Share

Part 7

Sepulang kerja, aku menunggu ojek online di depan gerbang. Satu persatu para karyawan menghilang. Ada yang berjalan ke simpang jalan besar untuk menunggu angkutan umum. Ada yang berjalan kaki, karena jarak temat kost dekat dari kerjaan, ada juga yang di jemput oleh anggota keluarganya.

Tinggallah aku sendiri yang belum juga bergerak karena signal ponselku yang lemah, hingga susah loading untuk memesan ojek online.

Terdengar suara klakson mobil mengejutkanku. Kaca depan terbuka, dan laki laki di belakang kemudi memanggilku dari dalam.

"Naik!" perintahnya.  

Aku tak begitu saja menurut, kupacu kaki untuk berjalan menjauh. Tak lama mobil itu mendahului, berhenti, dan menghadang jalanku. Aku menghentikan langkah, menanti dia yang dengan sigap sudah berdiri di hadapanku.

Deg! 

Jantung ini kumat lagi

*****

Ia berdiri kokoh di hadapanku dengan kedua tangan disilangkan ke dada. Aku diam, dengan suara detak jantung yang kian bergemuruh. 

"Kenapa menghindar terus? Kamu dengar kan, kalau saya nyuruh kamu masuk. Budeg, ya?"

"Bukannya bapak sendiri yang meminta saya untuk nggak bicara lagi sama bapak?" jawabku, mengembalikan ucapannya. 

Ia menjambak rambutnya sendiri. Ah, tidak. Dia hanya mengusap dan merapikannya saja. Tak ditemukan sisa-sisa bekas jambakan. Semua masih tertata rapi pada tempatnya. 

"Oke, saya salah ngomong. Saya mungkin meracau malam itu. Saya minta maaf karena udah kelewat kasar sama kamu. Sekarang kamu masuk ke mobil, kita bicarakan ini pelan-pelan. Ada yang ingin saya tanyakan sama kamu."

Lembut sekali ucapannya. Memang seperti inilah gaya bicara Bang Malik yang kukenal dulu. Bukan seperti pria yang kasar, dan temperamen tadi malam. 

Tapi tidak, aku tak mau lagi terpancing. Aku sudah memutuskan untuk tidak membahas hal ini lagi. Melupakan semuanya. Melupakan kalau kami pernah bersaudara.

"Nggak mau!" Aku berlalu pergi dan meninggalkannya lagi. 

Belum sempat aku menjauh, ia menarik paksa tanganku untuk naik. Dibantingnya pintu seperti memberi aba-aba "jangan coba-coba keluar!"

Mobil melaju. Aku diam dan tak bertanya atau berteriak-teriak seperti korban penculikan, ke mana dia hendak membawaku. 

Aku sudah cukup lama tinggal di Medan. Tahu tentang seluk beluk jalanan di kota ini. Bahkan jalanan kecil sekali pun. Walau tersesat, aku pasti bisa menemukan jalan pulang. 

Ya. Aku mantan driver ojek online. Tapi hanya bertahan selama beberapa bulan saja, karena sepeda motor yang menjadi mata pencaharianku ditarik paksa oleh dealer karena menunggak.

Boro-boro buat bayar cicilan, untuk makan dan isi bensin pun terkadang tak mencukupi. Kutandai jalanan yang kami lewati tadi, jalan menuju ke arah tempat tinggalku. 

Sebentar saja kami sudah memasuki kawasan ruko rumah Belanda, tempat aku dan Aira tinggal. Aku tak jadi diculik. 

"Rumah kamu di mana?" Tanyanya, setelah memarkir mobil di seberang ruko. 

"Ngapain?"

"Mau bicara sama orang tua kamu."

Orang tua? Cih! Kalau aku punya orang tua, aku tidak akan mungkin sampai mengenalmu.   

"Buat apa?"

"Cuman ingin memberi tau, bahwa anaknya harus segera dibawa ke psikiater."

"Psikiater? Bukannya itu tempat...." Aku berpikir sejenak.

"Bapak pikir saya gila? Bapak pulang aja. Kalau bapak merasa terganggu, besok saya buat surat pengunduran diri." Aku turun dan membanting pintu dengan keras. 

"Eh, eh, kamu ngomong apa barusan? Kamu ngancam saya?"

"Siapa yang ngancam? Saya juga nggak mau  ketemu sama Bapak lagi." Aku bersikeras dan berjalan masuk ke perumahan. 

Kusapa beberapa sekuriti dengan tersenyum dan sedikit menundukkan kepala. Kubiarkan ia mengikuti dari belakang. Tak lama aku sampai di depan rumah bergaya khas Belanda tersebut. 

Menaiki tangga, dan menuju teras rumah. Aku berani pulang setelah Aira memberi kabar melalui pesan w******p, bahwa suami sirinya sudah kembali ke luar kota karena istrinya sedang sakit.

"Ini rumah saya. Bapak masih nggak percaya?" Aku membuka kunci pintu, dan mempersilakannya masuk. Rumah terlihat sepi, tak ada tanda-tanda kalau Aira sedang di dalam. 

"Mana orang tua kamu?" Ia masih bersikeras. 

"Mati!" Aku menyumpah. 

"Apa?" Ia setengah frustasi, mendengar jawaban tak pantas dari mulutku. 

"Kamu ini perempuan, atau apa? Tidak baik ngomongin orang tua seperti itu." Ia menceramahiku. 

Tanpa ia tahu dadaku sudah kembang kempis menahan sesak. Aku tak dapat lagi menahan diri. Emosiku jadi tak dapat kukendalikan. Kuhempaskan tas yang ada di tangan ke lantai dengan penuh amarah.

"Kalau aku punya orang tua, hidupku tidak mungkin akan menderita seperti ini!" bentakku. 

"Kalau aku punya orang tua, aku tidak akan mungkin hidup di panti asuhan terkutuk itu. Kalau aku punya orang tua, aku tidak akan pernah sudi mengenalmu. Haaa..." Aku semakin histeris dan berteriak meluapkan semua amarah. 

Akhirnya kulontarkan semua kata-kata yang sudah terpendam selama ini. Menangis sejadi-jadinya agar lega perasaan hati, tanpa peduli apa lagi yang akan dipikirkannya. 

Tuk kesekian kali, aku menangis di hadapa pria asing ini. Tanpa segan dan rasa malu. 

Dalam tangisan kurasakan tubuhnya mendekat. Menarik wajahku, dan membenamkan di dadanya. Hangat sekali, persis sewaktu dulu. 

"Chaca, benarkah ini kamu?"

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status