Ciuman hangat semakin terasa. Bibir wanita tercantik yang sudah dinikmati semua pria itu, terasa hangat. Baru kali ini dia merasakan ciuman penuh rasa yang membasahi bibirnya. Ciuman dengan perasaan tulus. Sedikit lumatan lembut dari Pandu, semakin membuat Mawar mendesah.
“Arum, aku sangat menginginkanmu,” desah Pandu pelan. Ciumannya semakin dalam. Pandu menatap wajah Mawar dengan tersenyum. Sang wanita tidak kuasa menahannya. Bibirnya terus bermain indah melayani Raden tertampan yang meluapkan bayangan cintanya.
“Kekasihku. Berikan bibir merekahmu. Aku tak kuasa menahannya. Selama ini, aku selalu membayangkanmu. Ijinkan malam ini aku memilikimu.”
Tengkuk leher Mawar semakin dicengkeraman jemari kuat Raden. Pandu sangat bahagia dengan bayangannya bersama Arum. Kegilaannya bagaikan kisah Majnun yang haus akan cinta dan hasrat untuk sang kekasih. Lidahnya semakin melesak masuk ke dalam. Bayangan sosok Arum sudah menghantuinya di tubuh Mawar yang semakin mendesah.
“Arum …,” lirih Pandu. Dia masih saja menikmati ciuman yang sangat dirindukannya.
“Aku … aku tidak bisa menerimanya. Ciuman ini sangat indah. Penuh rasa cinta. Aku … sangat takut dengan hatiku yang akan kecewa,” batin Mawar perlahan melepaskan ciuman Pandu.
Sosok pemuda tampan itu, kini bersandar di pundak Mawar. Wanita tercantik itu memejamkan kedua matanya, berusaha untuk mengatur hatinya yang berdebar sangat hebat.
“Ah … Ciuman ini … sangat hangat. Sayangnya, itu bukan untukku. Apakah aku bisa memilikinya?” batin Mawar masih terus menatap sosok Pandu. Hingga dia sadar jika dia tidak seharusnya melakukan itu.
Kedua mata berpoles tebal Mawar semakin membelalak. Memandang sosok tegap Pandu dengan parasnya yang tampan alami. Mawar menganggap Pandu seumpama langit yang berpadu dengan alam menjelma keindahan. Dia seketika melepaskan pelukannya saat Pandu tersadar. Mawar merasa dirinya terlihat buruk jika bersanding dengan Pandu.
“Nyonya, terima kasih,” ucap Pandu lemah. Kedua mata hitamnya melebar, saat menyadari jika wanita di sebelahnya bukan Arum. “Maafkan. Aku mengira kau adalah kekasihku, Arum. Aku sudah menodaimu, Nyonya. Maafkan aku,” lanjutnya kebingungan.
Pandu menuruni ranjang. Dia memegang kepalanya, tidak percaya dengan dirinya yang menjadi gila. Dalam pikirannya, hanya ada sosok Arum. Bahkan, wanita lain selalu dia anggap kekasihnya.
“Nyonya, aku … aku benar-benar meminta maaf,” ucap Pandu menatap tajam Mawar. Sang wanita, segera berdiri mendekatinya.
Mawar hanya tersenyum. Dia menggeleng, membuat Pandu menarik napas lega.
“Raden, namaku Mawar. Tenanglah. Sekarang, apa yang harus aku lakukan?” balas Mawar resah. Perlahan dia memberanikan diri untuk menyentuh kulit mulus milik Pandu. Spontan Mawar menarik napas. Dia merasakan kulit itu sangat panas, bagai lahar yang meluap.
“Raden, tubuhmu demam. Sebaiknya beristirahat di sini. Aku akan memanggil bantuan.” Mawar spontan memapah Pandu kembali menaiki ranjang.
“Raden, aku akan mencari bantuan,” ucapnya panik. Dia segera keluar dari kamar. Kakinya melangkah cepat menuju ruangan Madame Elena.
“Kau--” Madame berdiri dari kursi kerjanya, menunjuk Mawar yang sudah ditunggu akhirnya muncul. “Wanita tidak tahu diri! Kau tahu, semua pelanggan sangat marah. Kau mau membuatku mati?!” bentak Madame sangat keras. Dia meremas dadanya yang terasa sesak.
“Aku membawa tamu yang lebih dari semuanya,” jawab Mawar santai dengan senyuman menggoda. Madame mengernyit memandangnya. Pemilik rumah hiburan itu perlahan melangkah, mendekati Mawar.
“Siapa dia?” tanya Madame berbisik sembari menatap tajam. “Jika aku mendapatkan untung, aku akan memaafkan kesalahanmu,” lanjutnya semakin tersenyum.
“Ikuti, aku.”
Mawar berjalan cepat menuju kamarnya diikuti Madame. Wanita yang sedikit gemuk itu, tidak sabar melihat siapa yang disembunyikan Mawar di dalam kamarnya. Hingga dia membelalak ketika masuk ke dalam kamar Mawar. Kedua matanya sangat kaku, melihat sosok Pandu di atas ranjang tergeletak lemas.
“Onde mande, ini sangat luar biasa. Dia … anak dari Romo terkaya di desa ini? Kau … sangat hebat, Mawar.”
“Dia demam. Bantulah aku memanggil dokter,” pinta Mawar. Wajahnya terlihat cemas.
“Apa yang bisa dia berikan? Aku tidak melakukan apa pun dengan gratis,” jawab Madame sembari mengipas-kipas wajahnya yang sangat berkeringat. “Kau tahu sendiri. Hmm, gara kamu semalam tidak muncul, aku sangat rugi,” lanjutnya berbisik.
Mawar tidak percaya Madame sangat perhitungan dengannya. Padahal, kesuksesan tempat hiburan miliknya berlipat ruah karena kecantikan Mawar yang selalu bersinar terang di sana.
“Kenapa kau berlaku seperti pemeras? Ingatlah, jika aku yang membuatmu kaya!” bentak Mawar keras sembari mendorong tubuh Madame.
“Cukup! Aku akan pergi. Kau--”
“Aku memiliki ini,” ucap Pandu membuat Madame menghentikan ucapannya. Bola matanya membesar, melihat kilauan berlian memutari lingkaran jam tangan di pergelangan Pandu. Raden segera melepaskan jam tangan seharga puluhan juta itu. “Ini untukmu. Tolong, bantulah aku,” lanjut Pandu sembari menarik napas. Dia segera menyodorkan jam itu kepada Madame. Dengan cepat wanita itu menerimanya.
“Raden,” ucap Mawar kembali mendekapnya. “Madame, panggilkan dokter. Aku mohon,” pintanya pelan.
Kedua mata bulat hitam Madame masih saja berbinar. Bahkan dia berkali-kali menarik napas, menatap jam tangan terindah yang pernah dia lihat.
“Madame!” teriak Mawar membuyarkan lamunannya.
Madame seketika terperanjat. Dia spontan meremas dadanya. “Kau bisa membuatku terkena serangan jantung! Iya, aku akan membawakan dokter. Tunggullah!”
Hati Mawar sangat lega. Namun, kepanikan masih menyertainya. Wanita itu berusaha untuk menenangkan Pandu.
“Hatiku tak kuasa melihatmu menderita, Raden. Ada apakah gerangan, hingga membuatmu seperti ini?” tanya Mawar sembari merapatkan selimut untuk menghangatkan tubuh tegap bagaikan pilar kokoh pemuda impiannya.
“Bagaimana ini? Tubuhnya menggigil dan semakin panas. Raden, bertahanlah.” Jemari Mawar terus meremas handuk kecil yang sudah diberikan air hangat. Perlahan dia letakkan di kepala Pandu sembari mengusapnya. Mawar tidak hentinya terlihat cemas menatap wajah polos tampan memikat hatinya menjadi sangat pucat.
“Raden …” lirih Mawar masih sangat kebingungan.
“Aku … sangat menggigil,” ucap Pandu mengeratkan kedua tangan di tubuhnya sendiri.
“Aku akan memeluknya.” Secepatnya Mawar masuk ke dalam selimut, memeluk Pandu dengan erat. Bahkan Pandu juga membalas pelukan itu. Kini mereka benar-benar terlihat seperti sepasang kekasih.
“Brak!”
Pintu kamar terbuka lebar. Mawar terperanjat melihat kedatangan sahabat Pandu bernama Ardi yang selalu menyewanya.
“Raden Ardi?”
“Mawar, lepaskan! Kau tidak pantas menyentuhnya. Ingatlah siapa dirimu!”
***
Jakarta, waktu tengah malam.
“Duhai … kekasihku Pandu yang jauh di sana. Hatiku berkeping-keping. Lelaki itu benar-benar akan melamarku. Apa yang harus aku lakukan? Andaikan kau hadir, bawalah aku pergi agar selamat dari peristiwa ini,” batin Arum terus menangis. Kedua mata cokelat itu menatap gemerlap bintang dari jendela kamarnya yang hanya menjadi saksi bisu kesedihannya.
Kekuatan manusia ada batasnya. Isakan tangis selalu menghiasi wajah cantik Arum. Senyuman indah yang selalu terpampang di sana, kini sendu bagaikan langit mendung. Arum tak kuasa menahan rasa gundah gelisah yang membalut dirinya.
“Apakah kesucianku akan dimiliki orang lain? Apa yang harus aku lakukan? Dia akan datang melamarku besok,” gumam Arum pelan.
“Kesucianmu milik kasta tertinggi. Itu adalah takdirmu,” ucap Saras mengejutkan. "Esok, kau akan dilamar oleh kasta tertinggi, dan itu adalah janjimu," lanjut Saras tegas.
Arum hanya terdiam. Mulutnya tertutup rapat. Bagaimanapun juga, dia tidak bisa melarikan diri dari masalah ini. Saras hanya memandangnya. Hingga beberapa detik, dia meninggalkan kamar Arum. Dalam batinnya, Sarah mengetahui Arum memendam amarah.“Aku pastikan, kau perlahan akan mulai menerima dan menikmati kedudukanmu nanti, Arum,” batin Saras terus berlalu.“Sumpah sudah mulai terwujud. Apakah kekasihku Pandu memang akan kehilangan nyawa saat aku benar-benar menikahi lelaki itu?” Arum bangkit dari duduknya. Dia berjalan cepat mendekati jendela kamarnya.“Brak!” Dia membukanya dengan keras. Tangisan pecah dia keluarkan di sana. Suara jeritan yang melengking, telah bercampur di udara. “Argh! Pandu …”Sekar yang melihat kesedihan Arum dari jendela kamarnya, hanya bisa memandang pasrah keponakannya itu. “Arum, bertahanlah,” batinnya berselimut resah.***Yogyakarta, waktu tengah
Acara lamaran tidak terduga segera dilaksanakan. Keluarga besar Soewojo semakin tersenyum melihat sosok Arum yang akhirnya muncul.“Adakah keajaiban yang bisa membawaku pergi dari sini?” batin Arum menunduk dalam kesedihan.Ketakutan bercampur gemetar mengiringi langkah Arum. Sedikit polesan di wajahnya, semakin menambah kecantikan alaminya. Masih dengan menunduk, Arum duduk tepat di hadapan pria mapan berumur jauh lebih tua darinya. Namun, ketampanan masih saja terlihat di sana.Tubuhnya tegap. Kumis tipis semakin menambah aura kegagahan yang pasti membuat hawa terpana jika mendapat lirikannya. Umur yang sudah memasuki usia matang di atas tiga puluh tahun, semakin membuatnya terlihat menawan.“Sangat cantik mempesona. Lihatlah pilihanmu itu, Wojo. Ibu tidak menyangka kau bisa memilih gadis yang pas untuk menggantikan posisi Mariati.” Nyai Niye selalu saja tersenyum. Sementara, Wojo semakin tidak menyangka. Sindiran ibunya itu bena
Sabrina meremas secarik kertas berisikan kalimat romantis yang dituliskan Pandu untuk Arum. Dia semakin memendam amarahnya. “Aku tidak akan pernah membuat mereka bertemu di sana. Aku akan mencegahnya,” gumamnya masih dipenuhi amarah kecemburuan.Sabrina dari dulu sudah dijodohkan dengan sosok Pandu. Saat bersekolah, Sabrina selalu saja merasakan cemburu saat melihat Pandu bersama Arum. Saras saat itu cukup kaya saat suaminya masih hidup dan bekerja menjadi seorang dokter terkenal. Pandu selalu senang melihat Ayah Arum menolong semua orang yang sakit. Hingga dia menemui Romo dan mengatakan keinginannya untuk menjadi seorang dokter. Pandu sangat senang Romo menyambut cita-citanya dengan baik.Namun, sejak kematian Ayah Arum, Pandu semakin sedih melihat Arum harus berhenti dari sekolah. Sekolah hanya kalangan elit yang bisa masuk ke sana. Saras sudah tidak bisa membiayai Arum seorang diri. Apalagi Saras saat itu bekerja untuk Nyai Ani di rumah megahnya.
Pandu dengan tegas akan menerpa semua bahaya yang menghadang. Tidak peduli dinding sangat tinggi akan menghalanginya, rasa cinta semakin kuat untuk merobohkan semua itu. Pandu akan memupuskan tradisi turun temurun keluarga akibat kasta yang sama sekali tidak beralasan untuk memaksakan cinta.“Kau sudah mengibarkan bendera perang yang sangat kejam sahabatku,” ucap Ardi. Dia hanya menatap sahabatnya itu yang diselimuti cinta membara.“Aku tidak peduli semua panah akan menembus ke dalam jantungku. Aku akan berusaha mengakhiri peperangan ini,” balas Pandu dengan sedikit senyuman. “Berikan surat yang aku tuliskan itu, saat kau berhasil masuk menemuinya, Ardi. Itulah yang akan kita lakukan sebelum pernikahan itu berlangsung. Bukankah kau membawanya?” lanjut Pandu membuat Ardi terperanjat.“Surat? Aku akan mengambilnya,” balas Ardi. Dengan segera dia merogoh kantong jaketnya. Namun, tidak menemukannya. “Aku …
Nyai bangkit dari sujudnya. Dia terus mengetuk pintu rumah Wati.“Wati, aku mohon! Kau seorang ibu. Kau pasti akan melakukan hal yang sama jika berada di posisiku!” teriaknya keras tanpa henti.Wati yang berada di belakang pintu, terus berpikir. Wati tidak ingin terlibat terlalu jauh dalam masalah Nyai. Dia tidak mau masa depan Sunarsih terancam. Bagaimanapun juga, kekuasaan Nyai bisa melakukan segalanya.Wati memutuskan untuk membuka pintu kembali. Nyai melebarkan kedua matanya, terus memohon agar Wati bisa membantunya.“Wati, kau seorang ibu sama seperti diriku. Bagaimana jika kau berada di posisiku? Wati … aku mohon.”“Masalahnya bisa selesai dengan cepat. Kau hanya merestui hubungan mereka, maka kau akan mendapatkan anakmu kembali. Bisakah kau melakukan itu?”Nyai terdiam saat Wati memberikan sarannya. Wati semakin memberikan pelototannya, menunggu jawaban Nyai yang tak kunjung terlontar dari mu
Hati Pandu bergetar. Dia hanya memandang sosok Wojo tanpa berucap, membuat calon suami Arum itu mengernyit. Ardi spontan menerima uluran tangan Wojo untuk berjabat tangan. “Tidak masalah. Kami juga bersalah berada di tengah jalanan.” Wojo masih mengamati Pandu yang terus memandangnya dengan serius. “Baiklah, semoga hari kalian bahagia,” balas Wojo kembali memasuki mobilnya dan berlalu. Ardi menarik Pandu untuk membawanya pergi dari sana. Mawar hanya diam, mengikuti kedua Raden itu dari belakang. “Apa kau sudah gila? Kenapa kau seperti itu? Pandu!” teriak Ardi keras. Pandu memegang kepalanya. Dia semakin frustasi. “Dia … dia calon suami Arum. Katakan! Bagaimana aku harus menghadapi lelaki yang akan mengambil kesucian wanita pujaanku?!” teriak Pandu. Para pejalan kaki yang melintas, spontan memandang mereka dengan berbisik. Mawar seketika itu menarik lengan Ardi dan mendekatinya. “Ardi, kau tahu sendiri Raden mengalami frustasi d
Kedua mata Arum terus menelusuri semua arah. Bola matanya berputar tanpa henti menatap kerumunan orang. Sontak pandangannya terhenti, tertuju pada sosok yang bisa membuat dia merasa bahagia. Dengan cepat Arum berusaha membuka kaca jendela mobil. Namun, sang sopir menahannya.“Pandu, aku di sini!” teriaknya keras sambil melambaikan tangannya. Arum tidak menyerah. Dia menggedor-gedor kaca jendela dengan keras. “Pandu!”“Nyai, Nona Arum ingin keluar dari mobil!” teriak sang sopir dari jendela mobil.Saras yang berada di mobil sebelah, sangat panik mendengarnya. “Jangan biarkan dia keluar!” pintanya tegas.“Arum … Arum!” balas Pandu terus menerabas semua orang. “Aku tidak akan pernah melepaskannya. Aku akan segera menuju mobil itu dan membawanya pergi,” batin Pandu terus berlari berusaha menggapai Arum yang sudah terlihat semakin dekat“Ini tidak bisa dibiarkan!
“Kau … milikku, Arum.”Arum terdiam kaku setelah mendengar bisikan Wojo. Kedua mata Wojo menatap Arum dengan tajam. Setelah itu, Wojo berlalu darinya. Arum berusaha mengatasi perasaannya yang kalut di dada. Dia terus memaksakan senyuman kepada semua orang, saat Saras memandangnya.Dari kejauhan, Wojo selalu saja sesekali melirik Arum. Para sahabat Wojo, tidak hentinya memuji kecantikan Arum.“Hmm, kau ternyata duda yang sangat … beruntung. Lihatlah calon istrimu itu. Masih suci dan sangat muda. Setiap malam, kau pasti akan mendapatkan kepuasan,” bisik salah satu sahabat Wojo sembari menganggukkan kepadanya.Wojo menikmati minumannya, tiada henti menatap wajah Arum yang memang sangat cantik. Bahkan, sangat lebih jika dibandingkan dengan Mariati yang selama ini dia elu-elukan. Apalagi, telinga Wojo terus mendengarkan pujian-pujian yang dilontarkan oleh semua temannya yang juga sangat kaya raya kepada Arum. Mereka terus