagai tradisi di desa mereka.Beda dengan kemarin yang mendudukkan kedua orang tua di pelaminan. Kali ini hanya mempelai yang di kursi kebesarannya. Nampak Fahmi yang tidak pernah memakai jas, terlihat tampan dengan jas senada dengan warna manten putri yang memakai warna seperti baju Dini. Selama ini Dini memang sering rundingan dengan masnya itu.Empat terima tamu yang terpajang di depan segera sibuk dengan memberikan bingkisan kepada undangan yang datang. Termasuk teman-teman Fahmi dan pengiring.Pak Kyai Ahyat yang datang disambut Dilan dan dipersilahkan duduk di kursi kebesaran jajaran depan yang telah disia
Pagi-pagi kembali Dini dan Dilan sudah harus ada di rumahnya. Dini harus dirias lagi untuk acara 'Walik Ajang' nama acara untuk menyambut kedua mempelai ke rumah besannya.Di depan halaman rumah Astri yang luas sudah terpasang terop dan pelaminan model minimalis. Tamu masih seperti kemarin, berdatangan dari berbagai desa di sekitar. Termasuk dari wali santri pondok yang sudah lama dan mengenal Astri sebagai abdi dalem yang sering membantu anak mereka sewaktu di pondok.Belum juga acara dimulai, terlihat dua buah mobil mewah memasuki halaman Astri. Nampak Pramono dan keluarganya datang. Demikian juga dengan keluarga Ajeng yang komplit bersama anak mereka, Sania.Astri yang sudah dirias dan membuat pangling besannya, khususnya Pramono, Ibra dan Ajeng, menyambutnya. Wanita tinggi berhidung mancung yang sebenarnya cantik itu tersenyum menyambut kedatangan besan mereka yang tidak disangka-sangkanya. Apalagi dengan keluarga besarnya."Ibu Kak Dini ternyata juga cantik ya," celetuk Kanaya, "p
Hari-hari sibuk Dini pun dimulai setelah dia mentyelesaikan ospeknya. Di kebunnya akhirnya dia menambah dua asisten baru yang membantu Harti. Dini hanya mengontrolnya sewaktu-waktu sambil terus promosi medsos. Keberadaan Binar pun juga menjadi hiburan Dini dan Dilan. Terlebih Dilan yang kadang malah mengajaknya jalan-jalan bersama Dini."Dek, jadi berapa hari kita di Ibu?""Terserah Mas, sih, aku masuk kuliah baru munggu depan.""Aku ambil cuti kan seminggu, sambil kita hoenymoon di sana, yuk! Kita sewa resort di puncak. Kan ghak jauh dengan Ibu,""Memangnya kenapa, Mas, pakek sewa resort?""Kamu kayak ghak ngerti orang desa sana. Kan yang bantuin banyak. itu pun ghak cuma satu dua hari. Tiga bahkan empat hari. Apalagi Fahmi jadi meramaikan pernikahannya. Ghak lagi sepi-sepi setelah toko bunganya maju.""Lalu?""Udara disana kan dingin.""Terus?""Ih, aku jitak ya, kamu! Dasar anak kecil ghak faham-faham."Dini terkekeh dengan kemarahan Dilan."Ok, Ok! Kamu malu keramasnya?"Dilan tert
“Pisah! Pisah dulu!” suara lantang petugas pengadilan membuat ruangan yang sejak tadi riuh mendadak menegang. Dua orang yang sempat bersitegang segera dipisahkan. Dini menghela napas berat, tubuhnya terasa kaku. Ajeng di sampingnya pun melakukan hal yang sama, wajahnya pucat namun matanya menyala oleh amarah dan luka yang belum sembuh.Tak lama kemudian, suara protokol menggema. “Sidang perkara akan segera dibuka.”Semua orang bersiap. Danu yang duduk di bangku terdakwa, menegakkan tubuhnya. Wajahnya kaku, tetapi matanya tak pernah lepas dari Dini. Pandangannya tajam, seakan ingin menusuk setiap jengkal hati perempuan itu. Dini bisa merasakan bulu kuduknya meremang.Pramono datang bersama Giani. Lelaki itu menarik kursi di sisi Dini, lalu menunduk, membisikkan sesuatu. “Tenang, Din. Jangan goyah, semua akan berakhir hari ini.”Belum sempat Dini menanggapi, langkah cepat Kanaya terdengar. Gadis itu menepuk bahu Pramono ringan. “Pa, biar aku aja di sini,” ucapnya. Tanpa menunggu jawaban