Share

Part 6

Author: Manda Azzahra
last update Last Updated: 2022-07-05 16:42:48

Ia terkejut bukan main. Matanya membesar mendengar pengakuanku. Tampak marah, lalu memegang keras pundakku. 

"Apa maksud kamu? Chaca siapa? Jangan main-main, ha! Becandamu nggak lucu!" Dia terlihat gusar dengan napas terengah-engah. 

Aku semakin menangis menatapnya. 

"Jangan pernah kamu ngaku-ngaku sebagai adikku. Dia tidak mungkin wanita seperti kamu!" Amarahnya kian terlihat. 

"Cepat turun!" Ia langsung keluar dari mobil. Membuka pintu di sampingku, lalu dengan kasar menarikku keluar.

"Jangan pernah lagi bicara padaku! Apa lagi sampai mencari perhatian dengan cara seperti ini. Aku tidak pernah tertarik sama wanita seperti kamu!" bentaknya dengan kasar. 

Ia meninggalkanku di tepi jalan, tanpa mau mendengar penjelasan. Aku menangis kembali, saat mobil itu melesat pergi menjauh.

.

Aku bekerja seperti biasa. Melirik ke arah kantornya. Terlihat dia sedang fokus mengutak-atik laptop di atas meja. Terlihat wajahnya masih ada bekas memar, dan sedikit membengkak. 

Anak-anak yang lain saling berbisik, menerka-nerka apa yang terjadi.

"Wajah pak Bos kenapa tuh, abis berantem kayaknya," Vera setengah berbisik, sambil mengiris bawang untuk acar. 

"Pasti dipukuli. Mungkin sifatnya kasar, nggak menghargai perasaan orang," celetukku yang masih merasa kesal atas kejadian malam tadi.

Kini aku sudah mengetahui, kalau dia adalah Bang Malik, Abangku. Tapi melihat sikapnya tadi malam, menyisakan sedikit luka.

Bukannya menanyakan bagaimana keadaanku, atau bagaimana aku bisa bertahan hidup di kota ini. Dia malah mentah-mentah menolakku. 

Mungkin saja dia malu mengakui, karena hidupnya sudah sempurna saat ini. Aku pun tak akan sudi untuk mengiba, apa lagi sampai mengemis menuntut pengakuan. 

"Berantem sama pacar kali, ya." Vera menerka-nerka. 

"Mungkin aja."

"Kalau begitu, pasti ceweknya yang kasar, Cha. Tampang kayak Pak Malik, mana mungkin tega bersikap kasar sama cewek. Lihat aja cara ngomongnya, lemah lembut gitu. Dasar emang ceweknya aja yang kasar." Aku melotot ke arah Vera, merasa seolah sedang mengataiku. 

Jam dua belas bel berbunyi. Kami menghentikan aktivitas, untuk kemudian beristirahat makan siang. 

Aku mencuci tangan di wastafel di depan toilet. Kulihat Bang Malik keluar dari balik pintu toilet laki-laki. 

Toilet di tempatku, hanya ada dua pintu. Masing-masing untuk pria dan wanita, dengan wastafel yang berjejer di depannya. 

Dalam sekejap kami saling bertatap muka, lalu aku membuang pandangan dan melempar tisu ke tempat sampah secara kasar, berlalu pergi meninggalkannya. 

Tak peduli lagi, apakah dia akan marah atau malah memecatku. Aku benar-benar tidak peduli. Sakit, itu yang kurasakan saat diacuhkan oleh orang yang kita sayang. 

Aku berjalan menuju ruang makan, yang sengaja tidak dilengkapi dengan meja dan kursi.  

Hanya karpet besar yang terpasang di area  luas, agar para karyawan bisa beristirahat sambil tiduran, karena jam istirahat yang cukup panjang.

Aku mengambil kotak makan, yang memang sudah disiapkan oleh perusahaan untuk masing-masing karyawan. Aku duduk berselonjor merapatkan tubuh ke dinding, bergabung dengan yang lain. 

Tak lama Malik menyusul dan mengambil tempat di dinding seberang, tepat di depanku. 

*****

Kami duduk saling berhadapan, walau dengan jarak yang lumayan jauh. Aku memasang wajah kecut tanpa senyum. Melahap makanan sedikit demi sedikit.

"Pak, wajahnya kenapa?" Oji nyeletuk tanpa basa- basi. 

Hah! Berani sekali anak itu menggoda atasannya.

"Iya Pak, abis berantem ya, sama pacarnya?" Yang lain mulai berani.

Bang Malik hanya tersenyum, saat digoda oleh anak buahnya. Aku melirik sekilas, ingin melihat seperti apa ekspresinya. Apakah marah, atau merasa tidak senang dengan kelancangan orang-orang yang harusnya bersikap hormat padanya.

Tak disangka, sekilas mata kami saling beradu. Entah sejak kapan ia melihat ke arahku. Dengan cepat aku membuang pandangan ke sembarang arah. 

"Nggak mungkinlah pacar saya yang ngelakuin," sahutnya tanpa diduga-duga. "Pacar saya nggak sekasar itu. Ini hanya kerjaan orang gila yang sok mau jadi pahlawan!" 

Whattt....! Nasi yang baru masuk kemulutku menyembur keluar. Dia mengataiku orang gila? Kata-katanya barusan terdengar seperti sedang menyindirku. 

"Oh, jadi Pak Bos udah punya pacar, ya?" Vera menimpali, tanpa mempedulikan aku yang dari tadi batuk-batuk karena tersedak. 

"Ciee... cieee.... Dek Vera patah hati nih. Ulu uluuu... sini sama Abang, Dek."  Lagi-lagi Oji menggoda. 

Yang lain pada bersorak. Saat itu suasana menjadi riuh karena ternyata pak Bos tidak menjaga jarak dengan bawahannya, kecuali aku.

.

Jam istirahat sudah habis. Kami kembali ke dapur setelah membersihkan kekacauan yang kami buat saat makan siang. Begitulah biasanya kami beraktivitas. 

Tidak terasa sudah satu tahun aku bekerja di sini. Dan aku begitu betah.

Semua pekerjaan sudah hampir selesai.  Kucatat semua produksi yang dikerjakan oleh divisi bagian. Aku, selaku ketua tim bertanggung jawab mencatat semua jumlah pesanan dari berbagai outlet yang tersebar hampir di seluruh mall di Medan dan melaporkannya ke leader, yaitu Bu Rini.

"Antarkan ini ke Pak Malik, Cha," perintah bu Rini seraya memberikan beberapa lembar kertas.

"Baik, Bu." Aku menyanggupi. 

Sebenarnya enggan melakukan tugas ini, karena tak ingin terlibat pertemuan langsung dengan saudara yang tidak mengakuiku itu.

Tapi aku tak ingin mencampur urusan pribadi dengan pekerjaan. Kuletakkan kertas-kertas itu di meja kerjanya tanpa kata-kata.

"Apa ini?" tanya Pak Bos. Entah memang tidak tahu, atau hanya ingin berbasa basi mengajakku bicara.

Aku mengangkat bahu, tanda tidak tahu atau tepatnya bilang "Entah", lalu ngeloyor keluar seenaknya. Entah kenapa jadi hilang rasa takutku.

.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ahmad Agus
sangat terhibur dan menjadikan notifikasi
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • MENCINTAI ABANG ANGKAT    Part 103 ( Ending )

    Aku memohon kepada Mama agar tetap merahasiakan ini kepada semua orang, termasuk om Ridwan sendiri. Aku lebih memilih statusku sebagai yatim piatu yang diadopsi oleh keluarga Om Jaka. Dengan begitu, aku akan belajar memaafkannya, dan memulai hubungan yang baru sebagai menantunya. Itu saja. Aku tak mau lagi ada drama air mata menjelang pernikahan. Biarlah ini sebagai hukuman atas dosa-dosa om Ridwan. Selamanya tidak pernah merasakan kehadiranku sebagai putri kandungnya. Semula Mama memang terlihat keberatan. Namun, melihat sorot mataku yang penuh keyakinan, dia terpaksa menuruti. Egois memang. Tapi, bukankah sebagai manusia yang punya perasaan, aku juga punya hak? Hanya itu satu-satunya cara hatiku bisa menerima kehadiran om Ridwan. Hanya sebagai Papanya Bang Malik."Mama mengerti, maaf kalau kami sebagai orang tua sudah menempatkan luka di hatimu. Menempatkanmu dalam posisi tersulit sebagai korban dari keegoisan orang-orang dewasa."Lagi, kata-kata yang sama seperti yang Aira ucapk

  • MENCINTAI ABANG ANGKAT    Part 102

    Siang ini aku memasak makan siang, membereskan rumah, sementara Aira membawa Alya untuk pergi imunisasi. Tiba-tiba terdengar suara bel berbunyi. Aku membukakan pintu depan. Sesosok wanita itu kini berdiri kembali di hadapanku. Teringat saat terakhir kali kami saling menatap seperti ini. Tubuhnya terlihat lebih kurus dari sebelumnya. Apa dia sakit? Dia tampak ragu untuk melangkah. Entah karena malu atau takut. Aku pun merasa demikian, masih merasa canggung dan tidak tahu bagaimana harus bersikap. Bukankah seingatku kami memang tak seakrab itu? Tapi entah kenapa gejolak hati ini ingin sekali memeluknya. Menumpahkan rasa rindu yang entah sejak kapan mengikutiku. Selalu berharap dapat kembali bertemu dan membicarakan apa saja layak nya seorang teman, atau..Ibu. "Silahkan masuk, Ma." Aku menawarinya dengan suara yang tertahan. Ingin sekali aku menyentuh dan memeluknya, namun dia juga terlihat sama takutnya denganku. Mama melangkahkan kaki masuk ke dalam. Memperhatikanku dari atas samp

  • MENCINTAI ABANG ANGKAT    Part 101

    Sudah beberapa hari ini kerjaku hanya uring-uringan dan bermain bersama Alya saja. Suntuk juga rasanya menjadi pengangguran, setelah bertahun-tahun lamanya hidup dari kerjaan satu ke kerjaan lainnya. Mungkin aku tak lagi mempermasalahkan soal uang. Karena kini, Bang Malik yang menanggung semua kebutuhanku. Tapi tetap saja itu tak sesuai dengan jalan hidupku yang sehari-hari harus mengurung diri di rumah. Seperti biasa, Bang Malik menyempatkan diri untuk datang selepas bekerja. Aku mengajaknya ke balkon atas. Dia bilang sangat senang melihat bulan bersamaku, seperti waktu itu. "Abang punya sesuatu buat kamu," ucapnya. Aku menoleh untuk melihat apa yang dia bawa. Dia mengeluarkan sebuah kotak mungil dari kantong celana. Jantungku sudah ser-seran. Berharap apa yang ada dipikiranku, benar adanya. Kemudian dia membuka dan menunjukkannya kepadaku. Seperti yang kukira, itu sebuah cincin. Cantik sekali. Senyumku pun mengembang. Adegan seperti ini persis seperti yang ada di drama-drama ro

  • MENCINTAI ABANG ANGKAT    Part 100

    Lagi-lagi aku berucap kata maaf. Mengaku salah telah meninggalkannya meski tahu dia sedang hamil dan membutuhkan seorang teman. "Alya sedang tidur," ucapnya. "Alya? Keponakanku?" Aira mengangguk. Aira menuntunku masuk ke kamarnya. Ada box bayi dengan mainan yang menggantung di atasnya. Bayi mungil itu tertidur pulas di dalamnya. Aku memberanikan diri untuk menggendong. Menciumi wajah dengan pipinya yang chubby itu. Sungguh terlihat seperti boneka. "Maafkan Tante, sayang. Maafkan Tante karena tidak ada di saat kamu lahir ke dunia ini." Aku kembali menciuminya sampai tubuh itu menggeliat karena merasa terganggu. Aku kembali mengunjungi kamar yang dulu aku tempati, Aira masih di kamarnya menidurkan Alya kembali. "Itu masih kamar kamu. Tinggallah lagi di sini. Aku sudah berpisah dari Mas Harris." Dia mengabarkan meski aku sudah mendengarnya dari Bang Malik. "Kenapa? Apa karena aku?""Entahlah, tapi kurasa itu keputusan yang benar. Aku juga tidak ingin nantinya Alya juga ikut merasa

  • MENCINTAI ABANG ANGKAT    Part 99

    Kami keluar dari gedung pusat SunCo. Aku memang sudah meminta izin kepada Bang Malik untuk menemui Haikal. Dan dia sama sekali tidak keberatan. "Ingat, ya. Kamu sekarang calon istri Abang. Jangan macam-macam," ancamnya. Dia sengaja tak ikut agar tak ada rasa canggung dengan sikap Haikal. Benar saja, sejenak Haikal langsung takut untuk mendekatiku sebelum dia tahu bahwa pria itu hanya mengantarku sampai di luar. Mobil melaju ke arah jalan yang sudah tak asing lagi bagiku. Kemudian dia memasuki gerbang yang sudah setahun ini tak pernah lagi ku kunjungi. Lagi, seperti merasa pulang ke rumah sendiri. "Aku belum gajian. Kita makan siang di sini aja. Gratis," ujarnya sembari melangkahkan kaki ke ruangan. Tak ada yang berubah. Mereka terlihat asik makan dengan lahapnya. Sampai sepasang mata itu menangkap kedatangan kami. "We! Chaca datang. Tengok tu, we. Itu Chaca." Oji berteriak histeris seperti melihat selebriti yang berkunjung ke aula makan dapur SunCo. Puluhan pasang mata menatap

  • MENCINTAI ABANG ANGKAT    Part 98

    Setelah menempuh perjalanan panjang, akhirnya kami mulai memasuki kota Medan. Aku meminta Bang Malik untuk segera singgah ke rumah nenek. Aku sangat ingin bertemu dengannya. Bukankah mereka keluarga pertama yang harus aku kunjungi? Nenek berdiri mematung dengan tubuh tuanya. Matanya berkaca-kaca saat aku menangis memohon maaf. Nenek memang tak tahu bagaimana caranya menunjukkan kasih sayang, tapi kali ini dia begitu erat memelukku. Tak tahan juga rasanya menahan rindu. "Kau sudah dewasa," ujarnya. "Jangan lagi bersikap seperti itu." Aku kembali menangis di pelukannya. Bang Malik tertidur di ruang tamu beralaskan ambal. Aku sudah menyuruhnya untuk tidur di kamar, namun dia menolak. "Di sini lebih nyaman," ujarnya. Untuk pertama kalinya aku melihat dia tertidur dengan pulas. Napasnya teratur dengan kedua tangan diletakkan di atas dada.Wajahnya terlihat lelah, hingga tak sadar kalau kini om Jaka juga ikut tertidur di sampingnya. Kupungut ponsel yang sedari tadi tergeletak begitu s

  • MENCINTAI ABANG ANGKAT    Part 97

    Rasa bersalah selalu menghantui. Aku memohon kepada mama untuk tetap berusaha mencarinya. Di jalanan, lampu merah, bahkan melaporkan kehilangan ke kantor polisi. Nihil. Tak ada jejak sama sekali. Bayang-bayang wajah Chaca yang menangis dalam cengkraman tangan preman tersebut selalu muncul dalam mimpiku. Bertahun-tahun lamanya aku hidup dalam bayang-bayang gadis kecil itu. Rasa rindu selalu menyelimuti, berharap bisa menyentuh dan memeluknya lagi. Hari ini hari ulang tahun Chaca. Hari yang diputuskan sebagai tanggal lahirnya di malam di mana dia ditemukan. Jika dia masih hidup, usianya kini sudah tujuh belas tahun. Sweet seventeen, kata gadis-gadis yang dulu satu esema denganku.Aku kembali mengunjungi masjid raya, tempat di mana aku dan Chaca selalu menghabiskan waktu bersama. Tak lupa untuk merayakan ulang tahunnya dengan memberi sedekah ke anak-anak jalanan yang sengaja aku kumpulkan di sana.'Chaca sayang, bagaimana keadaanmu sekarang?' batinku dalam hati. "Maaf, apakah anda Ha

  • MENCINTAI ABANG ANGKAT    Part 96

    POV MALIK.Aku mengenang kala kejadian waktu itu. Tubuhku yang terbaring lemah di... mungkin rumah sakit. Kulihat ada tiang yang menggantungkan cairan yang terhubung langsung dengan urat nadiku.Aku mencoba bergerak, merasai wajahku yang kini terasa tebal dan kaku. Kurasakan seluruhnya terbalut perban dengan rasa sakit yang luar biasa. Entah berapa lama aku tak sadarkan diri. Beberapa wanita berpakaian serba putih datang untuk memeriksa apa yang terjadi kepadaku. Tak lama seorang pria dewasa juga muncul, mungkin seorang dokter. Ya, samar kulihat dari pakaian putih bersihnya, dia seorang dokter. Hampir seminggu setelah aku terjaga, dokter membuka seluruh perban di wajahku. Disaksikan oleh sepasang suami istri dan anak lelaki mereka. Memandangku dengan cemas dan was-was. Apa aku ini terlihat seperti hewan buas bagi mereka? Sejenak kemudian, kulihat rasa lega di wajah mereka, seolah semua sedang baik-baik saja. "Siapa namamu, Nak?" tanya wanita paruh baya tersebut. "Hannan Maliki S

  • MENCINTAI ABANG ANGKAT    Part 95

    Seperti janjiku kemarin, kami bersiap-siap berangkat. Aku dan Bang Malik berpamitan dengan mereka satu persatu. Runi memelukku dengan sangat erat, begitu juga dengan Wak Mis.Fatma yang tidak tahu apa-apa hanya tampak murung dan seperti tidak rela membiarkanku pergi. Namun dia kembali tersenyum saat ayahnya mengatakan kalau aku akan segera kembali. Pak Yaz sengaja tidak memberitahukannya, agar dia tidak menangis histeris karena takut kehilanganku. Pak Yaz mengulurkan tangan ke arah Bang Malik. Meminta maaf atas kesalahpahaman kemarin. Tangannya masih menggantung di udara, tanpa sambutan dari laki-laki yang tengah berdiri di sampingku. Masih tidak senang, rupanya. Aku menyenggol bahunya, lalu menariknya agar sedikit menunduk. Aku membisikkan sesuatu di telinganya. "Salamin. Atau Chaca yang akan menyambut uluran tangannya," ancamku. Dengan cepat dia menyambut telapak tangan Pak Yaz, kemudian menggoyang-goyangkannya seperti mereka sudah berteman cukup akrab."Awas kalau sampai bers

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status