Sambil menunggu kehadiran Irvan, mereka berdua melanjutkan perbincangan hangat dengan candaan, sambil duduk diatas sofa."Mas, aku nggak punya duit tunai. Aku mau minta duit," ucap Kanya yang masih terlihat nyaman dipangkuan Brian."Oh, aku tadi taruh dompet dimana, ya?" Brian mencari keberadaan dompetnya."Itu, aku taruh diatas meja rias, aku," sahut Kanya, sambil melirik dompet milik Brian."Ya udah, ambil aja," ucap Brian sambil tersenyum menatap Kanya."Beneran ya mas? Aku boleh minta duit kamu?" tanya Kanya sambil tersenyum bahagia."Iya, boleh. Kenapa?" sahut Brian yang tampak kebingungan.Kanya senang mendengar itu, ia meraih dompet Brian dan mencari uang tunai didalamnya."Cuma 300 ribu mas, yah masih kurang dong," ucap Kanya sambil tersenyum melihat isi dompet milik pak manager."Aku emang jarang bawa duit tunai, tapi ada di mobile banking, aku transfer aja, ya," ucap Brian."Beneran?!" ucap Kanya yang tampak bersemangat."Iya, beneran," sahut Brian sambil tersenyum menatap
Kanya yang awalnya berkata sesuatu yang membuat Brian kebingungan, memandang wajahnya yang tampak tak mengerti. Untuk menghapus kebingungannya, Brian memutuskan untuk berbaring di atas kasur, berusaha mencari kenyamanan di antara tumpukan bantal yang telah Kanya atur rapi. Dengan gestur yang lembut, ia kemudian mengajak Kanya untuk bergabung dengannya, berharap bisa tidur dengan tenang sambil merasakan kehangatan pelukan satu sama lain. Sambil berbisik - bisik, keduanya terlihat berkomunikasi. "Sini," ucap Brian sambil merentang tangan kanannya agar Kanya tidur di atasnya. "Nggak usah di minta juga, tujuan aku emang mau dipeluk sama kamu sampai pagi," ucap Kanya sambil berbaring dalam pelukan Brian. "Iya deh..." Ucap Brian pelan dan memeluk Kanya. "Badan kamu kok masih panas banget, mas. Kenapa nggak pake baju sih, mas?" ucap Kanya, saat merasakan suhu panas tubuh Brian. "Tadi kan kamu yang suruh aku buka Hoodie?" ucap Brian, yang mengingatkan Kanya. "Aku kira mas itu pa
Akhirnya, Kanya baru saja tiba di dalam rumah dan segeramasuk kedalam kamar tidurnya, ia terlihat sangat lelah dan hendak segera beristirahat Namun seketika saja ia teringat akan Brian. Kanya segera meraih tasnya dan ia kemudian mencari ponselnya yang ia simpan didalam tas, "Oh iya, dia bilang dia kirim email," ucap Kanya kala teringat jika Brian mengirimkan email padanya. Kanya membuka pesan yang terkirim melalui surel, beberapa surel lain ia abaikan dan hanya membaca pesan surel dari Brian. "Dia kira aku tuh juga nggak sebel liat Sintia, ada di dalam apartemen? Dan mereka berduaan!" ucap Kanya dengan suara lantang dan melempar ponselnya diatas ranjang. Segera Kanya membuka pakaiannya dan buru-buru masuk ke dalam kamar mandi. Ia membersihkan tubuhnya sambil teringat bagaimana pertemuannya dengan Brian saat itu di apartemen dan ia berpikir tentang apa saja yang Brian lakukan dengan Sintia. Kanya terisak sambil memikirkan kenangan yang begitu menyakitkan saat melihat Sintia
Makan malam berdua bersama Irvan, sesekali Irvan dan Kanya tertawa kecil saat menceritakan masa lalu mereka waktu masih duduk di bangku sekolah. Usia keduanya terpaut 6 tahun. Namun walau demikian, Kanya dapat mengimbangi Irvan yang lebih tua darinya. "Kanya, kita ke apartemen Brian, mau nggak?" ucap Irvan. Tentu saja Kanya sangat ingin, namun ia kini tengah mencoba menjaga jarak dengan Brian. "Aku langsung pulang aja deh mas," ucap Kanya. "Yah, nggak asik dong, masa aku sendirian di jalan. Ya udah deh, aku anterin kamu balik terus aku kerumah Brian sendirian," ucap Irvan. "Iya mas, titip salam aja buat dia, bilangin semoga dia cepet sembuh," ucap Kanya sambil tersenyum. "Oke deh, temenin aku dulu, beli buah buahan buat Brian," ucap Irvan. "Oke, boleh," ucap Kanya. Makan malam usai, keduanya melanjutkan untuk berbelanja makanan dan minuman. "Jadi beneran nggak ikut nih?" Irvan mencoba meyakinkan lagi. "Ehm... gimana ya mas?" Kanya terdengar ragu. "Ikut aja deh, Kanya. Pleas
"Mas..." sambil berbaring dan memeluk boneka kecil. Kanya menunggu Brian yang sedang berada dalam kamar mandinya. Datanglah Brian, sambil merapikan sedikit rambutnya dengan handuk kecil yang berada pada bahunya. "Udah mas?" tanya Kanya yang terlihat senang kala melihat Brian. "Udah, aku pulang dulu Kanya, badan aku nggak enak," ucap Brian yang kemudian meletakkan handuk pada tempatnya. "Kalau aku mau ikut kamu pulang, boleh nggak?" tanya Kanya. "Tapi?" Brian seperti ingin mengatakan sesuatu. "Tapi apa? kamu takut kalau pacar kamu tau?" tanya Kanya yang terus melihat Brian. Brian duduk diatas ranjang berhadapan dengan Kanya. Kali ini, keduanya tampak ingin berbicara serius. "Kanya, aku nggak bisa kalau harus ninggalin dia," Brian berucap jujur pada Kanya. "Mas nggak bisa ya coba buat cinta ke aku?" tanya Kanya yang tampak penuh harap "Aku cuma butuh waktu buat berpikir. Aku nggak bisa mutusin iya atau enggak nya, karena harus banyak pertimbangan," ucap Brian sambil m
"Gimana akting kita?" tanya ibunya Kanya pada ibunya Brian."Bagus Ratna. Kamu nanti tambah cantik karena infus vitamin E ini, hihihi..." sahut Indira sambil tertawa kecil."Duh... semoga mereka beneran mau nikah, ya," ucap ibunya Kanya dengan semangat."Ada-ada aja ide kalian," ucap ayahnya Brian yang baru saja tiba di rumah sakit dan duduk di sisi ayahnya Kanya."Iya, yah. kita sih sebagaimana istri aja Richard, mereka maunya kan anak kita memang mau nikah beneran," ucap ayah Kanya."Iyalah, saya juga setuju sih, semoga mereka beneran mau dan saling cinta walau terpaksa pada awalnya yang penting akhirnya," ucap ayah Brian.Terpantau, Kanya baru saja tiba kembali masuk kedalam kamar rawat ibunya."Eh, om Richard? Baru sampe, ya?" Kanya menyapa ayah Brian, sambil mencium punggung tangannya."Iya, mau jemput mamanya Brian," ucap ayah Brian sambil tersenyum."Ya udah kalo gitu, om pulang dulu sama tante indi ya? Mbak Ratna cepet sehat," ucap ayah Brian, sambil tersenyum karena harus be