Share

LAMARAN UNTUK ARUM

Arum semakin tidak mengerti dengan situasi rumit yang terjadi. Dia bergemetar mendengar keinginan wanita yang sama sekali tidak dikenalnya.

“Nyai, aku mohon. Aku hanya ingin pulang. Kita berpisah di sini saja.” Arum merasa lega. Nyai akhirnya mengarahkan tangan agar para pesuruh garang itu menyingkir dari hadapannya.

“Aku mau mengantarmu. Ini sudah sangat malam. Tidak baik gadis perawan berjalan sendirian. Ayo, Nduk. Kita masuk ke dalam mobil. Jangan takut. Aku tidak akan menculikmu.”

Arum diam beberapa saat. Apakah dia harus menerima tawaran itu? Sementara, memang sepertinya sudah tidak ada angkot yang akan lewat karena malam semakin larut. Arum perlahan menganggukkan kepalanya. Nyai Niye tersenyum, mengarahkan tangannya agar Arum masuk ke dalam mobil sedan mewah berwarna hitam miliknya.

Di dalam mobil, kedua mata Arum masih saja mengedar. Dia terpana melihat mobil mewah yang dinaikinya. Pandangannya terhenti saat melihat Nyai Niye masih saja menatapnya dengan serius, kemudian sedikit tersenyum. Apalagi kepala wanita itu masih saja mengangguk-angguk ke arahnya.

“Rumahmu di mana, Cah Ayu?” tanya Nyai sekali lagi memanggil Arum sangat berbeda.

“Di pertigaan itu belok ke kiri, lalu lurus saja. Pagar hitam kecil di sana adalah rumah tanteku. Nomor tiga puluh dua,” jawab Arum pelan. Dia masih saja memendam kecemasan.

Mobil terparkir tepat di depan pagar rumah. Suara mobil yang cukup kencang mengejutkan Saras di dalam. Dia bersama Sekar segera melihatnya dari jendela.

“Siapa yang bersama Arum?” tanya Saras resah. Ia ingat, mobil Nyai Ani sama persis seperti mobil tersebut. Saras takut jika Arum tertangkap suruhan Romo.

“Dia … dia pemilik hotel tempatku bekerja? Kenapa bisa bersama Arum?” Perkataan Sekar membuat Saras melotot tidak percaya.

“Sekar. Apa yang kau katakan?” tanya Saras memastikan.

“Iya, Mbak. Dia itu adalah Nyai Niye. Pemilik hotel berbintang. Lalu … banyak sekali perusahaan yang dia miliki. Beliau itu orang paling kaya se-Jakarta ini. Bahkan, dia memiliki manajemen artis. Arum … ponakanku sangat hebat. Nyai itu orangnya pemilih. Banyak pegawai yang takut sama dia, soalnya Nyai suka marah-marah. Sekarang, malah terlihat ramah dengan Arum. Ada apa ini?”

Senyuman mengembang di bibir Saras. Dia menarik Sekar mendadak. “Ayo ikut, Mbak,” lanjutnya.

“Mbak, kenapa?” Sekar kebingungan, terus berjalan mendekati pintu masuk.

“Rapikan bajumu, karena kita akan menyambutnya,” kata Saras sekali lagi membingungkan Sekar.

“Apa? Mbak, kenapa bersemangat sekali?” tanyanya sembari mengangkat kedua tangan.

“Wes, jangan banyak tanya. Ini sudah Mbak tunggu,” balas Saras berbisik tapi serius.

“Tunggu?” Sekar mengernyit masih saja tidak paham.

Arum berjalan dengan cemas. Dalam batinnya, dia kebingungan akan berkata apa jika Saras melihatnya. Dia sudah berusaha mencegah Nyai untuk tidak mengantarnya ke dalam. Namun, wanita kaya yang baru dikenalnya itu masih saja memaksa. Arum tidak bisa berbuat apapun, selain membiarkannya masuk.

“Rumahmu sederhana, tapi indah. Sama seperti yang punya,” kata Nyai mengejutkan. Arum hanya tersenyum mendengarnya.

“Ibu, Arum pulang.” Arum spontan memundurkan kakinya saat pintu mendadak terbuka dengan cepat. Tidak biasanya hal itu terjadi. Dia sangat terkejut.

“Arum, kau dengan siapa?” tanya Saras berpura-pura. Sekar di sebelahnya terdiam kaku.

“Kamu … manajer hotelku? Ternyata ini rumahmu? Kebetulan sekali,” ucap Nyai tiba-tiba. Tentu saja Nyai hafal dengan Sekar. Nyai Niye tipe orang yang displin. Apalagi jabatan Sekar yang memang tinggi di kantor, mengharuskan dia sering bertemu dengan Nyai untuk membicarakan keadaan perusahaan.

Sekar menyodorkan telapak tangannya. Nyai seketika menerimanya. Senyuman tidak hentinya terlihat di wajah Nyai.

“Udara dingin sekali. Lebih baik aku masuk,” ucap Nyai kemudian membelah tubuh Saras dan Sekar yang berdiri di hadapannya agar dia bisa berjalan lenggang masuk ke dalam. Nyai melangkah menuju kursi sofa kecil berwarna hitam. Dia duduk sambil mengkipas-kipas wajahnya yang sedikit berkeringat.

“Buatkan tamu kita teh hangat,” pinta Saras. Arum menganggukkan kepala, segera menuju dapur untuk membuatnya. Sementara Sekar menghampiri Nyai dan duduk di sebelahnya.

“Itu siapa? Gadis ayu yang bersamamu,” tanya Nyai menepuk paha Sekar.

“Arum Lestari Puspita. Dia anak saya,” sela Saras kemudian duduk di sebelah Sekar.

“Sudah meni--”

“Belum,” balas Saras spontan.

Nyai langsung tersenyum menganggukkan kepalanya. “Begini. Keluarga saya ini menyandang gelar Soewojo Ningrat. Saya berasal dari kota keraton, tapi sudah lama tinggal di Jakarta. Keluarga besar Soewojo menginginkan Wojo anak saya untuk menikah. Kebetulan, saya tidak membawa-bawa status Soewojo. Itu tidak perlu. Yang terpenting, anakku Wojo punya istri.”

“Saya memiliki teman di kota keraton. Nyai Ani Ningrat Kasoemo. Apakah Nyai mengenalnya?” tanya Saras tiba-tiba.

Sekar masih saja diam tidak berucap. Sebenarnya dia resah. Sekar saat itu mendengar semua cerita ketika Saras bersama Arum datang tiba-tiba ke Jakarta. Apalagi sumpah yang Saras ucapkan untuk Pandu cukup mengerikan. Sekar sedikit panik ini salah satu bagian dari rencana Saras. Walaupun pertemuan dengan Nyai Niye memang sangat kebetulan.

“Oh, mereka itu di bawah kami. Soewojo pemilik kasta tertinggi. Kasoemo memang kaya raya. Tapi … jangan khawatir. Kami lebih kaya.”

“Bukan Nyai. Kami tidak memedulikan itu. Kami hanya memberi tahu. Mungkin Nyai kenal dengan mereka,” balas Saras berusaha menjelaskan. Walaupun sebenarnya mengetahui semuanya itu tujuan utama, tapi dia tetap mengingkarinya.

“Banyak sekali yang aku kenal. Tapi …” Ucapan Nyai terhenti melihat Arum membawa baki yang berisi tiga cangkir putih dengan teh hangat bercampur jeruk nipis. Aromanya menyeruak harum di semua ruangan.

“Minuman ini sangat segar.” Nyai menarik napas, semakin mencium aroma teh hangat buatan Arum sambil terus tersenyum menatapnya. Kecantikan alami Arum membuat Nyai yakin dengan keinginannya.

"Saya ingin melamar Arum untuk anakku, Wojo."

Nyai mengejutkan semua orang. Saras tersenyum mendengarnya. Sumpah menikahkan anaknya dengan kasta tertinggi sudah di depan mata.

“Saya sangat senang mendengarnya. Lamaran kami terima,” balas Saras mendapat senyuman Nyai.

“Ibu! Arum tidak mengerti. Jangan menerima. Aku tidak mengenal lelaki itu.” Amarah Arum yang disambut Saras dengan senyuman.

“Justru karena tidak kenal, maka akan sangat indah. Bisa pendekatan setelah menikah … itu seperti bunga yang dihinggapi kupu-kupu. Sarinya lebih pas dan manis. Akan langgeng,” bantah Nyai kemudian berdiri dari duduknya. “Baiklah, dua hari lagi aku akan datang bersama Wojo. Tidak perlu menyiapkan apa pun. Cukup dandani saja Arum dengan cantik agar anakku itu terpana,” lanjutnya menatap Arum, kemudian berjalan keluar rumah. Sekar segera menyusul Nyai dan mengantarkan sampai ke dalam mobil.

“Ibu! Arum tidak mau!” bentaknya keras. Tangisan spontan keluar. Arum duduk lemas, sembari menutup kedua matanya.

“Arum. Ini bukan kebetulan. Ini adalah jawaban sumpah Ibu. Ingatlah, kau sudah berjanji akan membalas keluarga Kasoemo!” balas Saras kemudian meninggalkan Arum yang masih terisak.

“Ibu!” teriaknya.

Suara keras itu tidak membuat Saras menolehkan pandangan. Ibu Arum terus melangkah dan masuk ke dalam kamar.

Sekar menarik napas panjang, berusaha menjadi penengah. Dia mendekati Arum dan duduk di sebelahnya. “Ikuti ibumu. Perintah Ibu adalah segalanya,” ucapnya pelan.

“Tapi, Tante. Aku mencintai Mas Pandu. Dia segalanya. Cintaku hanya untuknya,” balas Arum masih terisak.

“Cinta bisa dibentuk. Tapi, menaikkan harga diri, itu adalah kesempatan. Pikirkan itu, Arum.” Sekar meninggalkan Arum yang masih menangis untuk berpikir.

“Mas Pandu, tolonglah aku …,” batinnya lirih.

Yogyakarta menjelang tengah malam.

Suasana rumah wanita penghibur cukup luas berlantai tiga milik Madame Elena sangat ramai. Rumah yang dipenuhi para wanita cantik itu tidak pernah sepi pelanggan.

Panggung di lantai satu yang terletak di tengah ruangan sudah siap untuk menampilkan sosok wanita pujaan semua pria. Para pria kaya raya berani membayar Mawar dengan bayaran fantastis hanya untuk bersamanya selama satu hari. Dia wanita tercantik di sana.

“Di mana Mawar?” Madame kebingungan. Dia sama sekali tidak menemukan Mawar. Padahal Mawar harus tampil lima menit lagi.

“Aku benar-benar akan hancur. Semua yang menyewa Mawar akan membunuhku. Mereka sudah memberikanku bayaran di muka dengan sangat mahal. Aduh, aku benar-benar celaka.” Madame tidak hentinya menggerutu. Dia terus berjalan mondar-mandir di ruangan rias Mawar.

Sementara, di sebuah kamar berwarna merah berhias bunga mawar segar di setiap sudutnya, semakin terlihat indah. Apalagi pemiliknya selalu saja tersenyum menatap Pandu yang terlelap di ranjang berhias kain sutra miliknya.

“Sangat tampan. Aku baru kali ini melihatnya. Ternyata gosip yang beredar memang benar. Anak Romo yang berkuliah di luar negeri, sangat … tampan,” ucapnya terus tersenyum tidak melepaskan pandangannya kepada Pandu.

“Arum …,” lirih Pandu sedikit membuka kedua matanya.

“Raden?” Mawar terperanjat. Pandu menarik wajahnya sangat dekat. Bahkan napas Pandu bisa dirasakannya dengan jelas.

“Arum, aku merindukanmu.”

Mawar tidak bisa menahan dirinya saat Pandu tiba-tiba menciumnya. “Ra-den … ah …”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status