(POV AIRA)
Kata Mak dan Abah, hari ini kami akan kedatangan tamu istimewa. Seistimewa apa aku juga belum tahu. Pastinya Mak memintaku untuk memakai baju paling bagus yang kupunya. Sebagus apa? Toh, bajuku, ya, begitu-begitu saja. Memiliki model yang sama, bahkan warna pun hampir serupa."Dandan dikit, ya, Nduk!"Aku mengernyitkan dahi. Kenapa harus dandan? Kan percuma, wajahku pun tertutup cadar."Memangnya yang mau datang iku sopo tho, Mak?" tanyaku pelan."Orang penting. Orang yang pernah membantu Mak dan Abah dulu."Lagi-lagi jawaban Mak membuatku harus berpikir keras. Sama sekali aku tidak mempunyai bayangan siapa tamu yang akan datang kali ini. Dan aku melihat Mak serta Abah begitu sibuk. Mak sedang menata beberapa ragam kue ke dalam wadah. Kue-kue yang ia buat sendiri sejak tadi malam. Sementara Abah, beliau sedang menyapu ruang tamu sederhana kami. "Abah, sudah bisa dihidang belum kuenya?" Mak berteriak agak keras. Aku masih membantu wanita paruh baya itu menata potongan-potongan bolu dan agar-agar di dalam piring keramik berwarna putih, dengan hiasan bunga tulip merah di pinggirnya. Piring istimewa yang sebelumnya tersimpan di dalam lemari. Hanya dikelurkan saat ada acara istimewa dan digunakan untuk tamu-tamu khusus saja."Nanti saja, Mak. Sekalian dengan minumnya. Datang dulu tamunya.""Kalau nunggu tamu datang, kelamaan, Bah."Mereka masih bersahutan satu sama lain."Ya jangan sekarang juga, dong, Mak. Nanti didatangi semut."Akhirnya Mak terdiam juga. Pada dasarnya Mak memang seorang wanita yang mempunyai sifat panik. Semua hal yang akan diurusi dan dipikirkan. Sehingga ia sering sakit akibat pikiran yang berlebihan."Nduk. Kamu belum siap-siap juga?" tanya Mak sedikit kaget melihatku masih berada di dapur. Sepertinya Mak baru menyadari jika aku berada di sini sejak tadi."Sudah, Mak. Dari tadi juga sudah selesai. Mau ke depan bantu Abah." Aku melenggang pergi ke arah depan."Eh, tunggu! Sudah apanya? Ini lihat baju sama jilbabmu, wes pudar warnanya. Apa ndak ada baju lain, tho?""Kan ngga masalah, Mak. Sing penting bersih san suci." Aku tersenyum melihat raut wajah wanita yang ada di depanku ini."Tapi ndak wah gitu, lho. Kan ini acara kamu, Nduk. Pakailah baju yang istimewa juga. Itu wajahmu mbok, ya, dipolesin. Bibirmu juga jangan pucet gitu.""Enggak, ah. Mak ada-ada aja. Biasanya 'kan juga gini, Mak. Kenapa sekarang jadi masalah?" Aku memanyunkan bibir."Karena yang datang hari ini adalah calon suamimu, Aira."Aku tersedak ludah sendiri. Mak sama Abah memang cocok jadi artis srimulat. Suka bikin lucu. Calon suami dari Korea? Lha wong umurku baru dua puluh tahun. Kira-kira lelaki mana pula yang mau menikah denganku? Seorang gadis rumahan yang hampir tidak pernah berinteraksi dengan lelaki di sekitar desaku. Hari-hari hanya kuhabiskan di sebuah pabrik roti tempatku bekerja. Sebelum adzan Shubuh aku sudah berangkat menggunakan angkutan umum dan tiba di rumah kembali saat malam hari. Menunggu angkutan umum menuju desaku membuat aku harus rela menghabiskan waktu di mushalla dekat halte angkutan yang biasa aku tumpangi.Lalu siapa pula lelaki yang sakit matanya itu?"Kenapa bengong? Kamu dijodohkan dengan dia karena ibunya yang minta. Mak, sih, ngikut aja. Pun mereka berasal dari keluarga baik-baik, berpendidikan dan terpandang pula. Kamu pasti bahagia, insyaAllah."***Rasa penasaran membuat hatiku tak tenang. Siapakah lelaki yang akan tiba itu? Apakah dia mengenalku? Lalu, siapa kerabat kami yang sukses dan terpandang? Rasa-rasanya tidak ada. Pikiranku masih sibuk melanglangbuana. Mengingat-ingat tentang lelaki terpandang yang disampaikan Mak tadi. Meski begitu, kedua tanganku tetap cekatan mengikat tali cadar yang akan kukenakan."Aira. Cepat, Nak. Itu mereka sudah tiba. Duh! Jangan lama, Nak."Aku dikagetkan oleh suara Mak yang berdiri di ambang pintu kamar. Wajahnya menyiratkan rasa panik dan gugup."Tenang, Mak jangan panik. Aku pasti keluar, kok. Yuk!" Aku menggandeng lengan Mak dan kami pun berjalan beriringan.Tamu yang dinanti sejak tadi masih di luar. Sepertinya sedang mencari tempat yang pas untuk memarkirkan mobil. Aku mencoba mengintip, tapi Mak menyuruhku masuk."Tunggu di kamarmu. Nanti Mak panggil kalau sudah waktunya."'Waktunya? Seperti mau dipanggil oleh Yang Maha Kuasa saja,' batinku.Aku berbalik arah menuju kamar. Menunggu di dalam kamar dengan perasaan tak menentu. Hidung kembang kempis. Jantung berdetak lebih cepat. Serta keringat dingin mulai membasahi punggung."Lima puluh lima, lima puluh enam, lima puluh tujuh ..." Aku menghitung penuh kejenuhan. "Aira, kamu dipanggil, Nak. Ya Allah, Mak ndak bisa napas, Nduk. Mas Raihan sudah gagah bener. Ganteng!"Raihan? Kurasakan kehangatan menjalar di wajahku. Aih! Apa-apaan ini!"Mak, kenapa, sih?" Aku pura-pura tak menghiraukan ucapan beliau.Mak menggandengku menuju ruang tamu. Aku berhenti di belakang kursi. Mataku terpaku pada sosok laki-laki di depanku. Tak henti aku mendengungkan istighfar di dalam hati. Sungguh, mataku tak berkedip melihat lelaki itu. Di sampingnya duduk wanita paruh baya dan ia tersenyum lebar ke arahku.Aku mundur beberapa langkah. Menarik tangan Mak ke belakang. Mak kaget dan terlihat terpaksa mengikuti ajakanku. Tak peduli dengan sikap heran mereka, aku ingin semuanya diperjelas."Aira, kamu kenapa, Nduk? Jangan malu-maluin." Mak berkata tak senang."Malu-maluin gimana? Tadi Mak bilang gagah plus ganteng. Lha itu?""Iya. Gagah! Ganteng. Mas Raihan calonmu itu, Nak." Ibu bersikeras."Gagah, sih, lumayan. Tapi ganteng? Dih! Amit-amit, Mak. Mana kumisan." Aku sesak menahan tangis. Boro-boro mau nikah, lihat calonnya saja aku sudah ilfil."Kumisan?""Iya! Masa Mak ndak bisa lihat kumisnya itu segede lintah. Mana sudah berumur lagi. Mak sama Abah, kok, tega?" Aku tersedu juga akhirnya. Tak terbayang akan dijodohkan dengan pria yang lebih pantas menjadi ayahku."Lha. Bukan itu, Nduk. Mas Raihan itu yang di luar. Dia belum masuk. Kalau yang kumisan itu pamannya dia. Adik kandung calon ibu mertuamu."Kulihat Mak menutup mulut menahan tawa."Hah! Moso?"***Next"Menuruti emosi dan keras kepala hanya akan merugikan, dan penyesalan adalah hadiah yang tepat untuk diterima."***Aku duduk termenung di depan gundukan tanah Merah yang masih basah. Aroma khas dari tanah yang disiram rintik hujan menyapa lembut di indra penciuman. Para pelayat yang lain sudah meninggalkan tanah pekuburan. Hanya aku, Abah, Mak, Ibu serta beberapa tetangga dekat yang masih bertahan.Kami masih khusyu dengan doa masing-masing. Terutama aku, banyak hal yang masih kupertanyakan pada Tuhan, juga banyak hal yang akan kupinta pada-Nya. "Raihan, sudah. Kita pulang. Sebentar lagi hujan lebat," ujar Abah. Sebelah tangannya berada di pundakku. Aku bergeming. Hanya menggeleng saja tanpa menoleh ke arah Abah. "Besok dilanjut lagi, Nak Raihan. Kamu juga harus istirahat. Semalam kamu belum tidur." Kudengar suara Mak ikut menimpali. "Aku masih ingin ngobrol dengan Aira, Mak, Bah. Aku masih mau di sini.""Ya sudah. Kami pergi terlebih dahulu, ya. Ibu tunggu di rumah mertuamu."Aku
"Aira....!"Aku berteriak nyalang. Bungkusan rujak di dalam kantong lepas di tangan. Mak dan Abah berbalik badan. Tangis keduanya semakin menjadi saat melihatku masih berdiri di belakang mereka.Aku menubruk tubuh Aira dan segera mengangkatnya sambil berlari ke luar rumah. Darah segar masih saja tampak mengalir menyentuh telapak kaki wanita yang sudah sangat pucat ini. Panik dan bingung membuatku tak bisa berpikir jernih. Di belakangku Mak dan Abah masih menangis sambil ikut berlari mengikutiku. "Aira. Bangun, Sayang. Ini Mas datang. Mas bawa rujak pesananmu, Sayang."Aku menunggu Abah dan Mak masuk di bangku belakang. Kemudian aku meletakkan Aira perlahan di atas pangkuan mereka. "Raihan. Cepat, Nak. Aira sudah sangat lemah."Tanganku gemetar saat memasukkan kunci ke dalam lubangnya. Tubuhku pun telah basah oleh keringat dingin. "Bah, ajak Aira bicara. Buat dia selalu sadar."Entah ilmu dari mana itu, yang ada di pikiranku adalah Aira harus sadar. Jangan sampai dia tertidur selama
POV RAIHAN***Setelah menghabiskan waktu satu jam menelepon Aira setelah subuh tadi, pagi ini aku berkemas dengan semangat. Tak sabar ingin menyelesaikan pekerjaan dan segera menjemput Aira di Surabaya. Aku ingin memeluknya dan bersimpuh di kaki wanita itu. Kesalahanku padanya sudah menggunung. Kuhadapi meja makan seorang diri. Biasanya selalu ada Aira menemani. Kali ini aku sarapan tanpa ditemani tatapan penuh cinta istriku. Aku sungguh menyesal telah menyia-nyiakannya beberapa hari ini. Mendiamkan Aira tanpa mempedulikannya sama sekali. Ponsel bergetar di atas meja. Sebuah pesan masuk dan segera kubuka. Aku berharap itu adalah Aira. Benar saja, sebuah pesan masuk dari istriku. [Apa Mas masih menyimpan rasa untuk Safia?]Apakah dia masih belum percaya dengan penjelasanku kemarin? Yang dilihat oleh Aira di dekat lampu lalu lintas itu bukanlah sebuah kesengajaan. Lagi pula Safia telah menjadi istri orang. Dia adalah masa lalu yang sudah kukubur dalam-dalam. Jika pun sekarang aku be
"Pak, para klien sudah berkumpul di restoran, bapak di mana?" tanya Omar di seberang telepon. Aku menancap gas agar tak terlambat. Masih tersisa setengah jam lagi."Iya. 15 menit lagi. Minta mereka untuk menunggu sebentar lagi.""Bu Aira bagaimana?""Mereka sudah pergi. Kami selisih di jalan."Aku baru saja dari kafe yang disebutkan Aira tadi malam. Namun, setiba di sana, menurut karyawan kafe, mereka baru saja keluar dari tempat tersebut. Aku tidak menemukan siapa pun. Bermaksud menelepon Aira, ponselku pun tertinggal di dalam mobil. Begitu berada di dalam mobil, aku malah lupa menghubungi Aira karena panik mengejar waktu agar tak terlambat. Benar saja, ternyata para klien telah menunggu di restoran bersama Omar."Pak, saya boleh minta tolong? Safia di dalam taksi sekarang hendak menemuiku. Menurut Safia, sopir taksi tersebut sedang terburu-buru. Anaknya meninggal. Bisa Pak Raihan menunggu Safia sebentar. Posisinya ngga jauh dari posisi bapak sekarang.""Wah, kenapa dia ngga menumpa
Berulang kali Aira menghubungi suaminya, akan tetapi Raihan tidak memberikan respon apa-apa. Aira merasa khawatir, karena sebentar lagi mereka akan tiba di lokasi tempat yang telah ditentukan. Adit juga telah mengirim pesan di IG sejak tadi, lelaki itu memberitahukan pada Aira jika ia telah tiba sejak tadi dan sedang menunggu kedatangan Aira. "Lu yakin, Ai, mau jumpa Adit tanpa suami lu?" tanya Lita. Wanita itu telah melambankan laju mobilnya. Aira tak menjawab. Ia hanya menaikkan bahu pertanda bimbang. "Ngga pa-pa, deh! Kalau suami lu memang ngga bisa datang, kami saja yang akan menghandel semuanya," ucap Sania kemudian. Aira merasa tak mungkin membatalkan pertemuan dengan Adit. Ini adalah kesempatannya untuk berbicara dengan lelaki itu. Padahal sudah sejak tadi malam Aira memberitahukan pada Raihan, agar lelaki itu bisa meluangkan sedikit waktu untuk pertemuan yang telah direncanakan. Namun, dia malah tak bisa dihubungi. Aira memantapkan diri untuk keluar dan segera menemui Adi
POV AIRA***Mas Raihan meneleponku. Dia marah karena Lita serta Sania menghubunginya. Dua sahabatku itu memang keras kepala. Sudah kukatakan agar jangan menghubungi Mas Raihan, tapi mereka tetap melakukannya. Percuma menelepon Mas Raihan, apa lagi menjelaskan semuanya tanpa bukti yang akurat. Mas Raihan tidak akan percaya karena dia mengira jika aku dan kedua sahabatku pasti bersekongkol. Aku tetap menghubungi Adit dan menetapkan jadwal pertemuan kami besok. Dari cara-cara lelaki membalas pesanku, dia terlihat sangat antusias. [Wow! Akhirnya aku bisa melepaskan rindu bersamamu, Cantik!]Muak aku membaca pesan balasan dari Adit. Kita lihat saja besok apa yang akan terjadi. [Kamu memang jahat, Dit. Tega sekali mau merusak rumah tanggaku.]Aku membalas pesan lelaki itu. [Lho! Aku ngga suka lihat suamimu, Ai!]Terserah juga dia mau bilang apa, aku akan menyelesaikan semuanya besok. Mas Raihan juga telah kuajak untuk ikut serta. Lelah rasanya berlarut-larut dalam masalah ini. Ditambah