Mag-log inPagi itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Alya duduk di meja sarapan, menatap roti panggang di piring tanpa benar-benar berniat memakannya. Pikirannya masih berat setelah semalaman tidak bisa tidur.
Di layar ponselnya, ada dua pesan. Yang pertama, dari Raka: > “Ly, jangan lupa ya nanti sore kita ketemu. Aku butuh kamu nemenin beli beberapa barang lagi buat acara lamaran.” Dan yang kedua, dari Ardi: > “Selamat pagi, Alya. Semoga harimu ringan. Jangan lupa sarapan.” Dua pesan, dua rasa berbeda. Yang satu membuat hatinya sakit, yang lain memberi kehangatan. Alya mengusap wajahnya, bingung dengan dirinya sendiri. Kenapa aku masih nggak bisa melepaskan Raka, padahal jelas-jelas dia bukan milikku? --- Sore harinya, seperti biasa, Alya menemani Raka. Mereka mengunjungi sebuah toko perhiasan, lalu butik, lalu toko kue. Raka tampak sibuk, wajahnya penuh semangat. Sementara Alya berjalan di sampingnya, tersenyum seadanya. “Ly, menurut kamu lebih bagus dekorasi warna putih atau pastel?” tanya Raka, sambil menunjuk katalog. Alya menelan ludah. Warna apa pun akan tetap sakit di mataku, Rak. “Terserah kamu aja. Aku yakin apa pun yang kamu pilih bakal bagus,” jawabnya pelan. Raka menatapnya, lalu tertawa kecil. “Aku selalu percaya selera kamu. Kamu tuh orang paling ngerti aku.” Kalimat itu lagi-lagi seperti pisau. Alya hanya bisa tersenyum, padahal hatinya kembali remuk. --- Malamnya, Alya pulang dengan tubuh lelah. Ia merebahkan diri di ranjang, menatap langit-langit. Lalu ponselnya bergetar. Nama Ardi muncul di layar. > “Alya, boleh aku telepon sebentar?” Alya menatap layar lama. Tangannya sempat ragu, tapi akhirnya ia menekan tombol hijau. “Hallo…” suaranya serak. “Hai,” balas Ardi, suaranya tenang. “Kamu kedengeran capek banget.” Alya menarik napas panjang. “Iya, hari ini lumayan berat.” “Kamu cerita ke aku aja, kalau mau,” ucap Ardi lembut. Alya terdiam. Untuk pertama kalinya, ia merasa ingin benar-benar meluapkan semuanya. Dan entah kenapa, ia percaya Ardi bisa mendengarkan tanpa menghakimi. “Ardi… aku kadang ngerasa hidup aku muter-muter di tempat yang sama. Kayak aku nggak bisa keluar dari lingkaran yang bikin aku sakit sendiri,” ucapnya lirih. Di seberang, Ardi hening sebentar, lalu berkata pelan, “Kadang kita sendiri yang harus milih keluar, Alya. Karena nggak ada orang lain yang bisa narik kita kalau kita nggak mau jalan.” Air mata Alya menetes. Kata-kata itu sederhana, tapi menohok. “Kalau aku jatuh, gimana?” tanya Alya dengan suara bergetar. “Kalau kamu jatuh, aku janji aku ada buat nemenin kamu bangun lagi,” jawab Ardi mantap. Tangis Alya pecah seketika. Ia menutup wajahnya dengan tangan, berusaha tidak terlalu terdengar di telepon. Tapi Ardi seakan bisa merasakan semuanya. “Alya,” suara Ardi terdengar tulus, “kamu pantas bahagia. Jangan biarin siapa pun bikin kamu lupa soal itu.” --- Sejak malam itu, hubungan Alya dan Ardi semakin dekat. Mereka sering bertukar pesan, telepon singkat, bahkan sesekali bertemu di luar jam kerja. Ardi bukan tipe pria yang memaksa. Ia hadir dengan cara yang sederhana, tapi konsisten. Suatu sore, Ardi mengajak Alya duduk di sebuah kafe kecil yang tenang. “Aku tahu kamu lagi nggak gampang, Alya,” kata Ardi sambil menatapnya serius. “Aku nggak pengen buru-buru, tapi aku juga nggak mau kamu terus-terusan nyakitin diri sendiri.” Alya menunduk, menggenggam cangkir hangat di tangannya. “Kenapa kamu peduli sama aku, Ardi?” tanyanya pelan. Ardi tersenyum tipis. “Karena aku lihat dirimu. Bukan cuma senyummu, tapi juga semua luka yang kamu sembunyiin. Dan aku pengen ada di sana, bukan buat nutupin lukanya, tapi buat nemenin kamu sembuh.” Air mata Alya menggenang. Kata-kata itu terasa asing, tapi juga indah. Selama ini, tidak ada yang benar-benar melihat lukanya, apalagi mau menemaninya. --- Namun, dunia Alya belum sepenuhnya berpihak padanya. Raka masih hadir setiap saat, dengan segala kebutuhannya. Suatu hari, Raka kembali menelpon. “Ly, aku bisa minta tolong lagi nggak? Aku mau nyiapin kejutan buat Dinda. Kamu orang pertama yang aku kepikiran buat bantuin.” Alya menggenggam ponselnya erat. Dadanya sesak. Ingin rasanya ia berkata, Kenapa selalu aku? Kenapa bukan dia yang kamu pilih untuk semua ini? Tapi yang keluar dari mulutnya hanya, “Iya, Rak.” Setelah telepon ditutup, Alya menangis lama. Ia sadar, dirinya masih terjebak. --- Malam itu, ia duduk di balkon. Angin malam berhembus pelan. Ponselnya kembali bergetar—Ardi. “Alya, aku tahu kamu lagi nggak baik-baik aja. Besok ketemu aku, ya? Aku nggak akan tanya banyak, aku cuma pengen kamu nggak sendirian.” Alya membaca pesan itu berulang kali. Hatinyanya bimbang. Antara bertahan dalam lingkaran Raka yang penuh luka, atau mencoba memberi kesempatan pada Ardi yang tulus. Dan malam itu, ia berbisik pada dirinya sendiri. “Mungkin sudah waktunya aku belajar melepaskan… meski rasanya sakit setengah mati.” --- Keesokan harinya, Alya menatap pantulan dirinya di cermin. Wajahnya tampak pucat dengan lingkaran hitam di bawah mata, tanda dari terlalu banyak menangis dan kurang tidur. Ia menarik napas panjang, mencoba menata hati. Pagi itu ia memutuskan mengenakan blus putih sederhana dengan celana jeans biru. Tidak ada yang istimewa, tapi cukup rapi. Ia tahu hari ini akan berbeda. --- Kafe kecil di sudut jalan itu terasa hangat. Aroma kopi bercampur dengan suara musik lembut membuat suasana begitu nyaman. Ardi sudah menunggunya di meja dekat jendela. Begitu Alya masuk, pria itu tersenyum lebar dan melambaikan tangan. “Alya, sini,” panggilnya. Alya berjalan mendekat dengan langkah ragu. Ada bagian dari dirinya yang masih ingin mundur, tapi tatapan tulus Ardi membuatnya tetap melangkah. “Maaf aku telat,” ucap Alya sambil duduk. “Nggak apa-apa. Aku seneng kamu dateng.” Ardi menatapnya lama, lalu menambahkan, “Kamu kelihatan capek banget.” Alya menunduk. “Aku memang capek.” “Boleh aku tahu kenapa?” tanya Ardi lembut. Alya terdiam lama. Hatinya berkecamuk. Bagian dirinya ingin membuang semua cerita, bagian lainnya masih takut. Tapi saat melihat mata Ardi, ia merasa aman. “Ardi… aku jatuh cinta sama seseorang yang nggak pernah bisa jadi milikku,” ucap Alya akhirnya, suaranya bergetar. Ardi mendengarkan tanpa menyela. “Aku udah lama ada di sampingnya. Aku selalu ada buat dia, kapan pun dia butuh. Tapi dia nggak pernah lihat aku lebih dari sekadar… teman.” Mata Alya mulai berkaca-kaca. “Dan sekarang dia mau menikah.” Air mata menetes, dan Alya buru-buru mengusapnya. “Aku bodoh, ya?” Ardi menggeleng cepat. “Nggak. Kamu nggak bodoh, Alya. Kamu cuma terlalu tulus.” Alya menatapnya dengan mata basah. “Tulus tapi nyakitin diri sendiri.” Ardi menarik napas panjang. “Aku nggak bisa pura-pura nggak cemburu waktu kamu cerita kayak gini. Tapi aku juga nggak mau bohong. Aku pengen kamu tahu, ada orang lain di dunia ini yang bisa bikin kamu bahagia tanpa harus terluka.” Alya terpaku. “Maksud kamu…?” Ardi menatapnya serius, tanpa ragu. “Maksudku, aku. Aku suka sama kamu, Alya. Dari pertama kali kita ngobrol, aku tahu ada sesuatu dalam dirimu yang istimewa. Aku nggak peduli masa lalumu, aku cuma peduli kalau kamu terus-terusan nyakitin diri sendiri.” Alya terdiam. Hatinya bergetar hebat. Ia tidak pernah menyangka Ardi akan sejujur itu. “Ardi… aku nggak bisa. Aku masih…” Suaranya tercekat. “Aku masih kebayang dia.” Ardi tersenyum tipis. “Aku nggak minta kamu langsung milih aku, Alya. Aku cuma minta kamu kasih kesempatan buat dirimu sendiri. Kamu nggak harus terus hidup di bawah bayangan dia.” Alya menggenggam cangkirnya erat-erat. Ada rasa takut, tapi juga ada secercah harapan yang selama ini tidak pernah ia rasakan. --- Malam itu, Alya berjalan pulang dengan pikiran kacau. Kata-kata Ardi terus terngiang di kepalanya. > “Aku cuma minta kamu kasih kesempatan buat dirimu sendiri.” Untuk pertama kalinya, Alya bertanya pada dirinya sendiri—apa aku benar-benar mau terus begini? Menjadi bayangan bagi seseorang yang tak pernah memilihku? Hatinya masih penuh luka karena Raka, tapi di sela-sela luka itu, Ardi muncul sebagai cahaya kecil. Dan Alya tahu, cepat atau lambat, ia harus memilih: tetap bertahan dalam rasa sakit… atau belajar melepaskan untuk menemukan arti cinta yang baru. ---Pagi itu rumah sakit terasa lebih tenang dari biasanya. Sinar matahari menembus jendela besar, menari di antara tirai putih yang bergoyang pelan. Di dalam kamar nomor 307, suara detak alat monitor menjadi satu-satunya irama yang menemani Ardi membuka matanya perlahan. Tubuhnya masih terasa berat. Luka di bahu kiri belum sepenuhnya pulih, namun kehangatan yang terasa di tangannya membuat segalanya terasa lebih ringan. Alya tertidur di kursi samping ranjang, rambutnya sedikit berantakan, wajahnya tenang. Di atas pangkuannya, sebuah buku catatan kecil terbuka — berisi tulisan tangan yang Ardi kenal betul. Ia tersenyum samar. Dengan tangan kanan yang masih lemah, Ardi mencoba menyentuh buku itu. Tulisan pertama di halaman atas berbunyi: > “Jika suatu hari aku harus memilih antara menyerah atau percaya, aku akan selalu memilih percaya — pada Ardi.” Senyum Ardi melebar, tapi matanya berkaca-kaca. Kata-kata itu sederhana, namun maknanya begitu dalam — seolah menjadi alasan untuk
Malam itu, seluruh kota tenggelam dalam hujan yang tak berhenti. Langit hitam, petir sesekali membelah langit dengan cahaya menyilaukan. Di dalam markas tua yang kini menjadi pusat kerja Alya dan Dimas, suara generator dan kipas pendingin bersahutan. Udara di dalam ruangan terasa berat — seperti menyimpan sesuatu yang tak semestinya hidup di dunia ini. Alya duduk di depan meja logam, menatap selembar blueprint kusam yang terbuka di depannya. Coretan-coretan rumit memenuhi kertas itu — rancangan Neural Gate, proyek terakhir Ardi sebelum dunia menganggapnya mati. Kini, ia bertekad untuk menyelesaikannya. “Kalau aku ingin membawanya kembali,” gumamnya pelan, “aku harus menyeberang ke tempat di mana logika berhenti.” Dimas yang duduk di sisi lain meja menatapnya dengan khawatir. “Alya, ini bukan sekadar eksperimen. Ini melanggar semua batas yang pernah ada. Kau bicara tentang membuka jalur antara pikiran manusia dan sistem digital. Sekali saja salah langkah—kau bisa kehilangan segalan
Suara mesin server berputar pelan, menyelinap di antara kesunyian malam. Di ruang bawah tanah markas lama VORTEX, udara berbau debu dan besi tua, sisa-sisa masa lalu yang selama ini dikubur bersama rahasia. Alya berdiri di depan konsol besar yang telah ia hidupkan kembali setelah berjam-jam bekerja. Layar-layar kecil di depannya menampilkan deretan kode yang berdenyut seperti detak jantung. Dimas duduk di sampingnya, matanya tak lepas dari grafik sinyal samar yang muncul di monitor utama. “Ini… kode dari Alpha-01,” gumam Dimas pelan. “Tapi bentuknya aneh. Bukan sinyal fisik, bukan juga jaringan standar.” Alya menatap layar dengan pandangan kosong namun fokus. “Bukan dunia digital biasa,” katanya lirih. “Ini lapisan antara data dan kesadaran. Lapisan tempat Ardi pernah menulis eksperimen terakhirnya.” Ia menekan beberapa tombol, lalu menatap deretan angka yang berubah cepat. “Dia meninggalkan sesuatu di sini. Bukan pesan biasa, tapi… jejak dirinya.” Dimas menelan ludah. “Kau yakin
Suara ledakan masih menggema di antara pepohonan. Asap bercampur kabut membuat pandangan menjadi buram, sementara hujan deras menutupi aroma darah yang kian menyengat. Ardi berdiri di tengah kepungan, tubuhnya setengah roboh, namun matanya masih menyala tajam — biru bercampur hitam, seperti badai yang berjuang untuk tetap hidup. Di sekitar, pasukan VORTEX mulai menutup jarak. Suara logam dari sepatu taktis mereka memantul di tanah berlumpur. > “Subjek Alpha mendekati batas kestabilan,” terdengar suara dari earpiece salah satu agen. “Izinkan aktivasi ulang sistem kendali.” Alya berlari dari balik reruntuhan pohon, napasnya tersengal. Ia menatap Ardi yang kini dikelilingi, dan meski wajahnya penuh lumpur, sorot matanya tak gentar sedikit pun. “Ardi!” serunya keras, suaranya menembus derasnya hujan. “Jangan biarkan mereka mengendalikanmu lagi!” Namun kepala Ardi tiba-tiba menunduk — cahaya biru di tubuhnya berkedip cepat, dan terdengar dengung mekanis yang kian tinggi. Ia berlutut
Kabut hutan menebal seiring malam merambat. Langit diselimuti awan pekat, tak ada bintang, hanya cahaya redup dari bulan yang sesekali muncul di balik sela dahan. Alya melangkah hati-hati di antara pepohonan, nafasnya berat, matanya menajam mencari jejak di tanah basah. Sepatu botnya sudah kotor, bajunya penuh lumpur, tapi tekadnya tidak pernah serapuh itu. Setiap langkah terasa seperti ujian kesabaran. Hujan mulai turun perlahan, menimpa wajahnya yang dingin dan lelah. Namun di balik semua itu, ada sesuatu yang membara — harapan. > “Aku tahu kau masih di sini, Ardi…” Suara angin menjawab samar, seolah ikut menyembunyikan rahasia hutan itu. Alya berhenti di depan batang pohon tumbang, melihat bercak darah yang mulai mengering di kulit kayu. Ia berjongkok, menyentuhnya dengan ujung jari — masih baru. Detak jantungnya memacu. “Dia lewat sini.” Tapi sebelum ia sempat melangkah lebih jauh, suara berdengung halus terdengar dari atas. Alya mendongak — drone pengintai melintas di langi
Cahaya putih itu hilang. Yang tersisa hanyalah keheningan. Alya perlahan membuka matanya, menahan rasa sakit yang menusuk dari seluruh tubuhnya. Pandangannya kabur, tapi ia bisa merasakan sesuatu yang lembut di bawahnya — bukan lantai baja fasilitas, melainkan ranjang sederhana yang berbau obat. Ia berusaha bangun, namun dadanya terasa sesak. Seseorang menahan bahunya dengan lembut. “Jangan bergerak dulu. Kau baru sadar setelah dua hari.” Suara itu tenang, lembut, tapi asing. Alya menoleh perlahan. Di hadapannya berdiri seorang wanita paruh baya berpakaian serba putih, wajahnya tertutup masker. “Di mana aku…?” “Tempat aman,” jawab wanita itu singkat. “Kami menemukanku terbaring di reruntuhan VORTEX. Beruntung kau masih hidup.” Nama itu — VORTEX — langsung membuat jantung Alya berdebar cepat. Ia memaksa duduk. “Ardi! Di mana dia? Apa dia selamat?” Wanita itu menunduk sejenak sebelum menjawab, “Tidak ada yang lain di lokasi. Hanya kau.” Kata-kata itu menusuk hatinya lebih







