Share

BERSEMBUNYI

Ciuman hangat semakin terasa. Bibir wanita tercantik yang sudah dinikmati semua pria itu, terasa hangat. Baru kali ini dia merasakan ciuman penuh rasa yang membasahi bibirnya. Ciuman dengan perasaan tulus. Sedikit lumatan lembut dari Pandu, semakin membuat Mawar mendesah.

“Arum, aku sangat menginginkanmu,” desah Pandu pelan. Ciumannya semakin dalam. Pandu menatap wajah Mawar dengan tersenyum. Sang wanita tidak kuasa menahannya. Bibirnya terus bermain indah melayani Raden tertampan yang meluapkan bayangan cintanya.

“Kekasihku. Berikan bibir merekahmu. Aku tak kuasa menahannya. Selama ini, aku selalu membayangkanmu. Ijinkan malam ini aku memilikimu.”

Tengkuk leher Mawar semakin dicengkeraman jemari kuat Raden. Pandu sangat bahagia dengan bayangannya bersama Arum. Kegilaannya bagaikan kisah Majnun yang haus akan cinta dan hasrat untuk sang kekasih. Lidahnya semakin melesak masuk ke dalam. Bayangan sosok Arum sudah menghantuinya di tubuh Mawar yang semakin mendesah.

“Arum …,” lirih Pandu. Dia masih saja menikmati ciuman yang sangat dirindukannya.

“Aku … aku tidak bisa menerimanya. Ciuman ini sangat indah. Penuh rasa cinta. Aku … sangat takut dengan hatiku yang akan kecewa,” batin Mawar perlahan melepaskan ciuman Pandu.

Sosok pemuda tampan itu, kini bersandar di pundak Mawar. Wanita tercantik itu memejamkan kedua matanya, berusaha untuk mengatur hatinya yang berdebar sangat hebat.

“Ah … Ciuman ini … sangat hangat. Sayangnya, itu bukan untukku. Apakah aku bisa memilikinya?” batin Mawar masih terus menatap sosok Pandu. Hingga dia sadar jika dia tidak seharusnya melakukan itu.

Kedua mata berpoles tebal Mawar semakin membelalak. Memandang sosok tegap Pandu dengan parasnya yang tampan alami. Mawar menganggap Pandu seumpama langit yang berpadu dengan alam menjelma keindahan. Dia seketika melepaskan pelukannya saat Pandu tersadar. Mawar merasa dirinya terlihat buruk jika bersanding dengan Pandu.

“Nyonya, terima kasih,” ucap Pandu lemah. Kedua mata hitamnya melebar, saat menyadari jika wanita di sebelahnya bukan Arum. “Maafkan. Aku mengira kau adalah kekasihku, Arum. Aku sudah menodaimu, Nyonya. Maafkan aku,” lanjutnya kebingungan.

Pandu menuruni ranjang. Dia memegang kepalanya, tidak percaya dengan dirinya yang menjadi gila. Dalam pikirannya, hanya ada sosok Arum. Bahkan, wanita lain selalu dia anggap kekasihnya.

“Nyonya, aku … aku benar-benar meminta maaf,” ucap Pandu menatap tajam Mawar. Sang wanita, segera berdiri mendekatinya.

Mawar hanya tersenyum. Dia menggeleng, membuat Pandu menarik napas lega.

“Raden, namaku Mawar. Tenanglah. Sekarang, apa yang harus aku lakukan?” balas Mawar resah. Perlahan dia memberanikan diri untuk menyentuh kulit mulus milik Pandu. Spontan Mawar menarik napas. Dia merasakan kulit itu sangat panas, bagai lahar yang meluap.

“Raden, tubuhmu demam. Sebaiknya beristirahat di sini. Aku akan memanggil bantuan.” Mawar spontan memapah Pandu kembali menaiki ranjang.

“Raden, aku akan mencari bantuan,” ucapnya panik. Dia segera keluar dari kamar. Kakinya melangkah cepat menuju ruangan Madame Elena.

“Kau--” Madame berdiri dari kursi kerjanya, menunjuk Mawar yang sudah ditunggu akhirnya muncul. “Wanita tidak tahu diri! Kau tahu, semua pelanggan sangat marah. Kau mau membuatku mati?!” bentak Madame sangat keras. Dia meremas dadanya yang terasa sesak.

“Aku membawa tamu yang lebih dari semuanya,” jawab Mawar santai dengan senyuman menggoda. Madame mengernyit memandangnya. Pemilik rumah hiburan itu perlahan melangkah, mendekati Mawar.

“Siapa dia?” tanya Madame berbisik sembari menatap tajam. “Jika aku mendapatkan untung, aku akan memaafkan kesalahanmu,” lanjutnya semakin tersenyum.

“Ikuti, aku.”

Mawar berjalan cepat menuju kamarnya diikuti Madame. Wanita yang sedikit gemuk itu, tidak sabar melihat siapa yang disembunyikan Mawar di dalam kamarnya. Hingga dia membelalak ketika masuk ke dalam kamar Mawar. Kedua matanya sangat kaku, melihat sosok Pandu di atas ranjang tergeletak lemas.

“Onde mande, ini sangat luar biasa. Dia … anak dari Romo terkaya di desa ini? Kau … sangat hebat, Mawar.”

“Dia demam. Bantulah aku memanggil dokter,” pinta Mawar. Wajahnya terlihat cemas.

“Apa yang bisa dia berikan? Aku tidak melakukan apa pun dengan gratis,” jawab Madame sembari mengipas-kipas wajahnya yang sangat berkeringat. “Kau tahu sendiri. Hmm, gara kamu semalam tidak muncul, aku sangat rugi,” lanjutnya berbisik.

Mawar tidak percaya Madame sangat perhitungan dengannya. Padahal, kesuksesan tempat hiburan miliknya berlipat ruah karena kecantikan Mawar yang selalu bersinar terang di sana.

“Kenapa kau berlaku seperti pemeras? Ingatlah, jika aku yang membuatmu kaya!” bentak Mawar keras sembari mendorong tubuh Madame.

“Cukup! Aku akan pergi. Kau--”

“Aku memiliki ini,” ucap Pandu membuat Madame menghentikan ucapannya. Bola matanya membesar, melihat kilauan berlian memutari lingkaran jam tangan di pergelangan Pandu. Raden segera melepaskan jam tangan seharga puluhan juta itu. “Ini untukmu. Tolong, bantulah aku,” lanjut Pandu sembari menarik napas. Dia segera menyodorkan jam itu kepada Madame. Dengan cepat wanita itu menerimanya.

“Raden,” ucap Mawar kembali mendekapnya. “Madame, panggilkan dokter. Aku mohon,” pintanya pelan.

Kedua mata bulat hitam Madame masih saja berbinar. Bahkan dia berkali-kali menarik napas, menatap jam tangan terindah yang pernah dia lihat.

“Madame!” teriak Mawar membuyarkan lamunannya.

Madame seketika terperanjat. Dia spontan meremas dadanya. “Kau bisa membuatku terkena serangan jantung! Iya, aku akan membawakan dokter. Tunggullah!”

Hati Mawar sangat lega. Namun, kepanikan masih menyertainya. Wanita itu berusaha untuk menenangkan Pandu.

“Hatiku tak kuasa melihatmu menderita, Raden. Ada apakah gerangan, hingga membuatmu seperti ini?” tanya Mawar sembari merapatkan selimut untuk menghangatkan tubuh tegap bagaikan pilar kokoh pemuda impiannya.

“Bagaimana ini? Tubuhnya menggigil dan semakin panas. Raden, bertahanlah.” Jemari Mawar terus meremas handuk kecil yang sudah diberikan air hangat. Perlahan dia letakkan di kepala Pandu sembari mengusapnya. Mawar tidak hentinya terlihat cemas menatap wajah polos tampan memikat hatinya menjadi sangat pucat.

“Raden …” lirih Mawar masih sangat kebingungan.

“Aku … sangat menggigil,” ucap Pandu mengeratkan kedua tangan di tubuhnya sendiri.

“Aku akan memeluknya.” Secepatnya Mawar masuk ke dalam selimut, memeluk Pandu dengan erat. Bahkan Pandu juga membalas pelukan itu. Kini mereka benar-benar terlihat seperti sepasang kekasih.

“Brak!”

Pintu kamar terbuka lebar. Mawar terperanjat melihat kedatangan sahabat Pandu bernama Ardi yang selalu menyewanya.

“Raden Ardi?”

“Mawar, lepaskan! Kau tidak pantas menyentuhnya. Ingatlah siapa dirimu!”

***

Jakarta, waktu tengah malam.

“Duhai … kekasihku Pandu yang jauh di sana. Hatiku berkeping-keping. Lelaki itu benar-benar akan melamarku. Apa yang harus aku lakukan? Andaikan kau hadir, bawalah aku pergi agar selamat dari peristiwa ini,” batin Arum terus menangis. Kedua mata cokelat itu menatap gemerlap bintang dari jendela kamarnya yang hanya menjadi saksi bisu kesedihannya.

Kekuatan manusia ada batasnya. Isakan tangis selalu menghiasi wajah cantik Arum. Senyuman indah yang selalu terpampang di sana, kini sendu bagaikan langit mendung. Arum tak kuasa menahan rasa gundah gelisah yang membalut dirinya.

“Apakah kesucianku akan dimiliki orang lain? Apa yang harus aku lakukan? Dia akan datang melamarku besok,” gumam Arum pelan.

“Kesucianmu milik kasta tertinggi. Itu adalah takdirmu,” ucap Saras mengejutkan. "Esok, kau akan dilamar oleh kasta tertinggi, dan itu adalah janjimu," lanjut Saras tegas.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status