(POV RAIHAN)
"Nikahnya kita percepat saja, ya, Pak. Sebelum masuk bulan ramadhan. Biar puasa nanti, Rayhan ada temennya," ujar Ibu ditimpali dengan derai tawa orang tua sang gadis serta Paman Iwan.Ibu apa-apaan, sih?Aku mulai gerah dengan kondisi pertemuan yang sangat tak diharapkan ini. Sengaja aku ambil cuti kerja karena alasan Ibu ingin ditemani jalan-jalan. Ternyata, begini hasilnya."Gimana, Nak Rayhan? Mau ajak Aira ngobrol dulu?" tanya lelaki yang duduk di samping perempuan bercadar itu padaku."Mm ... eh ... gimana, ya? Nanti saja, deh, Pak." Aku menjawab kikuk. Apa perlu harus ngobrol dengan dia? Melihat sekilas saja dia tampak tidak selevel denganku. Lalu, mau diajak ngobrol apa? Tidak imbang pastinya."Ayo bangun! Kenali calon istrimu lebih dekat." Ibu mendorong tubuhku.Ibu, kok, jadi begini, sih? Masa tega menjerumuskan anaknya sendiri?Aku terpaksa angkat pantat dari kursi kayu berwarna cokelat tua yang sejak tadi kududuki, menuju ke arah gadis bernama Aira. Beramah tamah dan mengajaknya untuk keluar rumah sebentar. Tidak ke mana-mana, hanya duduk di sebuah bangku yang tersedia di depan rumah.Setiba di bangku kayu tersebut, aku mengenyakkan tubuh dan sama sekali tidak memedulikan Aira. Kulirik sekilas, bukannya duduk di ujung bangku yang telah kusediakan. Dia masih berdiri membelakangiku."Sampai kapan kamu mau berdiri seperti itu?" tanyaku acuh."Ya, sampai kita selesai bicara." Suaranya terdengar halus dan lembut.Aku mencoba fokus pada apa yang ingin kusampaikan. Semua telah kurencakan dalam hitungan menit beberapa waktu lalu. Saling diamnya kami membuatku dapat berpikir cepat."Jadi begini. Ibuku suka sekali sama kamu. Beliau memaksaku untuk menikahi kamu. Kalau boleh tau, kamu pakai ilmu apa untuk mikat hati ibuku?"Aduh! Kenapa pertanyaanya meleset dari yang telah kurencanakan. Seharusnya itu adalah isi hati yang harus kupendam, bukan ditanyakan. Gawat!"Ilmu? Ilmu opo tho? Ndak pakai ilmu-ilmuan. Pun aku cuma tamat SMA aja, kok." Dia menoleh ke arahku. Tak lama, Aira kembali ke posisi semula.Ini anak sedang berpura-pura pastinya. Aktingnya hebat juga. Bagaimana tidak, wajar aku curiga, apa rahasia yang ia miliki sehingga Ibu sangat bersikeras dan sama sekali tidak mau berkompromi untuk hal perjodohan ini."Jadi gini, ya. Asal kamu tau aja, aku menolak perjodohan ini! Kamu gimana? Mau lanjut atau berhenti?" tanyaku tegas."Aku ... aku, ya, gimana kata Mak sama Abah aja.""Kok tunggu mereka, yang mau nikah 'kan kamu!" seruku sengit."Karena aku yakin setiap orang tua ngga ada yang mau menjerumuskan anaknya ke dalam keburukan. Apalagi menyangkut perihal pernikahan, sebuah hubungan yang didoakan hanya terjadi sekali seumur hidup. Jadi apa Mas Raihan kira jika ibunya Mas Raihan mau menjerumuskan anaknya?"Pertanyaan Aira menohokku. Namun, tau apa dia tentang pernikahan. Umur pun masih bau kencur. Lagi pula mana mungkin dia yang akan menjadi jodohku. Banyak wanita cantik di luar sana yang sedang mencoba menarik perhatianku. Dengan jabatan yang kupegang sekarang, wanita seperti apa pun yang kuinginkan pasti akan mudah kudapatkan."Memang ngga ada orang tua yang mau jerumuskan anaknya. Namun, kamu jangan buta, Aira. Sang anak pun berhak untuk menentukan masa depannya sendiri. Memilih pasangan seperti apa yang diinginkan untuk menjadi pasangan hidupnya." Aku masih bersikeras. Dan lihatlah! Dia masih sanggup berdiri dengan posisi tidak melihat ke arahku. Dia sama sekali tidak sopan. Dikira aku kotoran hewan apa, harus dihindari."Kita sebagai makhluk ciptaan-Nya, tidak berhak apa pun atas diri kita. Semua sudah di atur Allah dan sudah pas porsinya. Langkah, rezeki, pertemuan, maut, semua itu adalah hal ghaib. Ngga ada seorang pun dari makhluk yang mengetahuinya. Semua telah ditetapkan Allah. Lalu tugas kita sebagai makhluk yang taat apa? Cukup berikhtiar, doa dibarengi usaha. Ngga cukup doa saja, pun ngga cukup usaha saja. Semua harus tawazun (seimbang)."Eleh! Ini cewek banyak sekali omongnya. Itu pakai kata-kata istilah pula. Dikira aku paham?"Serah, deh! Pokoknya aku menentang perjodohan ini. Apa aku seburik itu dikira Ibu ngga laku?""Terserah Mas Raihan aja, deh. Aku, sih, kalau lanjut, ya, lanjut. Kalau ngga, juga ngga jadi masalah. Aku masih muda. Jalanku masih panjang. Ngga tuh ngebet nikah. Biasanya yang ngebet dinikahin itu karena ngga laku-laku," ucapnya sambil melihat ke arahku menggunakan ujung mata. Kerlingannya cukup kuat juga.Tunggu! Dia mau cari masalah? Bukannya aku tidak laku, tapi Ibu selalu menolak para wanita yang kuperkenalkan padanya. Belum juga berlanjut, masih tahap melihat fotonya saja, Ibu sudah menolak ditambah dengan ancaman segala."Kalau kamu belum memutuskan hubungan dengan para wanita itu, penyakit Ibu akan kumat."Kalimat pamungkas yang setiap saat Ibu lontarkan dan berhasil membuatku tak berkutik sama sekali."Oke, ya, Mas. Kurasa kita sudah selesai ngobrolnya. Ada baiknya Mas langsung undur diri pada orang tuaku. Tak baik memberi harapan palsu." Setelah melempar kalimat terakhir, Aira berlalu kemudian. Aku menatap punggungnya lekat. Bertanya-tanya tak mengerti tentang keistimewaan gadis itu. Apa yang ia simpan di dalam dirinya sehingga Ibu begitu yakin untuk menjodohkanku dengannya.Tubuhnya dibaluti baju panjang hingga menutupi mata kaki. Mengenakan jilbab panjang serta kain penutup wajah berwarna senada. Kakinya juga tak terlihat karena dibungkus dengan kaos kaki berwarna cokelat susu. Very very old style!Aku pun bangkit dari bangku panjang dan berjalan mengikutinya ke arah rumah. Berniat membatalkan rencana Ibu dan segera pulang ke kota."Maaf, semuanya. Perjodohan ini dibatalkan saja. Pada Ibu Ratna, saya mewakili orang tua saya mengucapkan terima kasih atas niat baik Ibu yang bersikeras ingin menjodohkan kami. Jodoh itu adalah hak mutlak dari Allah. Segala sesuatu yang menurut kita baik, mungkin belum tentu baik menurut Allah. Begitu juga sebaliknya, yang menurut kita buruk, belum tentu buruk menurut-Nya."Kudengar suara Aira dari dalam rumah. Wah! Dia mendahuluiku membatalkan perjodohan tak penting ini. Bagus! Jadi aku tidak perlu susah-susah lagi untuk menjelaskan."Kenapa, Nak Aira? Apa yang terjadi?" Aku mendengar suara Ibu begitu tiba di ambang pintu ruang tamu. "Mungkin Mas Raihan bisa menjelaskan, Bu."Aku menggaruk kepala yang tak gatal. Melihat raut wajah sedih Ibu membuatku merasa bersalah. Mata itu berkaca-kaca menatapku. Mata yang tak pernah lelah memperhatikan tumbuh kembangku. Mata yang selalu menatapku penuh cinta. Mata yang tanpa sengaja selalu kulihat terjaga di saat semua orang masih meringkuk di bawah selimut tebalnya. Namun, kedua mata itu sedang menangis sembari mendoakan kesuksesanku di sepertiga malam.BRUUGGH!!BRAAAKK!!"Ibu!"Seisi ruangan mendadak panik saat melihat tubuh Ibu tersungkur mencium lantai.***(POV AIRA)Ampun! Aku salah orang. Jadi bukan yang berkumis itu laki-laki yang dimaksud? Aku cekikikan, tapi cukup dalam hati. Bisa gawat kalau aku terbahak di depan semua orang. Nanti saja, deh, ketawa sepuas-puasnya di kamar."Kamu ini. Makanya duduk bagus dulu di sana. Diem! Jangan gresean. Moso anak Emak, udah bagus gitu tertutup pakaiannya, tapi masih tomboi."Aku terkekeh mendengar ucapan Mak. Memangnya orang tomboi dilarang berpakaian syar'i? Atau jika sudah berpakaian syar'i tidak boleh memiliki sifat tomboi? Aduh! Gimana-gimana?Mak mengajakku kembali untuk duduk. Hanya ada beberapa orang di ruang tamu. Aku, Mak dan Abah serta ibu juga pamannya Mas Raihan. Wanita paruh baya di depanku terlihat tersenyum. Parasnya terlihat lembut dalam balutan jilbab berwarna putih. Kulihat ia berbisik kepada lelaki berkumis di sampingnya. Kemudian dibalas anggukan oleh lelaki tersebut. Dia bangkit dan berjalan ke arah luar. Tak lama, lelaki itu kembali masuk bersama seseorang.Ya, Tuhan. Aku
(POV RAIHAN)Ibu tersungkur di lantai. Refleks aku berlari ke arahnya dan mengangkat tubuh Ibu. Namun, wanita ini masih memejamkan mata. Di pangkuanku, aku mengusap pipinya yang semakin menua. Pipi yang dulu jarang sekali merasakan make up mahal. Hanya bermodal bedak padat biasa yang ia pakai sebelum mengantarkan kue pesanan orang. Di lain waktu, pipi yang sedikit demi sedikit telah mengendur ini, hanya dibasahi oleh air wudhu saja."Bu, bangun, Bu." Aku mengusap air mata yang mengalir di pipi Ibu. Sedih sekali melihat kondisinya seperti ini. Apalagi ia tersungkur tepat di depanku, di rumah orang pula."Angkat ke kamarku saja, Mas," Suara Aira membuatku mengangkat wajah. Ingin sekali memarahi gadis itu. Ibu jatuh begini, ya, karena ulahnya. Coba jika dia menahan sedikit mulutnya, pasti Ibu masih baik-baik saja. Ibu pasti kaget. Hanya aku yang tahu bagaimana cara menyampaikan pembatalan acara menyebalkan ini ke Ibu."Iya, Nak Raihan. Angkat dulu Bu Hafsah ke dalam. Nanti biar diurus Ai
"Saya terima nikah dan kawinnya Aira Muthmainnah binti Ahmad Ruslan dengan mas kawin sepuluh gram emas dibayar tunai.""Bagaimana saksi? Sah?""Sah!""Alhamdulillah."Dengungan hamdallah terdengar memenuhi ruangan masjid Baiturrahim. Tempat dilaksanakannya akad nikah Raihan dan Aira.Di tengah para keluarga yang hadir, Aira terlihat menitikkan air mata. Ada rasa haru yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Siapa sangka jika dia telah menjadi istri dari anak majikan tempat ibunya bekerja dulu. Menjadi istri dari seorang pengusaha muda sukses, pemilik showroom mobil di Malang."Mempelai pria dan wanita dipersilakan untuk berdiri. Kepada mempelai pria agar bisa memasangkan perhiasan emas dalam bentuk kalung dan cincin pada mempelai wanita." Moderator memberikan aba-aba.Raihan berdiri dan berjalan ke posisi yang telah disediakan. Demikian juga Aira, ia tampak susah mengangkat gaun terusan yang dikenakan. "Mempelai wanitanya mohon dibantu, Ibu-ibu."Seorang ibu membantu Aira dan meng
Raihan menunggu cadar itu terlepas dari wajah Aira. Sebenarnya ia sudah tak sabar ingin melihat seperti apa wajah itu sejak sebelum mereka menikah. Hanya saja ibunya selalu menghalangi."Mari makan," ujar Aira begitu cadar terlepas.Wanita itu sama sekali tidak berani melihat Raihan. Ia merasa jika sedang diperhatikan. Raihan masih melihat Aira. Kini, wajah wanita itu bisa dilihat dengan jelas. Manis! Namun, tidak membuat hati Raihan tertarik. Tidak memberi respon apa-apa, lelaki itu kembali menyantap makanannya. Hanya dentingan piring yang terdengar. Dari mereka tidak ada yang berbicara satu sama lain.Beberapa menit kemudian, Raihan telah menyelesaikan makan malamnya. Ia bangkit dari kursi dan berdiri di pinggir meja."Kemasi barangmu. Besok kita berangkat ke Malang."Aira menggangguk pelan. Dari Mak ia tahu jika suaminya menetap di Malang selama ini. Raihan melenggang pergi meninggalkan Aira. Sementara gadis itu masih menikmati makanannya.***Raihan belum juga masuk kamar. Aira su
"Orang tuamu 'kan di sini juga. Jangan lebai, ah!" Raihan masih sibuk memberesi barang-barangnya."Engga. Mereka langsung pulang kemarin setelah pesta. Mak minta pulang."Raihan sama sekali tidak ingat jika kedua mertuanya sudah berpamitan kemarin sore. "Hmm! Terserahlah."Aira tersenyum. Hatinya bahagia karena Raihan menyetujui rencananya. Sebenarnya Aira masih berat langkah untuk pergi jauh dari mak dan abahnya. Hanya saja, menjadi istri yang baik dan patuh adalah salah satu cita-citanya selama ini.Setelah sarapan, Aira dan Raihan bersiap-siap untuk mengunjungi mak dan Abah. Sebelumnya mereka terlebih dahulu berpamitan pada Bu Hafsah. Banyak nasehat yang diberikan Bu Hafsah untuk anak dan menantunya. Apalagi Aira masih berumur dua puluh tahun. Masih muda untuk menjadi seorang istri."Jaga Aira baik-baik, Nak. Hanya kamu yang dia miliki di sana. Ditambah dia masih sangat muda. Jadi, kamu harus ekstra sabar menghadapinya."Hafsah berpesan pada putra semata wayangnya. Sesekali wanita
"Mas, kamu pindah ke atas, ya. Aku saja yang tidur di bawah." Aira berusaha membangunkan Raihan yang sudah terlelap. Gadis itu baru saja masuk ke kamarnya. Sejak tadi ia duduk ngobrol dengan kedua orang tuanya di ruang tamu. Malam terakhir ini dipergunakan sebaik-baiknya oleh Aira sebagai malam pelepas rindu. Entah kapan ia bisa menjenguk lagi Mak serta Abahnya itu. Walau jarak Surabaya-Malang tak terlalu jauh, akan tetapi susah memastikan banyak hal ke depan. Karena Aira tahu jika ia tak sebebas lagi seperti sebelum menikah."Mas. Nanti kamu kedinginan di sini. Tidur di ataa aja, ya." Aira kembali membangunkan Raihan. Namun, lelaki itu bergeming. Aira memberanikan diri untuk menyentuh bagian tubuh suaminya yang tertutup selimut.Saat tangannya menyentuh bahu Raihan, Aira terkejut. Tubuh Raihan terasa panas. Tanpa menunggu lama, Aira pun mencoba meyakinkan dengan cara menyentuh pipi serta dahi Raihan."Astaghfirullah. Kamu demam, Mas? Ya Allah. Gimana ini?"Aira panik dan berulang mel
(POV AIRA)Aku menatap lurus ke depan. Pertanyaan yang Raihan lontarkan sungguh membuat hati teriris. Lelaki yang duduk di belakang kemudi itu tak pernah berpikir sebelum berbicara. Ia seolah mengabaikan perasaan lawan bicaranya."Kok ngomong gitu, sih, Mas? Tujuan aku nikah sama kamu, ya, mau bahagia. Itu saja.""Halah! Coba jika yang lamar kemarin bukan aku. Coba kalau kamu dijodohkan dengan orang lain, pengangguran, apa kamu mau?" Dia semakin menjadi-jadi."Tujuan menikah itu untuk memperbaiki diri, pasangan, kehidupan dan meraih keridhaan Tuhan. Aku ngga bisa milih, harus dengan si ini, dengan si itu. Pengusaha sukses atau pengangguran. Toh, semuanya Allah yang gerakkan. Kamu dan ibu datang ke rumahku bukan berjalan dengan sendirinya, tapi ada campur tangan Tuhan di dalamnya. Lalu, jika yang datang melamar dulu seorang pengangguran, apakah aku menerima atau menolaknya? Aku ngga tau harus jawab gimana. Aku bilang engga, tapi Tuhan bilang iya. Aku bilang iya, tapi Tuhan bilang engga
(POV RAIHAN)Perempuan satu ini memang menyebalkan!Bisa-bisanya dia muntah dalam perjalanan. Sudah udik, kuno, malu-maluin lagi. Duh! Ibu, kenapa pula istri macam ini yang kau sukai? Apa tidak ada wanita cantik nan elegan, gitu?"Hati-hati, kalau muntah di dalam mobilku, kamu harus bersihkan sampai bersih!" seruku padanya sebelum dia terbirit-birit keluar dari mobil. Sambil menutup mulutnya, Aira berlari menepi di pinggir jalanan yang sepi. Dia terlihat pucat, tapi apa peduliku. Beberapa saat aku menunggu perempuan itu di sisi pintu mobil. Tak lama kulihat ia berjalan sempoyongan ke arahku. Entah kenapa refleks saja aku sedikit berlari dan segera menangkap tubuhnya yang limbung.Alamak! Bau muntah pula!Setelah membawanya masuk mobil, aku segera membersihkan baju serta tanganku menggunakan tisu basah yang tersedia. Lengkap sudah, selain udik, kuno serta malu-maluin, ternyata dia juga jorok! Fiks, dia sukses membohongi Ibu. Aku semakin yakin jika perempuan ini memakai cara yang tidak