"Mas, jangan pegang aku!" Putri menyentak tanganku kuat. Dia masih enggan untuk menantang mataku yang kini berubah kelabu. Aku merasa cemas sekaligus sedih luar biasa.
"Jelasin ke Mas." Hanya satu itu permintaanku."Mas lebay! Aku gak kenapa-kenapa. Mataku cuma kemasukan sesuatu!" katanya sambil mengucek kedua mata, "lagian gak usah sok perhatian deh, Mas. Aku bisa mengurus diriku sendiri, kok."Setelah mengatakan itu, Putri langsung pergi ke kamarnya, sedangkan aku masih tak bergerak dari tempat. Hanya memerhatikan punggung wanita itu hingga menghilang dari pandangan. Dan tidak usah ditanya, kami memang tidur secara terpisah di rumah ini.Aku hanya tak mengerti kenapa memberikan kejelasan singkat begitu susahnya bagi Putri. Naluriku mengatakan telah terjadi sesuatu padanya sama seperti di hari pertama pernikahan. Ada yang sedang tidak beres, tapi aku tidak tahu apa. Kuembuskan napas kasar, lalu berjalan menuju kamarnya. "Dik, kamu baik-baik aja 'kan?"Tidak ada jawaban."Sudah makan malam?" tanyaku di depan pintu yang sempat dibanting Putri. Aku tetap berusaha bersikap baik untuknya."Tinggalin aku sendiri, Mas! Aku gak perlu Mas!" "Putri," panggilku lembut."Mas, tinggalin aku!""Hei, jangan begitu.""Berisik!"Aku mengusap wajah kasar. Astaga, dia benar-benar mengujiku dalam keadaan serba salah seperti sekarang."Paling tidak jawab pertanyaan saya, Putri!" Aku juga tidak ingin kalah. Ini terlalu melelahkan untukku, apalagi kami berdua bukanlah anak-anak lagi.Hening."Iya, sudah makan." Intonasinya melemah, tidak seperti sebelumnya. Lalu kudengar dia menangis. Saat ini aku tidak peduli apakah ucapan tadi menyakiti hatinya. Namun, memastikan bahwa wanita itu setidaknya sudah makan merupakan sebagian tanggung jawabku. Meski tidak bisa dipungkiri, aku tetap merasa bersalah padanya.Ya Tuhan, aku harus apa? "Dik ...." Aku berpasrah diri. "Gak masalah bagi saya kalau kamu gak mau menganggap saya di sini. Tapi satu hal yang perlu kamu tahu, saya selalu siap jadi teman bicara kamu.""Maaf tadi Mas membentak kamu. Mas cuma khawatir. Panggil Mas kalau ada apa-apa," kataku kemudian memilih pergi agar wanita itu tidak merasa terganggu. Hanya perlu waktu 'kan?Aku akan menunggu hingga dia siap untuk berbagi denganku. ***Aku terbangun di tengah malam tidak seperti biasa. Rasanya tenggorokan begitu tercekat, sehingga aku memutuskan untuk mengambil air di kulkas. Selesai melepas dahaga, aku berniat mendatangi kamar Putri yang arahnya berbeda dengan kamarku. Setelah kejadian itu, aku tidak melihat Putri keluar dari kamar. Aku sangat berharap bahwa dia baik-baik saja. Mengingatnya, kembali dadaku nyeri entah sudah ke berapa kali.Jam menunjukkan pukul dua malam ketika aku berdiri di depan pintu kamar Putri. Apa yang dia lakukan? Bagaimana suasana hatinya sekarang? Sepertinya dia tertidur dengan pulas.Salah. Aku mendengar sayup-sayup suara di dalam kamarnya. Dan lagi-lagi di antara isakan." .... Ya Allah, aku meminta keadilan kepadamu. Aku benar-benar kesakitan untuk selalu bersikap baik-baik saja. Sampai kapan aku harus bertahan? Kapan semuanya berakhir? Susah bagiku untuk ikhlas dan melupakan."Aku tak sanggup berkata-kata. Mendengar suaranya saja membuat telingaku ngilu. Rasa nyeri jadi berkali-lipat menghantam dada. Aku memang tidak mengerti apa yang dibicarakan Putri, tapi aku bisa merasakan betapa sedih dan putus asanya dia.Kenapa? Apa yang salah?Malam berikutnya, aku sengaja bangun dini hari hanya untuk berdiri di depan pintu kamar Putri. Ternyata doa yang sama kembali dia panjatkan. Begitu juga dengan beberapa malam setelahnya. Wanita itu terus-terusan menuntut keadilan kepada Tuhan. Aku tidak dapat titik terang, tapi sakitnya terus-terusan kurasakan. Keadilan dari apa?Jika ada yang salah dengan pernikahan ini, seharusnya dia cerita saja padaku. Kalau hanya terus-terusan diam, aku tidak tahu harus memperbaiki apa. Sebegitu bencinya 'kah dia padaku? Bahkan seusai kejadian malam itu, dia tidak berbicara sama sekali padaku. Putri mendadak lebih parah dari sebelumnya.Bagaimana dengan urusan waktu? Aku mulai meragukan ucapanku sendiri. Sekarang aku berubah pikiran. Menunggunya untuk bercerita, artinya tidak akan pernah ada kejelasan. Baiklah, aku akan mencari tahu sendiri semua teka-teki ini.***Kalau biasanya Putri masih makan pagi bersamaku, maka kini sudah berbeda. Dia memang masih melayaniku dengan baik, tapi jujur ada kerinduan terhadap sosok itu. Sejudesnya dia, aku tetap senang setiap kali menatap wajah yang seharusnya duduk di depanku sembari menikmati masakan yang begitu lezat.Aku baru selesai makan ketika ponsel berdering. Nama Bu Indah tertera di layar. Tanpa pikir panjang aku segera mengangkat sambungan. Tumben ibu menelpon pagi-pagi begini."Assalamualaikum, Bu," tuturku sesopan mungkin."Waalaikumsalam, Zaki." Ada jeda sebelum Bu Indah melanjutkan bicaranya. "Kalian apa kabar? Kok sudah seminggu gak telpon ibu sama bapak? Kalian di sana baik-baik aja 'kan?""Alhamdulillah, baik, Bu." Aku tidak ingin orang tua Putri tahu yang sebenarnya. Akan sangat merepotkan jika mereka ikut campur pada masalah yang seharusnya kuselesaikan berdua dengan Putri."Gimana sikap Putri ke kamu? Dia melayani kamu dengan baik 'kan?"Tanpa sadar aku mengangguk. "Putri baik kok ke saya, Bu. Masakannya juga enak-enak.""Wah, baguslah kalau begitu. Terus Putrinya mana?"Putri?"Sebentar, Bu."Kalau tidak salah, tadi kulihat wanita itu sedang menyirami tanaman yang dibelinya kemarin. Aku segera pergi untuk mengecek di teras depan. Ya, tidak salah lagi. Putri tengah merawat tanaman-tanamannya itu. Dengan cepat aku mendatanginya."Dik, ada telpon dari mama," kataku sembari menyerahkan ponsel.Putri meletakkan semprotan air. Dia menatapku sekilas sebelum mengambil alih ponsel di tanganku. Aku berdiri di sampingnya, ingin tahu apa saja yang mereka bicarakan."Iya, halo, Ma?" Putri memulai pembicaraan dengan lembut."Putri, kapan mau ngasih Mama cucu? Kawan-kawan Mama di arisan bahas cucu terus ini. Kamu masa belum isi juga?""Hah?" Ini begitu tiba-tiba. Wanita dengan rambut yang digelung itu kaget, tidak jauh berbeda denganku."Kok malah hah sih? Udah ada cek belum?"Putri menatapku intens. "Belum ada cek sih ini, Ma," jawabnya ragu. Aku bahkan belum pernah menyentuhnya. Kenapa jawabannya malah begitu?"Haidmu gimana bulan ini, Put?""Agak telat dari biasanya, sih, Ma.""Cepat di cek itu, siapa tahu lagi isi!" Bu Indah kedengarannya bahagia. Tapi tidak berlaku untukku.Aku tak tahu harus merespons apa. Selebihnya obrolan itu kuserahkan pada Putri karena ada pekerjaan yang harus kuselesaikan. Namun, yang pasti tampaknya akan ada kesalahpahaman.***Putri datang ke toko dua puluh menit kemudian untuk mengantar ponselku. Air mukanya tampak lesu membuatku penasaran apa saja yang dia bicarakan dengan ibu. Syukurnya tanpa kutanyakan, dia lebih dahulu memberitahu."Mama mau kita datang ke rumah akhir pekan, Mas.""Kamu iyakan?" Aku teringat dengan pekerjaan di toko."Apa boleh buat? Kalau gak diiyakan pasti bakalan dipaksa juga supaya mau."Aku mengangguk paham. Orang tua Putri memang tipe yang suka memaksa. Apa boleh buat? Berarti pekerjaanku akan tertunda nanti. Ah, mungkin kuselesaikan lebih awal saja supaya tidak menjadi beban pikiran.Aku menatap Putri yang tampak gelisah. Dia kelihatan tak betah berlama-lama di ruanganku. Sayangnya wanita itu harus kutahan sebentar demi menjawab pertanyaan yang menggaung di kepalaku."Kenapa kamu bisa telat haid, Dik?" tanyaku. Aku sebenarnya tidak ingin suuzon. Namun, mengingat doa-doa Putri dan kenyataan dia telat haid jelas membuatku tak bisa berpikir jernih. "Apa Mas berpikir aku berbuat yang enggak-enggak?" Putri sepertinya merasa tersindir. Aku memang harus aku akui obrolan ini sangat sensitif. Namun, aku juga harus tahu kebenaran yang ada."Apa salahnya Mas bertanya, Dik? Apa susahnya buat menjawab?" Aku menjawab dengan hati-hati. Putri memejamkan matanya beberapa saat. "Mas, telat haid itu hal yang wajar, kok. Jadi gak perlu berpikiran yang macam-macam.""Maafin Mas. Mas cuma nanya, Dik.""Mas ngerusak moodku, ih."Ampun ..., kenapa wanita susah sekali dipahami?***Hello, ges, selamat membaca😘Ayok, tebak-tebakan Putri kenapa. Tapi, jangan cepat mengambil kesimpulan dulu, yah. Kita mau mulai masuk konflik nih.Salam sayang,Olia❤Hubunganku dengan Putri masih sama seperti biasa. Kami hanya mengobrol jika penting. Selebihnya bagai orang asing yang dipaksa untuk tinggal serumah.Akhir pekan ini, kami akan pulang ke rumah orang tua Putri. Suatu saat, ketika semuanya membaik, aku juga ingin memperkenalkan Putri dengan ibuku. Meski hanya gundukan tanah, Ibu pasti senang melihatku sudah menikah.Putri tampak cantik dalam balutan dress putih di bawah lutut yang kontras dengan kulit kuning langsatnya. Tak lupa dia padukan itu dengan sepatu hak tinggi berwarna hitam. Wajahnya dipoles dengan make up tipis, sedangkan rambut wanita itu sedikit melambai ketika berjalan ke arahku yang tengah menunggunya.Di mobil, Putri mengambil duduk di sebelahku. Tidak lama setelahnya, kulajukan mobil dalam keheningan di antara kami berdua.Tidak mungkin kami pulang dengan tangan kosong. Untuk itu beberapa kali kami singgah demi membeli beberapa makanan khas di kota ini. Putri juga secara khusus memintaku untuk berhenti di toko kue keri
"Ada apa, Zaki?" tanya Pak Bahar sesaat aku kembali duduk menemaninya."Cuma orang salah alamat, Pak," bohongku. Setelahnya Pak Bahar tampak bersungut kesal seolah ini bukan yang pertama kali terjadi.Aku bersiap untuk menutup rapat kisah hari ini, bahkan pada Putri sekali pun. Mawar itu kuberikan pada tukang ojek agar membawanya pergi sejauh mungkin. Sebelummya aku sudah mengambil foto beberapa hal terkait dengan penyelidikanku nantinya.Selepas mengobrol dengan Pak Bahar, aku segera menghubungi toko bunga pesananku. Aku sangat yakin logo yang ada di buket bunga misterius itu sama dengan logo toko bunga yang kupesan.Aku menunggu pihak toko membalas pesan. Tidak lama kemudian, mereka mengatakan bahwa bunga itu memang berasal dari toko mereka. [Siapa pengirimnya?][Maaf, tapi kami tidak bisa memberikan identitas pembeli][Ini penting, menyangkut rumah tangga saya. Ada orang iseng yang mengirimkan bunga dengan kartu ucapan yang bisa membuat kami salah paham] Aku menjelaskan panjang le
Kalau dugaanku benar, Aliwafa dan Alwafa adalah orang yang sama. Maka ini waktu yang tepat untuk mencari tahu siapakah sosok itu."Mas yang temani, ya?" kataku sungguh-sungguh."Loh, masih belum selesai juga masalah yang tadi?" Bu Indah menarik kursi untuknya duduk, sedangkan Pak Bahar kelihatan heran."Ada masalah apa?" katanya ikut menimbrung.Seharusnya Putri tidak akan menolak jika permintaan langsung datang dari sang ayah. Aku tersenyum hangat, menatap Pak Bahar dengan rasa penuh hormat. Putri pikir mungkin hanya dia yang bisa bermain-main."Gak ada yang serius, kok, Pak. Putri mau pergi ketemu kawannya. Saya cuma khawatir apalagi kaki Putri belum sepenuhnya pulih. Jadi saya mau menemani dia ke luar.""Loh, suami perhatian gini kenapa ditolak, Put? Mama aja gak pernah digituin sama ayah." Aku semakin melebarkan senyum ketika tahu mendapatkan dukungan dari Bu Indah.Pak Bahar tidak merasa tersinggung dengan ucapan istrinya barusan. Laki-laki pemilik kumis tebal itu memilih mengangg
Aku dapat mengingat dengan jelas wajah laki-laki itu. Seseorang dengan jas putih dan wajah sangat tenang. Dia persis seperti yang kulihat di WhatApps Putri. Aku bahkan berani bertaruh uang atas keyakinan ini. Aku ingin sekali menghampiri dan jujur mengenai kekecewaan yang kurasakan. Sayangnya aku harus segera mengecek pekerjaan yang sempat tertunda. Kali ini akan kubiarkan dia lolos. Kedua kali, entahlah. Tapi aku sudah memikirkan untuk mengajaknya minum kopi bersama nanti.Dua hari terlewati. Sampai saat ini aku tidak ada niatan untuk menjemput Putri. Aku menginginkan agar wanita itu yang tidak memintanya lebih dahulu. Sayangnya tidak ada pesan apapun yang masuk. Aku mencoba untuk berpikir positif. Barangkali berpisah sementara waktu seperti ini adalah jalan terbaik. Aku juga harus meluruskan pikiran yang kusut antara pekerjaan dan pernikahan.Syukurnya makan dan tidurku mulai membaik lagi. Setidaknya aku harus membanggakan hal ini karena artinya telah berhasil bertahan di antara s
"Enggak," balas Putri cepat."Maka dari sekarang sampai tiga bulan ke depan kamu harus mikirin saya. Kalau gak bisa, ya sudah paksakan saja." Aku berusaha mencairkan suasana tegang kami. Tapi ternyata semakin bertambah tegang."Kalo aku gak mau?""Mas bikin mau. Bisa karna terpaksa, begitu peribahasa lama.""Apa, Mas? Peribahasa dari mana? Ngaco!"Sehabis itu dia tertawa. Barangkali menganggap ucapanku tadi lucu. Melihat itu aku bagai menyelami sisi lain Putri. Selama ini wanita itu hanya terus bersungut sebal padaku."Kamu manis banget Dik, kalau ketawa begitu," pujiku."Mana ada!" Dia kembali lagi ke wujud asalnya.Aku tersenyum. Harusnya kusimpan sendiri saja manisnya diam-diam. Di dalam sini, ada desir yang tidak bisa kujelaskan. Rasanya hangat, mendebarkan, sekaligus menyenangkan."Dari sekarang cobalah untuk banyak tersenyum, Dik." Aku memberikan nasihat. "Jangan lupa juga buat melibatkan Mas terus dalam urusanmu."***Kulihat Putri tengah merawat tanaman-tanamannya. Pemandangan
Aku tidak mengerti kenapa masalah ini bisa membuat Putri merasa sangat tak nyaman. Memang artinya salah satu dari kami perlu mengosongkan ruang kamar dan tidur bersama. Tapi ini seharusnya bukan masalah besar. Ya, seharusnya begitu."Mas, aku gak mau pindahin barang-barangku ke kamar kamu," tukasnya dengan lantang."Terus Mas yang pindah?" Aku memberikan pengertian, tapi dia malah menggeleng kuat."Aku juga gak mau Mas pindah ke kamarku."Alisku bertaut heran. "Terus gimana? Setidaknya kamu harus mau kalau gak mau ibu sama bapak curiga.""Ya cari cara lain dong Mas. Pokoknya aku gak mau satu kamar sama Mas."Aku tersenyum miring, mendekatkan wajah ke arahnya. "Kenapa emangnya sampai tidak boleh sekamar? Sudah mulai takut jatuh cinta sama saya, ya?""Apa sih, Mas. Ya enggaklah!" Dia menarik diri dariku. Pasang badan seolah nyawanya tengah terancam.Aku terkekeh melihat sikapnya yang menggemaskan itu."Ya ... pokoknya aku gak mau satu kamar sama Mas!" kukuhnya."Kasih saya alasan," bala
Aku baru saja masuk mobil ketika Putri mengirimkan pesan. Dia memberitahu kalau ibu sudah berada di rumah kami bersama bapak juga. [Mas kok gak ada di toko?] tanyanya kemudian. Astaga aku lupa memberitahu sedang ada urusan di luar.[Mas di luar, Dik. Sebentar lagi pulang.][Gak ada masalah 'kan di rumah?] Lanjutku. Aku membalas dan langsung disambut dengan centang biru.[Enggak, sih, Mas. Cuma tadi Ayah nanyain Mas.][Apa katanya?][Mungkin ada yang mau diomongin?]Aku mulai menebak.[Tapi kalau Ayah ngomong yang aneh-aneh, gak usah diladenin, Mas.]Sayangnya tidak ada satu opsi pun yang muncul di kepalaku. Namun, bisa jadi tidak jauh-jauh dari masalah toko seperti biasa. Aku bersiap untuk pulang. Sejenak menatap sekeliling parkiran rumah sakit yang lumayan ramai. Lalu mengirimkan pesan kepada Putri dan segera mengakhiri obrolan kami.Aku tiba di rumah tepat pukul sebelas. Ketika itu, orang yang pertama menyambutku adalah Pak Bahar. Laki-laki paru baya yang tengah menonton berita te
Sepulangnya Pak Bahar dan Bu Indah keesokan harinya, aku dan Putri hanya saling diam di ruang tamu. Di depan kami ada tiket liburan yang sejak lima menit lalu hanya kami pandangi. Aku sebenarnya tidak menolak karena artinya bisa memperdekat hubungan dengan Putri. Sayangnya wanita itu kelihatan tidak memiliki minat apapun pada acara bulan madu kami."Kita beneran pergi?" tanyanya."Mas terserah kamu aja, Dik, gimana baiknya," jawabku sebaik mungkin. Dia menghela napas dalam."Aku gak pengen pergi sih Mas. Tapi mama minta bukti, mau gak mau kita harus pergi liburan."Aku melirik Putri, mulai menekuri tiap wajahnya yang tampak tegang. "Kenapa gak bilang aja sama Pak Bahar kamu gak pengen pergi?"Maksudku, ya, setidaknya sesekali dia harus menolak. Bukankah ini juga yang menjadi masalah Putri? Aku ingin dia berani mengambil keputusan untuk mengatakan tidak pada orang tuanya.Namun, secara keras dia menggeleng. "Gak, Mas. Aku gak mau bilang ke mereka. Lagian udah jelas mereka bakalan tetap