Sepulang kerja, aku menunggu ojek online di depan gerbang. Satu persatu para karyawan menghilang. Ada yang berjalan ke simpang jalan besar untuk menunggu angkutan umum. Ada yang berjalan kaki, karena jarak temat kost dekat dari kerjaan, ada juga yang di jemput oleh anggota keluarganya.
Tinggallah aku sendiri yang belum juga bergerak karena signal ponselku yang lemah, hingga susah loading untuk memesan ojek online.
Terdengar suara klakson mobil mengejutkanku. Kaca depan terbuka, dan laki laki di belakang kemudi memanggilku dari dalam.
"Naik!" perintahnya.
Aku tak begitu saja menurut, kupacu kaki untuk berjalan menjauh. Tak lama mobil itu mendahului, berhenti, dan menghadang jalanku. Aku menghentikan langkah, menanti dia yang dengan sigap sudah berdiri di hadapanku.
Deg!
Jantung ini kumat lagi
*****
Ia berdiri kokoh di hadapanku dengan kedua tangan disilangkan ke dada. Aku diam, dengan suara detak jantung yang kian bergemuruh.
"Kenapa menghindar terus? Kamu dengar kan, kalau saya nyuruh kamu masuk. Budeg, ya?"
"Bukannya bapak sendiri yang meminta saya untuk nggak bicara lagi sama bapak?" jawabku, mengembalikan ucapannya.
Ia menjambak rambutnya sendiri. Ah, tidak. Dia hanya mengusap dan merapikannya saja. Tak ditemukan sisa-sisa bekas jambakan. Semua masih tertata rapi pada tempatnya.
"Oke, saya salah ngomong. Saya mungkin meracau malam itu. Saya minta maaf karena udah kelewat kasar sama kamu. Sekarang kamu masuk ke mobil, kita bicarakan ini pelan-pelan. Ada yang ingin saya tanyakan sama kamu."
Lembut sekali ucapannya. Memang seperti inilah gaya bicara Bang Malik yang kukenal dulu. Bukan seperti pria yang kasar, dan temperamen tadi malam.
Tapi tidak, aku tak mau lagi terpancing. Aku sudah memutuskan untuk tidak membahas hal ini lagi. Melupakan semuanya. Melupakan kalau kami pernah bersaudara.
"Nggak mau!" Aku berlalu pergi dan meninggalkannya lagi.
Belum sempat aku menjauh, ia menarik paksa tanganku untuk naik. Dibantingnya pintu seperti memberi aba-aba "jangan coba-coba keluar!"
Mobil melaju. Aku diam dan tak bertanya atau berteriak-teriak seperti korban penculikan, ke mana dia hendak membawaku.
Aku sudah cukup lama tinggal di Medan. Tahu tentang seluk beluk jalanan di kota ini. Bahkan jalanan kecil sekali pun. Walau tersesat, aku pasti bisa menemukan jalan pulang.
Ya. Aku mantan driver ojek online. Tapi hanya bertahan selama beberapa bulan saja, karena sepeda motor yang menjadi mata pencaharianku ditarik paksa oleh dealer karena menunggak.
Boro-boro buat bayar cicilan, untuk makan dan isi bensin pun terkadang tak mencukupi. Kutandai jalanan yang kami lewati tadi, jalan menuju ke arah tempat tinggalku.
Sebentar saja kami sudah memasuki kawasan ruko rumah Belanda, tempat aku dan Aira tinggal. Aku tak jadi diculik.
"Rumah kamu di mana?" Tanyanya, setelah memarkir mobil di seberang ruko.
"Ngapain?"
"Mau bicara sama orang tua kamu."
Orang tua? Cih! Kalau aku punya orang tua, aku tidak akan mungkin sampai mengenalmu.
"Buat apa?"
"Cuman ingin memberi tau, bahwa anaknya harus segera dibawa ke psikiater."
"Psikiater? Bukannya itu tempat...." Aku berpikir sejenak.
"Bapak pikir saya gila? Bapak pulang aja. Kalau bapak merasa terganggu, besok saya buat surat pengunduran diri." Aku turun dan membanting pintu dengan keras.
"Eh, eh, kamu ngomong apa barusan? Kamu ngancam saya?"
"Siapa yang ngancam? Saya juga nggak mau ketemu sama Bapak lagi." Aku bersikeras dan berjalan masuk ke perumahan.
Kusapa beberapa sekuriti dengan tersenyum dan sedikit menundukkan kepala. Kubiarkan ia mengikuti dari belakang. Tak lama aku sampai di depan rumah bergaya khas Belanda tersebut.
Menaiki tangga, dan menuju teras rumah. Aku berani pulang setelah Aira memberi kabar melalui pesan w******p, bahwa suami sirinya sudah kembali ke luar kota karena istrinya sedang sakit.
"Ini rumah saya. Bapak masih nggak percaya?" Aku membuka kunci pintu, dan mempersilakannya masuk. Rumah terlihat sepi, tak ada tanda-tanda kalau Aira sedang di dalam.
"Mana orang tua kamu?" Ia masih bersikeras.
"Mati!" Aku menyumpah.
"Apa?" Ia setengah frustasi, mendengar jawaban tak pantas dari mulutku.
"Kamu ini perempuan, atau apa? Tidak baik ngomongin orang tua seperti itu." Ia menceramahiku.
Tanpa ia tahu dadaku sudah kembang kempis menahan sesak. Aku tak dapat lagi menahan diri. Emosiku jadi tak dapat kukendalikan. Kuhempaskan tas yang ada di tangan ke lantai dengan penuh amarah.
"Kalau aku punya orang tua, hidupku tidak mungkin akan menderita seperti ini!" bentakku.
"Kalau aku punya orang tua, aku tidak akan mungkin hidup di panti asuhan terkutuk itu. Kalau aku punya orang tua, aku tidak akan pernah sudi mengenalmu. Haaa..." Aku semakin histeris dan berteriak meluapkan semua amarah.
Akhirnya kulontarkan semua kata-kata yang sudah terpendam selama ini. Menangis sejadi-jadinya agar lega perasaan hati, tanpa peduli apa lagi yang akan dipikirkannya.
Tuk kesekian kali, aku menangis di hadapa pria asing ini. Tanpa segan dan rasa malu.
Dalam tangisan kurasakan tubuhnya mendekat. Menarik wajahku, dan membenamkan di dadanya. Hangat sekali, persis sewaktu dulu.
"Chaca, benarkah ini kamu?"
*****
Kurasakan dadanya naik turun, ikut menangis. Aku masih histeris, melepaskan diri dari pelukannya. Berulang kali memukul-mukul dadanya dengan kedua tangan yang sedari tadi kukepalkan."Abang jahat, Abang jahat," teriakku. Dia diam tanpa perlawanan, pasrah membiarkanku meluapkan perasaan meski tubuhnya terasa sakit."Maafin Abang, Cha. Maafin Abang, karena nggak ngenalin kamu. Kamu boleh pukul Abang sepuasnya. Abang sungguh-sungguh minta maaf."Aku menghentikan pukulan dan terus menangis. Laki-laki ini menarikku kembali dalam pelukan. Ia memapahku ke sofa, setelah merasa aku sedikit tenang. Dia berlutut menggenggam kedua tanganku.******POV MALIKHannan Maliki Said. Nama itu disematkan padaku dari sebuah surat yang diletakkan di keranjang tempat seseorang meletakkanku.Ya. Mungkin aku bayi yang tidak diinginkan. Diletakkan begitu saja di depan pintu gerbang panti asuhan dengan hanya berbalut selimut dan selembar surat yang ditulis entah oleh siapa. Setidaknya itulah cerita yang kude
Aku kembali ke halaman masjid Raya yang terletak di tengah kota, setelah ke sana sini mencari pekerjaan. Chaca meenyambutku dengan gembira karena aku membelikan makanan yang aku janjikan tadi sebelum pergi.Aku sengaja meninggalkannya di situ, agar tidak merasa bosan di dalam kamar yang aku sewa. Juga tak ingin ia merasa lelah mengikuti perjalananku. Sudah tiga hari ini kami tinggal dan tidur di kamar sempit yang hanya ada kasur tipis. Aku menempati kamar itu atas saran Bapak penjaga kebersihan di masjid. Aku harus segera mendapatkan pekerjaan, agar uang yang kubawa tak terpakai seluruhnya.Syukurlah di hari berikutnya, Abang tukar parkir mau mengajakku turut serta bekerja dengannya. Dan di situlah aku sekarang, menjadi tukang parkir di Masjid Raya Medan.****** Aku menggiring sebuah mobil ke area parkir. Menuntun supir di belakang kemudi mengikuti arahanku. Kendaraan terparkir. Aku memberikan karcis ke supir yang baru keluar.Sesekali ku lirik halaman masjid tempat biasa Chaca be
POV CHACAAku menyandarkan tubuh di sandaran sofa, diikuti juga oleh Bang Malik. Kini kami berdua menjadi lebih tenang setelah sebelumnya saling histeris dan belum bisa menghilangkan rasa keterkejutan masing-masing.Tak banyak yang kami bicarakan. Hanya saling memandang tanpa ucapan. Masing-masing tak tahu harus mulai bertanya dari mana. Tak apa buatku. Asal dia masih ada, dan mau mengakuiku. Bang Malik akan mengenalkanku pada keluarga angkatnya besok. Tak mau lagi menunda-nunda dan merahasiakanku dari mereka. "Mereka pasti juga sangat senang melihatmu, Cha," ujarnya menyemangatiku.Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Terdengar suara pintu depan terbuka, dan tak lama tertutup kembali."Kamu baru pulang, Ra?" tanyaku saat Aira berdiri mematung melihat ada tamu laki laki yang kini duduk mesra di sampingku."Hai," jawabnya setengah melongo, sambil mengangkat telapak tangan untuk menyapa.Aku bangkit dan merangkul lengan Bang Malik untuk berdiri. Kutarik ia mendekati
Bahagia! Itu yang aku rasakan. Sambutan yang hangat membuatku merasa diterima oleh keluarganya. Meskipun aku tak pernah mengenal mereka secara langsung. Setahuku, Bu Sam tipe wanita yang tidak banyak bicara, disiplin dan juga tegas. Beberapa kali kami bertemu, tapi tak pernah bertegur sapa. Aku takut dia beranggapan aku hanya memanfaatkan Bang Malik dengan maksud tertentu. Bagaimanapun, kehidupan sosialku sudah jelas berbeda dengan Abangku yang sekarang.Bagaimana jika dia mempengaruhi anak angkatnya itu agar tak berhubungan lagi denganku? Ah, semoga ini hanya perasaanku saja.Makan malam kali ini hanya ada kami bertiga. Hal itu sudah terbiasa karena suami Bu Sam memang sering bepergian ke luar kota. Sementara putra kandungnya masih kuliah di luar negeri."Menginap saja di sini. Mama sudah menyuruh Wak Sanah membereskan kamar. Besok kemasi barang- barangmu dan bawalah kemari!" Bu Sam membuka suara di sela-sela makannya.Aku dan Bang Malik saling menoleh."Maksud Mama apa?" Pria berhi
Hari ini aku sedang libur. Bang Malik ingin aku menemaninya ke kantor pemasaran rumah Belanda, di mana aku dan Aira tinggal.Dia bilang cukup tertarik dengan area tempat ini. Atau jangan-jangan dia ingin membeli rumah, agar bisa selalu dekat denganku? Angan-angan yang ada di kepala membuatku tersenyum. "Kenapa senyum-senyum sendiri?" Rupanya diam-diam ia memperhatikan tingkahku."Abang mau beli rumah?" tanyaku girang. "Hem," gumamnya, membenarkan ucapanku."Lihat-lihat dulu. Siapa tau cocok.""Rumahnya bagus kok, Bang. Chaca dan Aira betah tinggal di sini.""O, ya? Nggak mau pindah?" Sepertinya Malik sedang menyindirku atas permintaan Mamanya tempo hari. "Apaan sih," jawabku, sambil mendorong pelan tubuhnya.Namun di dalam hati aku penasaran, seberapa banyak uang yang dimilikinya sampai bisa langsung membeli rumah dengan tiba-tiba seperti ini. Apa dia akan mewarisi semua harta warisan keluarga Bu Sam?Bukannya Bu Sam juga punya anak laki laki, yang pasti akan menjadi pewaris sah s
Setelah saling menempelkan pipi dengan Bang Malik tadi, dia langsung mengarahkan pandangan ke arahku."Hai, kamu pasti Chaca." Wanita itu mengulurkan tangannya dengan senyuman ceria. Terlihat barisan gigi putih berderet, yang membuatnya terlihat sangat manis.Cantik sekali. Membuatku merasa tidak percaya diri berada di tengah-tengah mereka. Aku menyambut uluran tangannya dengan ragu-ragu."Kenalin, aku Tania." Dia melanjutkan ucapannya .Oh, jadi kata Tan yang disebut Bang Malik tadi adalah Tania."Ayo duduk," ajak Bang Malik. Tania kemudian duduk di kursi kosong yang ada di hadapan kami. "Waw, kamu cantik sekali Chaca. Kalian terlihat mirip. Kalau diperhatikan, hidung kamu mancung seperti Malik." Wanita itu terlihat sangat ramah dan mudah melemparkan pujian kepada orang yang baru ditemuinya. Tulus kah? Mirip apanya? Kami bahkan tidak punya ikatan darah sedikit pun."Tentu saja, adikku ini sangat cantik," ujar Bang Malik, sambil mengacak-acak rambutku dengan gemas. "Kapan kamu sampa
Malam ini, Bu Sam kembali memintaku makan malam di rumahnya. Sepulang kerja, Bang Malik mengajakku mampir ke toko baju di sebuah mall, agar tak usah bolak-balik pulang ke rumah.Aku juga tidak ingin merepotkannya, karena letak rumahku dan rumahnya berlawanan arah. Kami memasuki sebuah toko dengan brand ternama. Aku memegang sebuah baju terusan tanpa lengan yang kalau kupakai, pasti akan melekat sampai ke kulit. Kuingat dulu Aira sering memakai baju seperti ini untuk memamerkan tubuh seksinya. Aku terkikik geli melihat baju model begitu."Heh, heh. Apa ini? Mau jadi biduan?" Malik dengan tiba-tiba mengapit leherku dengan lengannya. Berpikir kalau itu adalah baju yang akan aku kenakan."Enggak kok, siapa juga yang mau makek baju kek gini." Aku meletakkan kembali gantungan baju tersebut. Merasa geli."Coba yang ini!" seru nya, sembari menempelkan dress selutut di tubuhku, tanpa melepaskan tangannya dari leherku. Dia menarikku ke depan cermin. "Bagus, kan?" Ia setengah berbisik di telinga
Aku dan Bang Malik sampai ke rumah besar itu lagi. Jantungku kembali berdegub tak karuan. Aku menghela napas, sebelum akhirnya mantap melangkahkan kaki ke pintu depan."Santai aja, ada Abang." Ia mencoba menenangkanku. Merangkulku masuk ke dalam, seolah tahu apa yang sedang aku rasakan.Kami tiba di ruang tamu keluarga dan..."Hai Chaca, kita ketemu lagi." Bak anggota keluarga, Tania muncul menyambutku dengan senyumnya yang elegan."Oh, eh, hai...." Aku merasa gugup menjawab sapaannya."Kamu di sini, Tan?" Bang Malik juga seperti tak tahu kedatangannya."Iya dong. Tante ngundang aku. Nggak boleh, hem?" tanyanya manja.Menyebalkan."Ya boleh, lah." Malik terlihat bersemangat.Hish...."Ayo Chaca, kasi salam sama Papa." Bu Sam menimpali. Aku langsung berjalan mendekati laki-laki yang kuperkirakan usianya hampir enam puluhan itu.Sangat kontras dengan penampilan Bu sam yang