Share

5. PERDEBATAN

Author: Mazda Hrp
last update Huling Na-update: 2024-05-20 13:20:44

Aku, Riyan dan Reyna duduk di kursi paling belakang, sementara Ibu di kursi tengah dengan Papa di baringkan di tempat duduk. Dokter Kardi duduk di depan sesekali menoleh ke belakang untuk mengetahui kondisi Papa. Suasana hatiku sedang tidak bagus diakibatkan perdebatan yang terjadi dengan Ibu.

Aku merogoh saku celana untuk mengambil ponsel dan ingin menghubungi Bang Kemal yang sedang berada dalam masalah dengan mobilnya. Karena merasa tidak enak sebab dirinya sedang dalam kesulitan karena diriku, tetapi aku malah pergi tanpa memberitahukan kepadanya.

“Halo, Bang Kemal, bagaimana dengan mobilmu?”

“Sudah, Rum. Aku telepon Husin untuk mengantarkan ban serap yang ada dirumah. Jika harus menunggu untuk ke bengkel akan makan waktu lama,” ucapnya dengan terputus-putus, sesekali Bang Kemal mendesah mengambil napas panjang, mungkin Bang Kemal sedang menyelesaikan pergantian ban mobilnya.

“Alhamdlillah syukurlah kalau begitu, Bang. Rumi sangat khawatir.” Terdengar suara tawa pelan dari seberang telepon.

“Senang rasanya jika ada yang mengkhawatirkan.” Ucapan Bang Kemal memancing senyum di bibirku.

“Sebentar lagi aku akan sampai di rumahmu, Rum. Bersiaplah, kita akan segera berangkat membawa Papamu.”

“Hmm, maaf sebelumnya, Bang. Rumi menelepon juga ingin memberitahukan kalau Rumi sekeluarga sudah pergi ke rumah sakit bersama Dokter Kardi. Sebab sudah terlalu lama menunggu,” jelasku agar Bang Kemal tidak merasa tersinggung.

“Oh, iya tidak mengapa, Rum. Syukurlah kalau Papamu sudah cepat dibawa ke rumah sakit. Semoga lekas pulih ya, Rum, papamu. Kalau begitu aku pulang saja, sampai jumpa besok di kampus,” tuturnya pelan.

Aku berdehem kecil pertanda mengiakan percakapan itu akan berakhir. Sebenarnya ingin rasanya berbincang lebih lama dengan Bang Kemal, tetapi tatapan Ibu membuatku merasa risih. Apalagi, berulang kali aku memergoki lelaki tua yang sedang menyetir mobil ini berulang kali melirik ke arahku melalui kaca spion mobilnya.

Aku membuang muka, tidak ingin bersitatap langsung dengan pria itu. Jika ini bukan keadaan terpaksa tidak akan sudi untuk naik ke mobilnya.

“Siapa yang kau telepon, Rum?” Tiba-tiba Ibu menanyakan soal temanku.

“Teman kampusku,” ucapku datar.

“Apa ibu mengenalnya?”

“Ya.”

“Namanya?” tanya Ibu sekali lagi.

Aku menatap wanita itu tidak percaya, tatapanku terhalang oleh badan kursi yang di duduki ibu. Sejak kapan dia mau tahu urusanku.

"Ibu sudah seperti petugas desa saja, menanyakan biodata orang. Untuk apa?" ucapku sedikit kesal. Riyan mencubit lenganku sebagai pertanda agar aku bisa menahan diri.

"Apa salah jika Ibu menanyakannya, Rum? Ibu tidak ingin kau sampai salah bergaul."

Aku melengos kesal, sambil mengedarkan pandangan keluar jendela. Lagi-lagi Ibu menunjukkan rasa perhatiannya jika di hadapan orang lain.

"Ibu kenal dia, aku pun tahu bagaimana harus menjaga diri. Jadi Ibu tidak perlu cemas atau pun khawatir secara berlebih.”

Riyan memegang tanganku saat hendak melanjutkan peperangan kecil ini, Ibu terdiam, dirinya seolah menahan diri. Biasanya Ibu akan terus bicara tanpa henti.

Ditambah lagi emosiku memuncak saat pria yang menyetir itu selalu mencuri pandang ke arahku. Sesekali dirinya tersenyum tetapi aku kesal melihatnya. Sebenarnya diri ini merasa risih, kenapa pria tua itu selalu menatap dengan tatapan yang membuatku geli sendiri. Secara tidak sengaja manik mata kami bertemu, dia tersenyum lebar kepadaku.

"Ratih, anak perempuanmu sungguh pemberani. Dia membungkammu hanya dengan sekali kata saja," ujar pria itu sambil tersenyum.

Ibu yang bersender sambil mengelus kepala Papa tersenyum penuh arti kepada pria itu.

"Pak Romo, dialah Rumi, anak perempuan pertama Mas Rusli yang sebentar lagi akan menjadi menantu di rumah, Bapak.Saya sebagai ibunya mohon maaf jika Rumi berlaku tidak sopan hari ini."

Aku kaget, bagai tersambar petir rasanya mendengar pernyataan Ibu barusan. Tidak menyangka diri ini jika Ibu harus mengatakan hal itu di tengah suasana yang seperti ini. Tidak hanya diriku, Riyan, Reina dan Dokter Kardi pun menoleh menatap Ibu untuk mencari pembenaran.

"Apa benar itu, Rum?" tanya Dokter Kardi yang masih kaget.

Aku hanya terdiam membisu. Sementara pria itu tertawa girang kesenangan. “Tenang saja, Aku suka sikapnya yang blak-blakan. Itu menandakan kalau dia wanita yang kuat. Anakmu dan anakku pasti sangat cocok, saling mengisi kekurangan dan kelebihan mereka masing-masing. Perlu kamu ketahui, Rum. Anak saya Zaki dia lumpuh, semoga perjodohan ini tidak memberatkanmu, Nak Rumi.” Ucapan Pria tua itu semakin membuatku marah, dia dan Ibu begitu santai membahas masalah perjodohan, sementara Papa tengah kritis begini. Lagi pula aku sedang tidak ingin membahas hal itu.

“Rum.” Dokter Kardi memanggilku sekali lagi. Diamnya diriku membuat dokter Kardi memalingkan wajahnya ke arah ibu dan pria tua bernama Romo itu.

"Bu, Ratih. Sebaiknya masalah ini nanti saja di bicarakan. Tidak baik berdebat di dalam mobil. Apa lagi kita membawa Pak Rusli yang sedang sekarat. Ada baiknya masalah internal keluarga diselesaikan di rumah saja, Bu." Dokter Kardi menjelaskan kepada Ibu yang menunduk tanda mengerti.

Aku tidak tahan lagi, mencoba mengalihkan pandangan ke arah jendela agar tidak ada yang tahu jika bulir bening yang memenuhi mataku akhirnya keluar perlahan tanpa bisa ditahan.

Sakit sekali dada ini rasanya, kubersandar sambil mengatur napas yang naik turun, Ingin rasanya berkata pada pria bernama Romo itu agar mempercepat laju kendaraannya, karena aku tak ingin melihat dia dan Ibu. Harusnya tidak seorang pun tahu masalah ini, tapi kini Dokter Kardi pun tahu masalah ini, Riyan dan Reyna pun begitu. Padahal aku belum menyetujui apa pun, tetapi Ibu sudah membeberkannya.

Rumah Sakit Mitra Bakti.

Setelah diturunkan dari dalam mobil keadaan Papa masih kritis. Papa sedikit pun tidak merespon. Dari hasil pemeriksaan dokter mengatakan Papa masih dalam keadaan koma. Tidak ada penyebab yang pasti kenapa Papa bisa jatuh dari tempat tidur.

Hasil dari diagnosis dokter menyatakan bawa Papa terkena serangan jantung. Dan sekarang masih dalam keadaan koma. Aku merasa khawatir dan merasa takut kalau penyebab jatuhnya Papa karena perdebatan antara aku dan Ibu.

Sementara biaya untuk rumah sakit pun belum tahu harus kudapatkan dari mana. Melihat dari kejauhan Ibu sedang berbincang serius dengan Pak Romo dan Dokter Kardi. Aku tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Sementara Riyan tertidur di sebelah kiri dan Reyna disebelah kananku.

Ibu menangis tersedu, ingin sekali diriku datang ke sana untuk mengetahui apa yang mereka bicarakan, tapi keberadaan Pak Romo di situ membuatku berpikir kembali untuk berkumpul bersama mereka. Aku beranjak pergi ke ruang administrasi, rasa penasaran akan biaya rumah sakit ini mengganggu pikiran. Kuberanjak dan meninggalkan Riyan yang sedang tertidur di ruang tunggu.

Sesampainya di ruang administrasi, aku langsung meminta kepada suster untuk melihat berapa biaya rumah sakit. Namun, betapa terkejutnya diri ini jika biaya rumah sakit sudah dibayar semuanya oleh Ibu. Dari mana Ibu mendapatkan biaya sebesar ini.

Aku bergegas pergi meninggalkan ruang administrasi setelah selesai melihat dokumen pembayaran tersebut. Kemudian kembali ke kamar di mana Papa dirawat. Sesampainya di sana aku melihat Ibu sudah duduk di sebelah kiri Riyan, Pak Romo serta Dokter Kardi berada di situ juga. Aku berjalan perlahan, Ibu menatap kearahku dengan nanar.

"Dari mana saja, Rum?" tanya Ibu ingin tahu.

"Dari ruang administrasi, aku ingin tahu biayanya berapa, tapi ternyata sudah dibayar semuanya," jelasku sambil bersandar di dinding rumah sakit menghadap ke arah Ibu dan yang lainnya. Aku sengaja berdiri karena tidak ingin duduk didekat pria tua itu.

"Kalau kamu tahu biayanya, apa kamu bisa membayarnya, Rum?" cecar Ibu sambil melirik tajam. Aku balik menatap Ibu dan tidak menyangka jika pertanyaan Ibu akan menyudutkanku.

"Ak..., aku hanya ingin tahu, Bu. Walaupun aku sadar tidak dapat membayarnya. Hanya ingin tahu saja."

"Buat apa? Seharusnya kamu berterima kasih kepada Pak Romo, karena beliaulah yang sudah membantu melunasi semua biaya rumah sakit papamu termasuk biaya pengobatannya."

"Bu, apa salah jika aku hanya ingin tahu saja? Kenapa tanggapan Ibu seperti itu?" balasku dengan nada suara sedikit meninggi.

"Untuk apa jika hanya ingin tahu, membantu pun kau tidak akan mampu. Biaya kuliahmu saja kau pasti pusing memikirkannya, belum lagi semua biaya ini, Rum. Seharusnya dari awal kau menurut Rum, untuk saat ini tidak ada gunanya keras kepalamu itu."

Aku memandang Ibu dengan sangat marah, bergantian kupandang ke arah Riyan yang menatapku sedih dan ke arah Pak Romo yang sedikit menyunggingkan senyumnya. Entah apa arti senyum pria tua itu. Apa dia senang melihatku terus-terusan menjadi sasaran kemarahan Ibu. Baginya mungkin ini menyenangkan.

Aku memutuskan untuk pergi. Meladeni Ibu pun tidak akan berarti bagiku. Karena bagi Ibu kehadiranku ada ataupun tidak, sama saja. Pendapatku tidak pernah didengar, Ibu selalu bertindak sesuka hatinya. Setelah ini entah apa lagi yang akan diperbuatnya.

Padahal jika Ibu mau meminta pendapatku, mungkin hutang keluarga juga tidak akan bertambah. Aku punya tabungan yang kusimpan untuk kuliah Riyan. Mungkin itu bisa dipakai untuk biaya pengobatan Papa. Dan ada sedikit tabunganku yang memang sengaja kusimpan untuk diriku sendiri jika aku ingin memulai usaha, terkadang dari tabungan ini sedikit demi sedikitpun aku membelikan obat yang Papa butuhkan dulu. Tapi lagi-lagi Ibu tidak pernah mengandalkanku, apalagi meminta pendapat dariku. Wanita itu selalu saja memohon kepada pria tua yang bernama Romo itu.

Terlepas dari semua perhatian dan pengabdiannya dalam mengurus Papa, Ibu selalu bertindak sesukanya. Baginya mungkin aku bisa dijadikan penjamin bagi hutang mereka. Sungguh jahat jika Ibu berpikir seperti itu.

Aku berhenti di taman rumah sakit, tidak jauh dari taman itu ada sebuah bangunan kecil seperti musholla. Kulangkahkan kaki menuju ke bangunan minimalis itu. Ternyata benar bahwa bangunan itu merupakan musholla.

 Sungguh ini di luar kuasaku. Hati ini ingin menjerit, sungguh perih kurasa dengan siapa kutumpahkan segala gejolak di dada. Kubersimpu dan mengadahkan tangan, hanya kepada Allah lah kucurahkan segala rasa yang berkecamuk dan juga kebimbangan ini. Apakah masih ada jalan untuk berbalik arah menolak perjodohan ini atau jika diterima apakah diri ini akan bisa bahagia hidup dengan orang yang bukan pilihan diriku. Jika menerima pinangan itu, mungkin kuliah dan semua biayanya akan dibiayai Pak Romo. Tapi, haruskan aku menikah dengan seorang lelaki yang bahkan tidak bisa berjalan. Lalu begaimana dirinya akan menjadi suami dan imam yang layak bagiku.

Jika aku menolaknya, maka rumah dan seisinya akan di sita untuk membayar semua hutang Papa dan Ibu. Pilihan itu sama sulitnya, entah aku harus bagaimana.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • MENANTU PILIHAN IBU   67. WISUDA

    WISUDA POV ZAKI. Sejak keluar dari rumah hingga sampai di pelataran auditorium kampus, aku tidak melepas genggaman ini dari tangan Rumi. Dirinya sampai mengomel karena aku tidak melepas pegangan tanganku padanya. “Sebentar aja, Kak, Rumi mau ke toilet,” ucapnya padaku yang berusaha melepas pegangan tangannya. “Yaudah, aku ikut. Aku tunggu di luar.” Dia melotot menatapku, kuabaikan saja berpaling menatap ke arah lain. “Astaga, Kak Zaki. Rumi cuma ke situ, toiletnya dekat.” “Emang salah kalau aku ikut? Ya aku mau jagaian kamu,” balasku tak mau kalah, seulas senyum kuberikan untuknya sebagai peredam amarahnya, tetapi tampaknya tidak berhasil. Kuabaikan lirikan Rumi yang seolah ingin memakanku hidup-hidup. Rumi melangkahkan kakinya dan kuikuti berdampingan dengannya. Tangannya kugenggam erat agar dia tidak menjauh dariku.

  • MENANTU PILIHAN IBU   66. PRIA LAIN

    PRIA LAIN“Kalian berdua sama pentingnya di hati ini. Nggak mungkin aku harus memilih”              Pagi ini aku bangun lebih awal, sebab jam 8 nanti ada undangan dari Bang Kemal untuk menghadiri acara wisudanya. Masalah kemarin sudah selesai, nggak diperpanjang dan berlarut. Kami sama-sama minta maaf.             Kak Zaki sudah menjelaskan padaku tentang Tiara. Perasaan itu berubah sejak lama, saat Tiara mengabaikannya, tidak ingin tahu tentang dirinya. Kalaupun Tiara  merasa kehilangan Kak Zaki, harusnya Tiara mencari bukan malah menghilang tanpa kabar.                Dia katakan kalau Tiara banyak berubah, bukan seperti wanita yang dikenalnya dulu. memang sejak dulu Tiara ambisius, tetapi sekarang jadi lebih terobsesi ingin kembali pada Kak Zaki, padahal Kak Zaki sudah menolaknya.               “Kakak, pakai baju ini?” tanyaku saat melihat Kak Zaki mengeluarkan kemeja batik berwarna hijau botol dengan celana hitam berbahan kain. Dia menatapku sekilas

  • MENANTU PILIHAN IBU   65. PROBLEM

    PROBLEM“Terima kasih karena sudah peduli dan khawatir”              Aku menghela napas pelan berjalan lunglai melewati tiang-tiang koridor perpustakaan. Napas ini sesak, bukan karena Kak Zaki, tetapi lebih kepada diri sendiri. Mulai dari pergi menuju kampus kesialan sudah mengikutiku. Ban taksi online yang bocor di tempat sepi, membuat sopir taksi tersebut kewalahan melakukan pergantian ban sendiri dengan peralatan seadaanya.              Begitu tiba di kampus dosen pembimbing sudah tidak ada lagi, beliau pergi karena menunggu terlalu lama. Entah bagaimana nanti aku menemuinya karena sudah membuatnya menunggu.              Aku mengutuki diri, mungkin ini adalah salah satu pelajaran karena mengingkari dan mengabaikan ucapan Kak Zaki. Dia melarangku pergi, tetapi aku paksa untuk pergi, alhasil begini hasilnya. Allah langsung menegurku dengan berbagai rentetan kejadian di luar kuasa diri.              Getaran dari dalam tas membuat langkahku terhenti, menepi se

  • MENANTU PILIHAN IBU   64. SALAH PAHAM

    SALAH PAHAM “Siapa, Kak,” tanyaku dari dalam sambil berjalan ke arah pintu. Langkah kaki ini terhenti begitu pintu kubuka lebar. “Kak,” lirihku pelan menatap Tiara berpelukan dengan Kak Zaki, dirinya tesenyum ke arahku sambil mengedipkan sebelah matanya. “I miss you,” bisiknya sengaja di depanku sambil melirik. Kak Zaki menoleh, dia segera melepaskan pelukan wanita itu dan berjalan pelan ke arahku perlahan. “Rum,” desisnya sembari meraih tangan ini. Namun, tanpa diduga tangan yang berusaha meraih tangan ini kutepis begitu saja, refleks karena merasa kecewa dengan apa yang sudah kulihat. Kutatap kedua netra Kak Zaki yang terlihat seperti memohon. “Rum, dengar sebentar, Sayang,” ucapnya lembut sambil memegang tanganku lagi. Mata ini sudah memupuk air yang siap

  • MENANTU PILIHAN IBU   63. UNGKAPAN

    UNGKAPAN             Aku masuk terlebih dahulu membiarkan Kak Zaki yang masih diteras memandang ke arah jalan, seolah tengah menunggu seseorang. Mulai dari membereskan ruang tamu juga sisa piring yang masih ada di wastafel belum aku bersihkan.              Oh ya, aku lupa mengecek ponsel yang belum sempat kuperiksa tadinya.  Kubuka ponsel dan melihat beberapa banyak pesan masuk dan panggilan tidak terjawab dari Bang Kemal juga Riyan.              [Rum, kamu baik-baik aja, kan?]             [Apa Zaki melarangmu datang?]              Jariku berhenti tepat di pesan tersebut begitu membacanya, seolah Bang Kemal tahu apa yang terjadi. Pantas saja tatapan pria itu tidak sedikitpun terusik dengan apa yang Kak Zaki lakukan, dia masih terlihat santai di saat Kak Zaki melakukan aksi konyolnya tadi.               [kamu nggak bisa di hubungi, nggak terjadi apa-apa, kan?]             [Nanti aku sama Riyan mau datang ke rumah menjenguk kamu.]             Ak

  • MENANTU PILIHAN IBU   62

    DEBAT KUSIRPOV KEMALAku menunggu Riyan di meja pantry yang ada di dapur Rumi. Sambil main ponsel melihat dokumentasi kegiatan yang baru dilakukan hari ini bersama pihak yayasan chariety peduli rumah singgah. Aku tersenyum senang melihat wajah-wajah semringah anak-anak rumah singgah yang senang mendapat bantuan dari para relawan. Selain itu juga sebagai pendiri rumah singgah, yayasan tersebut mengucurkan dana berupa bantuan untuk membangun bangunan sekolah semi permanen agar dindingnya tidak beralaskan kardus lagi. Aku banyak mengucap syukur, setidaknya apa yang kulakukan bisa memberikan mafaat bagi orang lain. Melihat foto kegiatan para pengajar terbesit rasa sedih walau hanya sedikit, karena Rumi tidak hadir. Namun, aku mencoba menepisnya. Bukannya Rumi tidak mau datang, pasti ada sebabnya kenapa dia tidak bisa hadir. Aku mengulas smirk, menyadari bahwa Rumi bukanlah wanita yang kukenal dulu. Dia sudah bersuami dan pasti dia harus menuruti perkataan suaminya. Sepanjang kegiatan

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status