Pagi itu, sinar matahari masuk menembus jendela kamar Alya, menciptakan garis-garis cahaya di dinding yang pucat. Burung-burung terdengar bercicit, seolah mencoba mengajak dunia untuk bangun dari tidur panjangnya. Namun, di balik selimut tipis, Alya masih terpejam, tubuhnya terasa berat.
Matanya sembab. Semalam ia kembali menangis, tanpa alasan yang bisa ia katakan pada siapa pun. Air matanya jatuh tanpa henti setiap kali memikirkan Raka dan Dinda. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Alya akhirnya bangun, menyeret langkahnya ke kamar mandi. Wajah di cermin terlihat pucat, lingkar hitam di bawah matanya jelas sekali. Ia tersenyum getir. “Cantik apa adanya, katanya. Tapi bahkan aku nggak bisa bohongin diri aku sendiri,” gumamnya lirih. Setelah beres, ia berangkat ke toko buku tempatnya bekerja. Toko kecil itu bukan miliknya sepenuhnya, tapi sejak tiga tahun lalu ia dipercaya mengelolanya bersama sahabatnya, Naya. ------ “Ly, kamu telat lagi ya?” suara Naya menyambutnya begitu Alya masuk toko. Alya tersenyum canggung. “Sorry, aku kebangun agak siang.” Naya melipat tangan di dada, menatapnya tajam tapi penuh sayang. “Kamu nggak apa-apa? Belakangan muka kamu keliatan capek banget. Ada masalah ya?” Pertanyaan itu membuat Alya terdiam sejenak. Ia ingin sekali menceritakan semuanya, tentang Raka, tentang hatinya yang patah berkali-kali. Tapi ia tahu, jika ia bercerita, maka air mata akan kembali mengalir. “Enggak kok, aku baik-baik aja,” jawab Alya singkat, mencoba menutup rapat pintu hatinya. Naya menghela napas. Ia sudah mengenal Alya sejak kuliah, dan ia tahu kalau sahabatnya itu pandai sekali menyembunyikan perasaan. “Kalau kamu butuh cerita, aku selalu ada ya,” ucapnya lembut. Alya hanya mengangguk, lalu bergegas menyusun buku-buku di rak. Tangan sibuk itu ia gunakan untuk mengalihkan pikirannya, meski sesekali matanya kosong, pikirannya melayang entah ke mana. --- Hari itu toko tidak terlalu ramai. Seorang pria muda masuk, mengenakan kemeja biru dengan tas selempang. Wajahnya teduh, senyumnya ramah. Ia berkeliling sebentar, lalu membawa dua buku ke meja kasir tempat Alya berdiri. “Dua ini, mbak,” katanya. Alya tersenyum tipis, menerima buku-buku itu. “Mau sekalian dibungkus kado?” tanyanya, sekadar basa-basi. Pria itu tertawa kecil. “Enggak usah, buat saya sendiri. Saya suka baca novel. Lagi pengen cari yang ringan, soalnya kerjaan lagi numpuk banget.” Alya menoleh, sedikit terkejut. Jarang sekali ada pembeli pria yang dengan santai bilang suka baca novel. “Oh gitu… biasanya cowok lebih suka buku motivasi atau bisnis.” “Ya, saya suka dua-duanya. Tapi novel itu… bikin saya bisa lupa sebentar dari dunia nyata. Rasanya kayak jalan-jalan ke dunia lain,” jawab pria itu sambil tersenyum. Alya mengangguk pelan. Ada sesuatu di senyum pria itu yang menenangkan, berbeda dengan senyum Raka yang selalu membuat hatinya bergetar. “Nama saya Ardi, by the way,” ucap pria itu sebelum pergi. “Alya,” jawabnya singkat. Ardi mengangguk, lalu melangkah keluar. Alya menatap punggungnya sebentar, lalu kembali sibuk membereskan meja kasir. --- Malam harinya, seperti biasa, Raka kembali menghubunginya. Pesan demi pesan masuk, bercerita tentang pekerjaannya, tentang Dinda, tentang persiapan lamaran. Alya membaca semua itu dengan hati yang kembali terasa berat. “Dinda lagi sibuk juga ternyata, Ly. Kadang aku takut dia kecapekan.” Alya menatap layar lama sekali sebelum membalas. > “Kamu harus jaga dia baik-baik, Rak. Dia beruntung punya kamu.” Tangannya gemetar saat menulis kalimat itu. Rasanya seperti ia sendiri sedang menusuk hatinya dengan kata-kata yang ia tulis. Raka membalas cepat. > “Aku juga beruntung punya kamu, Ly. Kamu selalu ngerti aku.” Alya terdiam. Ia menaruh ponselnya di meja, lalu menutup wajah dengan kedua tangan. Kata-kata itu kembali jadi pisau bermata dua. Bahagia, tapi menyakitkan. Di tengah tangisnya yang nyaris pecah, ia teringat pada pria yang ia temui di toko tadi. Ardi. Senyumnya terlintas sebentar di pikirannya, memberi rasa tenang yang aneh. Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, Alya sadar bahwa mungkin ada dunia lain di luar Raka. Dunia yang belum ia izinkan masuk karena ia terlalu sibuk mencintai seseorang yang tak pernah melihatnya. --- Keesokan harinya, Ardi kembali datang ke toko. Kali ini ia membeli buku motivasi. “Ketemu lagi,” katanya sambil tersenyum ramah. Alya ikut tersenyum, meski masih ada bayangan kelam di matanya. “Kayaknya kamu suka banget baca ya.” “Lumayan. Baca bikin saya nggak terlalu stres,” jawab Ardi ringan. Ia lalu menatap Alya sebentar. “Mbak Alya suka baca apa?” Pertanyaan sederhana itu membuat Alya sedikit terdiam. Selama ini, Raka jarang sekali menanyakan hal-hal kecil tentang dirinya. Raka lebih banyak bercerita, sementara Alya mendengarkan. Tapi pria ini… baru bertemu dua kali, sudah ingin tahu sesuatu tentang dirinya. “Aku suka novel juga. Apalagi yang romance,” jawabnya akhirnya. Ardi mengangguk. “Pantes kamu keliatan… apa ya… kayak orang yang punya banyak perasaan tapi jarang ditunjukin.” Kata-kata itu membuat Alya kaget. Ia menatap Ardi lama, mencoba mencari tahu apakah ia hanya asal bicara atau benar-benar merasakan sesuatu. “Kenapa kamu bisa bilang gitu?” tanya Alya pelan. Ardi tersenyum samar. “Entahlah. Kadang orang bisa baca lebih banyak dari mata dibanding dari kata-kata.” Alya menunduk, merasa hatinya bergetar pelan. Bukan getaran yang sama seperti saat bersama Raka, tapi ada rasa hangat yang menenangkan. Dan sore itu, untuk pertama kalinya, Alya pulang dengan perasaan yang berbeda. Masih ada luka, masih ada bayangan Raka, tapi di sela-selanya, ada secercah cahaya kecil yang baru. --- Malamnya, Alya duduk di balkon kamarnya. Ponselnya bergetar lagi—Raka. Ia menatap notifikasi itu lama sekali, tapi kali ini ia tidak langsung membalas. Ia hanya menatap langit malam, menarik napas panjang, dan berbisik pada dirinya sendiri. “Mungkin, suatu hari aku harus berani berhenti mencintai kamu, Rak.” Air matanya jatuh lagi, tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda. Ia menangis bukan hanya karena patah hati, tapi juga karena ia mulai sadar—bahwa dirinya berhak untuk bahagia. Dan mungkin, kebahagiaan itu tidak harus selalu bernama Raka. Hari-hari berikutnya berjalan dengan ritme yang hampir sama. Alya bekerja di toko buku, melayani pembeli, menyusun rak, dan sesekali mencatat pesanan. Tapi sejak kemunculan Ardi, ada sedikit perbedaan dalam rutinitas itu. Pria itu datang cukup sering. Kadang membeli buku, kadang hanya sekadar melihat-lihat. Awalnya Alya mengira Ardi hanya pelanggan biasa yang kebetulan suka membaca. Namun semakin lama, ia merasa Ardi memang sengaja menyempatkan diri datang. Suatu siang, Ardi datang lagi. Kali ini ia tidak membawa buku ke kasir, melainkan berdiri agak lama di depan meja tempat Alya duduk. “Boleh ngobrol sebentar?” tanya Ardi dengan senyum sopan. Alya menoleh, sedikit bingung. “Ngobrol? Di sini?” Ardi tertawa kecil. “Kalau nggak enak, bisa nanti setelah kerja. Aku cuma pengen kenal kamu lebih jauh, kalau kamu nggak keberatan.” Alya terdiam sebentar. Hatinya masih penuh oleh Raka, tapi di saat yang sama ia merasa tersanjung. Sudah lama sekali tidak ada pria yang menunjukkan ketertarikan padanya, selain Raka yang hanya menganggapnya sebagai teman. “Lihat nanti aja, ya,” jawab Alya akhirnya, mencoba mengulur waktu. Ardi mengangguk tanpa kecewa. “Oke, aku tunggu kabar kamu.” --- Malam harinya, ponsel Alya kembali bergetar. Kali ini bukan pesan Ardi, melainkan nama yang paling familiar di hidupnya. Raka. > “Ly, besok bisa temenin aku sebentar nggak? Aku mau fitting jas, tapi Dinda lagi ada kerjaan.” Alya menatap layar lama sekali. Rasanya hatinya diremas. Lagi-lagi ia dijadikan tempat singgah, pengganti, pelengkap. Tangannya mengetik cepat. > “Iya, aku bisa.” Begitu pesan terkirim, Alya mengusap wajahnya pelan. Kenapa aku nggak bisa bilang ‘nggak’? Kenapa aku selalu nurut sama kamu, Rak? --- Keesokan harinya, mereka bertemu di butik jas. Raka tampak rapi, wajahnya cerah meski terlihat sedikit lelah. Alya mendampinginya, duduk sambil memperhatikan berbagai pilihan jas yang dipamerkan. “Aku cocok pakai yang ini nggak, Ly?” tanya Raka sambil keluar dari ruang ganti, mengenakan jas hitam elegan. Alya menatapnya lama. Dadanya terasa sesak melihat sosok lelaki yang ia cintai begitu tampan, tapi bersiap untuk hari bahagianya bersama orang lain. “Cocok banget,” jawab Alya akhirnya, menelan ludah untuk menahan air mata. “Kamu keliatan… sempurna.” Raka tertawa puas. “Thanks, Ly. Untung ada kamu. Aku tuh selalu lebih tenang kalau kamu ada di samping.” Kata-kata itu menusuk lagi. Bagi Raka, Alya hanyalah ‘tempat tenang’. Tapi bukan rumah yang ia pilih untuk selamanya. --- Malamnya, Alya kembali duduk di kamarnya dengan hati hancur. Air mata jatuh begitu saja. Ia merasa lelah, sangat lelah. Dan di saat itulah, sebuah pesan masuk. Bukan dari Raka, tapi dari Ardi. “Hai Alya, maaf kalau aku ganggu. Aku cuma mau bilang, tadi aku lewat depan toko, tapi nggak jadi mampir. Semoga kamu nggak terlalu capek kerja hari ini.” Alya membaca pesan itu lama sekali. Sederhana, tapi tulus. Tidak ada beban, tidak ada permintaan. Hanya perhatian kecil yang terasa jujur. Tangannya akhirnya membalas. “Thanks, Ardi. Aku baik-baik aja.” Dan dari percakapan kecil itu, Alya merasa hatinya sedikit lebih ringan. --- Hari-hari berikutnya, interaksi Alya dengan Ardi semakin sering. Mereka mulai bertukar pesan, kadang membicarakan buku, kadang hal-hal remeh seperti makanan favorit atau film terbaru. Ardi punya cara bicara yang berbeda dengan Raka. Ia tidak hanya bercerita, tapi juga bertanya. Ia mendengarkan dengan sungguh-sungguh, membuat Alya merasa benar-benar diperhatikan. “Kenapa kamu suka banget sama novel romance?” tanya Ardi suatu malam lewat pesan. Alya menatap layar, lalu menjawab pelan. “Karena di novel, cinta itu selalu punya arti. Bahkan kalau sakit sekalipun, selalu ada makna di baliknya.” Ardi membalas cepat. “Kalau menurut aku, cinta yang bikin sakit terlalu lama, mungkin bukan cinta. Mungkin itu keterikatan. Karena cinta harusnya bikin kita tumbuh, bukan hancur.” Alya terdiam lama membaca kalimat itu. Dadanya terasa hangat, sekaligus getir. Seakan kata-kata Ardi menyentil luka yang ia simpan. --- Namun, meski ada Ardi, bayangan Raka tetap kuat. Suatu sore, Raka kembali menghubunginya. “Ly, minggu depan aku mau ngasih kejutan buat Dinda. Aku pengen kamu temenin belanja dulu ya.” Alya menggenggam ponselnya erat. Ia ingin sekali menolak. Tapi seperti biasa, kata-kata penolakan itu tak pernah bisa keluar. “Oke, Rak.” Dan sekali lagi, ia memilih menjadi penonton dalam kebahagiaan orang yang ia cintai. --- Malam itu, setelah pulang dari membantu Raka, Alya duduk di balkon rumahnya. Matanya kosong, hatinya perih. Ponselnya berbunyi. Pesan dari Ardi. > “Alya, kamu udah makan belum?” Air mata Alya jatuh begitu saja. Ia mengetik balasan dengan jari yang gemetar. “Aku capek, Ardi. Capek banget.” Tak butuh waktu lama, Ardi membalas. “Kalau kamu butuh tempat cerita, aku ada. Aku nggak janji bisa kasih solusi, tapi aku janji bakal dengerin.” Alya menutup wajahnya dengan kedua tangan, menangis lebih keras dari biasanya. Untuk pertama kalinya, ada seseorang yang tidak hanya datang untuk meminta, tapi menawarkan dirinya untuk benar-benar ada. Dan malam itu, di antara rasa sakit karena Raka, Alya merasakan sesuatu yang baru. Sesuatu yang belum ia mengerti sepenuhnya, tapi cukup membuatnya sadar—bahwa mungkin, ia tidak benar-benar sendirian. ---Malam itu, hujan turun deras. Toko buku Alya sudah lama tutup, namun lampu di ruang belakang masih menyala. Alya duduk di kursi kayu, menatap kosong ke arah jendela yang berembun. Di tangannya, secangkir teh hangat sudah kehilangan uapnya.“Kenapa aku merasa... dia ada di luar sana?” bisiknya lirih.Perasaan itu bukan sekadar firasat. Sejak beberapa hari terakhir, Alya merasa ada yang mengawasi setiap langkahnya. Pintu toko pernah diketuk di tengah malam, namun saat ia membuka, tak ada siapa pun. Ponselnya juga sering menerima pesan kosong, hanya berisi titik-titik.Ardi, yang sore tadi sempat berkunjung, berpesan:> “Kalau ada apa-apa, jangan ragu hubungi aku. Aku nggak mau kamu hadapi semua ini sendirian.”Namun, Alya terlalu sering menyembunyikan ketakutannya. Ia tidak ingin membebani Ardi dengan bayang-bayang masa lalu yang seakan tak mau pergi.Drrrttt...Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk. Dengan tangan bergetar, Alya membuka.“Aku masih di sini. Kamu tidak bisa lari dariku,
Bel pintu toko berdering lembut ketika pintu kaca didorong. Ardi muncul dengan wajah cemas, masih mengenakan kemeja kerja yang belum sempat ia rapikan.“Alya…” suaranya serak, mata langsung menyapu ruangan, memastikan semuanya baik-baik saja.Alya berdiri tergesa, mencoba menyembunyikan ketakutannya. Tapi tatapannya yang gugup, tangannya yang gemetar, dan mata sembabnya terlalu jelas untuk disembunyikan.“Ada apa? Kamu kenapa manggil aku buru-buru gini?” tanya Ardi, melangkah mendekat.Alya menghela napas, lalu berusaha tersenyum samar. “Aku… cuma merasa ada yang aneh. Kayak ada orang yang ngeliatin toko ini dari luar.”Ardi menatapnya serius. “Kamu yakin? Siapa?”Alya menggigit bibir, keraguan dan ketakutan bercampur. “Aku nggak lihat jelas… tapi aku rasa itu Raka.”Mata Ardi langsung menegang, rahangnya mengeras. “Dia lagi? Alya, aku nggak bisa diem aja kalau dia udah mulai gangguin kamu kayak gini.”Alya menunduk, air mata menggenang. “Aku takut, Di. Rasanya dia nggak akan berhenti
Udara di dalam toko mendadak berat, seakan setiap oksigen lenyap dari ruangan. Alya berdiri kaku di belakang Ardi, kedua tangannya bergetar tak terkendali. Jantungnya berdetak begitu keras hingga ia yakin keduanya bisa mendengarnya.Raka melangkah pelan, matanya tak lepas dari Ardi. Senyum tipis menghiasi wajahnya, tapi tatapan matanya menusuk. “Jadi, ini orang yang bikin Alya berubah?”Ardi tetap tenang, meski sorot matanya waspada. “Aku nggak bikin dia berubah. Dia berhak bahagia dengan caranya sendiri. Kamu nggak punya hak buat nahan dia.”Raka terkekeh pendek, nada suaranya penuh ejekan. “Kamu pikir kamu siapa? Baru datang sebentar, sudah berani sok jadi pahlawan. Alya itu… milikku.”Kata-kata itu menusuk Alya, membuat dadanya sesak. Ia ingin berteriak bahwa dirinya bukan milik siapa pun, tapi ketakutan membungkam suaranya.Ardi, yang merasakan kegelisahan Alya, berdiri lebih tegak. “Dia bukan milikmu, Raka. Dia manusia, bukan barang. Kalau kamu benar-benar peduli sama dia, kamu n
Raka menutup laptopnya dengan kasar. Ruangan apartemennya berantakan: kertas-kertas kerja berserakan, asbak penuh puntung rokok, dan gelas kopi dingin yang belum disentuh. Sejak Alya jarang menghubunginya, pikirannya semakin tak tenang.Ia memegang ponselnya, membuka chat Alya yang akhir-akhir ini dipenuhi tanda centang biru tanpa balasan. Rahangnya mengeras.Dia berubah. Alya nggak pernah kayak gini sebelumnya…Raka berdiri, berjalan mondar-mandir. Hatinya dipenuhi gelisah bercampur amarah. “Jangan bilang dia punya orang lain,” gumamnya, suara rendah tapi sarat ancaman.Ia mencoba menenangkan diri, tapi semakin dipikirkan, semakin darahnya mendidih. Ingatan tentang Alya yang selalu menuruti kata-katanya dulu membuatnya semakin frustasi. Kini, perempuan itu berani menjauh.Tiba-tiba, ponselnya berbunyi—sebuah notifikasi foto dari teman lamanya, Dani. Raka membuka pesan itu, dan darahnya serasa berhenti mengalir.Foto Alya.Bersama seorang pria.Di sebuah kafe.Tersenyum.Jantungnya be
Malam itu, Alya tak bisa tidur. Setelah tangisan panjang dan pelukan hangat Ardi, dadanya masih terasa sesak. Kata-kata Raka masih bergema, tapi ada juga suara Ardi yang menenangkan. Dua suara itu bertabrakan dalam benaknya, membuatnya terjebak dalam dilema yang tak berujung.Keesokan paginya, Alya memutuskan untuk datang ke kafe tempat ia sering menulis. Ia butuh suasana lain, jauh dari rumah yang penuh bayangan Raka. Saat ia membuka laptop, pikirannya tetap saja tidak bisa fokus. Jari-jarinya mengetik beberapa kalimat, lalu terhenti.Tak lama, seseorang duduk di depannya. Ardi. Dengan senyum tipis, ia meletakkan secangkir cappuccino di meja Alya.“Aku tahu kamu pasti butuh ini,” katanya lembut.Alya tertegun. “Kamu… ngikutin aku?”Ardi terkekeh pelan. “Nggak lah. Aku cuma kebetulan lewat, terus lihat kamu di sini. Jadi kupikir… boleh kan aku nemenin kamu?”Alya ingin menolak, tapi ada bagian kecil dari dirinya yang lega. Kehadiran Ardi membuat ruang hatinya yang sesak terasa sedikit
Malam itu, Alya pulang dengan hati berat. Hujan sudah reda, tapi hawa dinginnya masih terasa menusuk hingga ke tulang. Ia merebahkan diri di ranjang, menatap langit-langit dengan pikiran yang tak mau berhenti berputar. Kata-kata Ardi terngiang di kepalanya: “Biarkan ada orang yang ngingetin kamu bahwa kamu berharga.”Seketika ponselnya bergetar. Nama Raka terpampang jelas di layar. Alya ragu sejenak, lalu mengangkatnya.“Ly,” suara Raka berat, seakan baru saja habis minum alkohol. “Kamu di mana?”“Aku di rumah, Rak. Ada apa?” jawab Alya pelan.Hening sesaat di seberang. Lalu, suara tawa dingin terdengar. “Aku lihat kamu tadi… sama laki-laki itu lagi, ya?”Alya tercekat. “Kamu ngikutin aku?”“Aku cuma memastikan,” ucap Raka, suaranya meninggi. “Aku tahu kamu sering sama dia, kan? Kamu pikir aku nggak sadar?”Alya menggigit bibir. “Raka, dia cuma teman. Aku—”“Teman?” potong Raka tajam. “Jangan bohong sama aku, Ly. Aku lihat cara dia mandang kamu. Dia suka sama kamu. Dan kamu biarin!”S