Home / Rumah Tangga / MENANTU PILIHAN (TAMAT) / BAB 3: (POV RAIHAN) MELAMAR GADIS BERCADAR

Share

BAB 3: (POV RAIHAN) MELAMAR GADIS BERCADAR

Author: Andri Lestari
last update Last Updated: 2022-09-19 00:37:13

(POV RAIHAN)

"Nikahnya kita percepat saja, ya, Pak. Sebelum masuk bulan ramadhan. Biar puasa nanti, Rayhan ada temennya," ujar Ibu ditimpali dengan derai tawa orang tua sang gadis serta Paman Iwan.

Ibu apa-apaan, sih?

Aku mulai gerah dengan kondisi pertemuan yang sangat tak diharapkan ini. Sengaja aku ambil cuti kerja karena alasan Ibu ingin ditemani jalan-jalan. Ternyata, begini hasilnya.

"Gimana, Nak Rayhan? Mau ajak Aira ngobrol dulu?" tanya lelaki yang duduk di samping perempuan bercadar itu padaku.

"Mm ... eh ... gimana, ya? Nanti saja, deh, Pak." Aku menjawab kikuk. Apa perlu harus ngobrol dengan dia? Melihat sekilas saja dia tampak tidak selevel denganku. Lalu, mau diajak ngobrol apa? Tidak imbang pastinya.

"Ayo bangun! Kenali calon istrimu lebih dekat." Ibu mendorong tubuhku.

Ibu, kok, jadi begini, sih? Masa tega menjerumuskan anaknya sendiri?

Aku terpaksa angkat pantat dari kursi kayu berwarna cokelat tua yang sejak tadi kududuki, menuju ke arah gadis bernama Aira. Beramah tamah dan mengajaknya untuk keluar rumah sebentar. Tidak ke mana-mana, hanya duduk di sebuah bangku yang tersedia di depan rumah.

Setiba di bangku kayu tersebut, aku mengenyakkan tubuh dan sama sekali tidak memedulikan Aira. Kulirik sekilas, bukannya duduk di ujung bangku yang telah kusediakan. Dia masih berdiri membelakangiku.

"Sampai kapan kamu mau berdiri seperti itu?" tanyaku acuh.

"Ya, sampai kita selesai bicara." Suaranya terdengar halus dan lembut.

Aku mencoba fokus pada apa yang ingin kusampaikan. Semua telah kurencakan dalam hitungan menit beberapa waktu lalu. Saling diamnya kami membuatku dapat berpikir cepat.

"Jadi begini. Ibuku suka sekali sama kamu. Beliau memaksaku untuk menikahi kamu. Kalau boleh tau, kamu pakai ilmu apa untuk mikat hati ibuku?"

Aduh! Kenapa pertanyaanya meleset dari yang telah kurencanakan. Seharusnya itu adalah isi hati yang harus kupendam, bukan ditanyakan. Gawat!

"Ilmu? Ilmu opo tho? Ndak pakai ilmu-ilmuan. Pun aku cuma tamat SMA aja, kok." Dia menoleh ke arahku. Tak lama, Aira kembali ke posisi semula.

Ini anak sedang berpura-pura pastinya. Aktingnya hebat juga. Bagaimana tidak, wajar aku curiga, apa rahasia yang ia miliki sehingga Ibu sangat bersikeras dan sama sekali tidak mau berkompromi untuk hal perjodohan ini.

"Jadi gini, ya. Asal kamu tau aja, aku menolak perjodohan ini! Kamu gimana? Mau lanjut atau berhenti?" tanyaku tegas.

"Aku ... aku, ya, gimana kata Mak sama Abah aja."

"Kok tunggu mereka, yang mau nikah 'kan kamu!" seruku sengit.

"Karena aku yakin setiap orang tua ngga ada yang mau menjerumuskan anaknya ke dalam keburukan. Apalagi menyangkut perihal pernikahan, sebuah hubungan yang didoakan hanya terjadi sekali seumur hidup. Jadi apa Mas Raihan kira jika ibunya Mas Raihan mau menjerumuskan anaknya?"

Pertanyaan Aira menohokku. Namun, tau apa dia tentang pernikahan. Umur pun masih bau kencur. Lagi pula mana mungkin dia yang akan menjadi jodohku. Banyak wanita cantik di luar sana yang sedang mencoba menarik perhatianku. Dengan jabatan yang kupegang sekarang, wanita seperti apa pun yang kuinginkan pasti akan mudah kudapatkan.

"Memang ngga ada orang tua yang mau jerumuskan anaknya. Namun, kamu jangan buta, Aira. Sang anak pun berhak untuk menentukan masa depannya sendiri. Memilih pasangan seperti apa yang diinginkan untuk menjadi pasangan hidupnya." Aku masih bersikeras. Dan lihatlah! Dia masih sanggup berdiri dengan posisi tidak melihat ke arahku. Dia sama sekali tidak sopan. Dikira aku kotoran hewan apa, harus dihindari.

"Kita sebagai makhluk ciptaan-Nya, tidak berhak apa pun atas diri kita. Semua sudah di atur Allah dan sudah pas porsinya. Langkah, rezeki, pertemuan, maut, semua itu adalah hal ghaib. Ngga ada seorang pun dari makhluk yang mengetahuinya. Semua telah ditetapkan Allah. Lalu tugas kita sebagai makhluk yang taat apa? Cukup berikhtiar, doa dibarengi usaha. Ngga cukup doa saja, pun ngga cukup usaha saja. Semua harus tawazun (seimbang)."

Eleh! Ini cewek banyak sekali omongnya. Itu pakai kata-kata istilah pula. Dikira aku paham?

"Serah, deh! Pokoknya aku menentang perjodohan ini. Apa aku seburik itu dikira Ibu ngga laku?"

"Terserah Mas Raihan aja, deh. Aku, sih, kalau lanjut, ya, lanjut. Kalau ngga, juga ngga jadi masalah. Aku masih muda. Jalanku masih panjang. Ngga tuh ngebet nikah. Biasanya yang ngebet dinikahin itu karena ngga laku-laku," ucapnya sambil melihat ke arahku menggunakan ujung mata. Kerlingannya cukup kuat juga.

Tunggu! Dia mau cari masalah? Bukannya aku tidak laku, tapi Ibu selalu menolak para wanita yang kuperkenalkan padanya. Belum juga berlanjut, masih tahap melihat fotonya saja, Ibu sudah menolak ditambah dengan ancaman segala.

"Kalau kamu belum memutuskan hubungan dengan para wanita itu, penyakit Ibu akan kumat."

Kalimat pamungkas yang setiap saat Ibu lontarkan dan berhasil membuatku tak berkutik sama sekali.

"Oke, ya, Mas. Kurasa kita sudah selesai ngobrolnya. Ada baiknya Mas langsung undur diri pada orang tuaku. Tak baik memberi harapan palsu." Setelah melempar kalimat terakhir, Aira berlalu kemudian. Aku menatap punggungnya lekat. Bertanya-tanya tak mengerti tentang keistimewaan gadis itu. Apa yang ia simpan di dalam dirinya sehingga Ibu begitu yakin untuk menjodohkanku dengannya.

Tubuhnya dibaluti baju panjang hingga menutupi mata kaki. Mengenakan jilbab panjang serta kain penutup wajah berwarna senada. Kakinya juga tak terlihat karena dibungkus dengan kaos kaki berwarna cokelat susu. Very very old style!

Aku pun bangkit dari bangku panjang dan berjalan mengikutinya ke arah rumah. Berniat membatalkan rencana Ibu dan segera pulang ke kota.

"Maaf, semuanya. Perjodohan ini dibatalkan saja. Pada Ibu Ratna, saya mewakili orang tua saya mengucapkan terima kasih atas niat baik Ibu yang bersikeras ingin menjodohkan kami. Jodoh itu adalah hak mutlak dari Allah. Segala sesuatu yang menurut kita baik, mungkin belum tentu baik menurut Allah. Begitu juga sebaliknya, yang menurut kita buruk, belum tentu buruk menurut-Nya."

Kudengar suara Aira dari dalam rumah. Wah! Dia mendahuluiku membatalkan perjodohan tak penting ini. Bagus! Jadi aku tidak perlu susah-susah lagi untuk menjelaskan.

"Kenapa, Nak Aira? Apa yang terjadi?" Aku mendengar suara Ibu begitu tiba di ambang pintu ruang tamu. 

"Mungkin Mas Raihan bisa menjelaskan, Bu."

Aku menggaruk kepala yang tak gatal. Melihat raut wajah sedih Ibu membuatku merasa bersalah. Mata itu berkaca-kaca menatapku. Mata yang tak pernah lelah memperhatikan tumbuh kembangku. Mata yang selalu menatapku penuh cinta. Mata yang tanpa sengaja selalu kulihat terjaga di saat semua orang masih meringkuk di bawah selimut tebalnya. Namun, kedua mata itu sedang menangis sembari mendoakan kesuksesanku di sepertiga malam.

BRUUGGH!!

BRAAAKK!!

"Ibu!"

Seisi ruangan mendadak panik saat melihat tubuh Ibu tersungkur mencium lantai.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MENANTU PILIHAN (TAMAT)    BAB 50: (POV RAIHAN) (TAMAT)

    "Menuruti emosi dan keras kepala hanya akan merugikan, dan penyesalan adalah hadiah yang tepat untuk diterima."***Aku duduk termenung di depan gundukan tanah Merah yang masih basah. Aroma khas dari tanah yang disiram rintik hujan menyapa lembut di indra penciuman. Para pelayat yang lain sudah meninggalkan tanah pekuburan. Hanya aku, Abah, Mak, Ibu serta beberapa tetangga dekat yang masih bertahan.Kami masih khusyu dengan doa masing-masing. Terutama aku, banyak hal yang masih kupertanyakan pada Tuhan, juga banyak hal yang akan kupinta pada-Nya. "Raihan, sudah. Kita pulang. Sebentar lagi hujan lebat," ujar Abah. Sebelah tangannya berada di pundakku. Aku bergeming. Hanya menggeleng saja tanpa menoleh ke arah Abah. "Besok dilanjut lagi, Nak Raihan. Kamu juga harus istirahat. Semalam kamu belum tidur." Kudengar suara Mak ikut menimpali. "Aku masih ingin ngobrol dengan Aira, Mak, Bah. Aku masih mau di sini.""Ya sudah. Kami pergi terlebih dahulu, ya. Ibu tunggu di rumah mertuamu."Aku

  • MENANTU PILIHAN (TAMAT)    BAB 49: (POV RAIHAN)

    "Aira....!"Aku berteriak nyalang. Bungkusan rujak di dalam kantong lepas di tangan. Mak dan Abah berbalik badan. Tangis keduanya semakin menjadi saat melihatku masih berdiri di belakang mereka.Aku menubruk tubuh Aira dan segera mengangkatnya sambil berlari ke luar rumah. Darah segar masih saja tampak mengalir menyentuh telapak kaki wanita yang sudah sangat pucat ini. Panik dan bingung membuatku tak bisa berpikir jernih. Di belakangku Mak dan Abah masih menangis sambil ikut berlari mengikutiku. "Aira. Bangun, Sayang. Ini Mas datang. Mas bawa rujak pesananmu, Sayang."Aku menunggu Abah dan Mak masuk di bangku belakang. Kemudian aku meletakkan Aira perlahan di atas pangkuan mereka. "Raihan. Cepat, Nak. Aira sudah sangat lemah."Tanganku gemetar saat memasukkan kunci ke dalam lubangnya. Tubuhku pun telah basah oleh keringat dingin. "Bah, ajak Aira bicara. Buat dia selalu sadar."Entah ilmu dari mana itu, yang ada di pikiranku adalah Aira harus sadar. Jangan sampai dia tertidur selama

  • MENANTU PILIHAN (TAMAT)    BAB 48: (POV RAIHAN)

    POV RAIHAN***Setelah menghabiskan waktu satu jam menelepon Aira setelah subuh tadi, pagi ini aku berkemas dengan semangat. Tak sabar ingin menyelesaikan pekerjaan dan segera menjemput Aira di Surabaya. Aku ingin memeluknya dan bersimpuh di kaki wanita itu. Kesalahanku padanya sudah menggunung. Kuhadapi meja makan seorang diri. Biasanya selalu ada Aira menemani. Kali ini aku sarapan tanpa ditemani tatapan penuh cinta istriku. Aku sungguh menyesal telah menyia-nyiakannya beberapa hari ini. Mendiamkan Aira tanpa mempedulikannya sama sekali. Ponsel bergetar di atas meja. Sebuah pesan masuk dan segera kubuka. Aku berharap itu adalah Aira. Benar saja, sebuah pesan masuk dari istriku. [Apa Mas masih menyimpan rasa untuk Safia?]Apakah dia masih belum percaya dengan penjelasanku kemarin? Yang dilihat oleh Aira di dekat lampu lalu lintas itu bukanlah sebuah kesengajaan. Lagi pula Safia telah menjadi istri orang. Dia adalah masa lalu yang sudah kukubur dalam-dalam. Jika pun sekarang aku be

  • MENANTU PILIHAN (TAMAT)    BAB 47: (POV RAIHAN)

    "Pak, para klien sudah berkumpul di restoran, bapak di mana?" tanya Omar di seberang telepon. Aku menancap gas agar tak terlambat. Masih tersisa setengah jam lagi."Iya. 15 menit lagi. Minta mereka untuk menunggu sebentar lagi.""Bu Aira bagaimana?""Mereka sudah pergi. Kami selisih di jalan."Aku baru saja dari kafe yang disebutkan Aira tadi malam. Namun, setiba di sana, menurut karyawan kafe, mereka baru saja keluar dari tempat tersebut. Aku tidak menemukan siapa pun. Bermaksud menelepon Aira, ponselku pun tertinggal di dalam mobil. Begitu berada di dalam mobil, aku malah lupa menghubungi Aira karena panik mengejar waktu agar tak terlambat. Benar saja, ternyata para klien telah menunggu di restoran bersama Omar."Pak, saya boleh minta tolong? Safia di dalam taksi sekarang hendak menemuiku. Menurut Safia, sopir taksi tersebut sedang terburu-buru. Anaknya meninggal. Bisa Pak Raihan menunggu Safia sebentar. Posisinya ngga jauh dari posisi bapak sekarang.""Wah, kenapa dia ngga menumpa

  • MENANTU PILIHAN (TAMAT)    BAB 46

    Berulang kali Aira menghubungi suaminya, akan tetapi Raihan tidak memberikan respon apa-apa. Aira merasa khawatir, karena sebentar lagi mereka akan tiba di lokasi tempat yang telah ditentukan. Adit juga telah mengirim pesan di IG sejak tadi, lelaki itu memberitahukan pada Aira jika ia telah tiba sejak tadi dan sedang menunggu kedatangan Aira. "Lu yakin, Ai, mau jumpa Adit tanpa suami lu?" tanya Lita. Wanita itu telah melambankan laju mobilnya. Aira tak menjawab. Ia hanya menaikkan bahu pertanda bimbang. "Ngga pa-pa, deh! Kalau suami lu memang ngga bisa datang, kami saja yang akan menghandel semuanya," ucap Sania kemudian. Aira merasa tak mungkin membatalkan pertemuan dengan Adit. Ini adalah kesempatannya untuk berbicara dengan lelaki itu. Padahal sudah sejak tadi malam Aira memberitahukan pada Raihan, agar lelaki itu bisa meluangkan sedikit waktu untuk pertemuan yang telah direncanakan. Namun, dia malah tak bisa dihubungi. Aira memantapkan diri untuk keluar dan segera menemui Adi

  • MENANTU PILIHAN (TAMAT)    BAB 45: (POV AIRA)

    POV AIRA***Mas Raihan meneleponku. Dia marah karena Lita serta Sania menghubunginya. Dua sahabatku itu memang keras kepala. Sudah kukatakan agar jangan menghubungi Mas Raihan, tapi mereka tetap melakukannya. Percuma menelepon Mas Raihan, apa lagi menjelaskan semuanya tanpa bukti yang akurat. Mas Raihan tidak akan percaya karena dia mengira jika aku dan kedua sahabatku pasti bersekongkol. Aku tetap menghubungi Adit dan menetapkan jadwal pertemuan kami besok. Dari cara-cara lelaki membalas pesanku, dia terlihat sangat antusias. [Wow! Akhirnya aku bisa melepaskan rindu bersamamu, Cantik!]Muak aku membaca pesan balasan dari Adit. Kita lihat saja besok apa yang akan terjadi. [Kamu memang jahat, Dit. Tega sekali mau merusak rumah tanggaku.]Aku membalas pesan lelaki itu. [Lho! Aku ngga suka lihat suamimu, Ai!]Terserah juga dia mau bilang apa, aku akan menyelesaikan semuanya besok. Mas Raihan juga telah kuajak untuk ikut serta. Lelah rasanya berlarut-larut dalam masalah ini. Ditambah

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status