Share

Bab 3

last update Last Updated: 2022-05-16 19:47:40

"Mas, jangan pegang aku!" Putri menyentak tanganku kuat. Dia masih enggan untuk menantang mataku yang kini berubah kelabu. Aku merasa cemas sekaligus sedih luar biasa.

"Jelasin ke Mas." Hanya satu itu permintaanku.

"Mas lebay! Aku gak kenapa-kenapa. Mataku cuma kemasukan sesuatu!" katanya sambil mengucek kedua mata, "lagian gak usah sok perhatian deh, Mas. Aku bisa mengurus diriku sendiri, kok."

Setelah mengatakan itu, Putri langsung pergi ke kamarnya, sedangkan aku masih tak bergerak dari tempat. Hanya memerhatikan punggung wanita itu hingga menghilang dari pandangan. Dan tidak usah ditanya, kami memang tidur secara terpisah di rumah ini.

Aku hanya tak mengerti kenapa memberikan kejelasan singkat begitu susahnya bagi Putri. Naluriku mengatakan telah terjadi sesuatu padanya sama seperti di hari pertama pernikahan. Ada yang sedang tidak beres, tapi aku tidak tahu apa. Kuembuskan napas kasar, lalu berjalan menuju kamarnya. 

"Dik, kamu baik-baik aja 'kan?"

Tidak ada jawaban.

"Sudah makan malam?" tanyaku di depan pintu yang sempat dibanting Putri. Aku tetap berusaha bersikap baik untuknya.

"Tinggalin aku sendiri, Mas! Aku gak perlu Mas!" 

"Putri," panggilku lembut.

"Mas, tinggalin aku!"

"Hei, jangan begitu."

"Berisik!"

Aku mengusap wajah kasar. Astaga, dia benar-benar mengujiku dalam keadaan serba salah seperti sekarang.

"Paling tidak jawab pertanyaan saya, Putri!" Aku juga tidak ingin kalah. Ini terlalu melelahkan untukku, apalagi kami berdua bukanlah anak-anak lagi.

Hening.

"Iya, sudah makan." Intonasinya melemah, tidak seperti sebelumnya. Lalu kudengar dia menangis. 

Saat ini aku tidak peduli apakah ucapan tadi menyakiti hatinya. Namun, memastikan bahwa wanita itu setidaknya sudah makan merupakan sebagian tanggung jawabku. Meski tidak bisa dipungkiri, aku tetap merasa bersalah padanya.

Ya Tuhan, aku harus apa? 

"Dik ...." Aku berpasrah diri. "Gak masalah bagi saya kalau kamu gak mau menganggap saya di sini. Tapi satu hal yang perlu kamu tahu, saya selalu siap jadi teman bicara kamu."

"Maaf tadi Mas membentak kamu. Mas cuma khawatir. Panggil Mas kalau ada apa-apa," kataku kemudian memilih pergi agar wanita itu tidak merasa terganggu. 

Hanya perlu waktu 'kan?

Aku akan menunggu hingga dia siap untuk berbagi denganku. 

***

Aku terbangun di tengah malam tidak seperti biasa. Rasanya tenggorokan begitu tercekat, sehingga aku memutuskan untuk mengambil air di kulkas. 

Selesai melepas dahaga, aku berniat mendatangi kamar Putri yang arahnya berbeda dengan kamarku. Setelah kejadian itu, aku tidak melihat Putri keluar dari kamar. Aku sangat berharap bahwa dia baik-baik saja. Mengingatnya, kembali dadaku nyeri entah sudah ke berapa kali.

Jam menunjukkan pukul dua malam ketika aku berdiri di depan pintu kamar Putri. Apa yang dia lakukan? Bagaimana suasana hatinya sekarang? Sepertinya dia tertidur dengan pulas.

Salah. Aku mendengar sayup-sayup suara di dalam kamarnya. Dan lagi-lagi di antara isakan.

" .... Ya Allah, aku meminta keadilan kepadamu. Aku benar-benar kesakitan untuk selalu bersikap baik-baik saja. Sampai kapan aku harus bertahan? Kapan semuanya berakhir? Susah bagiku untuk ikhlas dan melupakan."

Aku tak sanggup berkata-kata. Mendengar suaranya saja membuat telingaku ngilu. Rasa nyeri jadi berkali-lipat menghantam dada. Aku memang tidak mengerti apa yang dibicarakan Putri, tapi aku bisa merasakan betapa sedih dan putus asanya dia.

Kenapa? Apa yang salah?

Malam berikutnya, aku sengaja bangun dini hari hanya untuk berdiri di depan pintu kamar Putri. Ternyata doa yang sama kembali dia panjatkan. Begitu juga dengan beberapa malam setelahnya. Wanita itu terus-terusan menuntut keadilan kepada Tuhan. Aku tidak dapat titik terang, tapi sakitnya terus-terusan kurasakan. Keadilan dari apa?

Jika ada yang salah dengan pernikahan ini, seharusnya dia cerita saja padaku. Kalau hanya terus-terusan diam, aku tidak tahu harus memperbaiki apa. Sebegitu bencinya 'kah dia padaku? Bahkan seusai kejadian malam itu, dia tidak berbicara sama sekali padaku. Putri mendadak lebih parah dari sebelumnya.

Bagaimana dengan urusan waktu? Aku mulai meragukan ucapanku sendiri. Sekarang aku berubah pikiran. Menunggunya untuk bercerita, artinya tidak akan pernah ada kejelasan. Baiklah, aku akan mencari tahu sendiri semua teka-teki ini.

***

Kalau biasanya Putri masih makan pagi bersamaku, maka kini sudah berbeda. Dia memang masih melayaniku dengan baik, tapi jujur ada kerinduan terhadap sosok itu. Sejudesnya dia, aku tetap senang setiap kali menatap wajah yang seharusnya duduk di depanku sembari menikmati masakan yang begitu lezat.

Aku baru selesai makan ketika ponsel berdering. Nama Bu Indah tertera di layar. Tanpa pikir panjang aku segera mengangkat sambungan. Tumben ibu menelpon pagi-pagi begini.

"Assalamualaikum, Bu," tuturku sesopan mungkin.

"Waalaikumsalam, Zaki." Ada jeda sebelum Bu Indah melanjutkan bicaranya. "Kalian apa kabar? Kok sudah seminggu gak telpon ibu sama bapak? Kalian di sana baik-baik aja 'kan?"

"Alhamdulillah, baik, Bu." Aku tidak ingin orang tua Putri tahu yang sebenarnya. Akan sangat merepotkan jika mereka ikut campur pada masalah yang seharusnya kuselesaikan berdua dengan Putri.

"Gimana sikap Putri ke kamu? Dia melayani kamu dengan baik 'kan?"

Tanpa sadar aku mengangguk. "Putri baik kok ke saya, Bu. Masakannya juga enak-enak."

"Wah, baguslah kalau begitu. Terus Putrinya mana?"

Putri?

"Sebentar, Bu."

Kalau tidak salah, tadi kulihat wanita itu sedang menyirami tanaman yang dibelinya kemarin. 

Aku segera pergi untuk mengecek di teras depan. Ya, tidak salah lagi. Putri tengah merawat tanaman-tanamannya itu. Dengan cepat aku mendatanginya.

"Dik, ada telpon dari mama," kataku sembari menyerahkan ponsel.

Putri meletakkan semprotan air. Dia menatapku sekilas sebelum mengambil alih ponsel di tanganku. Aku berdiri di sampingnya, ingin tahu apa saja yang mereka bicarakan.

"Iya, halo, Ma?" Putri memulai pembicaraan dengan lembut.

"Putri, kapan mau ngasih Mama cucu? Kawan-kawan Mama di arisan bahas cucu terus ini. Kamu masa belum isi juga?"

"Hah?" 

Ini begitu tiba-tiba. Wanita dengan rambut yang digelung itu kaget, tidak jauh berbeda denganku.

"Kok malah hah sih? Udah ada cek belum?"

Putri menatapku intens. "Belum ada cek sih ini, Ma," jawabnya ragu. Aku bahkan belum pernah menyentuhnya. Kenapa jawabannya malah begitu?

"Haidmu gimana bulan ini, Put?"

"Agak telat dari biasanya, sih, Ma."

"Cepat di cek itu, siapa tahu lagi isi!" Bu Indah kedengarannya bahagia. Tapi tidak berlaku untukku.

Aku tak tahu harus merespons apa. Selebihnya obrolan itu kuserahkan pada Putri karena ada pekerjaan yang harus kuselesaikan. Namun, yang pasti  tampaknya akan ada kesalahpahaman.

***

Putri datang ke toko dua puluh menit kemudian untuk mengantar ponselku. Air mukanya tampak lesu membuatku penasaran apa saja yang dia bicarakan dengan ibu. Syukurnya tanpa kutanyakan, dia lebih dahulu memberitahu.

"Mama mau kita datang ke rumah akhir pekan, Mas."

"Kamu iyakan?" Aku teringat dengan pekerjaan di toko.

"Apa boleh buat? Kalau gak diiyakan pasti bakalan dipaksa juga supaya mau."

Aku mengangguk paham. Orang tua Putri memang tipe yang suka memaksa. Apa boleh buat? Berarti pekerjaanku akan tertunda nanti. Ah, mungkin kuselesaikan lebih awal saja supaya tidak menjadi beban pikiran.

Aku menatap Putri yang tampak gelisah. Dia kelihatan tak betah berlama-lama di ruanganku. Sayangnya wanita itu harus kutahan sebentar demi menjawab pertanyaan yang menggaung di kepalaku.

"Kenapa kamu bisa telat haid, Dik?" tanyaku. Aku sebenarnya tidak ingin suuzon. Namun, mengingat doa-doa Putri dan kenyataan dia telat haid jelas membuatku tak bisa berpikir jernih. 

"Apa Mas berpikir aku berbuat yang enggak-enggak?" Putri sepertinya merasa tersindir. Aku memang harus aku akui obrolan ini sangat sensitif. Namun, aku juga harus tahu kebenaran yang ada.

"Apa salahnya Mas bertanya, Dik? Apa susahnya buat menjawab?" Aku menjawab dengan hati-hati. 

Putri memejamkan matanya beberapa saat. "Mas, telat haid itu hal yang wajar, kok. Jadi gak perlu berpikiran yang macam-macam."

"Maafin Mas. Mas cuma nanya, Dik."

"Mas ngerusak moodku, ih."

Ampun ..., kenapa wanita susah sekali dipahami?

***

Hello, ges, selamat membaca😘

Ayok, tebak-tebakan Putri kenapa. Tapi, jangan cepat mengambil kesimpulan dulu, yah. Kita mau mulai masuk konflik nih.

Salam sayang,

Olia❤

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MENDAPATKAN CINTA ISTRIKU   Bab 22

    Aku termenung. Kuletakkan kembali surat itu ke dalam kotak dan menutupnya.Aku mencoba mengkonfirmasi perasaan yang kurasakan sekarang. Gelenyar aneh merayap dalam hatiku. Namun, aku tahu ini berbeda dengan yang kurasakan pada Putri.Seperti ... tidak ingin kehilangan teman yang paling mengerti.Mendadak kepalaku pening. Kupijat pelipis dan mengubah posisi demi menyandarkan diri ke headboard ranjang. Ketika memejamkan mata, bayangan Putri dan Oliv secara bergantian hinggap di isi kepala.Tak perlu waktu dua minggu untukku tahu bahwa rasa yang kumiliki pada Oliv bukanlah cinta. Aku jadi terpikir. Beginikah juga yang dirasakan Putri padaku? Aku menghela napas dalam. Diliputi rasa bersalah ketika ingat telah memaksa Putri untuk menerimaku. Sekarang aku seperti punya alasan lain tidak mempertahankan hubungan kami lagi. Putri tidak mencintaiku, tapi Oliv sebaliknya. Aku ingin belajar mencintai Oliv.***Pagi ini untuk mengawali suasana baik dengan Putri, aku turun memasak ke dapur. Aku

  • MENDAPATKAN CINTA ISTRIKU   Bab 21

    Setelah kejadian itu, aku merasa hubungan kami kembali canggung lagi. Kami hanya berbicara seperlunya, walaupun Putri tidak berlaku jutek seperti dulu. Aku sudah meminta maaf dan dimaafkan, tapi ternyata tidak cukup mengubah apa yang sudah kukatakan.Aku ingin Putri juga menghargai perasaanku. Pernyataan yang sejak dulu menjelaskan bagaimana aku sebenarnya tidak ikhlas dan masih dibayang-bayangi bahwa kisah ini akan berakhir bahagia.Hubungan ini begitu rumit dengan segala drama di dalamnya. Tidak hanya menyangkut dua orang yang berjuang untuk memengaruhi, sedangkan yang dipengaruhi sudah menentukan pilihan bahkan sebelum pertandingan dimulai. Namun, ada ikatan pernikahan yang dibangun dan kepercayaan orang tua yang ikut terlibat masuk.Sebagai manusia biasa, Tuhan adalah kunci yang maha membolak-balikkan hati. Aku hanya bisa berdoa agar diberikan jalan terbaik di setiap langkah yang kuambil.Lalu seperti yang sudah dibicarakan sebelumnya, aku dan Putri akan mengikuti program hamil. Ha

  • MENDAPATKAN CINTA ISTRIKU   Bab 20

    Orang tua Oliv saling berpandangan satu sama lain. Aku menatap wanita itu tak percaya dengan ucapannya barusan. Apa maksudnya? Aku tidak salah dengar 'kan?"Calon pacar?" kata sang mama. Tampaknya juga tidak menyangka. Ya, sebenarnya wajar jika ini dipertanyakan. Oliv mengangguk dengan mantap, sedang aku membatu. Suasana menjadi hening seketika. Lalu wanita itu lantas tertawa. "Ih, kenapa jadi serius, sih nanggapinnya? Oliv cuma becanda aja!" Ah, ternyata bercanda, batinku. Eh, kenapa harus kupermasalahkan?"Tapi kalau serius juga gak papa," balas mamanya kemudian. Tawa berderai Oliv sehabis membercandai orang tuanya berhenti. Kini raut mukanya berganti dengan kedipan mata cepat beberapa kali. "Mama apaan, sih. Oliv cuma becanda, tau!" Ekspresinya berubah menjadi multitafsir antara kesal atau yang lainnya. "Kenapa? Memangnya kamu gak mau dengan Nak Zaki?" goda sang mama. Oliv refleks melirik padaku yang sejak tadi diam.Aku yang tidak ingin ambil pusing langsung memperintahkan isi

  • MENDAPATKAN CINTA ISTRIKU   Bab 19

    Pertemuan yang tidak disengaja, biasanya akan memunculkan pertemuan-pertemuan lainnya. Begitu juga dengan pesan masuk pagi ini. Oliv memberitahu bahwa dia sedang berada di kota kami.Dia tahu kota tempat tinggal kami barangkali pernah bertanya dengan Putri? Entahlah.Aku dan Putri sudah kembali ke rumah sejak kemarin. Ketika kuberitahu padanya bahwa Oliv mengajak kami datang ke acara keluarganya, Putri benar-benar antusias. Namun, dia urung ikut karena acara tersebut bertepatan dengan acara lain yang harus dia ikuti.Aku merasa tak nyaman jika menolak. Apalagi undangan ini dikirim langsung oleh si empunya acara. Kulihat pekerjaan juga telah selesai, sehingga tidak ada alasan lain untuk tidak hadir.Oliv mengirimkan lokasi acara dilaksanakan. Perlu waktu kisaran tiga puluh menit jika dilihat dari Gmaps untuk sampai ke tujuan. Sebuah rumah bercat putih tampak begitu megah di depanku dengan gaya arsitektur ala eropa. Setelah memberitahu bahwa aku salah satu tamu undangan dalam acara ters

  • MENDAPATKAN CINTA ISTRIKU   Bab 18

    Besoknya orang tua Putri menghubungi kami. Tadinya mereka akan datang ke rumah sekalian menginap. Sayangnya darah tinggi Pak Bahar akhir-akhir ini sering kambuh, sehingga Putri lebih menyarankan untuk beristirahat.Mengetahui kondisi sang ayah membuat Putri uring-uringan. Dia kelihatan melamun hingga satu suap nasi tak sampai menyentuh bibirnya. Aku sendiri mengerti keresahan itu. "Mau menjenguk bapak?" Aku menawarkan diri. Memecah sunyi yang sejak tadi menghampiri kami. Kulihat sayu di matanya.Putri menggeleng. "Nanti dulu deh, Mas. Aku keknya belum siap ketemu mereka.""Perasaan berdosa pasti ada. Aku ngerasa udah ngebohongin mereka terlalu banyak," katanya kemudian. Pandangan kami bertemu untuk beberapa saat.Aku menghela napas. Ikut merasakan ketidaknyamanan yang dibawanya di meja makan. Namun, menjenguk orang tua merupakan perkara lain dan tidak bisa disamakan dengan masalah-masalah sebelumnya. Di sisi lain, aku juga tidak ingin memaksakan kehendak Putri. Aku ingin dia bisa me

  • MENDAPATKAN CINTA ISTRIKU   Bab 17

    Putri menolak ajakan Oliv untuk menginap di tempatnya. Menurutnya, akan lebih praktis jika menginap di hotel sekitaran rumah sakit saja. Pun Rizal juga masih belum sadar dari koma. Jadi, dia ingin memastikan untuk selalu berada dalam jangkauan kekasihnya itu. Oliv menghargai keputusan Putri. Dia menganggap perbuatan semacam itu sebagai pertanda seberapa tulus cinta yang dimiliki.Aku ... agak tersinggung sebenarnya.Putri memilih tinggal menemani Rizal. Artinya, aku akan pulang sendirian. Aku hanya berdoa agar orang tua Putri tidak menanyakan yang macam-macam atau semuanya akan berantakan. Oliv ternyata benar-benar mengantarku ke bandara. Aku sempat menerima beberapa pertanyaan selama dalam perjalanan. Hubunganku dan Putri rupanya tidak alami sebagaimana rekan kerja biasa."Kalian serius ke sini karena ada urusan kerja?" tanyanya yang membuatku kaget. Dia menatapku dengan penuh arti."Kenapa memangnya?" Aku malah balas bertanya. Oliv mengusap lehernya canggung. Mungkin dia merasa ti

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status