/ Rumah Tangga / MENANTU PILIHAN (TAMAT) / BAB 4: (POV AIRA) GANTENG, SIH, TAPI NA'UDZUBILLAH!

공유

BAB 4: (POV AIRA) GANTENG, SIH, TAPI NA'UDZUBILLAH!

작가: Andri Lestari
last update 최신 업데이트: 2022-09-19 00:38:36

(POV AIRA)

Ampun! Aku salah orang. Jadi bukan yang berkumis itu laki-laki yang dimaksud? Aku cekikikan, tapi cukup dalam hati. Bisa gawat kalau aku terbahak di depan semua orang. Nanti saja, deh, ketawa sepuas-puasnya di kamar.

"Kamu ini. Makanya duduk bagus dulu di sana. Diem! Jangan gresean. Moso anak Emak, udah bagus gitu tertutup pakaiannya, tapi masih tomboi."

Aku terkekeh mendengar ucapan Mak. Memangnya orang tomboi dilarang berpakaian syar'i? Atau jika sudah berpakaian syar'i tidak boleh memiliki sifat tomboi? Aduh! Gimana-gimana?

Mak mengajakku kembali untuk duduk. Hanya ada beberapa orang di ruang tamu. Aku, Mak dan Abah serta ibu juga pamannya Mas Raihan. Wanita paruh baya di depanku terlihat tersenyum. Parasnya terlihat lembut dalam balutan jilbab berwarna putih. 

Kulihat ia berbisik kepada lelaki berkumis di sampingnya. Kemudian dibalas anggukan oleh lelaki tersebut. Dia bangkit dan berjalan ke arah luar. Tak lama, lelaki itu kembali masuk bersama seseorang.

Ya, Tuhan. Aku terkesima. Astaghfirullah. Astaghfirullah. Tenang ... tenang. Istighfar kencang-kencang.

"Nak Raihan. Silakan duduk," ucap Abah.

Aku salah tingkah dibuatnya. Sungguh sempurna ciptaan-Mu, ya, Allah. Melihat ketampanan yang dimiliki lelaki itu, aku jadi minder tak percaya diri.

"Nak, bantu Mak dulu di dapur," ajak Mak. Ia seperti tahu kondisi hatiku saat ini. Berdebar-debar tak menentu sejak tadi.

Aku mengangguk dan bangun menyusul Mak yang sudah terlebih dulu berjalan ke belakang.

"Jangan sibuk-sibuk, Aira." Ibunya Mas Raihan berujar. Kubalas dengan sekali anggukan, kemudian berlalu dari hadapan mereka.

***

Di dapur, Mak kembali mengingatkanku. Ya, seperti biasa, sifat paniknya kembali meraja.

"Ingat, Nduk. Jaga sikap, ya. Jangan bikin kacau acara. Ini kesempatan yang gak akan terulang. Langka."

"Nggeh, Mak. Aku janji. InsyaAllah." Aku Meletakkan tangan kanan di ujung pelipis mata, mempraktekkan hormat di depan Mak.

"Ayo buruan. Mak bawa ini, kamu bawa yang ini aja." Mak, mengangkat talam berukuran lebar yang sudah di isi dengan piring-piring berisi beraneka kue basah. Sementara aku hanya mengangkat sebuah talam persegi yang berukuran lebih kecil. Berisi beberapa cangkir yang sudah di isi teh hangat.

Sederhana, tapi memerlukan waktu untuk mempersiapkannya. Mak dan Abah saling bahu membahu mengerjakan semua. Dikerjakan penuh cinta, demi sang putri tercinta.

"Tuh kan, jadi ngerepotin ini," ibu Mas Raihan ikut bangun menyambut talam yang dibawa Mak. Mereka berdua terlihat asik menata beberapa piring di atas meja.

"Wah, ngga muat ini mejanya," ucap Mak dengan raut wajah tak enak.

"Ngga apa-apa, Bik. Selebihnya bisa letak di bawah aja."

Mak dan ibu Mas Raihan akhirnya meletakkan beberapa piring kue yang lebih di atas tikar. Kemudian melanjutkan pembahasan tentang perjodohan kami sambil menikmati jamuan sederhana yang telah dihidangkan.

"Kalau bisa sebelum lebaran mereka sudah sah!" seru Bu Hafsah, ibunya Raihan.

Sebelum lebaran? Wah! Gawat. Debaran di dadaku semakin kencang. Aku membalikkan badan ke arah dinding. Mencoba menetralkan hati yang asik berdebar tanpa henti. Parah!

"Bu, tapi kan ...,"

"Iya. Lebih cepat lebih baik." Bu Hafsah memotong ucapan anaknya cepat.

"Bu, maksudku, apa kita ngga sebaiknya ngobrol dulu di luar. Empat mata." Mas Raihan setengah memaksa. 

"Kok ibu yang diajak bicara empat mata? Tuh, Aira, calon istrimu. Ajak dia ngobrol di luar. Itung-itung untuk lebih mengenal satu sama lain."

Ya ampun. Jantungku seperti sedang naik kuda. Terpacu begitu cepat.

"Aira, sana gih ngobrol di depan sama Raihan."

Lagi dan lagi aku hanya mampu menganggukkan kepala. Bibir terasa kelu tak sanggup berkata-kata. Di belakang Mas Raihan, aku mengayunkan langkah mengikutinya. Di luar, lelaki itu menuju ke sebuah bangku panjang yang terbuat dari kayu. Serba salah. Mau duduk di ujung bangku, kok, ada perasaan tak enak. Akhirnya aku memutuskan untuk berdiri saja.

Di lihat dari sudut mana pun, Mas Raihan terlihat sangat tampan. Tuhan telah menciptakannya dengan rupa yang sempurna.

Kami masih saling diam. Ingin mengajaknya bicara terlebih dahulu, aku tidak mau terlihat ekspresif. Menunggu dia menyapa duluan, seperti menunggu detik-detik beduk Magrib ditabuh waktu bulan puasa. MasyaAllah.

Lalu aku harus bagaimana? Berdiri saja saja seperti bodyguard sedang menjaga bosnya?

"Sampai kapan mau berdiri di situ?" 

Ah, akhirnya dia bicara juga. Rasanya itu seperti buru-buru berlari ke toilet saat hajat memanggil untuk segera dituntaskan.

Lega!

Aku tidak fokus. Kalimat yang Mas Raihan lontarkan tidak habis ditangkap telinga. Timbul tenggelam seperti gejolak yang kurasa saat ini. Namun, di depannya dan para tamu yang lain, aku tidak bisa menjadi tupai yang bisa lompat ke sana ke mari. Mendadak menjadi burung merak yang elegan. 

"Ya, sampai kita selesai bicara." Aku menjawab tanpa melihat ke arahnya. 

"Jadi begini. Ibuku suka sekali sama kamu. Beliau memaksaku untuk menikahi kamu. Kalau boleh tau, kamu pakai ilmu apa untuk mikat hati ibuku?"

Waduh! Maksud dia apa? Ilmu bagaimana? Ilmu kerja di pabrik roti? Ada-ada saja. Dia pikir ilmu pemikat itu hanya berasal dari pelet, guna-guna dan sejenisnya? Katrok!

"Ilmu? Ilmu opo tho? Ndak pakai ilmu-ilmuan. Pun aku cuma tamat SMA aja, kok."

"Jadi gini, ya. Asal kamu tau aja, aku menolak perjodohan ini! Kamu gimana? Mau lanjut atau berhenti?" tanyaku tegas.

"Aku ... aku, ya, gimana kata Mak sama Abah aja." Aku menjawab sedikit terbata. Kok pertanyaannya begitu, sih? Dia keberatan dijodohkan denganku?

"Kok tunggu mereka, yang mau nikah 'kan kamu!" seru Mas Raihan.

"Karena aku yakin setiap orang tua ngga ada yang mau menjerumuskan anaknya ke dalam keburukan. Apalagi menyangkut perihal pernikahan, sebuah hubungan yang didoakan hanya terjadi sekali seumur hidup. Jadi apa Mas Raihan kira jika ibunya Mas Raihan mau menjerumuskan anaknya?"

"Memang ngga ada orang tua yang mau jerumuskan anaknya. Namun, kamu jangan buta, Aira. Sang anak pun berhak untuk menentukan masa depannya sendiri. Memilih pasangan seperti apa yang diinginkan untuk menjadi pasangan hidupnya." Aku masih bersikeras. Dan lihatlah! Dia masih sanggup berdiri dengan posisi tidak melihat ke arahku. Dia sama sekali tidak sopan. Dikira aku kotoran hewan apa, harus dihindari.

"Kita sebagai makhluk ciptaan-Nya, tidak berhak apa pun atas diri kita. Semua sudah di atur Allah dan sudah pas porsinya. Langkah, rezeki, pertemuan, maut, semua itu adalah hal ghaib. Ngga ada seorang pun dari makhluk yang mengetahuinya. Semua telah ditetapkan Allah. Lalu tugas kita sebagai makhluk yang taat apa? Cukup berikhtiar, doa dibarengi usaha. Ngga cukup doa saja, pun ngga cukup usaha saja. Semua harus tawazun (seimbang)." Napasku memburu. Rasanya ubun-ubunku terbakar mendengar setiap ucapan daei mulutnya.

"Serah, deh! Pokoknya aku menentang perjodohan ini. Apa aku seburik itu dikira Ibu ngga laku?" Bukannya mengalah, dia malah asik mengeluarkan pendapat.

"Terserah Mas Raihan aja, deh. Aku, sih, kalau lanjut, ya, lanjut. Kalau ngga, juga ngga jadi masalah. Aku masih muda. Jalanku masih panjang. Ngga tuh ngebet nikah. Biasanya yang ngebet dinikahin itu karena ngga laku-laku," jawabku kesal. Sok kegantengan sekali lelaki itu. Huft!

"Oke, ya, Mas. Kurasa kita sudah selesai ngobrolnya. Ada baiknya Mas langsung undur diri pada orang tuaku. Tak baik memberi harapan palsu," lanjutku. Kemudian meninggalkannya seorang diri.

Dengan napas terengah menahan kesal. Aku berdiri di tengah-tengah hampir mendekati meja. Ingin mengeluarkan uneg-uneg yang sedang kurasa.

"Maaf, semuanya. Perjodohan ini dibatalkan saja. Pada Ibu Ratna, saya mewakili orang tua saya mengucapkan terima kasih atas niat baik Ibu yang bersikeras ingin menjodohkan kami. Jodoh itu adalah hak mutlak dari Allah. Segala sesuatu yang menurut kita baik, mungkin belum tentu baik menurut Allah. Begitu juga sebaliknya, yang menurut kita buruk, belum tentu buruk menurut-Nya."

Bagaimana pun juga, aku merasa malu atas penolakan Mas Raihan. Lelaki di dunia ini banyak. Tidak menikah dengan dia, bukan berarti jodohku tidak akan datang lagi.

"Kenapa, Nak Aira? Apa yang terjadi?" Ibu Hafsah tampak kaget.

"Mungkin Mas Raihan bisa menjelaskan, Bu."

Aku melirik ke atas lelaki tampan bermulut menjengkelkan itu. Ia tampak tersenyum kecut sembari menggaruk kepala. Garuk, tuh! 

BRUGHH!

Tiba-tiba aku sangat terkejut melihat Bu Hafsah jatuh tiba-tiba.

***

Next

이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요
댓글 (1)
goodnovel comment avatar
siswati ima
Di awal cerita, nama ibunya Raihan:Ratna, kok jd ganti Hafsah?
댓글 모두 보기

최신 챕터

  • MENANTU PILIHAN (TAMAT)    BAB 50: (POV RAIHAN) (TAMAT)

    "Menuruti emosi dan keras kepala hanya akan merugikan, dan penyesalan adalah hadiah yang tepat untuk diterima."***Aku duduk termenung di depan gundukan tanah Merah yang masih basah. Aroma khas dari tanah yang disiram rintik hujan menyapa lembut di indra penciuman. Para pelayat yang lain sudah meninggalkan tanah pekuburan. Hanya aku, Abah, Mak, Ibu serta beberapa tetangga dekat yang masih bertahan.Kami masih khusyu dengan doa masing-masing. Terutama aku, banyak hal yang masih kupertanyakan pada Tuhan, juga banyak hal yang akan kupinta pada-Nya. "Raihan, sudah. Kita pulang. Sebentar lagi hujan lebat," ujar Abah. Sebelah tangannya berada di pundakku. Aku bergeming. Hanya menggeleng saja tanpa menoleh ke arah Abah. "Besok dilanjut lagi, Nak Raihan. Kamu juga harus istirahat. Semalam kamu belum tidur." Kudengar suara Mak ikut menimpali. "Aku masih ingin ngobrol dengan Aira, Mak, Bah. Aku masih mau di sini.""Ya sudah. Kami pergi terlebih dahulu, ya. Ibu tunggu di rumah mertuamu."Aku

  • MENANTU PILIHAN (TAMAT)    BAB 49: (POV RAIHAN)

    "Aira....!"Aku berteriak nyalang. Bungkusan rujak di dalam kantong lepas di tangan. Mak dan Abah berbalik badan. Tangis keduanya semakin menjadi saat melihatku masih berdiri di belakang mereka.Aku menubruk tubuh Aira dan segera mengangkatnya sambil berlari ke luar rumah. Darah segar masih saja tampak mengalir menyentuh telapak kaki wanita yang sudah sangat pucat ini. Panik dan bingung membuatku tak bisa berpikir jernih. Di belakangku Mak dan Abah masih menangis sambil ikut berlari mengikutiku. "Aira. Bangun, Sayang. Ini Mas datang. Mas bawa rujak pesananmu, Sayang."Aku menunggu Abah dan Mak masuk di bangku belakang. Kemudian aku meletakkan Aira perlahan di atas pangkuan mereka. "Raihan. Cepat, Nak. Aira sudah sangat lemah."Tanganku gemetar saat memasukkan kunci ke dalam lubangnya. Tubuhku pun telah basah oleh keringat dingin. "Bah, ajak Aira bicara. Buat dia selalu sadar."Entah ilmu dari mana itu, yang ada di pikiranku adalah Aira harus sadar. Jangan sampai dia tertidur selama

  • MENANTU PILIHAN (TAMAT)    BAB 48: (POV RAIHAN)

    POV RAIHAN***Setelah menghabiskan waktu satu jam menelepon Aira setelah subuh tadi, pagi ini aku berkemas dengan semangat. Tak sabar ingin menyelesaikan pekerjaan dan segera menjemput Aira di Surabaya. Aku ingin memeluknya dan bersimpuh di kaki wanita itu. Kesalahanku padanya sudah menggunung. Kuhadapi meja makan seorang diri. Biasanya selalu ada Aira menemani. Kali ini aku sarapan tanpa ditemani tatapan penuh cinta istriku. Aku sungguh menyesal telah menyia-nyiakannya beberapa hari ini. Mendiamkan Aira tanpa mempedulikannya sama sekali. Ponsel bergetar di atas meja. Sebuah pesan masuk dan segera kubuka. Aku berharap itu adalah Aira. Benar saja, sebuah pesan masuk dari istriku. [Apa Mas masih menyimpan rasa untuk Safia?]Apakah dia masih belum percaya dengan penjelasanku kemarin? Yang dilihat oleh Aira di dekat lampu lalu lintas itu bukanlah sebuah kesengajaan. Lagi pula Safia telah menjadi istri orang. Dia adalah masa lalu yang sudah kukubur dalam-dalam. Jika pun sekarang aku be

  • MENANTU PILIHAN (TAMAT)    BAB 47: (POV RAIHAN)

    "Pak, para klien sudah berkumpul di restoran, bapak di mana?" tanya Omar di seberang telepon. Aku menancap gas agar tak terlambat. Masih tersisa setengah jam lagi."Iya. 15 menit lagi. Minta mereka untuk menunggu sebentar lagi.""Bu Aira bagaimana?""Mereka sudah pergi. Kami selisih di jalan."Aku baru saja dari kafe yang disebutkan Aira tadi malam. Namun, setiba di sana, menurut karyawan kafe, mereka baru saja keluar dari tempat tersebut. Aku tidak menemukan siapa pun. Bermaksud menelepon Aira, ponselku pun tertinggal di dalam mobil. Begitu berada di dalam mobil, aku malah lupa menghubungi Aira karena panik mengejar waktu agar tak terlambat. Benar saja, ternyata para klien telah menunggu di restoran bersama Omar."Pak, saya boleh minta tolong? Safia di dalam taksi sekarang hendak menemuiku. Menurut Safia, sopir taksi tersebut sedang terburu-buru. Anaknya meninggal. Bisa Pak Raihan menunggu Safia sebentar. Posisinya ngga jauh dari posisi bapak sekarang.""Wah, kenapa dia ngga menumpa

  • MENANTU PILIHAN (TAMAT)    BAB 46

    Berulang kali Aira menghubungi suaminya, akan tetapi Raihan tidak memberikan respon apa-apa. Aira merasa khawatir, karena sebentar lagi mereka akan tiba di lokasi tempat yang telah ditentukan. Adit juga telah mengirim pesan di IG sejak tadi, lelaki itu memberitahukan pada Aira jika ia telah tiba sejak tadi dan sedang menunggu kedatangan Aira. "Lu yakin, Ai, mau jumpa Adit tanpa suami lu?" tanya Lita. Wanita itu telah melambankan laju mobilnya. Aira tak menjawab. Ia hanya menaikkan bahu pertanda bimbang. "Ngga pa-pa, deh! Kalau suami lu memang ngga bisa datang, kami saja yang akan menghandel semuanya," ucap Sania kemudian. Aira merasa tak mungkin membatalkan pertemuan dengan Adit. Ini adalah kesempatannya untuk berbicara dengan lelaki itu. Padahal sudah sejak tadi malam Aira memberitahukan pada Raihan, agar lelaki itu bisa meluangkan sedikit waktu untuk pertemuan yang telah direncanakan. Namun, dia malah tak bisa dihubungi. Aira memantapkan diri untuk keluar dan segera menemui Adi

  • MENANTU PILIHAN (TAMAT)    BAB 45: (POV AIRA)

    POV AIRA***Mas Raihan meneleponku. Dia marah karena Lita serta Sania menghubunginya. Dua sahabatku itu memang keras kepala. Sudah kukatakan agar jangan menghubungi Mas Raihan, tapi mereka tetap melakukannya. Percuma menelepon Mas Raihan, apa lagi menjelaskan semuanya tanpa bukti yang akurat. Mas Raihan tidak akan percaya karena dia mengira jika aku dan kedua sahabatku pasti bersekongkol. Aku tetap menghubungi Adit dan menetapkan jadwal pertemuan kami besok. Dari cara-cara lelaki membalas pesanku, dia terlihat sangat antusias. [Wow! Akhirnya aku bisa melepaskan rindu bersamamu, Cantik!]Muak aku membaca pesan balasan dari Adit. Kita lihat saja besok apa yang akan terjadi. [Kamu memang jahat, Dit. Tega sekali mau merusak rumah tanggaku.]Aku membalas pesan lelaki itu. [Lho! Aku ngga suka lihat suamimu, Ai!]Terserah juga dia mau bilang apa, aku akan menyelesaikan semuanya besok. Mas Raihan juga telah kuajak untuk ikut serta. Lelah rasanya berlarut-larut dalam masalah ini. Ditambah

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status