Share

Lamaran Dua Kasta

Arum hanya terdiam. Mulutnya tertutup rapat. Bagaimanapun juga, dia tidak bisa melarikan diri dari masalah ini. Saras hanya memandangnya. Hingga beberapa detik, dia meninggalkan kamar Arum. Dalam batinnya, Sarah mengetahui Arum memendam amarah.

“Aku pastikan, kau perlahan akan mulai menerima dan menikmati kedudukanmu nanti, Arum,” batin Saras terus berlalu.

“Sumpah sudah mulai terwujud. Apakah kekasihku Pandu memang akan kehilangan nyawa saat aku benar-benar menikahi lelaki itu?” Arum bangkit dari duduknya. Dia berjalan cepat mendekati jendela kamarnya.

“Brak!” Dia membukanya dengan keras. Tangisan pecah dia keluarkan di sana. Suara jeritan yang melengking, telah bercampur di udara. “Argh! Pandu …”

Sekar yang melihat kesedihan Arum dari jendela kamarnya, hanya bisa memandang pasrah keponakannya itu. “Arum, bertahanlah,” batinnya berselimut resah.

***

Yogyakarta, waktu tengah malam.

Kedua mata lelaki yang sedari tadi mengikuti Mawar membawa Pandu, tampak memerah. Hatinya terbakar. Dia bernama Ardi, sahabat dekat Pandu sejak kecil. Hatinya hancur melihat sahabat yang dia tunggu selama delapan tahun, terlihat sangat berantakan. Ditambah berpelukan dengan seorang wanita yang sangat rendah di balik selimut. Apalagi wanita itu sering dinikmatinya.

“Mawar, dia adalah laki-laki terhormat!” bentaknya. Dengan kuat tangan Ardi menyibakkan selimut yang menutup rapat kedua insan di atas ranjang.

Mawar melotot tajam. Seketika dia menuruni ranjang. Tangannya menahan tubuh Ardi yang akan menarik Pandu.

“Dia sangat lemah. Ini tidak seperti dugaanmu, Ardi,” bantah Mawar.

Kini mereka saling terdiam. Napas terengah-engah masih saja terdengar keras di antara mereka.

“Ardi … aku tidak seperti itu. Wanita ini sudah membantuku. Aku mohon, bantulah aku,” rintih Pandu. Dia berusaha terduduk melawan tenaganya yang semakin lemah.

“Pandu.” Spontan Ardi mendekati ranjang. Duduk tepat di sebelah sahabatnya itu. Dia menatap wajah Pandu dengan saksama. Dahinya mengkerut, tidak percaya melihat keadaan Pandu sedemikian parah.

“Pandu. Jangan memperbudak dirimu sendiri. Jika kau ingin menenangkan diri, pergilah ke tempat lain yang sekiranya bisa menenangkan dirimu. Pilihlah beberapa tempat terhormat. Bukan … tempat seperti ini!” bentak Ardi sembari menggerakkan pundak Pandu dengan kedua tangannya.

Spontan Pandu menggeleng keras. “Aku sudah hancur, Ardi. Perasaanku tidak bisa lebur oleh cinta Arum. Aku menginginkannya. Ardi, bantulah aku untuk menemukan kekasih hatiku. Jiwaku yang terpisah itu. Tolong, bantulah aku,” pinta Pandu. Kedua matanya sendu. Napasnya semakin lemah. Apalah daya bagi Ardi untuk tidak membantunya. Dengan sangat terpaksa, dia menganggukkan kepalanya.

“Jangan kau tebarkan penderitaan di jiwamu lagi. Aku mau membantumu, sahabatku,” jawab Ardi. Dia segera memeluk sahabatnya yang masih sangat lemas. Hingga pelukan itu terurai saat sang dokter masuk ke dalam.

“Wow, dua Raden kaya raya ada di kamar Mawar? Ini sangat luar biasa. Aku tidak tahu harus berkata apa,” ucap Madame mendapat pelototan tajam Ardi.

Ardi segera bangkit, berjalan cepat mendekati wanita yang sering mempertemukan dia dengan Mawar. “Ini uang untukmu. Apakah mulut itu bisa diam?” Ardi membuka dompet kulitnya dan mengambil beberapa lembar uang. Dia adalah anak dari Kepala Manager perusahaan Romo. Tentu saja Ardi memiliki uang yang cukup banyak.

Sementara Mawar mengarahkan sang dokter untuk memeriksa Pandu. Ardi tidak hentinya menatap pandangan Mawar yang diberikan untuk Pandu. Dia tidak mau Mawar melakukan hal bodoh dengan menyukai Pandu. Karena itu akan membuatnya menderita.

“Kau tidak bisa membuka hatimu untuknya, Mawar,” bisik Ardi sembari menarik tubuh Mawar agar tidak mendekati Pandu. Mawar hanya terdiam melihat perlakuan Ardi kepadanya.

Ardi kembali mendekati dokter. Dia memberi uang yang cukup banyak untuk menutup mulut sang dokter setelah menyelesaikan tugasnya. Jika tidak, dia akan membuat dokter itu kehilangan pekerjaannya. Kekayaan dan kasta Ardi walaupun di bawah ningrat, bisa melakukan segalanya.

“Pergilah kalian. Setelah ini, aku yang akan menjaga Pandu,” ucap Ardi tegas.

Madame bersama dokter meninggalkan kamar Mawar dalam diam. Ardi masih saja berusaha mengatur hatinya. Dia tidak mengerti harus bagaimana. Hatinya masih bertentangan dengan keinginannya. Apakah dia akan menyerahkan Pandu kepada kedua orang tuanya? Atau, malah membantu Pandu terjun ke dalam jurang bahaya akan cintanya?

“Ardi, berikan ini kepada Arum.”

Ucapan Pandu spontan membuyarkan lamunannya. Pandu menuliskan sebuah pesan untuk Arum. Mawar hanya diam di antara mereka. Ardi memegang kepalanya, masih kebingungan di antara dua pilihan.

“Pandu. Kau masih muda, berasal dari keluarga ningrat. Sangat terhormat. Kau pun dikaruniai wajah tampan. Sadarkah engkau bahwa tak ada yang bisa mengalahkan kegagahanmu? Beribu wanita siap bersanding denganmu. Kau bisa memilih sesukamu. Kenapa kau hanyut dalam cinta yang sangat berbahaya ini?”

“Ardi, carilah Arum. Hanya kau yang bisa membantuku. Berikan surat ini untuknya. Aku harus bersama dengannya. Jiwaku hanya untuknya, Ardi.”

Suara lemah meminta pertolongan menembus gendang telinganya. Namun, baru kali ini Ardi benar-benar merasakan cinta sejati di antara Pandu dan Arum. Cinta yang memang tidak untuk dipisahkan. Apalagi hanya karena kasta.

“Baiklah. Surat ini akan sampai di tangan Arum. Kau bersembunyilah dengan baik di sini. Aku akan mencarinya.”

Pandu tersenyum bahagia. Dia memeluk sahabatnya yang masih memandang gelisah. Mawar hanya berdiri dalam diam.

***

Yogyakarta, 9 April, 1963 pukul 12.00

Kediaman Kasoemo semakin mencekam. Kepergian Pandu sangat menggoncang seisi rumah. Nyai Ani tidak hentinya menangis. Semua pesuruh Romo tidak bisa menemukan sosok Pandu di mana pun juga.

“Kenapa bisa terjadi?!” teriak Romo kencang. “Siapa terakhir yang menjaganya? Jawab!” Romo semakin menyorotkan kedua mata tegasnya kepada semua pelayan yang masih menundukkan kepala.

Nyai yang semula terisak, bangkit dari duduknya. Kakinya melangkah cepat mendekati Romo yang masih diselimuti amarah.

“Romo. Sekarang kita tidak perlu memikirkan siapa yang membantu Pandu. Kerahkan semua pesuruh Romo untuk mencarinya tanpa henti. Satu jam lagi, keluarga Sabrina Walongsono akan datang. Lebih baik kita menyembunyikan peristiwa ini. Kita harus mencari alasan kepada mereka, kenapa Pandu tidak ada.”

Perkataan Nyai, seketika membuat Romo terdiam. Dia berusaha menekan kemarahan yang sudah membalut dirinya. Mungkin lebih penting bagi dia untuk menyambut tamu yang sangat penting. Tamu yang bisa membuat kasta ningrat abadi di belakang namanya, hingga tujuh turunan.

“Romo, keluarga Sabrina sudah berada di depan,” ucap pelayan tiba-tiba datang mengejutkan semua orang di dalam ruangan.

“Romo, kita akan mengatakan, jika Pandu harus mengurus klinik yang akan dia bangun di luar kota. Mungkin itu cara terbaik yang bisa kita lakukan,” ucap Nyai pelan. Dia berusaha tidak meneteskan air matanya kembali. Nyai tidak mau terlihat sembab di hadapan keluarga Walongsono.

Romo mengatur balutan jasnya agar terlihat lebih rapi. Dia berjalan keluar dengan wajah semringah. Begitu juga dengan Nyai.

“Sabrina Walongsono, anakku. Wah. Kau masih saja terlihat seperti biasanya. Sangat anggun dan berkelas,” ucap Romo tersenyum.

Wanita yang Romo puji itu, hanya sedikit memberikan senyuman. Bola matanya melirik kanan kiri, mencari sosok yang tidak dia temukan. Namun, rasa gengsinya setinggi langit. Membuat mulutnya tertutup rapat untuk tidak menanyakan di mana Pandu.

“Sabrina, kau sangat luar biasa,” lanjut Nyai. Kali ini Sabrina menerima pelukan calon ibu mertuanya itu. Begitu juga dengan kedua orang tuanya yang selalu saja melempar senyum.

Mereka segera menuju jamuan mewah yang sudah disiapkan. Sabrina terus mengangkat wajah. Kedua matanya hanya menatap semua hidangan, tanpa mencicipinya.

Romo terlihat resah. Dia menatap Walongsono Ayah Sabrina, dan akhirnya berkata, “Pandu akan membangun klinik di luar kota. Itulah alasan kenapa dia tidak bisa datang. Nanti dia berjanji akan menemui Sabrina berdua saja. Itu akan lebih romantis, kata Pandu.” Ucapan Romo mendapatkan tawaan dari semua orang. Kecuali calon menantunya yang masih diam kaku.

“Romo, aku ingin berbicara berdua saja.” Sabrina sedikit tersenyum. Wajahnya masih saja terangkat. Kedua mata tajamnya terus menatap calon mertuanya yang seketika terpaku.

Romo menganggukkan kepala. Dia masih saja berusaha memasang senyuman di wajahnya. “Baiklah, kita akan pergi ke ruanganku.”

Nyai seketika menarik napas panjang. Hatinya mendadak resah. Namun, dia harus memupuskan rasa itu agar tidak terlihat. Nyai kembali mengalihkan perhatian kedua orang tua Sabrina dengan terus bercerita tentang masa kecil Pandu.

Sabrina terus berjalan mengikuti Romo sampai menuju ruangan pribadi calon mertuanya itu. Kini mereka saling memandang tajam saat pintu tertutup rapat.

“Di mana Pandu? Katakan yang sebenarnya, Romo? Pasti … ada yang Romo sembunyikan,” tanya Sabrina berusaha tenang. Walaupun detakan jantungnya berdegup dua kali dari sebelumnya. Dalam batinnya, dia sangat kecewa dan marah.

“Kau memang sangat cerdas. Dia pergi karena seorang wanita. Romo sudah mengerahkan semua pesuruh untuk mencarinya. Kau jangan kawatir. Romo akan segera membawanya kembali,” jawab Romo pelan bercampur gelisah.

“Aku akan mencarinya. Dia, anak Romo akan aku temukan. Wanita itu … siapa pun dia, akan aku habisi,” balas Sabrina pelan. Namun, ada penekanan di sana.

Romo menatap kaku Sabrina yang membalikkan tubuhnya, meninggalkan ruangannya begitu saja.

“Kau … hanya milikku, Pandu. Sampai, kapan pun,” batin Sabrina sembari mengepalkan kedua tangannya.

***

Jakarta, 11 April, 1963 pukul 19.00.

Sesuai janji Nyai Niye. Dua hari telah datang. Semua keluarga Soewojo menuju kediaman Sekar untuk melamar Arum.

“Pandu kekasihku, bawalah aku pergi. Aku mohon …,” batinnya semakin resah saat memandang jam dinding yang masih setia memberikan waktunya. Hingga waktu yang membuat dirinya ingin berteriak telah datang. Namun, dia tak kuasa melakukannya.

“Arum, calon suamimu sudah datang. Kau harus keluar, sayang.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status