Share

Bab 4

Hubunganku dengan Putri masih sama seperti biasa. Kami hanya mengobrol jika penting. Selebihnya bagai orang asing yang dipaksa untuk tinggal serumah.

Akhir pekan ini, kami akan pulang ke rumah orang tua Putri. Suatu saat, ketika semuanya membaik, aku juga ingin memperkenalkan Putri dengan ibuku. Meski hanya gundukan tanah, Ibu pasti senang melihatku sudah menikah.

Putri tampak cantik dalam balutan dress putih di bawah lutut yang kontras dengan kulit kuning langsatnya. Tak lupa dia padukan itu dengan sepatu hak tinggi berwarna hitam. Wajahnya dipoles dengan make up tipis, sedangkan rambut wanita itu sedikit melambai ketika berjalan ke arahku yang tengah menunggunya.

Di mobil, Putri mengambil duduk di sebelahku. Tidak lama setelahnya, kulajukan mobil dalam keheningan di antara kami berdua.

Tidak mungkin kami pulang dengan tangan kosong. Untuk itu beberapa kali kami singgah demi  membeli beberapa makanan khas di kota ini. Putri juga secara khusus memintaku untuk berhenti di toko kue kering.

Ketika aku menunggu Putri selesai berbelanja. Mataku tergugah dengan toko bunga di samping toko kue yang dituju Putri. Apakah wanita suka bunga? Aku sering melihat seorang laki-laki memberikan itu.

Aku sudah turun dari mobil, tapi mendadak nyaliku ciut. Kalau aku membelinya sekarang dan mendapatkan penolakan secara langsung, maka aku akan sangat kecewa. Akhirnya niat itu kuurungkan. Nanti saja kubeli secara online biar Putri menerimanya tanpa perantaraku. Kuserahkan sepenuhnya nasib bunga itu padanya.

Putri berbelanja di luar dugaanku. Ada banyak tas belanjaan di tangannya. Dengan segera aku mendekat, lalu membawakan semuanya. Putri berjalan di depanku, sedang aku mengekor di belakang. Tidak ada ucapan terima kasih selain ....

"AWW!" Wanita itu hampir saja terjatuh. Malangnya hak sepatu itu tersangkut dicelah batuan pejalan kaki.

Aku yang panik cepat mensejajarkan diri dengan Putri. "Dik, kamu gak papa?"

"Mas, kakiku terkilir!" pekiknya.

Lekas kutaruh barang belanjaan ke jalanan. Berjongkok di depan Putri yang biasanya lebih pendek dariku.

"Mas lepas dulu, ya, sepatunya. Silakan berpegangan sama Mas."

Aku mendongak, sedangkan Putri menunduk. Mata kami saling berpandangan, tapi kemudian dia lekas mengalihkan.

Ah, sekarang bukan waktunya gengsi atau terpana. Putri mau tidak mau harus bertumpu di bahuku. Lalu tanpa basa-basi segera kutarik keluar sepatunya yang tersangkut.

"Kamu gak mungkin pakai sepatu lagi 'kan?" Kuposisikan diri membelakanginya. Menurutku inilah perlakuan yang cocok. Terlebih lagi jarak ke parkiran masih lumayan.

"Ayok naik ke punggung saya."

"Gak ada cara lain?"

"Ada, asal kamu mau jalan sendiri," jawabku asal.

"Ya sudah aku mau jalan sendiri kalau begitu."

"Dik?" Entah kenapa Putri senang sekali memintaku untuk memohon padanya.

"Aku gak mau, Mas."

"Kenapa?"

"Ya, aku gak mau! Aku bisa jalan sendiri."

"Kaki kamu terkilir cukup parah, Putri!" Kutekankan setiap katanya berharap dia mau mengerti.

"Aku bisa sendiri, Mas!" Putri teguh dengan keputusannya. Dia mencoba untuk berjalan, tapi beberapa langkah sudah mengeluh kesakitan.

"Kamu bikin saya gak punya pilihan."

Aku bangkit berdiri, membawa wanita itu dalam gendongan. Aku yang sudah terbiasa mengangkat beban material, tidak mempermasalahkan berat badan Putri. Bahkan tidak peduli dia akan sangat marah nanti, bagiku keselamatannya lebih utama.

***

Sambungan telpon untuk orang tua Putri baru saja berakhir. Aku memberitahukan apa yang telah terjadi sehingga kami harus berhenti diperjalanan. Astaga, aku bahkan lupa Putri dulunya seorang perawat. Tadinya dia mau kubawa ke tukang urut, tapi secara tegas dia menolak.

Berhenti di toko kelontong, Putri menyuruhku membeli es batu untuk mengompres bagian kakinya yang terkilir. Tidak hanya itu, aku juga membeli obat pereda nyeri sesuai suruhannya dan sandal jepit supaya dia tidak perlu memakai sepatu hak tinggi itu sementara waktu.

Biarpun merasa tindakanku benar. Rasa tak enak hati tetaplah ada. Putri masih sibuk mengompres pergelangan kakinya. Sesekali masih saja mengaduh kesakitan.

"Mas minta maaf---"

"Tolong jangan diungkit lagi. Aku tahu Mas juga terdesak." Putri memotong perkataanku.

Aku menghela napas dalam. Rasanya sedih melihat Putri terus-terusan begini padaku.

"Sebegitu bencinya, ya, kamu sama Mas?"

Putri menghentikan aktivitasnya. Nada bicaranya begitu dalam bicara padaku. "Aku tahu ini bukan kesalahan Mas."

"Maksud kamu? Mas gak ngerti, Dik. Jelaskan lebih detail."

"Mas menikah sama aku cuma gara-gara paksaan Ayah 'kan?"

Ya, awalnya memang begitu, tapi ....

"Gimana kalo Mas benar-benar tulus sama kamu?"

Dia tidak menjawab.

Aku mengusap wajah gusar. Tak mampu lagi kusembunyikan kekecewaan ini. "Apa yang sebenarnya kamu sembunyikan dari Mas?"

"Plis, Mas, jangan menaruh harapan apapun."

Lantas aku harus apa? Membiarkan saja hubungan di antara kami kacau selamanya? Apakah baginya pernikahan ini hanya permainan belaka?

"Dik, Mas sama sekali gak ngerti. Mas cuma tahu kalo kamu gak mencintai Mas. Itu 'kah masalahnya sampai kamu terus-terusan berdoa meminta keadilan?"

Aku tahu dia kaget, terlihat dari tubuhnya yang tiba-tiba menegang. Aku memang sengaja berterus terang. Setidaknya beri aku alasan, bukannya malah diam seperti yang dilakukannya sekarang. Dia membuat bicaraku sia-sia.

"Baik, kalo kamu masih gak mau cerita. Biar saya yang cari tahu sendiri apa yang sudah kamu sembunyikan. Kamu yang meminta saya untuk bertindak lebih jauh, Putri."

***

Kami sampai di rumah Pak Bahar tepat tengah hari. Bu Indah segera menyambut Putri, juga membantunya untuk berjalan. Di ruang tamu Putri dan Bu Indah tampak mengobrol. Aku sendiri tengah memindahkan banyak makanan dari mobil ke rumah.

"Kalian ini repot-repot banget bawa macam-macam," ucap Bu Indah sesaat aku mengambil duduk di samping Putri.

Putri tersenyum manis, padahal ketika bersamaku hanya bersungut masam. "Gak repot, kok, Ma. Lagian 'kan Mama suka nyemil."

"Bapak mana?" Aku ikut berbasa-basi.

"Bapak lagi ada keperluan di toko. Paling sebentar lagi pulang."

Topiknya berganti sebelum sempat aku menanggapi.

"Gimana hasilnya? Udah di test?"

Aku dan Putri refleks saling berpandangan mendapat pertanyaan demikian. Aku tahu ini kelanjutan dari percakapan tempo hari. Di sini aku tidak ingin ikut campur karena semuanya tergantung pada jawaban Putri.

"Udah, Ma. Ternyata emang belum isi."

Jujur aku tidak kuat mendengar kebohongan itu. Kupilih untuk meminum teh sebagai penawar agar lebih rileks menghadapi situasi ini.

"Loh, kok bisa? Kalian mainnya gak sering paling ini."

Uhuk! Aku tersedak mendengarnya.

"Zaki, kamu gak papa?" kata Bu Indah dengan pupil matanya yang tanpa sadar membesar itu. Ucapannya kubalas dengan gelengan pelan.

"Mas, minumnya hati-hati, dong." Putri mengusap punggungku penuh perhatian. Dia ini dulunya mantan pemain teater, ya? Kenapa cepat sekali merubah sikap padaku.

Kutaruh lagi cangkir ke tempat semula. Menarik ujung mata pada Bu Indah dan Putri bergantian.

"Kayaknya saya perlu istirahat dulu di kamar, Bu. Capek sekali di perjalanan."

Bu Indah mengangguk setuju. "Iya, istirahat aja. Biar Putri Ibu yang ngurus."

"Iya, Mas, istirahat gih," balas Putri diiringi senyuman yang menarik sudut bibirnya.

Aduh, kepalaku pusing melihat tingkah Putri.

***

Tidak ada hari tanpa bekerja, walaupun pekerjaan untuk dua hari ke depan sebenarnya sudah kuselesaikan. Aku merasa bosan jika hanya diam. Di saat seperti ini, masih ada yang bisa kulakukan lewat media elektronik, misalnya memantau jual beli di situs daring toko kami.

Aku berniat untuk berhenti sejenak. Namun, mendadak ingat tentang bunga pagi tadi. Kebetulan ada satu toko didekat sini yang menarik perhatianku. Setelah berkonsultasi, aku memilih buket dengan bunga mawar merah. Meminta orang-orang di toko bunga untuk mengirimkannya besok pagi.

Satu pesan masuk ke ponselku.

[Mas, dicariin ayah di teras depan.]

Dari Putri.

[Kakimu gimana?] balasku.

Hanya dibaca.

Tak apa, aku sedang tidak ingin merusak suasana hati cuma karena Putri. Untuk itu aku lekas beranjak dari ranjang menuju teras untuk menemui Pak Bahar --laki-laki paru baya yang ditemani dua cangkir kopi.

"Sudah lama menunggu, Pak?" kataku lalu mengambil duduk di hadapannya.

"Tidak. Saya juga baru pulang dari toko." Pak Bahar menatapku intens. "Putri kenapa?"

"Kakiknya terkilir, Pak. Hak sepatunya tersangkut di celah jalanan."

Pak Bahar mengangguk paham. "Terus gimana kabar bisnis di sana? Lancar?"

Kali ini aku yang mengangguk. "Sangat lancar, Pak. Apalagi sedang banyak pembangunan di kota itu."

Pak Bahar tertawa keras tahu perkembangan bisnisnya begitu signifikan. Selebihnya kami hanya membahas masalah toko dan sesekali juga politik. Di sore cerah ini, seorang ojek daring berhenti di depan pagar rumah kami.

"Benar ini rumah Putri Nur Hasanah?" katanya saat melihatku membuka pagar.

"Iya, benar." Aku menyahut, sekaligus mewakili orang di rumah.

Tukang ojek itu menyerahkan sesuatu padaku. "Ini ada kiriman buket bunga, Mas."

Aku mengernyit bingung. Jika ini buket dariku, seharusnya datang besok.

"Dari siapa?"

Tukang ojek itu menggeleng. "Saya kurang tahu, Mas. Mungkin ada keterangan di buketnya."

Mungkinkah Putri yang membeli untuk dirinya sendiri? Aku menilik buket bunga dengan mawar merah itu, berharap menemukan petunjuk.

'Putri, aku akan selalu menunggu kamu untuk kembali padaku.'

Aku terdiam. Membacanya membuat keningku berkerut lebih dalam. Tentulah siapa yang mengirimnya menjadi pertanyaan. Tidak mungkin hanya sekadar iseng, apalagi hingga tahu Putri berada di rumah orang tuanya saat ini.

Aku mencari pentunjuk lain.

Tunggu sebentar. Bunga ini kelihatannya juga berasal dari toko yang sama dengan toko bunga yang kupesan.

***

Jangan lupa berlangganan ges.

Salam sayang,

Olia❤

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status