Share

Bab 3

"Mas, jangan pegang aku!" Putri menyentak tanganku kuat. Dia masih enggan untuk menantang mataku yang kini berubah kelabu. Aku merasa cemas sekaligus sedih luar biasa.

"Jelasin ke Mas." Hanya satu itu permintaanku.

"Mas lebay! Aku gak kenapa-kenapa. Mataku cuma kemasukan sesuatu!" katanya sambil mengucek kedua mata, "lagian gak usah sok perhatian deh, Mas. Aku bisa mengurus diriku sendiri, kok."

Setelah mengatakan itu, Putri langsung pergi ke kamarnya, sedangkan aku masih tak bergerak dari tempat. Hanya memerhatikan punggung wanita itu hingga menghilang dari pandangan. Dan tidak usah ditanya, kami memang tidur secara terpisah di rumah ini.

Aku hanya tak mengerti kenapa memberikan kejelasan singkat begitu susahnya bagi Putri. Naluriku mengatakan telah terjadi sesuatu padanya sama seperti di hari pertama pernikahan. Ada yang sedang tidak beres, tapi aku tidak tahu apa. Kuembuskan napas kasar, lalu berjalan menuju kamarnya. 

"Dik, kamu baik-baik aja 'kan?"

Tidak ada jawaban.

"Sudah makan malam?" tanyaku di depan pintu yang sempat dibanting Putri. Aku tetap berusaha bersikap baik untuknya.

"Tinggalin aku sendiri, Mas! Aku gak perlu Mas!" 

"Putri," panggilku lembut.

"Mas, tinggalin aku!"

"Hei, jangan begitu."

"Berisik!"

Aku mengusap wajah kasar. Astaga, dia benar-benar mengujiku dalam keadaan serba salah seperti sekarang.

"Paling tidak jawab pertanyaan saya, Putri!" Aku juga tidak ingin kalah. Ini terlalu melelahkan untukku, apalagi kami berdua bukanlah anak-anak lagi.

Hening.

"Iya, sudah makan." Intonasinya melemah, tidak seperti sebelumnya. Lalu kudengar dia menangis. 

Saat ini aku tidak peduli apakah ucapan tadi menyakiti hatinya. Namun, memastikan bahwa wanita itu setidaknya sudah makan merupakan sebagian tanggung jawabku. Meski tidak bisa dipungkiri, aku tetap merasa bersalah padanya.

Ya Tuhan, aku harus apa? 

"Dik ...." Aku berpasrah diri. "Gak masalah bagi saya kalau kamu gak mau menganggap saya di sini. Tapi satu hal yang perlu kamu tahu, saya selalu siap jadi teman bicara kamu."

"Maaf tadi Mas membentak kamu. Mas cuma khawatir. Panggil Mas kalau ada apa-apa," kataku kemudian memilih pergi agar wanita itu tidak merasa terganggu. 

Hanya perlu waktu 'kan?

Aku akan menunggu hingga dia siap untuk berbagi denganku. 

***

Aku terbangun di tengah malam tidak seperti biasa. Rasanya tenggorokan begitu tercekat, sehingga aku memutuskan untuk mengambil air di kulkas. 

Selesai melepas dahaga, aku berniat mendatangi kamar Putri yang arahnya berbeda dengan kamarku. Setelah kejadian itu, aku tidak melihat Putri keluar dari kamar. Aku sangat berharap bahwa dia baik-baik saja. Mengingatnya, kembali dadaku nyeri entah sudah ke berapa kali.

Jam menunjukkan pukul dua malam ketika aku berdiri di depan pintu kamar Putri. Apa yang dia lakukan? Bagaimana suasana hatinya sekarang? Sepertinya dia tertidur dengan pulas.

Salah. Aku mendengar sayup-sayup suara di dalam kamarnya. Dan lagi-lagi di antara isakan.

" .... Ya Allah, aku meminta keadilan kepadamu. Aku benar-benar kesakitan untuk selalu bersikap baik-baik saja. Sampai kapan aku harus bertahan? Kapan semuanya berakhir? Susah bagiku untuk ikhlas dan melupakan."

Aku tak sanggup berkata-kata. Mendengar suaranya saja membuat telingaku ngilu. Rasa nyeri jadi berkali-lipat menghantam dada. Aku memang tidak mengerti apa yang dibicarakan Putri, tapi aku bisa merasakan betapa sedih dan putus asanya dia.

Kenapa? Apa yang salah?

Malam berikutnya, aku sengaja bangun dini hari hanya untuk berdiri di depan pintu kamar Putri. Ternyata doa yang sama kembali dia panjatkan. Begitu juga dengan beberapa malam setelahnya. Wanita itu terus-terusan menuntut keadilan kepada Tuhan. Aku tidak dapat titik terang, tapi sakitnya terus-terusan kurasakan. Keadilan dari apa?

Jika ada yang salah dengan pernikahan ini, seharusnya dia cerita saja padaku. Kalau hanya terus-terusan diam, aku tidak tahu harus memperbaiki apa. Sebegitu bencinya 'kah dia padaku? Bahkan seusai kejadian malam itu, dia tidak berbicara sama sekali padaku. Putri mendadak lebih parah dari sebelumnya.

Bagaimana dengan urusan waktu? Aku mulai meragukan ucapanku sendiri. Sekarang aku berubah pikiran. Menunggunya untuk bercerita, artinya tidak akan pernah ada kejelasan. Baiklah, aku akan mencari tahu sendiri semua teka-teki ini.

***

Kalau biasanya Putri masih makan pagi bersamaku, maka kini sudah berbeda. Dia memang masih melayaniku dengan baik, tapi jujur ada kerinduan terhadap sosok itu. Sejudesnya dia, aku tetap senang setiap kali menatap wajah yang seharusnya duduk di depanku sembari menikmati masakan yang begitu lezat.

Aku baru selesai makan ketika ponsel berdering. Nama Bu Indah tertera di layar. Tanpa pikir panjang aku segera mengangkat sambungan. Tumben ibu menelpon pagi-pagi begini.

"Assalamualaikum, Bu," tuturku sesopan mungkin.

"Waalaikumsalam, Zaki." Ada jeda sebelum Bu Indah melanjutkan bicaranya. "Kalian apa kabar? Kok sudah seminggu gak telpon ibu sama bapak? Kalian di sana baik-baik aja 'kan?"

"Alhamdulillah, baik, Bu." Aku tidak ingin orang tua Putri tahu yang sebenarnya. Akan sangat merepotkan jika mereka ikut campur pada masalah yang seharusnya kuselesaikan berdua dengan Putri.

"Gimana sikap Putri ke kamu? Dia melayani kamu dengan baik 'kan?"

Tanpa sadar aku mengangguk. "Putri baik kok ke saya, Bu. Masakannya juga enak-enak."

"Wah, baguslah kalau begitu. Terus Putrinya mana?"

Putri?

"Sebentar, Bu."

Kalau tidak salah, tadi kulihat wanita itu sedang menyirami tanaman yang dibelinya kemarin. 

Aku segera pergi untuk mengecek di teras depan. Ya, tidak salah lagi. Putri tengah merawat tanaman-tanamannya itu. Dengan cepat aku mendatanginya.

"Dik, ada telpon dari mama," kataku sembari menyerahkan ponsel.

Putri meletakkan semprotan air. Dia menatapku sekilas sebelum mengambil alih ponsel di tanganku. Aku berdiri di sampingnya, ingin tahu apa saja yang mereka bicarakan.

"Iya, halo, Ma?" Putri memulai pembicaraan dengan lembut.

"Putri, kapan mau ngasih Mama cucu? Kawan-kawan Mama di arisan bahas cucu terus ini. Kamu masa belum isi juga?"

"Hah?" 

Ini begitu tiba-tiba. Wanita dengan rambut yang digelung itu kaget, tidak jauh berbeda denganku.

"Kok malah hah sih? Udah ada cek belum?"

Putri menatapku intens. "Belum ada cek sih ini, Ma," jawabnya ragu. Aku bahkan belum pernah menyentuhnya. Kenapa jawabannya malah begitu?

"Haidmu gimana bulan ini, Put?"

"Agak telat dari biasanya, sih, Ma."

"Cepat di cek itu, siapa tahu lagi isi!" Bu Indah kedengarannya bahagia. Tapi tidak berlaku untukku.

Aku tak tahu harus merespons apa. Selebihnya obrolan itu kuserahkan pada Putri karena ada pekerjaan yang harus kuselesaikan. Namun, yang pasti  tampaknya akan ada kesalahpahaman.

***

Putri datang ke toko dua puluh menit kemudian untuk mengantar ponselku. Air mukanya tampak lesu membuatku penasaran apa saja yang dia bicarakan dengan ibu. Syukurnya tanpa kutanyakan, dia lebih dahulu memberitahu.

"Mama mau kita datang ke rumah akhir pekan, Mas."

"Kamu iyakan?" Aku teringat dengan pekerjaan di toko.

"Apa boleh buat? Kalau gak diiyakan pasti bakalan dipaksa juga supaya mau."

Aku mengangguk paham. Orang tua Putri memang tipe yang suka memaksa. Apa boleh buat? Berarti pekerjaanku akan tertunda nanti. Ah, mungkin kuselesaikan lebih awal saja supaya tidak menjadi beban pikiran.

Aku menatap Putri yang tampak gelisah. Dia kelihatan tak betah berlama-lama di ruanganku. Sayangnya wanita itu harus kutahan sebentar demi menjawab pertanyaan yang menggaung di kepalaku.

"Kenapa kamu bisa telat haid, Dik?" tanyaku. Aku sebenarnya tidak ingin suuzon. Namun, mengingat doa-doa Putri dan kenyataan dia telat haid jelas membuatku tak bisa berpikir jernih. 

"Apa Mas berpikir aku berbuat yang enggak-enggak?" Putri sepertinya merasa tersindir. Aku memang harus aku akui obrolan ini sangat sensitif. Namun, aku juga harus tahu kebenaran yang ada.

"Apa salahnya Mas bertanya, Dik? Apa susahnya buat menjawab?" Aku menjawab dengan hati-hati. 

Putri memejamkan matanya beberapa saat. "Mas, telat haid itu hal yang wajar, kok. Jadi gak perlu berpikiran yang macam-macam."

"Maafin Mas. Mas cuma nanya, Dik."

"Mas ngerusak moodku, ih."

Ampun ..., kenapa wanita susah sekali dipahami?

***

Hello, ges, selamat membaca😘

Ayok, tebak-tebakan Putri kenapa. Tapi, jangan cepat mengambil kesimpulan dulu, yah. Kita mau mulai masuk konflik nih.

Salam sayang,

Olia❤

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status