Home / Romansa / MENCINTAIMU ADALAH RASA SAKIT / Antara Bertahan Dan Melepaskan

Share

Antara Bertahan Dan Melepaskan

Author: Mumun0409
last update Last Updated: 2025-09-28 13:48:07

Pagi itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Alya duduk di meja sarapan, menatap roti panggang di piring tanpa benar-benar berniat memakannya. Pikirannya masih berat setelah semalaman tidak bisa tidur.

Di layar ponselnya, ada dua pesan.

Yang pertama, dari Raka:

> “Ly, jangan lupa ya nanti sore kita ketemu. Aku butuh kamu nemenin beli beberapa barang lagi buat acara lamaran.”

Dan yang kedua, dari Ardi:

> “Selamat pagi, Alya. Semoga harimu ringan. Jangan lupa sarapan.”

Dua pesan, dua rasa berbeda. Yang satu membuat hatinya sakit, yang lain memberi kehangatan. Alya mengusap wajahnya, bingung dengan dirinya sendiri.

Kenapa aku masih nggak bisa melepaskan Raka, padahal jelas-jelas dia bukan milikku?

---

Sore harinya, seperti biasa, Alya menemani Raka. Mereka mengunjungi sebuah toko perhiasan, lalu butik, lalu toko kue. Raka tampak sibuk, wajahnya penuh semangat. Sementara Alya berjalan di sampingnya, tersenyum seadanya.

“Ly, menurut kamu lebih bagus dekorasi warna putih atau pastel?” tanya Raka, sambil menunjuk katalog.

Alya menelan ludah. Warna apa pun akan tetap sakit di mataku, Rak.

“Terserah kamu aja. Aku yakin apa pun yang kamu pilih bakal bagus,” jawabnya pelan.

Raka menatapnya, lalu tertawa kecil. “Aku selalu percaya selera kamu. Kamu tuh orang paling ngerti aku.”

Kalimat itu lagi-lagi seperti pisau. Alya hanya bisa tersenyum, padahal hatinya kembali remuk.

---

Malamnya, Alya pulang dengan tubuh lelah. Ia merebahkan diri di ranjang, menatap langit-langit. Lalu ponselnya bergetar. Nama Ardi muncul di layar.

> “Alya, boleh aku telepon sebentar?”

Alya menatap layar lama. Tangannya sempat ragu, tapi akhirnya ia menekan tombol hijau.

“Hallo…” suaranya serak.

“Hai,” balas Ardi, suaranya tenang. “Kamu kedengeran capek banget.”

Alya menarik napas panjang. “Iya, hari ini lumayan berat.”

“Kamu cerita ke aku aja, kalau mau,” ucap Ardi lembut.

Alya terdiam. Untuk pertama kalinya, ia merasa ingin benar-benar meluapkan semuanya. Dan entah kenapa, ia percaya Ardi bisa mendengarkan tanpa menghakimi.

“Ardi… aku kadang ngerasa hidup aku muter-muter di tempat yang sama. Kayak aku nggak bisa keluar dari lingkaran yang bikin aku sakit sendiri,” ucapnya lirih.

Di seberang, Ardi hening sebentar, lalu berkata pelan, “Kadang kita sendiri yang harus milih keluar, Alya. Karena nggak ada orang lain yang bisa narik kita kalau kita nggak mau jalan.”

Air mata Alya menetes. Kata-kata itu sederhana, tapi menohok.

“Kalau aku jatuh, gimana?” tanya Alya dengan suara bergetar.

“Kalau kamu jatuh, aku janji aku ada buat nemenin kamu bangun lagi,” jawab Ardi mantap.

Tangis Alya pecah seketika. Ia menutup wajahnya dengan tangan, berusaha tidak terlalu terdengar di telepon. Tapi Ardi seakan bisa merasakan semuanya.

“Alya,” suara Ardi terdengar tulus, “kamu pantas bahagia. Jangan biarin siapa pun bikin kamu lupa soal itu.”

---

Sejak malam itu, hubungan Alya dan Ardi semakin dekat. Mereka sering bertukar pesan, telepon singkat, bahkan sesekali bertemu di luar jam kerja. Ardi bukan tipe pria yang memaksa. Ia hadir dengan cara yang sederhana, tapi konsisten.

Suatu sore, Ardi mengajak Alya duduk di sebuah kafe kecil yang tenang.

“Aku tahu kamu lagi nggak gampang, Alya,” kata Ardi sambil menatapnya serius. “Aku nggak pengen buru-buru, tapi aku juga nggak mau kamu terus-terusan nyakitin diri sendiri.”

Alya menunduk, menggenggam cangkir hangat di tangannya.

“Kenapa kamu peduli sama aku, Ardi?” tanyanya pelan.

Ardi tersenyum tipis. “Karena aku lihat dirimu. Bukan cuma senyummu, tapi juga semua luka yang kamu sembunyiin. Dan aku pengen ada di sana, bukan buat nutupin lukanya, tapi buat nemenin kamu sembuh.”

Air mata Alya menggenang. Kata-kata itu terasa asing, tapi juga indah. Selama ini, tidak ada yang benar-benar melihat lukanya, apalagi mau menemaninya.

---

Namun, dunia Alya belum sepenuhnya berpihak padanya. Raka masih hadir setiap saat, dengan segala kebutuhannya.

Suatu hari, Raka kembali menelpon.

“Ly, aku bisa minta tolong lagi nggak? Aku mau nyiapin kejutan buat Dinda. Kamu orang pertama yang aku kepikiran buat bantuin.”

Alya menggenggam ponselnya erat. Dadanya sesak. Ingin rasanya ia berkata, Kenapa selalu aku? Kenapa bukan dia yang kamu pilih untuk semua ini?

Tapi yang keluar dari mulutnya hanya, “Iya, Rak.”

Setelah telepon ditutup, Alya menangis lama. Ia sadar, dirinya masih terjebak.

---

Malam itu, ia duduk di balkon. Angin malam berhembus pelan. Ponselnya kembali bergetar—Ardi.

“Alya, aku tahu kamu lagi nggak baik-baik aja. Besok ketemu aku, ya? Aku nggak akan tanya banyak, aku cuma pengen kamu nggak sendirian.”

Alya membaca pesan itu berulang kali. Hatinyanya bimbang. Antara bertahan dalam lingkaran Raka yang penuh luka, atau mencoba memberi kesempatan pada Ardi yang tulus.

Dan malam itu, ia berbisik pada dirinya sendiri.

“Mungkin sudah waktunya aku belajar melepaskan… meski rasanya sakit setengah mati.”

---

Keesokan harinya, Alya menatap pantulan dirinya di cermin. Wajahnya tampak pucat dengan lingkaran hitam di bawah mata, tanda dari terlalu banyak menangis dan kurang tidur. Ia menarik napas panjang, mencoba menata hati.

Pagi itu ia memutuskan mengenakan blus putih sederhana dengan celana jeans biru. Tidak ada yang istimewa, tapi cukup rapi. Ia tahu hari ini akan berbeda.

---

Kafe kecil di sudut jalan itu terasa hangat. Aroma kopi bercampur dengan suara musik lembut membuat suasana begitu nyaman. Ardi sudah menunggunya di meja dekat jendela. Begitu Alya masuk, pria itu tersenyum lebar dan melambaikan tangan.

“Alya, sini,” panggilnya.

Alya berjalan mendekat dengan langkah ragu. Ada bagian dari dirinya yang masih ingin mundur, tapi tatapan tulus Ardi membuatnya tetap melangkah.

“Maaf aku telat,” ucap Alya sambil duduk.

“Nggak apa-apa. Aku seneng kamu dateng.” Ardi menatapnya lama, lalu menambahkan, “Kamu kelihatan capek banget.”

Alya menunduk. “Aku memang capek.”

“Boleh aku tahu kenapa?” tanya Ardi lembut.

Alya terdiam lama. Hatinya berkecamuk. Bagian dirinya ingin membuang semua cerita, bagian lainnya masih takut. Tapi saat melihat mata Ardi, ia merasa aman.

“Ardi… aku jatuh cinta sama seseorang yang nggak pernah bisa jadi milikku,” ucap Alya akhirnya, suaranya bergetar.

Ardi mendengarkan tanpa menyela.

“Aku udah lama ada di sampingnya. Aku selalu ada buat dia, kapan pun dia butuh. Tapi dia nggak pernah lihat aku lebih dari sekadar… teman.” Mata Alya mulai berkaca-kaca. “Dan sekarang dia mau menikah.”

Air mata menetes, dan Alya buru-buru mengusapnya. “Aku bodoh, ya?”

Ardi menggeleng cepat. “Nggak. Kamu nggak bodoh, Alya. Kamu cuma terlalu tulus.”

Alya menatapnya dengan mata basah. “Tulus tapi nyakitin diri sendiri.”

Ardi menarik napas panjang. “Aku nggak bisa pura-pura nggak cemburu waktu kamu cerita kayak gini. Tapi aku juga nggak mau bohong. Aku pengen kamu tahu, ada orang lain di dunia ini yang bisa bikin kamu bahagia tanpa harus terluka.”

Alya terpaku. “Maksud kamu…?”

Ardi menatapnya serius, tanpa ragu. “Maksudku, aku. Aku suka sama kamu, Alya. Dari pertama kali kita ngobrol, aku tahu ada sesuatu dalam dirimu yang istimewa. Aku nggak peduli masa lalumu, aku cuma peduli kalau kamu terus-terusan nyakitin diri sendiri.”

Alya terdiam. Hatinya bergetar hebat. Ia tidak pernah menyangka Ardi akan sejujur itu.

“Ardi… aku nggak bisa. Aku masih…” Suaranya tercekat. “Aku masih kebayang dia.”

Ardi tersenyum tipis. “Aku nggak minta kamu langsung milih aku, Alya. Aku cuma minta kamu kasih kesempatan buat dirimu sendiri. Kamu nggak harus terus hidup di bawah bayangan dia.”

Alya menggenggam cangkirnya erat-erat. Ada rasa takut, tapi juga ada secercah harapan yang selama ini tidak pernah ia rasakan.

---

Malam itu, Alya berjalan pulang dengan pikiran kacau. Kata-kata Ardi terus terngiang di kepalanya.

> “Aku cuma minta kamu kasih kesempatan buat dirimu sendiri.”

Untuk pertama kalinya, Alya bertanya pada dirinya sendiri—apa aku benar-benar mau terus begini? Menjadi bayangan bagi seseorang yang tak pernah memilihku?

Hatinya masih penuh luka karena Raka, tapi di sela-sela luka itu, Ardi muncul sebagai cahaya kecil.

Dan Alya tahu, cepat atau lambat, ia harus memilih: tetap bertahan dalam rasa sakit… atau belajar melepaskan untuk menemukan arti cinta yang baru.

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MENCINTAIMU ADALAH RASA SAKIT    Bayangan Di Balik Jendela

    Malam itu, hujan turun deras. Toko buku Alya sudah lama tutup, namun lampu di ruang belakang masih menyala. Alya duduk di kursi kayu, menatap kosong ke arah jendela yang berembun. Di tangannya, secangkir teh hangat sudah kehilangan uapnya.“Kenapa aku merasa... dia ada di luar sana?” bisiknya lirih.Perasaan itu bukan sekadar firasat. Sejak beberapa hari terakhir, Alya merasa ada yang mengawasi setiap langkahnya. Pintu toko pernah diketuk di tengah malam, namun saat ia membuka, tak ada siapa pun. Ponselnya juga sering menerima pesan kosong, hanya berisi titik-titik.Ardi, yang sore tadi sempat berkunjung, berpesan:> “Kalau ada apa-apa, jangan ragu hubungi aku. Aku nggak mau kamu hadapi semua ini sendirian.”Namun, Alya terlalu sering menyembunyikan ketakutannya. Ia tidak ingin membebani Ardi dengan bayang-bayang masa lalu yang seakan tak mau pergi.Drrrttt...Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk. Dengan tangan bergetar, Alya membuka.“Aku masih di sini. Kamu tidak bisa lari dariku,

  • MENCINTAIMU ADALAH RASA SAKIT    Jejak Yang Terhapus

    Bel pintu toko berdering lembut ketika pintu kaca didorong. Ardi muncul dengan wajah cemas, masih mengenakan kemeja kerja yang belum sempat ia rapikan.“Alya…” suaranya serak, mata langsung menyapu ruangan, memastikan semuanya baik-baik saja.Alya berdiri tergesa, mencoba menyembunyikan ketakutannya. Tapi tatapannya yang gugup, tangannya yang gemetar, dan mata sembabnya terlalu jelas untuk disembunyikan.“Ada apa? Kamu kenapa manggil aku buru-buru gini?” tanya Ardi, melangkah mendekat.Alya menghela napas, lalu berusaha tersenyum samar. “Aku… cuma merasa ada yang aneh. Kayak ada orang yang ngeliatin toko ini dari luar.”Ardi menatapnya serius. “Kamu yakin? Siapa?”Alya menggigit bibir, keraguan dan ketakutan bercampur. “Aku nggak lihat jelas… tapi aku rasa itu Raka.”Mata Ardi langsung menegang, rahangnya mengeras. “Dia lagi? Alya, aku nggak bisa diem aja kalau dia udah mulai gangguin kamu kayak gini.”Alya menunduk, air mata menggenang. “Aku takut, Di. Rasanya dia nggak akan berhenti

  • MENCINTAIMU ADALAH RASA SAKIT    Dunia Yang Bertabrakan

    Udara di dalam toko mendadak berat, seakan setiap oksigen lenyap dari ruangan. Alya berdiri kaku di belakang Ardi, kedua tangannya bergetar tak terkendali. Jantungnya berdetak begitu keras hingga ia yakin keduanya bisa mendengarnya.Raka melangkah pelan, matanya tak lepas dari Ardi. Senyum tipis menghiasi wajahnya, tapi tatapan matanya menusuk. “Jadi, ini orang yang bikin Alya berubah?”Ardi tetap tenang, meski sorot matanya waspada. “Aku nggak bikin dia berubah. Dia berhak bahagia dengan caranya sendiri. Kamu nggak punya hak buat nahan dia.”Raka terkekeh pendek, nada suaranya penuh ejekan. “Kamu pikir kamu siapa? Baru datang sebentar, sudah berani sok jadi pahlawan. Alya itu… milikku.”Kata-kata itu menusuk Alya, membuat dadanya sesak. Ia ingin berteriak bahwa dirinya bukan milik siapa pun, tapi ketakutan membungkam suaranya.Ardi, yang merasakan kegelisahan Alya, berdiri lebih tegak. “Dia bukan milikmu, Raka. Dia manusia, bukan barang. Kalau kamu benar-benar peduli sama dia, kamu n

  • MENCINTAIMU ADALAH RASA SAKIT    Bayangan Gelap

    Raka menutup laptopnya dengan kasar. Ruangan apartemennya berantakan: kertas-kertas kerja berserakan, asbak penuh puntung rokok, dan gelas kopi dingin yang belum disentuh. Sejak Alya jarang menghubunginya, pikirannya semakin tak tenang.Ia memegang ponselnya, membuka chat Alya yang akhir-akhir ini dipenuhi tanda centang biru tanpa balasan. Rahangnya mengeras.Dia berubah. Alya nggak pernah kayak gini sebelumnya…Raka berdiri, berjalan mondar-mandir. Hatinya dipenuhi gelisah bercampur amarah. “Jangan bilang dia punya orang lain,” gumamnya, suara rendah tapi sarat ancaman.Ia mencoba menenangkan diri, tapi semakin dipikirkan, semakin darahnya mendidih. Ingatan tentang Alya yang selalu menuruti kata-katanya dulu membuatnya semakin frustasi. Kini, perempuan itu berani menjauh.Tiba-tiba, ponselnya berbunyi—sebuah notifikasi foto dari teman lamanya, Dani. Raka membuka pesan itu, dan darahnya serasa berhenti mengalir.Foto Alya.Bersama seorang pria.Di sebuah kafe.Tersenyum.Jantungnya be

  • MENCINTAIMU ADALAH RASA SAKIT    Retakkan Di Dinding Hati

    Malam itu, Alya tak bisa tidur. Setelah tangisan panjang dan pelukan hangat Ardi, dadanya masih terasa sesak. Kata-kata Raka masih bergema, tapi ada juga suara Ardi yang menenangkan. Dua suara itu bertabrakan dalam benaknya, membuatnya terjebak dalam dilema yang tak berujung.Keesokan paginya, Alya memutuskan untuk datang ke kafe tempat ia sering menulis. Ia butuh suasana lain, jauh dari rumah yang penuh bayangan Raka. Saat ia membuka laptop, pikirannya tetap saja tidak bisa fokus. Jari-jarinya mengetik beberapa kalimat, lalu terhenti.Tak lama, seseorang duduk di depannya. Ardi. Dengan senyum tipis, ia meletakkan secangkir cappuccino di meja Alya.“Aku tahu kamu pasti butuh ini,” katanya lembut.Alya tertegun. “Kamu… ngikutin aku?”Ardi terkekeh pelan. “Nggak lah. Aku cuma kebetulan lewat, terus lihat kamu di sini. Jadi kupikir… boleh kan aku nemenin kamu?”Alya ingin menolak, tapi ada bagian kecil dari dirinya yang lega. Kehadiran Ardi membuat ruang hatinya yang sesak terasa sedikit

  • MENCINTAIMU ADALAH RASA SAKIT    Jejak Luka

    Malam itu, Alya pulang dengan hati berat. Hujan sudah reda, tapi hawa dinginnya masih terasa menusuk hingga ke tulang. Ia merebahkan diri di ranjang, menatap langit-langit dengan pikiran yang tak mau berhenti berputar. Kata-kata Ardi terngiang di kepalanya: “Biarkan ada orang yang ngingetin kamu bahwa kamu berharga.”Seketika ponselnya bergetar. Nama Raka terpampang jelas di layar. Alya ragu sejenak, lalu mengangkatnya.“Ly,” suara Raka berat, seakan baru saja habis minum alkohol. “Kamu di mana?”“Aku di rumah, Rak. Ada apa?” jawab Alya pelan.Hening sesaat di seberang. Lalu, suara tawa dingin terdengar. “Aku lihat kamu tadi… sama laki-laki itu lagi, ya?”Alya tercekat. “Kamu ngikutin aku?”“Aku cuma memastikan,” ucap Raka, suaranya meninggi. “Aku tahu kamu sering sama dia, kan? Kamu pikir aku nggak sadar?”Alya menggigit bibir. “Raka, dia cuma teman. Aku—”“Teman?” potong Raka tajam. “Jangan bohong sama aku, Ly. Aku lihat cara dia mandang kamu. Dia suka sama kamu. Dan kamu biarin!”S

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status