Kurasakan dadanya naik turun, ikut menangis. Aku masih histeris, melepaskan diri dari pelukannya. Berulang kali memukul-mukul dadanya dengan kedua tangan yang sedari tadi kukepalkan.
"Abang jahat, Abang jahat," teriakku.
Dia diam tanpa perlawanan, pasrah membiarkanku meluapkan perasaan meski tubuhnya terasa sakit.
"Maafin Abang, Cha. Maafin Abang, karena nggak ngenalin kamu. Kamu boleh pukul Abang sepuasnya. Abang sungguh-sungguh minta maaf."
Aku menghentikan pukulan dan terus menangis. Laki-laki ini menarikku kembali dalam pelukan. Ia memapahku ke sofa, setelah merasa aku sedikit tenang. Dia berlutut menggenggam kedua tanganku.
******
POV MALIK
Hannan Maliki Said. Nama itu disematkan padaku dari sebuah surat yang diletakkan di keranjang tempat seseorang meletakkanku.
Ya. Mungkin aku bayi yang tidak diinginkan. Diletakkan begitu saja di depan pintu gerbang panti asuhan dengan hanya berbalut selimut dan selembar surat yang ditulis entah oleh siapa.
Setidaknya itulah cerita yang kudengar dari pengurus panti tentang riwayat hidupku. Hari- hariku selama berada di sana tidaklah seindah anak-anak seusiaku pada umumnya. Begitu juga anak-anak lain.
Hidup kami penuh siksaan dan juga derita. Tak ada kasih sayang, bahkan tak ada izin sama sekali untuk orang lain mengadopsi. Mereka lebih senang meminta sumbangan yang diberikan langsung kepada pihak panti.
Saat usiaku enam tahun, aku mendengar suara tangis bayi dari luar pagar. Aku segera berlari memanggil pengurus panti. Bayi itu dibawa masuk untuk kemudian dirawat sebagai penghuni baru.
Tak ada peninggalan apa pun, baik pakaian ganti atau secarik pesan. Hanya terbungkus selimut yang cukup tebal berwarna merah muda, lalu diletakkan di dalam keranjang rotan.
Hanya itu yang kuingat tentang kejadian malam itu. Entah kenapa aku begitu iba pada bayi malang itu, nasibnya tidak lebih baik dari aku. Aku menatap wajah dan bibir mungilnya.
Benar-benar cantik. Cantik seperti bidadari pada buku cerita yang kubaca di perpustakaan panti.
Annisa. Pengurus panti menyematkan nama itu. Artinya wanita, cuma itu saja. Tak ada arti khusus untuk membuat nama bagi mereka."Aku akan menuliskan nama Annisa pada akte kelahirannya. Kurasa nama itu pun terlalu bagus untuk bayi yang tidak punya asal usul seperti dia," gerutu pengurus panti.
Wajahnya yang manis dan bibirnya yang imut membuatku begitu menyukainya. Chaca, kuberi dia nama panggilan seperti anak kecil yang belum bisa menyebut kata dengan huruf S.
Hari berlalu, waktu berganti. Kami tumbuh bersama sebagai kakak adik. Aku tak tega kalau dia juga mendapat perlakuan yang sama dengan kami. Dengan segala cara aku melindunginya agar tak pernah tersentuh hukuman.
Hingga pada suatu hari Chaca membuat kesalahan fatal. Gadis polos itu berceloteh kepada salah seorang donatur tetap yang mengajaknya ngobrol. Sang donatur menanyakan langsung kepada kepala Panti apakah benar kalau anak-anak di sini tidak pernah diberi makanan yang layak.
Dengan segala cara, ia menjelaskan dan meyakinkan bahwa tidak pernah ada kejadian seperti itu. Ibu kepala panti murka dan marah besar.
Chaca dipukuli dan ditampar berulang kali didepan semua anak. Tubuhnya dipukul dengan rotan yang biasanya memang digunakan untuk menghukum para penghuni.
Aku berteriak sekuat tenaga untuk membuatnya berhenti. Tapi orang-orang suruhan kepala panti dengan kasar memegangi kedua tanganku hingga tidak bisa berbuat apa-apa. Lalu kusaksikan sendiri tubuh Chaca digiring menuju lorong dan menghilang.
******
Emosiku berapi-api. Usia remaja tak membuatku takut takut dalam bertindak. Jam sembilan malam saat semua orang tertidur lelap, aku menyelinap masuk ke kantor.Kubuka paksa lemari itu dengan perlahan, kumasukkan semua yang ada ke dalam tas ransel yang sudah kupersiapkan sebelumnya. Pernah secara tak sengaja aku memergoki Kepala panti menyimpan sesuatu di situ dengan sangat berhati-hati.
Ya. Uang itu kini sudah berpindah kedalam ranselku. Aku bergegas menuju gudang tempat Chaca disekap. Kami melarikan diri malam itu.
.Menjelang pagi aku dan Chaca berpindah tempat duduk yang semula di samping pengemudi, kini berganti duduk di bak belakang. Sungguh nikmat udara pagi hari ini. Udara kebebasan yang seumur hidup belum pernah kami rasakan.
Aku berterima kasih kepada Bapak supir yang baik hati, begitu kami sampai tujuan. Aku hendak memberinya uang, tapi dia menolak. Beliau pun melanjutkan perjalanan.
"Ini kota Medan ya, Bang?" tanya Chaca dengan senyum tersungging di bibirnya yang masih memar. Aku mengajaknya beristirahat di halaman sebuah masjid.
"Iya, Cha. Ini kota impian Abang. Kita akan tinggal di kota ini. Chaca mau, kan?"
"Mau. Kemana pun Abang pergi, Chaca pasti ikut."
"Apa pun yang terjadi kita akan tetap tinggal di sini."
"Tapi kita mau tinggal dimana, Bang? Kita kan nggak punya uang."
"Uang kita banyak, Cha. Chaca mau makan apa aja, pasti Abang beliin."
"Betul, Bang?" Chaca tertawa kegirangan.
Aku membersihkan diri dan mengganti pakaian yang mengisi ranselku. Tak lupa kumasukkan sepasang baju untuk Chaca.
Chaca keluar dari kamar mandi masjid dengan wajah bersih dan segar. Aku menyisir rambutnya yang lurus dan memoles bedak bayi di pipi mulusnya.
Sudah jadi kebiasaanku di panti mengurus Chaca seorang diri. Jadi semua kebutuhan Chaca sudah kumasukkan ke dalam ransel.
Orang orang yang keluar masuk area masjid selalu menoleh ke arah kami. Bahkan ada ibu- ibu yang memuji kelihaianku mengurus adik.
Kami pun pergi meninggalkan tempat itu. Kulirik sepenggal alamat di secarik kertas yang aku bawa. Kumasukkan kembali di kantong kecil bagian ransel.
******
Aku dan Chaca menikmati makan dengan lahap saat kami memasuki sebuah rumah makan Padang. Aku memesan segelas jus jeruk untuk Chaca. Senyumnya merekah dengan tulus. Tak pernah kulihat dia sebahagia itu sebelumnya.Kami menyusuri jalanan kota Medan. Chaca sungguh takjub melihat gedung- gedung yang menjulang tinggi. Inilah kota impianku. Satu satunya kota yang pernah kulihat seluruh gambarannya dari majalah yang ada di perpustakaan panti. Hingga aku bermimpi untuk bisa menginjakkan kaki dan tinggal di sini.
Aku memohon kepada Mama agar tetap merahasiakan ini kepada semua orang, termasuk om Ridwan sendiri. Aku lebih memilih statusku sebagai yatim piatu yang diadopsi oleh keluarga Om Jaka. Dengan begitu, aku akan belajar memaafkannya, dan memulai hubungan yang baru sebagai menantunya. Itu saja. Aku tak mau lagi ada drama air mata menjelang pernikahan. Biarlah ini sebagai hukuman atas dosa-dosa om Ridwan. Selamanya tidak pernah merasakan kehadiranku sebagai putri kandungnya. Semula Mama memang terlihat keberatan. Namun, melihat sorot mataku yang penuh keyakinan, dia terpaksa menuruti. Egois memang. Tapi, bukankah sebagai manusia yang punya perasaan, aku juga punya hak? Hanya itu satu-satunya cara hatiku bisa menerima kehadiran om Ridwan. Hanya sebagai Papanya Bang Malik."Mama mengerti, maaf kalau kami sebagai orang tua sudah menempatkan luka di hatimu. Menempatkanmu dalam posisi tersulit sebagai korban dari keegoisan orang-orang dewasa."Lagi, kata-kata yang sama seperti yang Aira ucapk
Siang ini aku memasak makan siang, membereskan rumah, sementara Aira membawa Alya untuk pergi imunisasi. Tiba-tiba terdengar suara bel berbunyi. Aku membukakan pintu depan. Sesosok wanita itu kini berdiri kembali di hadapanku. Teringat saat terakhir kali kami saling menatap seperti ini. Tubuhnya terlihat lebih kurus dari sebelumnya. Apa dia sakit? Dia tampak ragu untuk melangkah. Entah karena malu atau takut. Aku pun merasa demikian, masih merasa canggung dan tidak tahu bagaimana harus bersikap. Bukankah seingatku kami memang tak seakrab itu? Tapi entah kenapa gejolak hati ini ingin sekali memeluknya. Menumpahkan rasa rindu yang entah sejak kapan mengikutiku. Selalu berharap dapat kembali bertemu dan membicarakan apa saja layak nya seorang teman, atau..Ibu. "Silahkan masuk, Ma." Aku menawarinya dengan suara yang tertahan. Ingin sekali aku menyentuh dan memeluknya, namun dia juga terlihat sama takutnya denganku. Mama melangkahkan kaki masuk ke dalam. Memperhatikanku dari atas samp
Sudah beberapa hari ini kerjaku hanya uring-uringan dan bermain bersama Alya saja. Suntuk juga rasanya menjadi pengangguran, setelah bertahun-tahun lamanya hidup dari kerjaan satu ke kerjaan lainnya. Mungkin aku tak lagi mempermasalahkan soal uang. Karena kini, Bang Malik yang menanggung semua kebutuhanku. Tapi tetap saja itu tak sesuai dengan jalan hidupku yang sehari-hari harus mengurung diri di rumah. Seperti biasa, Bang Malik menyempatkan diri untuk datang selepas bekerja. Aku mengajaknya ke balkon atas. Dia bilang sangat senang melihat bulan bersamaku, seperti waktu itu. "Abang punya sesuatu buat kamu," ucapnya. Aku menoleh untuk melihat apa yang dia bawa. Dia mengeluarkan sebuah kotak mungil dari kantong celana. Jantungku sudah ser-seran. Berharap apa yang ada dipikiranku, benar adanya. Kemudian dia membuka dan menunjukkannya kepadaku. Seperti yang kukira, itu sebuah cincin. Cantik sekali. Senyumku pun mengembang. Adegan seperti ini persis seperti yang ada di drama-drama ro
Lagi-lagi aku berucap kata maaf. Mengaku salah telah meninggalkannya meski tahu dia sedang hamil dan membutuhkan seorang teman. "Alya sedang tidur," ucapnya. "Alya? Keponakanku?" Aira mengangguk. Aira menuntunku masuk ke kamarnya. Ada box bayi dengan mainan yang menggantung di atasnya. Bayi mungil itu tertidur pulas di dalamnya. Aku memberanikan diri untuk menggendong. Menciumi wajah dengan pipinya yang chubby itu. Sungguh terlihat seperti boneka. "Maafkan Tante, sayang. Maafkan Tante karena tidak ada di saat kamu lahir ke dunia ini." Aku kembali menciuminya sampai tubuh itu menggeliat karena merasa terganggu. Aku kembali mengunjungi kamar yang dulu aku tempati, Aira masih di kamarnya menidurkan Alya kembali. "Itu masih kamar kamu. Tinggallah lagi di sini. Aku sudah berpisah dari Mas Harris." Dia mengabarkan meski aku sudah mendengarnya dari Bang Malik. "Kenapa? Apa karena aku?""Entahlah, tapi kurasa itu keputusan yang benar. Aku juga tidak ingin nantinya Alya juga ikut merasa
Kami keluar dari gedung pusat SunCo. Aku memang sudah meminta izin kepada Bang Malik untuk menemui Haikal. Dan dia sama sekali tidak keberatan. "Ingat, ya. Kamu sekarang calon istri Abang. Jangan macam-macam," ancamnya. Dia sengaja tak ikut agar tak ada rasa canggung dengan sikap Haikal. Benar saja, sejenak Haikal langsung takut untuk mendekatiku sebelum dia tahu bahwa pria itu hanya mengantarku sampai di luar. Mobil melaju ke arah jalan yang sudah tak asing lagi bagiku. Kemudian dia memasuki gerbang yang sudah setahun ini tak pernah lagi ku kunjungi. Lagi, seperti merasa pulang ke rumah sendiri. "Aku belum gajian. Kita makan siang di sini aja. Gratis," ujarnya sembari melangkahkan kaki ke ruangan. Tak ada yang berubah. Mereka terlihat asik makan dengan lahapnya. Sampai sepasang mata itu menangkap kedatangan kami. "We! Chaca datang. Tengok tu, we. Itu Chaca." Oji berteriak histeris seperti melihat selebriti yang berkunjung ke aula makan dapur SunCo. Puluhan pasang mata menatap
Setelah menempuh perjalanan panjang, akhirnya kami mulai memasuki kota Medan. Aku meminta Bang Malik untuk segera singgah ke rumah nenek. Aku sangat ingin bertemu dengannya. Bukankah mereka keluarga pertama yang harus aku kunjungi? Nenek berdiri mematung dengan tubuh tuanya. Matanya berkaca-kaca saat aku menangis memohon maaf. Nenek memang tak tahu bagaimana caranya menunjukkan kasih sayang, tapi kali ini dia begitu erat memelukku. Tak tahan juga rasanya menahan rindu. "Kau sudah dewasa," ujarnya. "Jangan lagi bersikap seperti itu." Aku kembali menangis di pelukannya. Bang Malik tertidur di ruang tamu beralaskan ambal. Aku sudah menyuruhnya untuk tidur di kamar, namun dia menolak. "Di sini lebih nyaman," ujarnya. Untuk pertama kalinya aku melihat dia tertidur dengan pulas. Napasnya teratur dengan kedua tangan diletakkan di atas dada.Wajahnya terlihat lelah, hingga tak sadar kalau kini om Jaka juga ikut tertidur di sampingnya. Kupungut ponsel yang sedari tadi tergeletak begitu s