Share

Bab 2

Satu hari pernikahan, setidaknya aku tahu Putri tidak mencintaiku. Tidak masalah, kukira ini hanya urusan waktu.

Aku bangun pukul lima pagi dan bergegas untuk solat subuh. Setelah menyalakan lampu, aku dapat melihat Putri yang masih terlelap. Dia terlihat dua kali lebih tenang dalam keadaan begitu, juga tidak merasa terganggu dengan cahaya yang seharusnya menusuk mata. Napasnya naik turun beraturan di antara kedamaian. Tanpa sadar aku tersenyum melihatnya.

Aku mengusap wajah gusar. Mendadak perkataan Putri tadi malam kembali menghantam dadaku. Harus kuakui rasanya begitu nyeri. Sisi lain, aku harus tetap bersikap baik pada istriku. Katanya kebaikan selalu menang. Aku berharap ini juga akan berlaku padaku.

"Dik, bangun, solat subuh," kataku sambil menggelar sajadah. Tidak ada respons dari wanita itu.

"Dik."

"Lima menit lagi, Mas," jawabnya setengah sadar.

"Dik?"

"Enggh!"

Baiklah, aku memilih untuk membiarkan Putri dan solat sendirian. Dapat kumengerti dia kelelahan karena acara semalam. Tak apa untuk memberikannya waktu tidur lebih lama lagi.

Wanita itu akhirnya bangun setengah jam kemudian. Aku sendiri sudah berpakaikan rapi dan bersiap untuk bekerja hari ini.

"Cepat ambil wudhu terus solat subuh," kataku yang tengah sibuk menggulung lengan kemeja. Wanita itu duduk termenung, tanpa balas menatapku.

Putri tidak berbicara apapun, tapi tiba-tiba air mata keluar dari mata tenangnya. Tatapannya kembali kosong. Lambat laun, tangis itu berubah menjadi isakan.

Tentu saja aku panik!

"Dik? Kamu kenapa?"

Dengan segera aku duduk di sisi ranjang, di samping Putri. Aku mengernyit, mendadak linglung. Aku sama sekali tidak memiliki pengalaman menghibur wanita yang tengah bersedih. Namun, pertanyaan sebenarnya, kenapa dia tiba-tiba begini?

"Kamu kenapa?" Tanganku hampir terulur untuk mengusap bahu wanita itu, tapi dia lebih dahulu mencegatnya.

"Bisa tinggalin aku sendiri?" katanya berbaur dengan sesenggukan.

Aku tersentak diam. Tapi apa boleh buat? Aku tidak mungkin memaksanya dalam keadaan seperti itu. Bukannya dia mau cerita, yang ada tambah tak suka padaku.

Aku mengembuskan napas perlahan, lalu beranjak turun dari ranjang. Memilih untuk mengalah daripada memperpanjang masalah. "Jangan lupa habis ini solat subuh, ya," pesanku.

Aku masih dapat merasakan kesedihan wanita itu, bahkan seusai menutup pintu kamar kami. Mungkin Putri baru saja mengalami mimpi buruk? Semoga dia baik-baik saja.

Sebelum berangkat kerja, aku pergi ke area dapur di mana Bu Indah tengah memasak. Pak Bahar pagi-pagi sudah menyesap kopi dengan asap tipis mengepul. Ketika matanya bertubrukan denganku, Pak Bahar lantas menyuruhku duduk di dekatnya.

"Mana Putri? Kenapa gak turun sama kamu?" tanya Bu Indah sembari tangannya masih sibuk mengurusi masakan.

Tidak mungkin kukatakan Putri tengah menangis tersedu-sedu. Aku tak akan sejahat itu padanya.

"Putri lagi beres-beres Bu, di kamar."

Pak Bahar dan Bu Indah saling pandang penuh arti. Senyum Pak Bahar perlahan bangkit. "Wah, bagus, dong. Semoga kehidupan rumah tangga kalian harmonis, Zaki."

"Aamiin, Pak." Tapi kenapa rasanya aku tercekat dengan doa itu?

"Habis ini langsung ke toko?" Kali ini Bu Indah yang bertanya sembari menaruh makanan di meja. Bau masakan langsung menyerbu indra penciumanku.

"Iya, Bu, soalnya masih banyak yang harus dikerjakan."

"Emang kita gak salah pilih mantu, Bu. Pekerja keras!" Pak Bahar tiba-tiba memukul pelan pundakku. Ada tawa senang di sana.

Putri pun pasti mendengar bagaimana ayahnya memujiku. Wanita itu baru saja tiba dan langsung mengambil alih piring yang ingin kuisi nasi.

"Biar aku aja, Mas," katanya dengan sopan. Sejenak aku tidak bisa membedakan dengan Putri yang bicara agak ketus tadi malam.

"Duh, istri idaman ini. Kamu harus bersyukur, Zaki, bisa punya istri seperti Putri." Pak Bahar terlihat bangga dengan anaknya.

Aku mengangguk. "Iya, Pak, aku benar-benar bersyukur. Dia istri yang baik."

Ketika itu, Putri menarik matanya kepadaku. Wanita itu tepat duduk dihadapanku.

"Baiknya menantu bisa memuji istrinya begitu. Beda sama bapak yang tahunya komplain masakan ibu terus!"

Putri terkekeh mendengar pertengkaran kecil di antara orang tuanya. Untukku, ini momen yang begitu hangat karena sudah lama tidak merasakannya.

Awalnya kukira sikap Putri hanya berlaku sampai di depan orang tuanya. Tapi ternyata aku salah. Wanita itu juga mengantarku hingga ke depan rumah. Dia mencium punggung tanganku sama seperti selesai akad kemarin. Aku jelas keheranan sekarang. Apakah dia sudah mencintaiku? Atau berniat untuk mencintaiku?

"Kenapa kamu baik ke saya?"

Ada helaan napas panjang terdengar. "Mas Zaki, aku mengerti posisiku sekarang sebagai istrimu. Aku berniat untuk melayani kamu dengan baik."

Baik, aku tersentuh.

"Tapi hanya sebatas melayani, aku tidak bisa mencintaimu."

Maka aku akan membuatnya bisa.

***

Aku berada di rumah Pak Bahar selama tiga hari. Seterusnya aku akan mengurus toko cabang dan anaknya --Putri-- di luar kota. Secara fasilitas, kehidupan kami sudah terjamin. Toko cabang langsung menyambung dengan rumah yang nyaman di bagian belakang. Berbeda dengan toko utama yang jaraknya berjauhan dengan rumah Pak Bahar.

Seperti ucapannya tempo hari, Putri melayaniku dengan baik. Dia menyiapkanku pakaian, makan, mencuci, membereskan rumah, dan lain sebagainya. Selama itu juga, aku tidak merasa ada yang benar-benar salah dengan Putri selain kenyataan dia tidak mencintaiku. Meski begitu, dia tetap amanah yang dititipkan padaku.

Aku ingat ketika sebelum pindah, Pak Bahar berpesan bahwa:

'Putri itu gadis yang baik. Dia selalu menuruti perkataan kami. Kami yang memintanya menjadi perawat, tapi kami juga yang memintanya berhenti. Dia mengerti bahwa di sini kami khawatir, apalagi diperantauan sana cuma sendirian. Ke depannya sudah ada kamu yang jaga jadi kami bisa lega. Kami percayakan Putri sama kamu, Zaki.'

Aku mengemban tugas yang berat.

Namun, bisa kubilang selama sebulan pernikahan kami semuanya masih bisa dikendalikan. Ya ..., walaupun kami hanya mengobrol untuk hal yang penting-penting saja.

Siang ini, Putri mengantarkan makanan ke toko sekalian pegawai yang lain. Dia sosok yang pandai sekali memasak, terutama terong balado kesukaanku. Kelebihan ini tidak disebutkan sama sekali oleh teman-temanku dahulu.

"Mas, aku boleh izin jalan keluar sore ini?" tanyanya, "aku bosan di rumah terus."

Selama kami pindah, dia memang tidak pernah ke mana-mana. Aku pikir tidak masalah memberikannya izin untuk jalan-jalan.

"Perlu saya temani?" Aku menawarkan diri. Siapa tahu dapat membuka jalan agar kami lebih dekat.

"Gak usah, Mas. Aku cuma mau jalan-jalan sendiri."

Jawabannya membuatku tersenyum kecut. "Oke, kalo kamu mau jalan. Saya izinkan. Kalau ada apa-apa, hubungi saya."

Putri mengangguk. Tidak butuh waktu lama, lalu segera pergi meninggalkanku. Aku mengurut pelipis, tiba-tiba tidak berselera untuk makan. Senyum macam apa yang dia tunjukkan ketika akad dan resepsi semalam? Aku menatap ke arah dinding di mana terdapat foto pernikahan kami. Di sana dia tampak bahagia.

***

Aku menunggu Putri pulang sejak sejam yang lalu. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam, sedangkan aku tidak tahu wanita itu pergi ke mana. Telponku tidak dipedulikan dan selalu berada di luar jangkauan. Padahal aku tidak meminta banyak. Maksudku, paling tidak berikanlah kabar. Ah, berita di televisi juga tidak ada yang beres, daritadi menayangkan kasus penganiayaan terhadap perempuan.

Dia baru pulang pukul sembilan malam.

Melihat kedatangannya, tanpa pikir panjang aku segera bangkit dari duduk. Aku tidak peduli apakah tatapan ini akan begitu mengintimidasinya. Aku sangat cemas pada wanita itu.

"Dari mana aja, Dik? Mas khawatir sama kamu."

Putri, dengan tunik berwarna army rupanya menghindari tatapanku. Sebentar, atau ada yang disembunyikan dariku?

Dengan jantung bertalu-talu, aku segera mendekat ke arah wanita itu. Kutangkup wajahnya, memaksa agar dia mau menatapku.

Aku tidak tahu harus berkata apa sekarang. Yang pasti ada sembab di mata yang katanya penuh ketenangan itu.

***

Hallo, ges, selamat membaca😘

Salam sayang,

Olia❤

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status