Acara lamaran tidak terduga segera dilaksanakan. Keluarga besar Soewojo semakin tersenyum melihat sosok Arum yang akhirnya muncul.
“Adakah keajaiban yang bisa membawaku pergi dari sini?” batin Arum menunduk dalam kesedihan.
Ketakutan bercampur gemetar mengiringi langkah Arum. Sedikit polesan di wajahnya, semakin menambah kecantikan alaminya. Masih dengan menunduk, Arum duduk tepat di hadapan pria mapan berumur jauh lebih tua darinya. Namun, ketampanan masih saja terlihat di sana.
Tubuhnya tegap. Kumis tipis semakin menambah aura kegagahan yang pasti membuat hawa terpana jika mendapat lirikannya. Umur yang sudah memasuki usia matang di atas tiga puluh tahun, semakin membuatnya terlihat menawan.
“Sangat cantik mempesona. Lihatlah pilihanmu itu, Wojo. Ibu tidak menyangka kau bisa memilih gadis yang pas untuk menggantikan posisi Mariati.” Nyai Niye selalu saja tersenyum. Sementara, Wojo semakin tidak menyangka. Sindiran ibunya itu benar-benar nyata.
Lamaran dilakukan dengan sederhana. Keluarga Soewojo yang hadir semakin lega melihat Wojo sebagai anak tetua akhirnya bisa memiliki pendamping setelah setahun menunggu. Ramalan hidup sial jika tidak memiliki pendamping bagi kasta tertinggi, musnah seketika.
“Bagaimana mungkin aku akan terjebak dengan dirinya? Lelaki itu tidak aku kenal. Apa yang harus aku lakukan?” batin Arum gelisah.
Cincin berlian sudah bersemat di jemari manis Arum. Seserahan lamaran berjumlah puluhan tertata rapi berisi semua barang mewah berharga ratusan juta. Senyuman selalu terpampang di wajah Saras dan Nyai Niye.
Namun, tidak dengan Wojo. Kedua mata bulat hitamnya itu menjurus lurus kepada iris cokelat wanita di hadapannya. Hatinya dipenuhi kekalutan amarah. Keterpaksaan untuk menikah, membuat dia ingin menyiksa sosok Arum.
“Kecantikanmu tidak akan bisa membuatku bertekuk lutut. Kau akan menyesal, menjadi istriku,” batin Wojo menahan hatinya.
Arum tidak tahan dengan hatinya. Dia mendekati ibunya, meminta ijin untuk menjauh dari keramaian.
“Ibu, ijinkan Arum sedikit bernapas. Arum membutuhkan udara segar. Hanya sebentar saja. Ibu sangat tahu bagaimana perasaan ini,” katanya dengan wajah memelas.
“Baiklah. Hanya sebentar,” jawab Saras resah. Dalam batinnya, dia mengetahui Arum sebenarnya tersiksa. Namun, Saras masih saja berusaha tidak menghiraukan hal itu.
Arum melangkah cepat menuju halaman belakang rumah untuk menenangkan jiwanya. Dia terus meremas jantungnya yang berdetak kencang sangat hebat.
“Inikah calon istriku? Wanita rendah yang menginginkan kekayaan,” ucap Wojo mengejutkan Arum. Dia segera mengikuti Arum saat mengetahui calon istrinya itu berjalan cepat meninggalkan acara. Rasa penasaran Wojo membuat dia mengikuti Arum.
Arum berusaha mengatur napasnya. Dia tidak mau terlihat lemah. “Bukankah kau yang meminangku? Apa kesalahanku?” balas Arum. Dia kini membalikkan tubuhnya dan menatap calon suaminya itu.
Pandangan tajam saling bertumbukan di antara keduanya. Rasa saling menahan amarah, ingin saling meluap.
Wojo sedikit melangkah untuk lebih mendekati Arum. “Jika aku salah menuduhmu, kenapa kau menerimanya?”
Pertanyaan yang menusuk masih saja terlontar. Arum melangkah ke depan, membuat mereka kini berjarak sangat dekat. Dia mendongakkan wajah, memasang senyuman sinis. “Apakah kau bisa menolak permintaan ibumu? Kita ini sama, Raden Wojo,” balasnya tegas. Sedikit senyuman sinis terlihat jelas menghiasi wajahnya.
Dalam batin Wojo, dia tidak menyangka akan melihat sosok Arum ternyata memiliki hati berbenteng besi. “Di balik wajahmu yang polos, ternyata seperti ini,” gumamnya pelan sembari terkekeh.
Arum membalikkan tubuh, melangkah meninggalkan calon suaminya yang bergeming. Semilir angin tiba-tiba semakin kencang. Selendang yang semula menghiasi pundak Arum, terbawa hembusan menerpa wajah Wojo.
Dengan sigap Wojo menangkapnya. Dia semakin terpaku menghirup aroma khas yang menusuk hidungnya. “Harum …”
Spontan Wojo melangkah saat Arum sedikit terpeleset air di kaki kanannya. Selop cokelat berpayet putih milik Arum menjadi licin, membuatnya akan tersungkur.
“Argh …”
Tangan kuat Wojo menariknya. Kini tubuh kekasih Pandu berada didekapan lelaki yang akan menikahinya. Tanpa sadar, kedua wajah menjadi sangat dekat. Bahkan, keduanya saling merasakan napas yang merasuk ke hidung.
“Mariati?”
“Hentikan!”
***
Di Yogyakarta, Ardi masih terus berpikir di dalam kediamannya. Sepanjang malam hingga matahari mulai menampakkan cahayanya, dia masih saja tidak tahu harus bertemu dengan siapa. Dia tidak mau nama baik Kasoemo tercemar gara Pandu bersembunyi di tempat wanita penghibur. Ardi saat itu segera keluar dari sana agar semua orang tidak mencurigai keberadaan Pandu.
“Lebih baik aku menuju mobil dan mulai mencari informasi sekali lagi. Sudah dua hari aku masih saja tidak mendapatkan petunjuk apa pun.”
Ardi segera bersiap. Dia berjalan cepat menuju mobilnya.
“Siapa yang harus memberiku informasi? Dia tidak bisa berada di sana bersama Mawar,” gumamnya pelan di depan kemudi sambil memejamkan kedua mata untuk berpikir.
Selang beberapa menit, kepalanya terangkat. Senyuman terlihat jelas di sana. Ardi mulai menyalakan mesin dan melesat kencang.
“Kenapa tidak terpikirkan olehku. Sunarsih adalah sahabat dekat Arum.”
Sunarsih di rumahnya sangat terkejut melihat mobil mewah terparkir di halaman depan. Wati menarik Sunarsih dan menggelengkan kepalanya. Dia sangat paham ketika melihat Ardi keluar dari mobil. Pasti sahabat Pandu itu akan menggali informasi untuk mencari Arum.
“Jangan katakan apa pun, Sunarsih,” cegah Wati. “Ibu sudah berjanji untuk menjaga informasi itu dengan rapat. Jangan katakan di mana mereka berada,” lanjutnya tegas.
Sunarsih menganggukkan kepalanya. Walaupun sebenarnya dia ingin sekali menyatukan Arum dengan Pandu. Namun, dia tidak punya pilihan.
“Mas Ardi. Ada perlu apa, Mas?” tanya Sunarsih berpura-pura tersenyum setelah membuka pintu rumah.
“Kita bisa berbicara sebentar?” jawab Ardi.
“Mas, aku tidak bisa mengatakan apa pun tentang Arum. Maafkan aku,” balas Sunarsih menutup pintu dengan mendadak. Dia tidak memberikan kesempatan Ardi untuk mengatakan sesuatu.
“Sunarsih!” Ardi sangat terkejut dia tidak percaya melihatnya. “Baiklah, aku akan mencarinya sendiri,” lanjutnya.
Ardi kembali menaiki mobil dan menelusuri semua kota. Dia kembali bertanya kepada semua orang tanpa lelah sepanjang hari.
“Aku sebaiknya kembali ke sana. Aku membutuhkan istirahat dan melihat keadaan Pandu,” ucapnya sembari mengeliat. Sekujur tubuhnya sangat kaku. Dengan perlahan dia mengendarai mobilnya untuk kembali menuju tempat Mawar.
“Sabrina? Gawat!”
Ardi terkejut melihat Sabrina bersama pengikutnya. Ardi bergegas memarkirkan mobilnya di halaman belakang kamar Mawar seperti biasanya. Dia berlari kencang melewati jalan rahasia yang selalu saja dia lewati jika bertemu Mawar.
“Brak!”
Mawar bersama Pandu sangat terkejut melihat kedatangan Ardi seperti seorang maling.
“Ardi? Kenapa?” tanya Pandu dengan kondisi yang sudah membaik.
“Kita harus pergi,” jawab singkat Ardi. “Sabrina Walongsono. Dia ada di sini!” lanjutnya spontan menarik tubuh Pandu.
“Tunggu!” Mawar menarik jaket Ardi hingga terlepas. “Aku akan tinggal. Aku akan hadapi Sabrina.” Ucapan Mawar membuat Ardi terkejut.
“Jika kau tinggal, Sabrina akan menyiksamu, Mawar.”
“Jika aku tidak melakukannya, kalian akan masuk ke dalam lobang buaya. Dengan berpisah, mereka akan teralihkan. Percayalah, aku akan baik-baik saja,” jawab Mawar sembari mendorong tubuh Ardi agar keluar dari kamarnya, kemudian Pandu.
“Ardi, jaket kamu!” teriak Mawar segera memungut jaket yang semula ditariknya. Dengan cepat Ardi kembali memakainya.
“Mawar, terima kasih,” ucap Pandu tersenyum.
Mawar melambaikan tangan, menatap kepergian kedua pria yang sudah singgah di hatinya. Ardi adalah lelaki yang selalu menghangatkan tubuhnya setiap malam. Walaupun dia tahu, dirinya tidak akan pernah bisa bersama. Sedangkan Pandu, lelaki tampan impiannya yang hanya bisa menjadi miliknya di dalam angan-angan.
“Brak!”
Mawar perlahan mengatur hatinya yang bergemetar. Sebelum akhirnya membalikkan tubuh dan menghadapi wanita terkaya ditambah keangkuhannya.
“Hahaha. Sangat menggelikan. Wanita murahan, tidak tahu diri!” teriak Sabrina keras. Dia mengarahkan pesuruhnya untuk mencengkeram lengan Mawar.
Tatapan tajam menusuk, mengarah kepada Mawar yang kini terduduk di lantai. Sabrina perlahan mendekat. Wajahnya sangat suram seperti seorang ratu yang keji. Jemari lentik kanannya mengangkat dagu lancip Mawar hingga wajah wanita itu terangkat.
“Berani-beraninya kau menyembunyikan calon suamiku. Katakan, di mana dia sekarang! Jika tidak, wajahmu itu akan menjadi sangat buruk,” bisiknya walaupun pelan, namun penuh penekanan.
“Hmm, hahah. Seorang dewi tertinggi mengancam wanita lemah sepertiku? Apakah jika kau melakukan itu … akan terbebas dari hukum?” balas Mawar tersenyum. “Dan … lelaki mana yang kau maksud? Hmm, setiap hari, aku memasukkan puluhan lelaki di sini,” lanjutnya sembari tersenyum.
“Plak!”
Spontan telapak tangan Sabrina kini menampar keras pipi merona Mawar hingga memerah.
“Geledah!”
Semua pesuruh Sabrina yang memiliki tubuh garang dan tegap berjumlah lima orang, segera memporak-porandakan semua isi di dalam kamar. Kemarahan semakin Sabrina rasakan ketika tidak menemukan sosok Pandu berada di sana. Dia kembali mendekati Mawar dan menjambak rambutnya kuat.
“Argh …,” rintih Mawar
“Aku … akan menyiksamu, Mawar!”
Saat telapak tangan Sabrina akan melayang kembali, dia mengernyit melihat sesuatu di lantai yang menarik baginya. “Apa itu?” tanyanya sembari berjalan dan memungutnya.
“Kota Minang?” Sabrina tidak percaya membaca secarik kertas untuk Arum dari Pandu yang ditemukannya.
Nyai Ani dan Saras saling berpandangan. Mereka tidak percaya dengan kejadian yang sama terulang kembali. Mereka saling berpandangan, kemudian menatap tegang sang pelayan yang masih mendudukkan kepala. Hingga Ibu Arumi pun berlari datang bersujud di hadapan Nyai Ani dan Saras."Maafkan saya, Nyai. Anak saya bersalah. Tolong jangan marah dengan anak saya. Nyai ... saya yang bertanggung jawab. Saya sudah mengatakan kepada Arumi agar tidak mendekati Raden Putra. maafkan saya. Tolong jangan pecat saya karena saya sangat membutuhkan pekerjaan ini. Sekali lagi maafkan saya."Nyai Ani tersenyum. Saras pun juga ikut tersenyum. Mereka segera mendekati pelayan itu dan menariknya hingga berdiri."Tunjukkan aku di mana mereka. Tidak aku sangka, ternyata Putra menyukai wanita yang memiliki nama persis dengan nama anakku, Arum. Aku sangat terharu mendengarnya," balas Saras masih saja tersenyum haru."Ini sudah takdir kita tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Cinta kembali hadir di dalam rumah i
"Paman?" Putra terkejut melihat Ardi berada di belakangnya. Dia segera tersenyum sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak terasa gatal. Wajahnya masih bersemu ketika melihat gadis itu. Ardi tersenyum dan menggelengkan kepalanya, mengingat sosok Pandu saat pertama kali bertemu dengan Arum. Ardi sudah bercerita semua kisah Pandu dan Arum kepada Putra. Kejadian barusan, sama persis dengan sosok Putra."Kau menyukainya?" tanya Ardi sekali lagi sambil mengangkat salah satu alisnya."Entahlah, Paman. Ketika aku melihatnya. Jantungku tiba-tiba bergetar. Dia seperti bidadari. Wajahnya secerah awan. Senyumannya membuatku tidak bisa mengalihkan pandangan darinya. Bahkan, sampai sekarang pun aku memikirkannya. Bayangan wajahnya itu selalu ada di dalam pikiranku. Padahal aku baru menemuinya hanya beberapa menit saja. Hmm, siapa dia, Paman? Aku ingin sekali bertemu dengannya.""Hahaha. Itu adalah namanya cinta. Yah ... kau mencintainya. Cinta pandangan pertama. Ibunya baru bisa aja bekerja menj
"Romo datang?" Sunarsih seketika terpaku. Apalagi Romo dan Nyai Ani membawa beberapa kain dan perhiasan. "Maafkan kami datang dengan mendadak. Kami mendengar dari pelayan jika kalian akan menikah. Aku ada beberapa kain kebaya. Sebenarnya aku ingin memberikannya kepada Arum. Ini adalah kain dari ibuku. Aku berniat untuk memberikannya kepada Arum saat dia sudah melahirkan. Tapi ternyata takdir berkata lain dan aku berpikir ingin memberikannya kepada kalian, karena kalian adalah dua wanita yang sangat hebat."Mawar dan Sunarsih saling berpandangan. Mereka tidak menyangka, seseorang yang sangat mereka takuti sekaligus benci datang dengan pandangan lain. Senyuman terpampang di wajah angkernya selama ini.Nyai Ani menyodorkan kain itu dengan tersenyum. Mawar dan Sunarsih akhirnya tersenyum dan menerima. Mereka tidak percaya dengan semua ini."Aku tidak bisa berkata apa pun. Yang jelas, aku sangat bahagia," ucap Sunarsih. Dengan mendadak, dia mendekati Romo dan memeluknya. Semua orang terk
"Bagaimana ini bisa terjadi? Kenapa seseorang yang sangat gagah seperti dirinya bisa menjadi seperti ini? Aku benar-benar tidak percaya, Hendra. Apakah kakakmu bisa sembuh? Aku harus bagaimana menghadapi kakakmu yang seperti ini?" ucap Saras kemudian meneteskan air matanya."Ibu hanya perlu mendekatinya saja. Katakan apa pun yang bisa membuat kakakku mengerti jika dia harus menjalin kehidupan ini. Kematian Pandu sudah dilupakan oleh pihak hukum, karena kondisi Kakak yang seperti ini. Mereka berharap Kakak bisa menjadi sosok seperti semula kembali. Tapi ... sepertinya itu susah, Ibu. Bahkan sekarang ibuku, Mustika, dan semua adiknya pun sangat bersedih. Tidak ada kebahagiaan lagi yang berada di rumah." Hendra menatap sang kakak dengan sangat sendu. Tubuhnya yang semakin kurus, membuatnya tidak memiliki tenaga yang cukup. Dia resah bagaimana jika dia nanti pergi dari dunia ini. Siapa yang akan menjaga keluarganya?"Baiklah, aku akan mencoba mendekatinya." Sarah mendekati Wojo yang masih
Mereka semua terkejut saat Joko tiba-tiba masuk dan mengatakan hal seperti itu. Sunarsih seketika menganga, menatap Joko dengan sangat tampan menggunakan kemeja putih, berjalan menghampirinya. Dia menatap Sunarsih dan menutup mulutnya. Sunarsih terpaku seketika."Apa ..."Joko saat itu selalu memandang Sunarsih. Sifatnya yang sangat lucu dan tomboy, mengingatkan dia kepada Sabrina. Namun, Joko harus menutup hatinya untuk Sabrina yang sudah pergi. Joko perlahan-lahan sering menemui Sunarsih dan berusaha membuka hatinya. Hingga dia paham hatinya sedikit bergetar. Ketika mendekati Sunarsih yang selalu paham dengan dirinya.Joko selalu bercerita apa pun kepada Sunarsih. Dia sangat kesepian, tidak sengaja bertemu Sunarsih di taman. Sejak saat itu mereka selalu mengobrol dan akrab. Joko terus berpikir sepanjang hari, hingga dia akhirnya memutuskan untuk melamar Sunarsih."Walah, masa aku mendapatkan lamaran dengan cara seperti ini? Hah, tiba-tiba saja datang lalu ngomong, mungkin aku. Hah,
Bagai tersambar petir. Perasaan Saras seketika hancur. Dia tidak menyangka perasaannya selama ini akhirnya terjawab. Beberapa hari sebelumnya dia selalu memandang Arum, dan sudah merasakan akan kehilangan anaknya untuk selamanya. Ternyata sekarang dia akan menghadapi hal itu. Sebuah pertanda yang selalu dia lihat, dari perkataan Arum dan Pandu. Seolah-olah mengetahui mereka tidak akan hidup lama lagi. Tanpa sadar mereka ungkapkan selama ini. Saras selalu menepis semua yang ada di pikirannya. Namun, ternyata benar. Dan terlebih lagi, dia teringat sumpahnya dan sumpah Nyai Ani, yang kini terjawab sudah."Tidak! Tolonglah dokter. Lakukan apa pun untuk menyelamatkannya. Aku mohon kepadamu dokter. Biarkan anakku hidup, karena aku belum bisa membahagiakannya. Aku mohon dokter," ucap Saras dengan lemas. Nyai Ani yang terus menangis memeluknya. Begitu juga dengan Wati dan Sunarsih yang tidak kuasa mendengar. Tidak bisa menumpu tubuhnya yang mendadak lemas, Sunarsih hampir tumbang. Joko yang b