(POV AIRA)
Ampun! Aku salah orang. Jadi bukan yang berkumis itu laki-laki yang dimaksud? Aku cekikikan, tapi cukup dalam hati. Bisa gawat kalau aku terbahak di depan semua orang. Nanti saja, deh, ketawa sepuas-puasnya di kamar."Kamu ini. Makanya duduk bagus dulu di sana. Diem! Jangan gresean. Moso anak Emak, udah bagus gitu tertutup pakaiannya, tapi masih tomboi."Aku terkekeh mendengar ucapan Mak. Memangnya orang tomboi dilarang berpakaian syar'i? Atau jika sudah berpakaian syar'i tidak boleh memiliki sifat tomboi? Aduh! Gimana-gimana?Mak mengajakku kembali untuk duduk. Hanya ada beberapa orang di ruang tamu. Aku, Mak dan Abah serta ibu juga pamannya Mas Raihan. Wanita paruh baya di depanku terlihat tersenyum. Parasnya terlihat lembut dalam balutan jilbab berwarna putih. Kulihat ia berbisik kepada lelaki berkumis di sampingnya. Kemudian dibalas anggukan oleh lelaki tersebut. Dia bangkit dan berjalan ke arah luar. Tak lama, lelaki itu kembali masuk bersama seseorang.Ya, Tuhan. Aku terkesima. Astaghfirullah. Astaghfirullah. Tenang ... tenang. Istighfar kencang-kencang."Nak Raihan. Silakan duduk," ucap Abah.Aku salah tingkah dibuatnya. Sungguh sempurna ciptaan-Mu, ya, Allah. Melihat ketampanan yang dimiliki lelaki itu, aku jadi minder tak percaya diri."Nak, bantu Mak dulu di dapur," ajak Mak. Ia seperti tahu kondisi hatiku saat ini. Berdebar-debar tak menentu sejak tadi.Aku mengangguk dan bangun menyusul Mak yang sudah terlebih dulu berjalan ke belakang."Jangan sibuk-sibuk, Aira." Ibunya Mas Raihan berujar. Kubalas dengan sekali anggukan, kemudian berlalu dari hadapan mereka.***Di dapur, Mak kembali mengingatkanku. Ya, seperti biasa, sifat paniknya kembali meraja."Ingat, Nduk. Jaga sikap, ya. Jangan bikin kacau acara. Ini kesempatan yang gak akan terulang. Langka.""Nggeh, Mak. Aku janji. InsyaAllah." Aku Meletakkan tangan kanan di ujung pelipis mata, mempraktekkan hormat di depan Mak."Ayo buruan. Mak bawa ini, kamu bawa yang ini aja." Mak, mengangkat talam berukuran lebar yang sudah di isi dengan piring-piring berisi beraneka kue basah. Sementara aku hanya mengangkat sebuah talam persegi yang berukuran lebih kecil. Berisi beberapa cangkir yang sudah di isi teh hangat.Sederhana, tapi memerlukan waktu untuk mempersiapkannya. Mak dan Abah saling bahu membahu mengerjakan semua. Dikerjakan penuh cinta, demi sang putri tercinta."Tuh kan, jadi ngerepotin ini," ibu Mas Raihan ikut bangun menyambut talam yang dibawa Mak. Mereka berdua terlihat asik menata beberapa piring di atas meja."Wah, ngga muat ini mejanya," ucap Mak dengan raut wajah tak enak."Ngga apa-apa, Bik. Selebihnya bisa letak di bawah aja."Mak dan ibu Mas Raihan akhirnya meletakkan beberapa piring kue yang lebih di atas tikar. Kemudian melanjutkan pembahasan tentang perjodohan kami sambil menikmati jamuan sederhana yang telah dihidangkan."Kalau bisa sebelum lebaran mereka sudah sah!" seru Bu Hafsah, ibunya Raihan.Sebelum lebaran? Wah! Gawat. Debaran di dadaku semakin kencang. Aku membalikkan badan ke arah dinding. Mencoba menetralkan hati yang asik berdebar tanpa henti. Parah!"Bu, tapi kan ...,""Iya. Lebih cepat lebih baik." Bu Hafsah memotong ucapan anaknya cepat."Bu, maksudku, apa kita ngga sebaiknya ngobrol dulu di luar. Empat mata." Mas Raihan setengah memaksa. "Kok ibu yang diajak bicara empat mata? Tuh, Aira, calon istrimu. Ajak dia ngobrol di luar. Itung-itung untuk lebih mengenal satu sama lain."Ya ampun. Jantungku seperti sedang naik kuda. Terpacu begitu cepat."Aira, sana gih ngobrol di depan sama Raihan."Lagi dan lagi aku hanya mampu menganggukkan kepala. Bibir terasa kelu tak sanggup berkata-kata. Di belakang Mas Raihan, aku mengayunkan langkah mengikutinya. Di luar, lelaki itu menuju ke sebuah bangku panjang yang terbuat dari kayu. Serba salah. Mau duduk di ujung bangku, kok, ada perasaan tak enak. Akhirnya aku memutuskan untuk berdiri saja.Di lihat dari sudut mana pun, Mas Raihan terlihat sangat tampan. Tuhan telah menciptakannya dengan rupa yang sempurna.Kami masih saling diam. Ingin mengajaknya bicara terlebih dahulu, aku tidak mau terlihat ekspresif. Menunggu dia menyapa duluan, seperti menunggu detik-detik beduk Magrib ditabuh waktu bulan puasa. MasyaAllah.Lalu aku harus bagaimana? Berdiri saja saja seperti bodyguard sedang menjaga bosnya?"Sampai kapan mau berdiri di situ?" Ah, akhirnya dia bicara juga. Rasanya itu seperti buru-buru berlari ke toilet saat hajat memanggil untuk segera dituntaskan.Lega!Aku tidak fokus. Kalimat yang Mas Raihan lontarkan tidak habis ditangkap telinga. Timbul tenggelam seperti gejolak yang kurasa saat ini. Namun, di depannya dan para tamu yang lain, aku tidak bisa menjadi tupai yang bisa lompat ke sana ke mari. Mendadak menjadi burung merak yang elegan. "Ya, sampai kita selesai bicara." Aku menjawab tanpa melihat ke arahnya. "Jadi begini. Ibuku suka sekali sama kamu. Beliau memaksaku untuk menikahi kamu. Kalau boleh tau, kamu pakai ilmu apa untuk mikat hati ibuku?"Waduh! Maksud dia apa? Ilmu bagaimana? Ilmu kerja di pabrik roti? Ada-ada saja. Dia pikir ilmu pemikat itu hanya berasal dari pelet, guna-guna dan sejenisnya? Katrok!"Ilmu? Ilmu opo tho? Ndak pakai ilmu-ilmuan. Pun aku cuma tamat SMA aja, kok.""Jadi gini, ya. Asal kamu tau aja, aku menolak perjodohan ini! Kamu gimana? Mau lanjut atau berhenti?" tanyaku tegas."Aku ... aku, ya, gimana kata Mak sama Abah aja." Aku menjawab sedikit terbata. Kok pertanyaannya begitu, sih? Dia keberatan dijodohkan denganku?"Kok tunggu mereka, yang mau nikah 'kan kamu!" seru Mas Raihan."Karena aku yakin setiap orang tua ngga ada yang mau menjerumuskan anaknya ke dalam keburukan. Apalagi menyangkut perihal pernikahan, sebuah hubungan yang didoakan hanya terjadi sekali seumur hidup. Jadi apa Mas Raihan kira jika ibunya Mas Raihan mau menjerumuskan anaknya?""Memang ngga ada orang tua yang mau jerumuskan anaknya. Namun, kamu jangan buta, Aira. Sang anak pun berhak untuk menentukan masa depannya sendiri. Memilih pasangan seperti apa yang diinginkan untuk menjadi pasangan hidupnya." Aku masih bersikeras. Dan lihatlah! Dia masih sanggup berdiri dengan posisi tidak melihat ke arahku. Dia sama sekali tidak sopan. Dikira aku kotoran hewan apa, harus dihindari."Kita sebagai makhluk ciptaan-Nya, tidak berhak apa pun atas diri kita. Semua sudah di atur Allah dan sudah pas porsinya. Langkah, rezeki, pertemuan, maut, semua itu adalah hal ghaib. Ngga ada seorang pun dari makhluk yang mengetahuinya. Semua telah ditetapkan Allah. Lalu tugas kita sebagai makhluk yang taat apa? Cukup berikhtiar, doa dibarengi usaha. Ngga cukup doa saja, pun ngga cukup usaha saja. Semua harus tawazun (seimbang)." Napasku memburu. Rasanya ubun-ubunku terbakar mendengar setiap ucapan daei mulutnya."Serah, deh! Pokoknya aku menentang perjodohan ini. Apa aku seburik itu dikira Ibu ngga laku?" Bukannya mengalah, dia malah asik mengeluarkan pendapat."Terserah Mas Raihan aja, deh. Aku, sih, kalau lanjut, ya, lanjut. Kalau ngga, juga ngga jadi masalah. Aku masih muda. Jalanku masih panjang. Ngga tuh ngebet nikah. Biasanya yang ngebet dinikahin itu karena ngga laku-laku," jawabku kesal. Sok kegantengan sekali lelaki itu. Huft!"Oke, ya, Mas. Kurasa kita sudah selesai ngobrolnya. Ada baiknya Mas langsung undur diri pada orang tuaku. Tak baik memberi harapan palsu," lanjutku. Kemudian meninggalkannya seorang diri.Dengan napas terengah menahan kesal. Aku berdiri di tengah-tengah hampir mendekati meja. Ingin mengeluarkan uneg-uneg yang sedang kurasa."Maaf, semuanya. Perjodohan ini dibatalkan saja. Pada Ibu Ratna, saya mewakili orang tua saya mengucapkan terima kasih atas niat baik Ibu yang bersikeras ingin menjodohkan kami. Jodoh itu adalah hak mutlak dari Allah. Segala sesuatu yang menurut kita baik, mungkin belum tentu baik menurut Allah. Begitu juga sebaliknya, yang menurut kita buruk, belum tentu buruk menurut-Nya."Bagaimana pun juga, aku merasa malu atas penolakan Mas Raihan. Lelaki di dunia ini banyak. Tidak menikah dengan dia, bukan berarti jodohku tidak akan datang lagi."Kenapa, Nak Aira? Apa yang terjadi?" Ibu Hafsah tampak kaget."Mungkin Mas Raihan bisa menjelaskan, Bu."Aku melirik ke atas lelaki tampan bermulut menjengkelkan itu. Ia tampak tersenyum kecut sembari menggaruk kepala. Garuk, tuh! BRUGHH!Tiba-tiba aku sangat terkejut melihat Bu Hafsah jatuh tiba-tiba.***Next(POV RAIHAN)Ibu tersungkur di lantai. Refleks aku berlari ke arahnya dan mengangkat tubuh Ibu. Namun, wanita ini masih memejamkan mata. Di pangkuanku, aku mengusap pipinya yang semakin menua. Pipi yang dulu jarang sekali merasakan make up mahal. Hanya bermodal bedak padat biasa yang ia pakai sebelum mengantarkan kue pesanan orang. Di lain waktu, pipi yang sedikit demi sedikit telah mengendur ini, hanya dibasahi oleh air wudhu saja."Bu, bangun, Bu." Aku mengusap air mata yang mengalir di pipi Ibu. Sedih sekali melihat kondisinya seperti ini. Apalagi ia tersungkur tepat di depanku, di rumah orang pula."Angkat ke kamarku saja, Mas," Suara Aira membuatku mengangkat wajah. Ingin sekali memarahi gadis itu. Ibu jatuh begini, ya, karena ulahnya. Coba jika dia menahan sedikit mulutnya, pasti Ibu masih baik-baik saja. Ibu pasti kaget. Hanya aku yang tahu bagaimana cara menyampaikan pembatalan acara menyebalkan ini ke Ibu."Iya, Nak Raihan. Angkat dulu Bu Hafsah ke dalam. Nanti biar diurus Ai
"Saya terima nikah dan kawinnya Aira Muthmainnah binti Ahmad Ruslan dengan mas kawin sepuluh gram emas dibayar tunai.""Bagaimana saksi? Sah?""Sah!""Alhamdulillah."Dengungan hamdallah terdengar memenuhi ruangan masjid Baiturrahim. Tempat dilaksanakannya akad nikah Raihan dan Aira.Di tengah para keluarga yang hadir, Aira terlihat menitikkan air mata. Ada rasa haru yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Siapa sangka jika dia telah menjadi istri dari anak majikan tempat ibunya bekerja dulu. Menjadi istri dari seorang pengusaha muda sukses, pemilik showroom mobil di Malang."Mempelai pria dan wanita dipersilakan untuk berdiri. Kepada mempelai pria agar bisa memasangkan perhiasan emas dalam bentuk kalung dan cincin pada mempelai wanita." Moderator memberikan aba-aba.Raihan berdiri dan berjalan ke posisi yang telah disediakan. Demikian juga Aira, ia tampak susah mengangkat gaun terusan yang dikenakan. "Mempelai wanitanya mohon dibantu, Ibu-ibu."Seorang ibu membantu Aira dan meng
Raihan menunggu cadar itu terlepas dari wajah Aira. Sebenarnya ia sudah tak sabar ingin melihat seperti apa wajah itu sejak sebelum mereka menikah. Hanya saja ibunya selalu menghalangi."Mari makan," ujar Aira begitu cadar terlepas.Wanita itu sama sekali tidak berani melihat Raihan. Ia merasa jika sedang diperhatikan. Raihan masih melihat Aira. Kini, wajah wanita itu bisa dilihat dengan jelas. Manis! Namun, tidak membuat hati Raihan tertarik. Tidak memberi respon apa-apa, lelaki itu kembali menyantap makanannya. Hanya dentingan piring yang terdengar. Dari mereka tidak ada yang berbicara satu sama lain.Beberapa menit kemudian, Raihan telah menyelesaikan makan malamnya. Ia bangkit dari kursi dan berdiri di pinggir meja."Kemasi barangmu. Besok kita berangkat ke Malang."Aira menggangguk pelan. Dari Mak ia tahu jika suaminya menetap di Malang selama ini. Raihan melenggang pergi meninggalkan Aira. Sementara gadis itu masih menikmati makanannya.***Raihan belum juga masuk kamar. Aira su
"Orang tuamu 'kan di sini juga. Jangan lebai, ah!" Raihan masih sibuk memberesi barang-barangnya."Engga. Mereka langsung pulang kemarin setelah pesta. Mak minta pulang."Raihan sama sekali tidak ingat jika kedua mertuanya sudah berpamitan kemarin sore. "Hmm! Terserahlah."Aira tersenyum. Hatinya bahagia karena Raihan menyetujui rencananya. Sebenarnya Aira masih berat langkah untuk pergi jauh dari mak dan abahnya. Hanya saja, menjadi istri yang baik dan patuh adalah salah satu cita-citanya selama ini.Setelah sarapan, Aira dan Raihan bersiap-siap untuk mengunjungi mak dan Abah. Sebelumnya mereka terlebih dahulu berpamitan pada Bu Hafsah. Banyak nasehat yang diberikan Bu Hafsah untuk anak dan menantunya. Apalagi Aira masih berumur dua puluh tahun. Masih muda untuk menjadi seorang istri."Jaga Aira baik-baik, Nak. Hanya kamu yang dia miliki di sana. Ditambah dia masih sangat muda. Jadi, kamu harus ekstra sabar menghadapinya."Hafsah berpesan pada putra semata wayangnya. Sesekali wanita
"Mas, kamu pindah ke atas, ya. Aku saja yang tidur di bawah." Aira berusaha membangunkan Raihan yang sudah terlelap. Gadis itu baru saja masuk ke kamarnya. Sejak tadi ia duduk ngobrol dengan kedua orang tuanya di ruang tamu. Malam terakhir ini dipergunakan sebaik-baiknya oleh Aira sebagai malam pelepas rindu. Entah kapan ia bisa menjenguk lagi Mak serta Abahnya itu. Walau jarak Surabaya-Malang tak terlalu jauh, akan tetapi susah memastikan banyak hal ke depan. Karena Aira tahu jika ia tak sebebas lagi seperti sebelum menikah."Mas. Nanti kamu kedinginan di sini. Tidur di ataa aja, ya." Aira kembali membangunkan Raihan. Namun, lelaki itu bergeming. Aira memberanikan diri untuk menyentuh bagian tubuh suaminya yang tertutup selimut.Saat tangannya menyentuh bahu Raihan, Aira terkejut. Tubuh Raihan terasa panas. Tanpa menunggu lama, Aira pun mencoba meyakinkan dengan cara menyentuh pipi serta dahi Raihan."Astaghfirullah. Kamu demam, Mas? Ya Allah. Gimana ini?"Aira panik dan berulang mel
(POV AIRA)Aku menatap lurus ke depan. Pertanyaan yang Raihan lontarkan sungguh membuat hati teriris. Lelaki yang duduk di belakang kemudi itu tak pernah berpikir sebelum berbicara. Ia seolah mengabaikan perasaan lawan bicaranya."Kok ngomong gitu, sih, Mas? Tujuan aku nikah sama kamu, ya, mau bahagia. Itu saja.""Halah! Coba jika yang lamar kemarin bukan aku. Coba kalau kamu dijodohkan dengan orang lain, pengangguran, apa kamu mau?" Dia semakin menjadi-jadi."Tujuan menikah itu untuk memperbaiki diri, pasangan, kehidupan dan meraih keridhaan Tuhan. Aku ngga bisa milih, harus dengan si ini, dengan si itu. Pengusaha sukses atau pengangguran. Toh, semuanya Allah yang gerakkan. Kamu dan ibu datang ke rumahku bukan berjalan dengan sendirinya, tapi ada campur tangan Tuhan di dalamnya. Lalu, jika yang datang melamar dulu seorang pengangguran, apakah aku menerima atau menolaknya? Aku ngga tau harus jawab gimana. Aku bilang engga, tapi Tuhan bilang iya. Aku bilang iya, tapi Tuhan bilang engga
(POV RAIHAN)Perempuan satu ini memang menyebalkan!Bisa-bisanya dia muntah dalam perjalanan. Sudah udik, kuno, malu-maluin lagi. Duh! Ibu, kenapa pula istri macam ini yang kau sukai? Apa tidak ada wanita cantik nan elegan, gitu?"Hati-hati, kalau muntah di dalam mobilku, kamu harus bersihkan sampai bersih!" seruku padanya sebelum dia terbirit-birit keluar dari mobil. Sambil menutup mulutnya, Aira berlari menepi di pinggir jalanan yang sepi. Dia terlihat pucat, tapi apa peduliku. Beberapa saat aku menunggu perempuan itu di sisi pintu mobil. Tak lama kulihat ia berjalan sempoyongan ke arahku. Entah kenapa refleks saja aku sedikit berlari dan segera menangkap tubuhnya yang limbung.Alamak! Bau muntah pula!Setelah membawanya masuk mobil, aku segera membersihkan baju serta tanganku menggunakan tisu basah yang tersedia. Lengkap sudah, selain udik, kuno serta malu-maluin, ternyata dia juga jorok! Fiks, dia sukses membohongi Ibu. Aku semakin yakin jika perempuan ini memakai cara yang tidak
(POV RAIHAN)Otakku seperti di-refresh saat menginjakkan kaki di rumah. Bertemu Pak Tono serta Mbak Ayu. Dua orang kepercayaanku selama ini. Ya, walaupun Aira ikut denganku, tapi posisi sekarang akulah yang berkuasa.Setelah memperkenalkannya pada Mbak Ayu, aku pun menuju kamar. Ingin melepas lelah dan stres setelah menikah. Tak peduli apa yang ada di benak mereka. Apalagi Mbak Ayu, dia tahunya aku pulang karena ingin menjenguk Ibu, eh, tau-taunya balik ke sini bawa seseorang yang mengaku istri.Aku beristirahat cukup lama. Rasa lapar membuatku beranjak menuju dapur. Sekaligus penasaran juga ingin melihat gadis kurus itu sedang melakukan apa."Mbak, mana Aira?""Pak Raihan, mah, begitu. Suka ngangetin. Bu Aira di kamarnya, Pak. Istirahat.""Kok bisa? Lalu Mbak Ayu yang masakin ini semua?" tanyaku dengan nada suara naik satu oktaf."Iya. Biasanya, kan, juga begitu, Pak."Mana bisa aku terima. Aku segera berjalan menuju kamar si gadis kurus. Beberapa kali aku harus mengetuk pintu, dan b