"SELAMAT MEMBACA SEMUANYA
--- "Terima kasih, anak-anak, untuk waktunya sore ini. Terima kasih juga karena sudah semangat belajar hari ini," ucap Dinda pada murid-murid lesnya. "Sama-sama, Miss Dinda. Terima kasih kembali," jawab mereka serempak. Hari ini tepat satu bulan Dinda menjadi guru les di tempat bimbingan belajar. "Miss akhiri ya. Kalau tidak ada pertanyaan lagi, sekian dan terima kasih," tutup Dinda mengakhiri sesi belajar sore ini. "Pulangnya hati-hati ya. Jangan kebut-kebutan," pesan Dinda saat para murid berpamitan sambil salim satu per satu. Kebetulan hari ini jadwal mengajar untuk anak-anak SMA, jadi sebagian dari mereka sudah membawa kendaraan sendiri, sementara yang lain menunggu jemputan. Sementara itu di kantor, Putra masih sibuk dengan berkas-berkas di mejanya. *Tok... tok...* suara ketukan pintu ruangannya terdengar. "Masuk," ucap Putra tanpa mengalihkan pandangan dari dokumennya. "Pak, saya mau pamit pulang," ucap Nindi dengan sopan. Ini memang sudah menjadi kebiasaan Nindi selalu pamit pada Putra setiap hendak pulang. Putra melirik jam dinding. Ternyata memang sudah waktunya pulang. Ia begitu fokus dengan pekerjaannya hingga sering lupa waktu, bahkan tak jarang pulang larut malam. "Iya, silakan," jawab Putra singkat. "Terima kasih, Pak. Mau saya buatkan kopi dulu, Pak?" tawar Nindi, karena biasanya Putra memang minta dibuatkan kopi sebelum melanjutkan kerja. "Tidak usah. Saya juga mau pulang," balas Putra. Ia teringat Ares, anaknya, yang pagi tadi memintanya untuk cepat pulang dan membelikan roti kesukaannya. "Kalau begitu, saya permisi ya, Pak," pamit Nindi sambil keluar dari ruangan setelah mendapat izin. Setelah Nindi pergi, Putra mulai membereskan berkas-berkas di mejanya, lalu memakai jas dan mengambil tas kerjanya. "Belum pulang, Sat?" tanya Putra saat melihat lampu di ruangan Satria masih menyala. "Sebentar lagi, Pak. Anda sudah mau pulang?" sahut Satria sambil berdiri. "Hmm, saya duluan," ujar Putra sambil berlalu, tanpa menunggu jawaban Satria. Sekitar tiga puluh menit kemudian, Putra membelokkan mobilnya ke sebuah toko roti favorit Ares. Pagi tadi, Ares sudah berpesan ingin dibelikan roti rasa tiramisu. "Roti tiramisunya satu," ucap Putra pada karyawan toko. "Baik, Pak. Mohon tunggu sebentar, ya. Silakan duduk dulu di meja," balas sang karyawan ramah. Putra lalu duduk dan memainkan ponselnya, tapi perhatianya segera teralih karena sebuah kejadian kecil tak jauh darinya. Seorang wanita berjilbab cokelat dengan atasan senada dan rok putih terlihat sedang menenangkan seorang anak laki-laki yang menangis. Dari jarak yang tak terlalu jauh, Putra bisa mendengar percakapan mereka. "Reza, Mama kan sudah bilang, spidolnya disimpan dulu. Jangan dimainkan". "Lihat tuh, rok Kakaknya jadi kotor gara-gara kamu. Ayo, minta maaf sama Kakaknya," lanjut sang ibu menegur anaknya. "Ibu, tidak apa-apa. Rok saya bisa dicuci lagi nanti," ujar sang wanita lembut, tak tega melihat Reza menangis ketakutan. Ia kemudian berjongkok, menyamakan tinggi badannya dengan Reza, lalu berkata, "Hey, nggak usah nangis. Kakak nggak marah, kok." "Maaf, Kakak Cantik. Reza nggak sengaja," desis Reza dengan suara lirih, tapi masih bisa didengar. Wanita itu tersenyum dan berkata, "Tidak masalah, Sayang," sambil mengusap kepala Reza. "Boleh Kakak pinjam spidolnya, ya? Lihat ini," lanjutnya. Reza mengamati dengan penasaran. Ia tertawa terbahak-bahak ketika melihat wanita itu mulai menggambar sesuatu di roknya. "Kakak Cantik, gambar apa itu?" "Kak Dinda. Nama Kakak, Dinda," jawab wanita itu memperkenalkan diri. Ya, itu memang Dinda. Ia mampir membeli kue untuk keluarga kecilnya sebagai tanda syukur karena hari ini menerima gaji pertamanya sebagai guru les. "Kak Dinda, Kakak lagi gambar apa?" tanya Reza lagi. "Reza, jangan ganggu Kakaknya terus. Ayo, kita pulang. Papa sudah menunggu di rumah," tegur sang ibu, merasa tak enak karena Dinda sudah bersikap sangat baik pada anaknya. "Maaf ya, Nak Dinda. Reza memang lagi senang menggambar. Hari ini saya belikan spidol pertamanya," ucap ibu Reza minta maaf lagi. "Tidak apa-apa, Bu. Namanya juga anak-anak," balas Dinda ramah. "Kalau begitu, kami pamit dulu ya, Nak Dinda," ujar sang ibu sambil mengajak Reza pergi. "Pak, pesanan tiramisunya sudah siap," ucap karyawan toko roti, membuyarkan perhatian Putra yang sedari tadi memperhatikan kejadian itu. Putra berdiri, mengambil rotinya, dan berjalan ke kasir. "Berapa?" "Seratus delapan puluh lima ribu, Pak." Setelah membayar, Putra berbalik dan melihat Dinda tersenyum manis ke arah Reza yang melambaikan tangan kecilnya. Dinda dan Putra berpapasan, tanpa saling kenal. Saat mereka melewati satu sama lain, Putra sempat melihat gambar di rok Dinda coretan yang tampak seperti pohon dengan daun dan bunga. Meski tidak beraturan, cukup untuk membuat Putra menahan tawa kecil. Sementara itu, Dinda tanpa sadar menoleh ke belakang. Keningnya berkerut. "Kenapa sih aku ngelihat ke belakang segala?" pikirnya. Yang ia lihat hanyalah seorang pria dengan jas hitam dan postur tinggi serta bahu bidang sedang keluar dari toko. "Ah, sudahlah. Kenapa juga aku memperhatikan pria itu?" gumamnya pelan, lalu kembali memilih kue yang akan dibelinya. Putra sudah di dalam mobilnya saat ponselnya berdering-panggilan video masuk. "Yamkuuum, Papa! Papaaa halo!" sapa Ares dengan antusias saat panggilan diangkat. "Waalaikumsalam. Kenapa, Boy?" Sesekali Putra menoleh ke arah toko. Ia melihat Dinda masih kebingungan memilih kue sambil menaruh jari telunjuk di dagu. Pemandangan itu membuatnya tersenyum. "Mana rotinya, Papa? Yes mau lihat!" seru Ares. "Ada, ini. Papa mau pulang sekarang." "Yes, mau lihat!" Ares tidak sabar. "Aduh, malas banget, Papa. Roti ada di jok belakang, Nak" keluh Putra. "Papaaa~ mana?" Ares masih bersikeras. Akhirnya Putra mengambil roti itu dengan susah payah. "Sudah puas, Boy?" "Papa cepat pulang yaa. Yes tunggu Papa!" Setelah berkata begitu, panggilan langsung ditutup sepihak. Putra hanya menghela napas, geli sendiri dengan ulah anaknya. Saat hendak menyalakan mesin, ia melihat Dinda sudah berada di atas motornya dan hendak pergi. Entah kenapa, Putra malah memutuskan untuk mengikuti dari belakang. Seakan sedang menjaga Dinda dari kejauhan, meski sebenarnya ia tidak tahu siapa wanita itu. Ketika Dinda berbelok di persimpangan, Putra baru tersadar. "Astaga... apa-apaan sih aku ini? Kenapa malah ngikutin orang? Bodoh banget!" rutuknya. Ia pun segera melajukan mobilnya lebih cepat. Kalau tidak, Ares bisa ngambek lagi. --- TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA DAN MEMBERI DUKUNGANSELAMAT MEMBACA SEMUANYA---Sekarang di kediaman keluarga Putra sedang heboh karena Ares yang rewel.“Aaaaaa... janan ganggu Yes, om Talaaa!” protes Ares kesal pada Tara.Ya, hari ini Ares rewel karena omnya yang bernama Tara—anak dari adik opanya—sedang main ke rumah.“Ays si bocil, nama om itu om Tara, bukan om Tala. Ngerti gak sih kamu tuh?” ujar Tara menggoda Ares gemas.Ares menatap Tara dengan pandangan sinis, seolah paham kalau Tara sedang mengejeknya.“Iya om Tala. Om Tala kan Yes cudah benal itu...” ucap Ares lagi dengan kesal memelas.“Ah elah, cil. Gak asik bener lu jadi bocil,” kata Tara lagi.“Om Tala yang gak acik! Janan ganggu Yes! Cana pelgi aja!” balas Ares kesal.“Baperan amat sih, kesayangan om ini. Sini cium dulu, gemes deh,” kata Tara sambil memeluk Ares.“Mau ikut om jalan-jalan gak, cil?” tanya Tara saat Ares masih dalam pelukannya.“Mauuuuuuuu!” teriak
SELAMAT MEMBACA SEMUANYA---“Halo. Assalamualaikum, Mbak Pita,” ucap Dinda saat sambungan teleponnya diangkat oleh Pita.“Waalaikumsalam. Halo, Dinda. Apa kabarnya?” jawab Pita dari seberang.Dinda tersenyum mendengar sapaan hangat itu.“Alhamdulillah, baik, Mbak Pita. Mbak sendiri gimana? Sehat-sehat di sana?”“Iya, Alhamdulillah, baik juga. Wah, tumben nih nelpon malam-malam. Kayaknya penting banget ya?” tanya Pita dengan nada penasaran, diselingi tawa ringan.“Maaf ya, Mbak, ganggu waktu istirahatnya. Gini, Mbak, Alhamdulillah tempat Bimbel Mbak Pita sekarang muridnya udah nambah, jadi delapan puluh orang.”“Masya Allah, Alhamdulillah! Ini kabar gembira, Din. Terima kasih juga ya, kamu udah jalankan bimbel ini dengan baik selama Mbak kuliah di sini,” ujar Pita dengan penuh rasa syukur dan bahagia.“Alhamdulillah, Mbak. Jadi, rencananya aku mau nambah alat-alat belajar buat para siswa,” jelas Dinda,
"SELAMAT MEMBACA SEMUANYA---"Terima kasih, anak-anak, untuk waktunya sore ini. Terima kasih juga karena sudah semangat belajar hari ini," ucap Dinda pada murid-murid lesnya."Sama-sama, Miss Dinda. Terima kasih kembali," jawab mereka serempak.Hari ini tepat satu bulan Dinda menjadi guru les di tempat bimbingan belajar."Miss akhiri ya. Kalau tidak ada pertanyaan lagi, sekian dan terima kasih," tutup Dinda mengakhiri sesi belajar sore ini."Pulangnya hati-hati ya. Jangan kebut-kebutan," pesan Dinda saat para murid berpamitan sambil salim satu per satu.Kebetulan hari ini jadwal mengajar untuk anak-anak SMA, jadi sebagian dari mereka sudah membawa kendaraan sendiri, sementara yang lain menunggu jemputan.Sementara itu di kantor, Putra masih sibuk dengan berkas-berkas di mejanya. *Tok... tok...* suara ketukan pintu ruangannya terdengar. "Masuk," ucap Putra tanpa mengalihkan pandangan dari dok
SELAMAT MEMBACA SEMUANYA --- Sudah dua minggu Dinda mengajar, dan ia benar-benar menikmati pekerjaannya. Kini ia tampak melamun, teringat kejadian dua hari lalu saat di rumah Putra. Flashback – dua hari lalu... "Miss, hali ini Yes mau belajal baca caja, ya," ujar Ares pada Dinda. "Tentu, hari ini Miss akan membebaskan Ares belajar apa saja," sahut Dinda sambil tersenyum. "Wah, makacih, Miss!" ujar Ares senang. "Okee, sekarang Ares mau baca buku yang mana?" tanya Dinda sambil menjejerkan berbagai buku panduan baca di atas meja kecil belajar mereka. Ares diam, memandang buku-buku itu, mencoba memilih salah satu. Tak lama, Ares menjawab pelan, "Yes ndak cuka cemuana, Miss." "Gak suka semuanya, ya?" tanya Dinda sabar. Ares mengangguk pelan sambil menunduk, tampak takut. "Baiklah, tidak apa-apa," ucap Dinda menenangkan Ares. "Miss akan cari buku lain. Tunggu, ya," lanjutnya sambil berdiri dan melangkah ke rak buku di ruang belajar Ares. Dinda menemukan sebuah buku dongeng a
SELAMAT MEMBACA SEMUAMYA --- Langit siang itu terasa sangat cerah, angin bertiup pelan seolah memberi semangat baru. Dinda tiba 10 menit lebih awal di rumah Putra. Ia disambut lagi oleh pria penjaga rumah yang ramah, kemudian masuk ke dalam setelah dipersilakan. Tapi hari ini tidak seperti kemarin. Ares sedang... rewel. Ares menyembunyikan diri di balik sofa, wajahnya cemberut. Dinda mengernyit pelan, menaruh tasnya di meja belajar kecil di sudut ruangan. "Ares kenapa, Mbak?" tanya Dinda kepada pengasuh Ares—Nita. "Aduh! Saya juga tidak tahu, Miss. Dari tadi saya tanya, Adek kenapa, tapi tidak dijawab," jelas Nita. "Ares, sini coba cerita sama Miss. Ares kenapa?" tanya Dinda, mencoba membujuk. “Ares ndak mau belajal,” katanya cemberut. “Lho, kenapa? Kan kemarin semangat banget.” Ares mendongak dari balik sandaran sofa. “Ngantuk... dan Mama Yes tenapa ndak ada?” tanya Ares sedih. Kata itu "Mama" membuat langkah Dinda seketika melambat. Dinda baru menyadari satu hal, dari
SELAMAT MEMBACA SEMUANYA --- Adinda Rahayu mengusap keringat di wajahnya yang mulai memerah karena terik matahari. Map berisi dokumen lamaran kerja masih erat di tangannya, sementara seragam putih-hitam yang ia kenakan mulai terasa lembap. Sudah lima bulan ia mencari pekerjaan, dan hari ini pun belum membuahkan hasil. Ia berdiri di pinggir jalan, mencoba berteduh sambil membuka ponsel yang berdering. “Halo, assalamualaikum, Cin,” ucap Dinda lemas. “Waalaikumsalam. Di mana sekarang?” tanya suara di seberang. Cindy, sahabatnya sejak SMA. “Baru keluar dari sekolah swasta di Jalan X. Masih belum ada kabar juga,” jawab Dinda. “Gue jemput. Ada kabar bagus buat lo.” Belum sempat Dinda bertanya lebih lanjut, Cindy sudah menutup telepon. Tak lama, mobil putih berhenti di depan warung kecil tempat Dinda berteduh. “Cepet amat, Cin,” kata Dinda saat masuk ke dalam mobil. “Gue kebetulan lagi nyari buku di perpustakaan deket sini. Dengar ya, Din... tetangga kompleks gue buka lowongan gur