Beranda / Romansa / MENANTU IMPIAN IBU / Bab 10. Benar, Dia Dini Yasmin?

Share

Bab 10. Benar, Dia Dini Yasmin?

Penulis: HaniHadi_LTF
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-02 04:06:16

"Kamu kenapa?" Dilan meraih tubuh Dini yang terhuyung.

"Kepalaku agak berat, aku seperti pernah mendengar orang menyuruhku memanggilnya Ummi."

Dilan tertegun. Dia tau Dini sedang mengingat sesuatu. Namun Dilan tak ingin membuat Dini stres dengan memikirkan apa yang knii tengah di kepalanya.

"Tenangkan dirimu, Din. Kamu tak perlu bersikeras mengingat semuanya. Nanti juga kamu akan mengingat dengan sendirinya," ucapnya lembut dengan mendudukkan Dini dengan tenang. 

Dilan mengambil air dan meminumkannya ke Dini. Saat dirasa Dini sudah tenang, Dilan menyodorkan roti untuknya. "Lapar?"

Dini mengangguk, lalu memasukkan roti begitu saja ke mulutnya.

"Dini, pelan-pelan," tegur Dilan.

"Habis lapar banget setelah bangun tidur."

"Nanti tersedat. Tuh, mulut kamu belepotan coklat." Dilan mengelap mulut Dini dengan ujung jarinya. Dipandanginya gadis di depannya dengan lekat. Dini pun makin mendekat hinggah wajah mereka menjadi tak berjarak. Tak terasa bibir mereka menyatu.

"Jadi benar dia Dini Yasmin yang Ummi kenal?" tanya Ajeng begitu dia melihat Dini.

Dilan terkejut dengan suara yang datang tiba-tiba dari belakang mereka. Terlebih karena dirinya yang di luar kendali mencium Dini tanpa mengingat jika di kamar ini juga ada orang lain.

Dini menunduk malu. Terlebih saat Ajeng yang kemudian mendekatinya dengan menelisik dirinya dengan duduk, berjongkok di hadapan gadis itu. Disibaknya rambut indah itu untuk melihat wajahnya. Benar, benar, kamu Dini Yasmin yang Ummi kenal,  gumannya lirih.

Dilan memperhatikan umminya dengan penuh tanda tanya. Terlebih saat dilihatnya Ajeng yang segera memeluk Dini dengan tangisnya yang pecah, sementara Dini hanya termangu.

"Panggil aku Ummi seperti Aziel memanggilku." Diucapnya kembali kata-kata itu di telinga Dini. Membuat gadis itu terkesiap dengan mengurai pelukan Ajeng dan menatapnya.

"Panggil aku Ummi, Dini. Aku umminya Aziel." Kembali Ajeng mengatakan itu dengan airmata yang berderai.

Dini menatap Dilan yang termangu tak percaya. Betapa sempitnya dunia. Dia tak pernah menyangka, orang yang dicintainya ternyata adalah cinta mati Bian yang dikenal Dini dengan Aziel.

"Dia, dia,.. memang ummiku, Dini," ucap Dilan tergagap menjawab wajah Dini yang penuh tanda tanya menatapnya.

"Pak Kyai yang memanggil Bian dengan nama Aziel, katanya biar ghak kebarat-baratan." Ajeng menjelaskan ke Dilan. kenapa Dini mengenal Bian dengan Aziel, bukan Bian seperti keluarga mereka yang memanggil.

"Bagaimana ini bisa terjadi, Ummi? Tadi di depan kami baru saja bahas orang yang membunuh Bian yang kasusnya seperti ditutup begitu saja. Dan Dini?" Dilan memandang Dini lalau mendekapnya.

Ajeng menatap Dilan.

Dilan kembali memandang Dini yang menatapnya dengan bingung di dekapannya. "Jadi Dini yang menjadi saksi kunci pembunuhan Bian?" 

Ajeng mengangguk. Tangannya masih membelai rambut Dini dengan begitu sayangnnya. Dia memang melihat Bian kembali dengan menatap wajah gadis di depannya. Walau Dini terlihat bingung dengan hanya menatap Dian dan Ajeng bergantian.

Dilan mulai cemas. Kesembuhan Dini yang dia harapkan walau setelah itu dia tak dapat berharap lebih, namun juga kecemasan menghantui dirinya jika yang membunuh Bian mengetahui Dini sembuh dan akan berbuat sesuatu kepada Dini.

"Akhirnya tanpa ke sana, Ummi sudah menemukanmu." Kembali Ajeng memeluk Dini yang masih terpaku dengan ingatannya setelah mengurai dekapan Dilan. Dia memang tak pernah ingat wajah di depannya. Karena pikirannya telah pergi sejak kepergian Aziel. Satu yang terlintas di pikirannya hinggah sekarang, hanya satu kata,.. panggil aku Ummi, seperti Aziel memanggilku!

"Benar, dia ummimu, Aziel,.. e,.. Mas?" tanya Dini dengan ragu.

"Dia memang  ummiku, Dini."

Dini lalu menghambur ke pelukan Ajeng. Ajeng makin sesenggukan mendekapnya dan menciumi gadis di depannya. "Anakku telah kembali, anakku telah kembali,"  ucap Ajeng lirih. Dia memang merasa seolah-olah kini telah memeluk Bian.

Ada yang tiba-tiba terselip di hati Dilan saat melihat umminya memluk Dini dengan mengatakan semua itu, seolah-olah dia hanya sebuah alat untuk menutupi semuanya dan hanya sebatas sandiwara. Hati Dilan merasa ciut melihat kini seolah Dini ada untuk Aziel, bukan untuk dirinya.

"Dilan, bisakah kamu simpan rahasia Dini ini ada diantara kita saja?"

Dilan menatap umminya dengan heran. "Kenapa begitu, Ummi?"

"Kenapa begitu, Mi?"

"Entah kenapa Ummi sangat menghawatirkan dia." Kembali wanita dengan hijab panjang itu membelai wajah ayu Dini. "biarkan dia sembuh, setelah itu kita susun langkah selanjutnya,"

"Termasuk tidak mengatakan ke Abi?"

"Biar nanti saat sampai di rumah, Ummi akan cerita semuanya."

"Bagaimana Ummi akan mengatakan untuk tak jadi ke desa Dini, bukankah maksud Abi ke sini untuk mengajak Ummi ke sana, melihat kondisi Dini dan ke makam Bian di pondok?"

"Itu bisa Ummi jelaskan nanti," katanya sambil mengelus kepala Dini. Dia kemudian bangkit, "baiklah, Ummi akan istirahan sebentar di kamar sebelah, Ummi akan tidur nyenyak sekarang. Melihat Dini kembali, seolah Ummi melihat Aziel di mata lembutnya."

Dilan tertegun. Mata Bian memang selembut mata Dini, pikirnya dengan sedikit cemburu terselip.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • MENANTU IMPIAN IBU   Menantu Impian Ibu 124

    Dini menyandarkan punggung ke kursi kayu dekat jendela, tangannya sibuk meraih stoples camilan yang tadi pagi dibawakan Giani. Keripik gurih itu ia kunyah pelan-pelan, seolah tak ada yang perlu dirisaukan. Perutnya memang besar, tapi wajahnya terlihat santai. Sesekali ia tersenyum sendiri ketika merasakan gerakan kecil dari bayi di rahimnya.Suara sandal berdecit di lantai terdengar dari arah pintu. Astri baru saja datang, membawa keranjang buah segar. Wajahnya sedikit lelah, tapi begitu melihat Dini masih santai ngemil, ia tertawa kecil. “Din, kamu kok malah enak-enakan ngemil, ya? Hamil tua begini biasanya orang malah rewel.”Dini pura-pura manyun, lalu menyodorkan stoples. “Coba Bu, enak banget. Makanya aku nggak bisa berhenti.”Namun tawa Astri mendadak terhenti ketika matanya menatap sesuatu. Langkahnya tertahan. Ia mengernyit, lalu cepat-cepat mendekati Dini. “Eh… Din, rok kamu… basah?”“Basah?” Dini menoleh, menepuk-nepuk bagian belakang roknya. Memang ada bercak basah yang cu

  • MENANTU IMPIAN IBU   Menantu Impian Ibu 123

    Pagi itu, senyum tak pernah lepas dari bibir Dilan. Meski langkahnya menuju parkiran sedikit tergesa, wajahnya tetap teduh, seakan ada cahaya yang menyertainya. Rekan-rekan kerjanya di rumah sakit jiwa bahkan sampai geleng kepala melihat perubahan itu."Dilan, tumben ya… senyum-senyum terus,” celetuk Evind sambil melirik berkas di tangannya.Dilan hanya terkekeh. “Biar awet muda, Vin.”“Awet muda apaan. Biasanya juga kamu serius mulu. Sekarang kayak anak SMA jatuh cinta,” sindir Evind setengah bercanda.Dilan tidak membantah, justru malah menunduk malu. Hatinya sudah penuh dengan bayangan wajah Dini. Sejak Dini hamil, setiap detik terasa begitu berarti.Jam istirahat siang, ia menelpon Dini. Suaranya bergetar menahan rindu.“Dek, kamu nggak muntah lagi, kan?” tanyanya lembut.Dini yang saat itu rebahan di kamar, menempelkan ponselnya ke telinga sambil memejamkan mata. “Alhamdulillah, nggak, Mas. Aku malah lagi ngantuk berat.”“Ya udah, istirahat aja. Jangan mikirin kuliah dulu.”Dini

  • MENANTU IMPIAN IBU   Menantu Impian Ibu 122

    Suara musik dari sound sistem berganti. Rupanya rombongan mempelai telah datang. Dini dan Dilan mengapit ibunya di depan. Di belakang mereka sudah tampak jajaran pakde dan budenya.MC memandu acara. Kali ini bukan MC Jawa. Karena mereka mengusung tema minimalis agar tidak sama dengan yang kemarin. Namun acara menyambut mempelai dengan Ibu memberinya minuman tetap dilaksanakan sebagai tradisi di desa mereka.Beda dengan kemarin yang mendudukkan kedua orang tua di pelaminan. Kali ini hanya mempelai yang di kursi kebesarannya. Nampak Fahmi yang tidak pernah memakai jas, terlihat tampan dengan jas senada dengan warna manten putri yang memakai warna seperti baju Dini. Selama ini Dini memang sering rundingan dengan masnya itu.Empat terima tamu yang terpajang di depan segera sibuk dengan memberikan bingkisan kepada undangan yang datang. Termasuk teman-teman Fahmi dan pengiring.Pak Kyai Ahyat yang datang disambut Dilan dan dipersilahkan duduk di kursi kebesaran jajaran depan yang telah disia

  • MENANTU IMPIAN IBU   Menantu Impian Ibu 121

    Pagi-pagi kembali Dini dan Dilan sudah harus ada di rumahnya. Dini harus dirias lagi untuk acara 'Walik Ajang' nama acara untuk menyambut kedua mempelai ke rumah besannya.Di depan halaman rumah Astri yang luas sudah terpasang terop dan pelaminan model minimalis. Tamu masih seperti kemarin, berdatangan dari berbagai desa di sekitar. Termasuk dari wali santri pondok yang sudah lama dan mengenal Astri sebagai abdi dalem yang sering membantu anak mereka sewaktu di pondok.Belum juga acara dimulai, terlihat dua buah mobil mewah memasuki halaman Astri. Nampak Pramono dan keluarganya datang. Demikian juga dengan keluarga Ajeng yang komplit bersama anak mereka, Sania.Astri yang sudah dirias dan membuat pangling besannya, khususnya Pramono, Ibra dan Ajeng, menyambutnya. Wanita tinggi berhidung mancung yang sebenarnya cantik itu tersenyum menyambut kedatangan besan mereka yang tidak disangka-sangkanya. Apalagi dengan keluarga besarnya."Ibu Kak Dini ternyata juga cantik ya," celetuk Kanaya, "p

  • MENANTU IMPIAN IBU   Menantu Impian Ibu 120

    Hari-hari sibuk Dini pun dimulai setelah dia mentyelesaikan ospeknya. Di kebunnya akhirnya dia menambah dua asisten baru yang membantu Harti. Dini hanya mengontrolnya sewaktu-waktu sambil terus promosi medsos. Keberadaan Binar pun juga menjadi hiburan Dini dan Dilan. Terlebih Dilan yang kadang malah mengajaknya jalan-jalan bersama Dini."Dek, jadi berapa hari kita di Ibu?""Terserah Mas, sih, aku masuk kuliah baru munggu depan.""Aku ambil cuti kan seminggu, sambil kita hoenymoon di sana, yuk! Kita sewa resort di puncak. Kan ghak jauh dengan Ibu,""Memangnya kenapa, Mas, pakek sewa resort?""Kamu kayak ghak ngerti orang desa sana. Kan yang bantuin banyak. itu pun ghak cuma satu dua hari. Tiga bahkan empat hari. Apalagi Fahmi jadi meramaikan pernikahannya. Ghak lagi sepi-sepi setelah toko bunganya maju.""Lalu?""Udara disana kan dingin.""Terus?""Ih, aku jitak ya, kamu! Dasar anak kecil ghak faham-faham."Dini terkekeh dengan kemarahan Dilan."Ok, Ok! Kamu malu keramasnya?"Dilan tert

  • MENANTU IMPIAN IBU   Menantu impian Ibu 119

    “Pisah! Pisah dulu!” suara lantang petugas pengadilan membuat ruangan yang sejak tadi riuh mendadak menegang. Dua orang yang sempat bersitegang segera dipisahkan. Dini menghela napas berat, tubuhnya terasa kaku. Ajeng di sampingnya pun melakukan hal yang sama, wajahnya pucat namun matanya menyala oleh amarah dan luka yang belum sembuh.Tak lama kemudian, suara protokol menggema. “Sidang perkara akan segera dibuka.”Semua orang bersiap. Danu yang duduk di bangku terdakwa, menegakkan tubuhnya. Wajahnya kaku, tetapi matanya tak pernah lepas dari Dini. Pandangannya tajam, seakan ingin menusuk setiap jengkal hati perempuan itu. Dini bisa merasakan bulu kuduknya meremang.Pramono datang bersama Giani. Lelaki itu menarik kursi di sisi Dini, lalu menunduk, membisikkan sesuatu. “Tenang, Din. Jangan goyah, semua akan berakhir hari ini.”Belum sempat Dini menanggapi, langkah cepat Kanaya terdengar. Gadis itu menepuk bahu Pramono ringan. “Pa, biar aku aja di sini,” ucapnya. Tanpa menunggu jawaban

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status