SELAMAT MEMBACA SEMUANYA
--- Sudah dua minggu Dinda mengajar, dan ia benar-benar menikmati pekerjaannya. Kini ia tampak melamun, teringat kejadian dua hari lalu saat di rumah Putra. Setelah kejadian itu, pihak Ares mengistirahatkan privat mereka. Flashback – dua hari lalu... "Miss, hali ini Yes mau belajal baca caja, ya," ujar Ares pada Dinda. "Tentu, hari ini Miss akan membebaskan Ares belajar apa saja," sahut Dinda sambil tersenyum. "Wah, makacih, Miss!" ujar Ares senang. "Okee, sekarang Ares mau baca buku yang mana?" tanya Dinda sambil menjejerkan berbagai buku panduan baca di atas meja kecil belajar mereka. Ares diam, memandang buku-buku itu, mencoba memilih salah satu. Tak lama, Ares menjawab pelan, "Yes ndak cuka cemuana, Miss." "Gak suka semuanya, ya?" tanya Dinda sabar. Ares mengangguk pelan sambil menunduk, tampak takut. "Baiklah, tidak apa-apa," ucap Dinda menenangkan Ares. "Miss akan cari buku lain. Tunggu, ya," lanjutnya sambil berdiri dan melangkah ke rak buku di ruang belajar Ares. Dinda menemukan sebuah buku dongeng anak-anak yang tampak ringan dan cocok untuk Ares. Ia pun membacanya sekilas. “Ini mau nggak?” tanya Dinda sambil menghampiri Ares. “Ndak cuka juga, Miss!” Ares menggeleng dengan cepat. Dinda menghela nafas pelan, “Terus mau yang mana? Atau gini aja, Ares boleh pilih sendiri,” lanjutnya sambil tersenyum. “Itu loh, Miss, buku celita Yes yang ada gambal kupu-kupu walnah bilu,” jawab Ares penuh semangat. Dinda mengerutkan dahi, bingung. Buku cerita bersampul biru bergambar kupu-kupu? Tok, tok... Dinda dan Ares serempak menoleh ke arah sumber suara. “Maaf mengganggu, Adek, Miss Dinda. Saya mau mengantarkan minuman dan sedikit camilan,” ucap Nita, pengasuh Ares, sambil masuk membawa nampan. “Mbak... Mbak...!” seru Ares, berdiri dan menghampiri pengasuhnya. “Mbak, buku celita Yes walna bilu, mana?” tanyanya dengan antusias. “Yang mana, Adek?” tanyanya Nita, terlihat bingung. “Yang celing, Papa baca kalau Yes mau bobok. Ada kupu-kupuna, Mbak,” jelas Ares lagi. “Ahh, buku yang itu!” seru Nita, akhirnya teringat. “Tapi, seingat Mbak, bukunya sudah ditaruh di gudang. Soalnya bukunya sudah rusak, Dek,” lanjutnya menjelaskan. “Kok ditaluh di gudang cih, Mbak...” ucap Ares sedih. “Kan memang sudah Papa taruh seminggu yang lalu, Dek,” jelas Nita dengan suara pelan. “Yes mau buku itu, Mbak...” Ares menunduk, matanya mulai berkaca-kaca. “Baiklah, baiklah. Mbak akan cari bukunya, ya,” ucap Nita cepat, mencoba menenangkan. “Tidak ucah, Mbak! Bial Yes cama Miss aja yang cali,” potong Ares cepat-cepat. Dinda sempat terkejut. “Eh, kok sama Miss, Sayang?” “Mauna cama Miss! Ayo kita cali!” sahut Ares penuh semangat, lalu menarik tangan Dinda agar ikut dengannya. Dinda menoleh ke arah Nita, tatapannya seolah berkata, “Gimana ini, Mbak?” Nita tersenyum dan menganggukkan kepalanya pelan, memberi izin kepada Dinda untuk mengikuti Ares. Dengan semangat, Ares menunjukkan arah jalan kepada Dinda menuju gudang rumah. “Mbak, ayo buka pintuna,” ucap Ares kepada Nita. “Iya, bentar ya, Dek,” sahut Nita. Ia segera membuka pintu gudang dengan kunci yang memang sudah ia ambil sebelumnya. Begitu pintu terbuka, Ares terkejut dan berucap, “Waduh, gudangna penuh cekali!” “Ya, namanya juga gudang,” ujar Dinda terkekeh pelan mendengar komentar Ares. “Ayo kita masuk dan cari bukunya, Ares,” lanjutnya. Ares menganggukkan kepalanya pelan, lalu mulai melangkah masuk ke dalam gudang yang penuh dengan barang-barang lama. “Kita mulai cari di dalam kardus ini, ya,” kata Dinda sambil menunjuk kardus yang paling mudah dijangkau. Ares menganggukkan kepalanya pelan dan mulai membantu Dinda membuka kardus, meskipun usahanya belum terlalu kuat. Saat kardus terbuka dan memperlihatkan isinya, ternyata hanya berisi pakaian bekas milik Ares. “Oh, ini sepertinya baju-baju Adek yang mau disumbangkan. Tadinya mau Mbak cuci dulu biar harum, tapi Mbak belum sempat. Jadi Mbak simpan dulu di sini,” jelas Nita. Memang benar, baju-baju milik Ares masih sangat layak pakai dan rencananya akan disumbangkan ke sebuah panti asuhan. “Miss, bisa tolong jaga dan bantu Adek cari bukunya?” tanya Nita kepada Dinda. “Tentu. Emang Mbak mau ke mana?” “Kebelet eek,” keluh Nita sambil menahan tawa. “Ya ampun, sana cepat!” ucap Dinda geli Dinda memandang barisan kardus yang berjejer, mencoba menilai mana yang sebaiknya dibuka terlebih dahulu. “Baiklah, kita buka yang ini dulu,” ujar Dinda sambil menarik kardus yang ada di paling bawah. Namun, ternyata kardus itu berisi buku-buku tentang bisnis yang kemungkinan besar milik Putra. Dinda lalu menarik kardus selanjutnya, tapi secara tidak sengaja ia menjatuhkan beberapa kardus lainnya hingga berantakan. Ares yang terkejut langsung menoleh saat mendengar suara jatuh. “Maaf, ya. Miss nggak sengaja. Ares, kamu cari saja bukunya di sini, ya. Miss akan bereskan kardus yang jatuh,” ujar Dinda sambil mulai merapikan kekacauan yang terjadi. Saat sedang merapikan barang-barang, Dinda menemukan sebuah bingkai foto berdebu yang tersembunyi di antara tumpukan kardus. Di dalamnya terdapat foto seorang laki-laki dan seorang perempuan cantik. Dinda mengenali laki-laki itu—Putra—tapi ia tidak tahu siapa perempuan yang ada di sampingnya. “Ares, ini sia...” ucap Dinda, namun kalimatnya terputus saat terdengar suara laki-laki dari arah pintu. “Apa yang Anda lakukan dengan mengacak-acak rumah saya?” bentak Putra dengan nada marah, lalu merebut bingkai foto itu dengan kasar dari tangan Dinda. “Pak... Putra...” Dinda menahan napas, suaranya tercekat. ia tidak menyangka akan dimarahi sekeras ini. “Saya membayar Anda untuk mengajari anak saya, bukan untuk membongkar-bongkar isi rumah saya!” ujarnya sarkas, tanpa memberi Dinda kesempatan untuk menjelaskan. Nita yang baru saja keluar dari kamar mandi dan mendengar keributan dari belakang segera berlari menghampiri. “Pak, tadi...” Nita mencoba menjelaskan, namun kalimatnya dipotong tegas. “Antar Miss Dinda keluar,” perintah Putra, lalu langsung menggendong Ares dan meninggalkan mereka begitu saja. Sayup-sayup, Dinda masih mendengar suara Ares yang menangis di pelukan Putra. “Papa... jangan malah-malah...” isaknya. “Miss Dinda, maafkan saya,” ucap Nita dengan nada penuh penyesalan. Dinda tersenyum kecil, meski hatinya remuk. “Tidak apa-apa, Mbak. Kalau begitu, saya pulang dulu, ya.” Flashback off "Assalamu’alaikum, Mbak. Kami siap belajar!" seru segerombolan anak SMA yang baru saja memasuki ruang bimbel. Lamunan Dinda langsung buyar. "Oh, wa‘alaikumussalam. Kalian sudah datang, ya? Ayo, kita langsung mulai belajar," ucapnya sedikit linglung, mencoba kembali fokus. Meski suara tawa dan celoteh para siswa memenuhi ruangan, pikiran Dinda masih tertinggal di rumah itu. --- TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA DAN MEMBERI DUKUNGANNYA.SELAMAT MEMBACA SEMUANYA...Hari-hari kembali berjalan seperti biasa. Ares sudah aktif lagi bersekolah, mengikuti les, sementara Dinda tenggelam dengan kesibukan kerjanya. Rutinitas itu membuat mereka sama-sama terbiasa dengan ritme baru: Ares yang ceria dengan dunianya, dan Dinda yang setia mendampingi setiap langkah kecilnya. Sore itu, waktunya Ares pulang dari les. Nita bersama Mas Panji sudah menjemput, sementara Dinda dan Tari masih menemani di ruang belajar. “Ares sudah siap, sayang?” tanya Dinda lembut. “Sudah, Miss. Yes pamit pulang, ya, Miss,” ucap Ares sambil menyalami tangan Dinda. Tak lupa ia juga berpamitan pada Tari. “Miss Tali, Yes pulang dulu, ya.” “Iya, hati-hati ganteng,” sahut Tari sambil tersenyum. “Iya, hati-hati ya,” tambah Dinda. “Terima kasih untuk hari ini, Miss Dinda, Miss Tari, sudah mengajar dan menjaga adik,” ujar Nita sambil membawa tas Ares dan menggandeng tangannya yang kec
SELAMAT MEMBACA SEMUANYA..Seminggu sudah berlalu tanpa kabar dari Ares. Selama itu pula, Ares tidak terlihat di sekolah maupun di bimbel.Sementara itu, Sabtu siang ini Dinda sibuk menatap layar laptop, merapikan jadwal anak-anak les seperti rutinitas mingguannya. Ruangan terasa tenang, hanya suara ketikan jari di keyboard yang terdengar.Tiba-tiba, pintu bimbel terbuka. Dinda tidak menoleh, masih larut dalam pikirannya, sampai sebuah suara melengking memecah keheningan.“Miss Dindaaa!”Dinda tersentak, lalu segera menoleh. Senyum lebar langsung merekah di wajahnya ketika melihat siapa yang datang.“Aresss…” serunya, bangkit dari kursi dan merengkuh bocah itu ke dalam pelukan hangat.“Hihi, Yes kangen sama Miss Dinda,” ujar Ares masih dalam dekapan hangat Dinda.Dinda tersenyum lebar, lalu perlahan melepaskan pelukan mereka. “Miss juga kangeeeen banget sama Ares,” balasnya penuh sayang.“Apa
SELAMAT MEMBACA SEMUANYA***Setelah menempuh perjalanan panjang di udara, pesawat yang ditumpangi keluarga kecil Johan akhirnya mendarat di Bandara Haneda, Tokyo. Udara musim gugur menyambut mereka dengan hembusan dingin yang menusuk, berbeda jauh dari hangatnya pagi di Indonesia. Di ruang bagasi, Putra sibuk memperhatikan koper mereka satu per satu, sementara Nissa menggenggam boarding pass yang mulai kusut. Johan berdiri sedikit di belakang, menatap cucunya yang tampak tak sabar. Ares, masih setia dengan ransel mungil di punggung, sibuk celingak-celinguk melihat keramaian bandara. Setelah semua barang terkumpul dan jemputan tiba, mereka pun berangkat menuju rumah sakit—tempat kakek buyut Ares dirawat. Perjalanan itu terasa hening; setiap orang larut dalam pikirannya sendiri, menyimpan harapan dan kekhawatiran yang tak terucap. “Kita mau ke mana lagi, Papa?” bisik Ares dari pangkuan Putra. Putra mengelus kepala kecil itu de
SELAMAT MEMBACA...Pagi itu rumah Johan dipenuhi hiruk-pikuk. Bunyi koper diseret, suara pintu lemari dibuka-tutup, dan langkah kaki yang mondar-mandir memenuhi ruang tengah. Aroma kopi masih menggantung di udara, bercampur dengan suara Nissa yang terdengar tegas memecah keheningan.“Mas, gimana sih? Aku kan sudah bilang, bawa kopernya ke depan,” seru Nissa, nadanya sedikit sewot.Johan yang tadinya bersandar nyaman di sofa langsung terlonjak. Lelaki itu menoleh cepat, wajahnya masih menampakkan malas bercampur kaget.“Aduh, Mah… Papa capek,” keluhnya, membuat Nissa memandangnya dengan tatapan yang penuh peringatan.“Apa kamu bilang, Mas?” tanya Nissa, menekankan setiap kata sambil berdecak dan bertolak pinggang di hadapan Johan.“Eh… eh iya, Mah. Iya, ini Papa bawa kopernya ke depan,” jawab Johan terbata-bata, buru-buru bangkit dari duduknya begitu melihat tatapan tajam istrinya.Tanpa banyak cingcong lagi, Jo
SELAMAT MEMBACA SEMUANYA...Sore itu rumah keluarga Dinda terasa lebih ramai dari biasanya. Suara tawa, langkah kecil Ares yang berlarian, hingga panggilan riangnya membuat suasana rumah hangat dan hidup. Setelah makan bersama, semua anggota keluarga bergeser ke ruang keluarga. Tempat itu selalu jadi pusat kegiatan: tempat bercerita, bercanda, hingga bermain. Bayu yang paling banyak bermain dengan Ares karena ia punya banyak mainan mobil di kamarnya. Alhasil, Ares pun terus menempel bersama Bayu. "Aa, ini mobil Aa kenapa kecil-kecil semua? Mobil Yes di lumah banyak yang besal-besal. Kalau yang kecil cuma sedikit, soalnya seling hilang kalau yang kecil," jelas Ares polos pada Bayu. Bayu memandang Ares dengan sengit. Apaan coba dipanggil Aa segala…"Gak tahu gue. Dan satu lagi, jangan panggil gue Aa!" sahutnya ketus. Ares menatap Bayu sambil mengernyitkan kening. "Kenapa sih? Aa itu bagus, loh," belanya. “Gak ada
SELAMAT MEMBACA SEMUANYA...Sore itu datang perlahan, namun Ares belum juga dijemput. Ruang bimbel mulai sepi, hanya tersisa Dinda yang bersiap pulang. Di kursi depan mejanya, Ares duduk dengan wajah setengah bingung, masih terbawa dari tidurnya yang baru saja terputus.Dinda masih berusaha menelepon Putra, tetapi tetap saja nihil—tidak ada jawaban. Ia sempat terpikir untuk menelepon Nita, namun kata Ares, Nita sudah dua hari tidak masuk kerja karena pulang kampung. Ibunya harus menghadiri acara pernikahan salah satu sepupunya.Akhirnya Dinda menyerah dan mengalihkan pandangan pada Ares."Ares mau ikut Miss pulang ke rumah, nggak?" tanya Dinda lembut.Ares menegakkan kepala yang sedari tadi menunduk lesu. Senyumnya muncul perlahan."Mau, Miss. Yes mau ikut," jawabnya ceria, seiring kesadarannya yang mulai terkumpul setelah bangun tidur.Akhirnya Dinda membereskan barang-barangnya, lalu segera membantu Ares merapikan mili