ログイン
Hujan deras mengguyur kota sore itu, seakan langit sedang menumpahkan segala resahnya ke bumi. Butir-butir air menetes deras di kaca jendela sebuah kafe kecil, meninggalkan jejak yang seakan berlomba turun ke bawah. Kafe itu tak terlalu ramai, hanya ada beberapa meja terisi oleh orang-orang yang sibuk dengan laptop, secangkir kopi, atau sekadar menatap keluar jendela, menunggu hujan reda.
Di sudut dekat jendela, seorang gadis duduk sendiri. Wajahnya teduh, rambut hitam panjangnya dibiarkan terurai, sedikit lembap karena sisa hujan yang menempel. Jemarinya menggenggam ponsel, sesekali menekan layar, lalu berhenti, lalu menunggu. Ia menunggu pesan yang sudah pasti ia tahu akan datang, tapi entah kenapa tetap saja membuat jantungnya berdegup tak karuan. Namanya Alya. Seorang perempuan yang mungkin bagi banyak orang terlihat biasa, tapi di balik tatapan matanya tersimpan lautan perasaan yang tak pernah ia tunjukkan pada siapa pun. Baginya, cinta bukan sesuatu yang harus diumbar ke dunia. Cinta adalah tentang menjaga, menyimpan, dan mengorbankan. Ponselnya bergetar. Notifikasi muncul. Jantung Alya seakan ikut bergetar membaca nama yang muncul di layar. “Aku di depan, tunggu ya.” Alya tersenyum kecil. Senyum itu hadir begitu saja, tanpa bisa ia cegah. Senyum yang bahkan bisa muncul hanya dengan membaca pesan singkat dari orang yang selalu ia nanti. Raka. Sosok lelaki yang sudah lama mengisi hidupnya, entah disadari atau tidak. Mereka tumbuh bersama, dari masa kecil penuh tawa sampai kini sama-sama beranjak dewasa. Tapi waktu mengajarkan Alya satu hal: kedekatan tak selalu berarti kebersamaan. Pintu kafe terbuka, dan dari balik tirai hujan, seorang lelaki masuk dengan langkah cepat. Jaket hitamnya basah oleh hujan, rambutnya sedikit berantakan, tapi senyum itu—senyum yang selalu Alya tunggu—muncul jelas di wajahnya. “Maaf ya, lama?” suara Raka terdengar serak, tapi tetap hangat. Alya buru-buru menggeleng, menyembunyikan fakta bahwa ia sudah menunggu hampir satu jam. “Enggak kok, aku juga baru datang.” Raka tertawa kecil, menaruh tasnya di kursi, lalu duduk di hadapannya. Ia mengibaskan rambutnya sedikit, lalu melirik ke arah Alya dengan tatapan yang selalu membuat hati gadis itu bergetar. “Masih suka nungguin aku sambil pesen air putih aja?” goda Raka sambil menunjuk gelas bening di hadapan Alya. Alya tersenyum tipis. “Aku nggak terlalu suka kopi. Lagian kan aku tahu kamu pasti pesan sesuatu yang bisa aku icip juga.” Raka tertawa lepas, membuat suasana seakan langsung menghangat. Bagi Alya, kebersamaan seperti ini sudah cukup. Duduk berdua, berbincang ringan, dan melihat senyum Raka dari dekat. Meski hatinya sering kali berbisik, ‘Seandainya aku bisa lebih dari sekadar teman…’ Obrolan mereka mengalir seperti biasa. Tentang pekerjaan Raka di kantornya, tentang bosnya yang cerewet, tentang tugas-tugas kecil yang sering membuatnya lembur. Alya mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali tertawa, sesekali mengangguk. Ia suka mendengar cerita Raka, bahkan hal-hal kecil yang bagi orang lain mungkin membosankan, bagi Alya justru berharga. Sampai akhirnya, percakapan itu berbelok. “Ly, aku mau cerita sesuatu,” kata Raka, kali ini suaranya terdengar lebih serius. Alya menegakkan tubuhnya, mencoba menyiapkan hati untuk apa pun yang akan ia dengar. “Apa?” tanyanya, dengan nada selembut mungkin. Raka menatap meja sebentar, lalu menghela napas. “Aku… aku mau melamar Dinda bulan depan.” Detik itu juga, dunia Alya seakan berhenti. Kata-kata itu menusuk telinganya, menembus dadanya, dan menghantam hatinya tanpa ampun. Dinda. Nama yang sudah sering ia dengar. Gadis cantik yang selalu ada di sekitar Raka sejak dua tahun terakhir. Alya tahu betul bahwa Raka menyukai Dinda, tapi selama ini ia masih berharap—berharap bahwa suatu hari, mungkin, perasaan itu akan berubah. Senyum di wajah Alya menegang. Ia berusaha keras agar matanya tidak menunjukkan gejolak di hatinya. ‘Jangan nangis. Jangan sekarang. Jangan di depannya,’ batinnya berteriak. “Tentu, Rak,” ucap Alya, suaranya sedikit serak. “Aku selalu doain yang terbaik buat kamu.” Raka tersenyum lega, matanya berbinar penuh kebahagiaan. Ia tak menyadari badai yang sedang berkecamuk di hati gadis di depannya. “Thanks, Ly. Kamu selalu orang pertama yang aku pengen cerita. Kamu tahu kan, kamu penting buat aku,” kata Raka tulus. Kalimat itu, bagi Raka mungkin hanya sekadar ucapan jujur. Tapi bagi Alya, kata “penting” itu seperti pisau bermata dua. Ia bahagia, tapi sekaligus hancur. Penting… tapi bukan berarti dicintai. Penting… tapi bukan berarti dipilih. Alya tersenyum lagi, meski hatinya retak sedikit demi sedikit. “Aku seneng kok, Rak. Beneran.” Dan sepanjang percakapan setelah itu, Alya hanya mendengar setengah hati. Ia melihat bibir Raka bergerak, mendengar suaranya bercerita tentang rencana pernikahan, tentang cincin, tentang restu keluarga. Tapi pikirannya sibuk menahan tangis. Hujan di luar masih deras. Seakan langit sedang menangis bersama dirinya. Langit malam menyisakan rintik hujan ketika Alya melangkah keluar dari kafe. Udara lembap menusuk kulitnya, aroma tanah basah bercampur dengan sisa-sisa kopi yang masih menempel di inderanya. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan dada yang terasa sesak. Raka berjalan di sampingnya, memayungi dengan payung hitam besar yang selalu ia bawa di motor. Lelaki itu masih tersenyum, matanya berbinar seakan dunia sedang baik-baik saja. “Pulang bareng aku aja ya,” katanya ringan. Alya ingin menolak, ingin berkata kalau ia bisa pulang sendiri, kalau ia butuh waktu sendirian untuk mengurai benang kusut di hatinya. Tapi bibirnya seperti terkunci. Ia hanya mengangguk, membiarkan Raka membawanya. Perjalanan di motor terasa lebih panjang dari biasanya. Bukan karena jalanan macet, melainkan karena Alya sibuk menahan diri. Angin malam menusuk wajahnya, tetes hujan sesekali menerpa, tapi semua itu tak lebih perih dibandingkan rasa yang menghantam dadanya. Ia duduk di belakang, memeluk tasnya erat-erat. Tangannya ingin sekali meraih pinggang Raka, seperti dulu sering ia lakukan saat masih remaja. Tapi kali ini, ia tahan. Ia sadar, rasa itu tak boleh lagi ia pelihara terlalu dekat. Sampai akhirnya, motor berhenti di depan rumah sederhana milik Alya. “Thanks, Rak,” ucap Alya singkat. Ia berusaha menampilkan senyum, meski wajahnya hampir retak menahannya. Raka balas tersenyum. “Kamu hati-hati ya. Jangan lupa makan. Jangan terlalu sering begadang.” Pesan itu sederhana. Kalimat yang sudah sering Raka ucapkan sejak dulu. Tapi di telinga Alya, kata-kata itu justru seperti cambuk. Kenapa kamu selalu begitu perhatian, kalau akhirnya kamu nggak milih aku? Alya hanya mengangguk, lalu melangkah masuk ke rumah. Baru setelah pintu tertutup rapat, ia biarkan tubuhnya jatuh bersandar di baliknya. Air mata yang sejak tadi ia tahan, akhirnya jatuh deras. Tangisnya pecah. “Aku capek, Rak…” bisiknya di antara isak. “Kenapa harus kamu? Kenapa aku jatuh ke orang yang nggak pernah lihat aku lebih dari teman?” Kamar Alya terasa begitu hening malam itu. Hanya suara jarum jam yang terdengar, berdetak seakan mengejeknya. Ia duduk di tepi ranjang, menatap layar ponsel yang masih menampilkan pesan terakhir dari Raka. Pesan sederhana, tapi lagi-lagi membuat hatinya tak tenang. “Thanks ya udah mau ketemu. Aku seneng bisa cerita ke kamu duluan. Kamu emang beda, Ly.” “Beda…” Alya mengulang kata itu lirih. Ya, ia memang beda. Raka selalu melihatnya sebagai tempat pulang, sebagai pendengar yang baik, sebagai orang yang selalu ada ketika ia butuh. Tapi tidak pernah lebih. Tidak pernah sebagai seseorang yang pantas ia perjuangkan. Air mata kembali jatuh. Alya menggenggam bantalnya erat, membenamkan wajahnya ke sana. Ia ingin berteriak, ingin meluapkan semua yang ia simpan. Tapi yang keluar hanya isakan kecil, teredam oleh kain. Dalam kepalanya, bayangan Raka terus berputar. Senyumnya, tawanya, cara ia menatap dengan mata yang hangat. Semua itu seperti hantu yang menghantui malamnya. “Kenapa aku nggak bisa benci kamu?” tanya Alya pada dirinya sendiri. “Padahal jelas-jelas kamu bikin aku sakit.” Hari-hari berikutnya pun berjalan dengan rasa yang sama. Alya tetap beraktivitas seperti biasa—bekerja di sebuah toko buku kecil yang ia kelola bersama temannya, menyusun rak, melayani pembeli, mencatat stok barang. Dari luar, semua terlihat normal. Tapi setiap kali ponselnya bergetar dengan nama “Raka” muncul di layar, hatinya kembali kacau. Raka masih sering menghubunginya. Masih bercerita banyak hal. Tentang pekerjaannya, tentang keluarganya, bahkan tentang persiapan melamar Dinda. Alya hanya bisa mendengarkan, memberi saran, tersenyum di antara kalimat-kalimat singkatnya. Di setiap percakapan itu, ada dua versi Alya. Yang pertama, Alya yang didengar Raka—teman yang perhatian, yang selalu mendukung. Yang kedua, Alya yang berteriak dalam hati—seorang perempuan yang hancur perlahan karena harus pura-pura kuat. Suatu malam, Raka menelponnya. Suaranya terdengar ceria. “Ly, aku pengen tanya deh. Menurut kamu, cincin tunangan itu mending yang simpel tapi elegan, atau yang agak rame biar keliatan mewah?” Alya menutup mata, mencoba menahan gejolak. Kenapa kamu tanya aku? Kenapa bukan Dinda? Ia menarik napas panjang, lalu menjawab dengan suara bergetar yang ia sembunyikan sebaik mungkin. “Kalau aku sih lebih suka yang simpel, Rak. Elegan itu nggak pernah salah. Nggak usah terlalu rame, nanti malah keliatan norak.” Raka tertawa. “Haha, iya ya. Kamu emang selalu punya cara mikir yang beda. Thanks ya, Ly.” Percakapan berlanjut, tapi Alya hampir tak bisa lagi mendengar dengan jelas. Pikirannya dipenuhi luka. Setelah telepon berakhir, Alya membiarkan dirinya jatuh di ranjang. Ia menatap langit-langit kamar, air mata mengalir begitu saja. Ia merasa seperti boneka—dibelikan rasa perhatian, tapi tidak diberi tempat di hati. Di suatu sore, Alya berjalan pulang sendirian dari toko buku. Jalanan kota mulai padat, lampu-lampu jalan mulai menyala. Ia berhenti di sebuah taman kecil, duduk di bangku sambil menatap anak-anak kecil yang berlarian. Tiba-tiba, ponselnya berbunyi. Pesan dari Raka. “Ly, aku jadi pengen ketemu lagi minggu depan. Mau sekalian nunjukin cincin yang aku pilih. Kamu pasti suka deh liatnya.” Alya menatap layar itu lama sekali. Rasanya ingin ia buang ponsel itu jauh-jauh. Tapi di saat yang sama, ada bagian kecil dari hatinya yang tetap berdebar, hanya karena ia masih diajak untuk melihat sesuatu yang begitu penting bagi Raka. Ia menutup mata, mengusap wajahnya pelan. “Apa aku harus berhenti? Apa aku harus menjauh dari kamu, Rak? Tapi… gimana caranya? Aku bahkan nggak bisa bayangin hidup aku tanpa kamu.” Hatinya seakan terbelah dua. Satu sisi ingin melepaskan, sisi lain masih menggenggam erat. Dan di senja itu, Alya hanya bisa duduk termenung. Sambil menatap langit yang mulai gelap, ia sadar: mencintai Raka bukan lagi sekadar rasa. Ia sudah menjadi luka yang hidup dalam dirinya. Luka yang ia peluk erat, entah sampai kapan.Pagi itu rumah sakit terasa lebih tenang dari biasanya. Sinar matahari menembus jendela besar, menari di antara tirai putih yang bergoyang pelan. Di dalam kamar nomor 307, suara detak alat monitor menjadi satu-satunya irama yang menemani Ardi membuka matanya perlahan. Tubuhnya masih terasa berat. Luka di bahu kiri belum sepenuhnya pulih, namun kehangatan yang terasa di tangannya membuat segalanya terasa lebih ringan. Alya tertidur di kursi samping ranjang, rambutnya sedikit berantakan, wajahnya tenang. Di atas pangkuannya, sebuah buku catatan kecil terbuka — berisi tulisan tangan yang Ardi kenal betul. Ia tersenyum samar. Dengan tangan kanan yang masih lemah, Ardi mencoba menyentuh buku itu. Tulisan pertama di halaman atas berbunyi: > “Jika suatu hari aku harus memilih antara menyerah atau percaya, aku akan selalu memilih percaya — pada Ardi.” Senyum Ardi melebar, tapi matanya berkaca-kaca. Kata-kata itu sederhana, namun maknanya begitu dalam — seolah menjadi alasan untuk
Malam itu, seluruh kota tenggelam dalam hujan yang tak berhenti. Langit hitam, petir sesekali membelah langit dengan cahaya menyilaukan. Di dalam markas tua yang kini menjadi pusat kerja Alya dan Dimas, suara generator dan kipas pendingin bersahutan. Udara di dalam ruangan terasa berat — seperti menyimpan sesuatu yang tak semestinya hidup di dunia ini. Alya duduk di depan meja logam, menatap selembar blueprint kusam yang terbuka di depannya. Coretan-coretan rumit memenuhi kertas itu — rancangan Neural Gate, proyek terakhir Ardi sebelum dunia menganggapnya mati. Kini, ia bertekad untuk menyelesaikannya. “Kalau aku ingin membawanya kembali,” gumamnya pelan, “aku harus menyeberang ke tempat di mana logika berhenti.” Dimas yang duduk di sisi lain meja menatapnya dengan khawatir. “Alya, ini bukan sekadar eksperimen. Ini melanggar semua batas yang pernah ada. Kau bicara tentang membuka jalur antara pikiran manusia dan sistem digital. Sekali saja salah langkah—kau bisa kehilangan segalan
Suara mesin server berputar pelan, menyelinap di antara kesunyian malam. Di ruang bawah tanah markas lama VORTEX, udara berbau debu dan besi tua, sisa-sisa masa lalu yang selama ini dikubur bersama rahasia. Alya berdiri di depan konsol besar yang telah ia hidupkan kembali setelah berjam-jam bekerja. Layar-layar kecil di depannya menampilkan deretan kode yang berdenyut seperti detak jantung. Dimas duduk di sampingnya, matanya tak lepas dari grafik sinyal samar yang muncul di monitor utama. “Ini… kode dari Alpha-01,” gumam Dimas pelan. “Tapi bentuknya aneh. Bukan sinyal fisik, bukan juga jaringan standar.” Alya menatap layar dengan pandangan kosong namun fokus. “Bukan dunia digital biasa,” katanya lirih. “Ini lapisan antara data dan kesadaran. Lapisan tempat Ardi pernah menulis eksperimen terakhirnya.” Ia menekan beberapa tombol, lalu menatap deretan angka yang berubah cepat. “Dia meninggalkan sesuatu di sini. Bukan pesan biasa, tapi… jejak dirinya.” Dimas menelan ludah. “Kau yakin
Suara ledakan masih menggema di antara pepohonan. Asap bercampur kabut membuat pandangan menjadi buram, sementara hujan deras menutupi aroma darah yang kian menyengat. Ardi berdiri di tengah kepungan, tubuhnya setengah roboh, namun matanya masih menyala tajam — biru bercampur hitam, seperti badai yang berjuang untuk tetap hidup. Di sekitar, pasukan VORTEX mulai menutup jarak. Suara logam dari sepatu taktis mereka memantul di tanah berlumpur. > “Subjek Alpha mendekati batas kestabilan,” terdengar suara dari earpiece salah satu agen. “Izinkan aktivasi ulang sistem kendali.” Alya berlari dari balik reruntuhan pohon, napasnya tersengal. Ia menatap Ardi yang kini dikelilingi, dan meski wajahnya penuh lumpur, sorot matanya tak gentar sedikit pun. “Ardi!” serunya keras, suaranya menembus derasnya hujan. “Jangan biarkan mereka mengendalikanmu lagi!” Namun kepala Ardi tiba-tiba menunduk — cahaya biru di tubuhnya berkedip cepat, dan terdengar dengung mekanis yang kian tinggi. Ia berlutut
Kabut hutan menebal seiring malam merambat. Langit diselimuti awan pekat, tak ada bintang, hanya cahaya redup dari bulan yang sesekali muncul di balik sela dahan. Alya melangkah hati-hati di antara pepohonan, nafasnya berat, matanya menajam mencari jejak di tanah basah. Sepatu botnya sudah kotor, bajunya penuh lumpur, tapi tekadnya tidak pernah serapuh itu. Setiap langkah terasa seperti ujian kesabaran. Hujan mulai turun perlahan, menimpa wajahnya yang dingin dan lelah. Namun di balik semua itu, ada sesuatu yang membara — harapan. > “Aku tahu kau masih di sini, Ardi…” Suara angin menjawab samar, seolah ikut menyembunyikan rahasia hutan itu. Alya berhenti di depan batang pohon tumbang, melihat bercak darah yang mulai mengering di kulit kayu. Ia berjongkok, menyentuhnya dengan ujung jari — masih baru. Detak jantungnya memacu. “Dia lewat sini.” Tapi sebelum ia sempat melangkah lebih jauh, suara berdengung halus terdengar dari atas. Alya mendongak — drone pengintai melintas di langi
Cahaya putih itu hilang. Yang tersisa hanyalah keheningan. Alya perlahan membuka matanya, menahan rasa sakit yang menusuk dari seluruh tubuhnya. Pandangannya kabur, tapi ia bisa merasakan sesuatu yang lembut di bawahnya — bukan lantai baja fasilitas, melainkan ranjang sederhana yang berbau obat. Ia berusaha bangun, namun dadanya terasa sesak. Seseorang menahan bahunya dengan lembut. “Jangan bergerak dulu. Kau baru sadar setelah dua hari.” Suara itu tenang, lembut, tapi asing. Alya menoleh perlahan. Di hadapannya berdiri seorang wanita paruh baya berpakaian serba putih, wajahnya tertutup masker. “Di mana aku…?” “Tempat aman,” jawab wanita itu singkat. “Kami menemukanku terbaring di reruntuhan VORTEX. Beruntung kau masih hidup.” Nama itu — VORTEX — langsung membuat jantung Alya berdebar cepat. Ia memaksa duduk. “Ardi! Di mana dia? Apa dia selamat?” Wanita itu menunduk sejenak sebelum menjawab, “Tidak ada yang lain di lokasi. Hanya kau.” Kata-kata itu menusuk hatinya lebih







