Home / Romansa / MENGAJAR CINTA / 4. Jeda dan Jarak

Share

4. Jeda dan Jarak

Author: Nd.park
last update Last Updated: 2025-06-16 22:01:29

"SELAMAT MEMBACA SEMUANYA

---

"Terima kasih, anak-anak, atas waktunya sore ini. Terima kasih juga karena sudah semangat belajar hari ini," ucap Dinda kepada murid-murid lesnya.

"Sama-sama, Miss Dinda. Terima kasih kembali," jawab mereka serempak.

Hari ini genap satu bulan Dinda menjadi guru les di tempat bimbingan belajar.

"Miss akhiri, ya. Kalau tidak ada pertanyaan lagi, sekian dan terima kasih," tutup Dinda, mengakhiri sesi belajar sore itu.

"Pulangnya hati-hati, ya. Jangan kebut-kebutan," pesan Dinda saat para murid berpamitan sambil menyalaminya satu per satu.

Dinda menghela napas pelan setelah sesi mengajar usai. Kebetulan hari ini jadwalnya untuk anak-anak SMA. Sebagian dari mereka sudah membawa kendaraan sendiri, sementara yang lain masih menunggu jemputan.

Sudah lima hari berlalu sejak insiden di gudang rumah Putra.

Dinda masih bisa merasakan jantungnya berdegup kencang setiap kali mengingat kembali tatapan dingin pria itu, tatapan yang membuatnya merasa seolah ia telah melangkah terlalu jauh.

Meski Nita sempat mencoba menjelaskan dan meminta maaf berkali-kali, luka di hati Dinda tak mudah hilang. Bukan karena amarah, melainkan karena rasa malu dan kecewa pada dirinya sendiri.

Sejak hari itu, Dinda belum juga menerima panggilan untuk mengajar lagi di rumah tersebut. Padahal, Ares seharusnya memiliki jadwal belajar dua hari lalu dan hari ini. Tak tahan oleh rasa penasaran, Dinda akhirnya mengirim pesan kepada Nita untuk menanyakan alasannya.

“Maaf, Miss. Sepertinya Bapak sedang ingin lebih banyak waktu bersama Adek. Soalnya, beberapa hari ini Bapak selalu membawa Adek ikut bekerja,” tulis Nita.

“Tapi Miss harus tahu, Adek nanyain Miss terus, lho. Dia bilang, ‘Kapan bisa belajar lagi?’” lanjutnya.

Dinda menatap layar ponselnya dalam diam sebelum akhirnya menutupnya perlahan. Ada sesak yang menggantung di dadanya. Ia yakin, Putra masih marah padanya dan tidak akan membiarkan Ares belajar dengannya lagi.

Di bimbel, Dinda tetap hadir seperti biasa. Senyum di wajahnya tidak pernah absen, tetapi ada kekosongan yang menyelinap diam-diam di balik setiap tawa kecilnya.

Anak-anak yang datang les mungkin tidak menyadari, tetapi Pita, pemilik bimbel, cukup jeli untuk tahu bahwa ada sesuatu yang tidak beres.

"Din, sebelum pulang, ngobrol sebentar, ya," ucap Pita sambil menepuk pundaknya.

Dinda hanya mengangguk.

Sore itu, setelah semua siswa pulang, Dinda duduk di ruang admin sambil merapikan laporan belajar. Pita datang membawa dua gelas susu cokelat hangat dan langsung duduk di hadapannya.

"Aku nggak akan maksa kamu cerita, tapi aku bisa lihat kamu beda," ujar Pita membuka percakapan.

Dinda tersenyum kecil. "Aku cuma lagi mikir... mungkin aku terlalu lancang kemarin."

"Yang soal Putra?" tebak Pita pelan.

Dinda mengangkat kepalanya, menatap Pita. "Kok Mbak tahu?"

"Nita sempat cerita. Aku nggak tahu detailnya, tapi kurasa kamu bukan tipe orang yang akan ngacak-ngacak rumah orang lain tanpa alasan."

Dinda menghela napas panjang. "Aku benar-benar nggak bermaksud, Mbak. Ares yang ajak aku cari buku, dan aku ikut aja. Terus... aku nemu foto. Cuma itu. Tapi kayaknya, itu foto yang nggak boleh dilihat siapa-siapa."

Pita tidak langsung menjawab. Ia menatap Dinda lama, lalu berkata lembut, "Kadang, orang dewasa menyimpan rasa kehilangan dengan cara yang berbeda. Ada yang menangis, ada yang marah... ada juga yang diam dan mengusir semua orang."

Dinda menunduk. "Mbak benar. Aku cuma ngerasa... sedih aja. Aku sayang sama Ares, walau baru beberapa hari ketemu, dan aku kangen ngajarin dia."

Hening sejenak. Pita menyodorkan gelas susu cokelat ke arah Dinda. "Kalau begitu, jangan biarkan satu kesalahan kecil menenggelamkan semua kebaikan yang udah kamu tanam."

Dinda diam sejenak, lalu mengangguk semangat. "Mbak, kapan jadinya ke Bogor?" tanyanya, mengalihkan pembicaraan.

Pita menatap Dinda. "Astaga, Mbak hampir lupa kasih tahu kamu," ucapnya. "Mbak akan pergi satu minggu lagi."

"Yah, sebentar lagi dong, Mbak," ujar Dinda dengan nada sedih.

Tawa Pita menggema di ruangan itu. "Bisa aja kamu. Tadinya rencananya Mbak mau berangkat lusa, tapi dipikir-pikir minggu depan aja."

"Soalnya, dalam satu minggu sebelum Mbak berangkat ke Bogor, Mbak mau buka lowongan lagi. Biar ada yang bantu kamu. Gimana menurutmu?" tanya Pita kepada Dinda.

"Aku sih terserah Mbak aja. Tapi kalau boleh jujur, iya, Mbak. Kita memang harus cari pengajar lain, soalnya kalau Mbak sudah berangkat, aku bakal kesulitan mengajar anak-anak di luar bidangku," ujar Dinda, membenarkan saran dari Pita.

Pita mengangguk setuju. "Baiklah, mulai besok kita akan buka lowongan lagi."

"Iya, Mbak. Semoga saja kita dapat yang cocok," sahut Dinda.

Pita menatap Dinda lekat-lekat, lalu berkata, "Dan semoga saja kamu lekas berbaikan dengan Putra, supaya bisa mengajar Ares lagi."

Dengan penuh harap, Dinda menjawab, "Aamiin. Semoga saja, Mbak."

Sementara itu, di rumahnya, Ares duduk di dekat jendela ruang tamu sambil menggambar. Tangan kecilnya sibuk mencoret-coret buku gambar, tapi sesekali ia menoleh ke arah pintu dengan penuh harap.

"Papa... Miss Dinda nggak datang lagi, ya?" tanyanya pelan.

Putra yang baru saja keluar dari ruang kerjanya hanya diam sejenak. "Miss Dinda lagi sibuk, Sayang."

Ares menunduk sedih. "Tapi Yes cudah gambal Blainy Muff buat Miss Dinda, telus ada pelanginna juga..."

Putra menatap anaknya lama. Ia tahu betul, Ares sedang merindukan guru privatnya itu. Ia lalu berkata, "Tunggu Miss Dinda-nya nggak sibuk dulu, ya, Nak."

"Yes lindu Miss Dinda, Papa," ucap Ares sambil memandang ayahnya.

Putra sudah menduga bahwa anaknya sedang rindu. Dalam hati, ia mulai menyadari ada yang salah dari sikapnya sendiri. Tapi ia juga sadar, gengsi masih membungkus hatinya.

Yang belum ia sadari adalah... bahwa gengsi bisa membuat seseorang kehilangan sesuatu yang berharga.

Malam harinya, Dinda hendak tidur saat ponselnya berbunyi. Satu pesan masuk dari nomor tak dikenal.

"Ini Putra. Besok sore, kalau tidak keberatan, saya ingin bicara."

"Saya tunggu di My Coffee Cafe, jam 13.00 siang."

Dinda terdiam. Jemarinya menggantung di atas layar ponsel.

Ia bimbang. Apa yang harus ia lakukan? Apakah ini kesempatan kedua untuk dirinya? Atau justru awal dari babak canggung yang belum selesai?

Akhirnya, Dinda membalas pesan Putra dengan penuh keyakinan:

"Iya, Pak Putra. Saya akan datang. "

Dinda menghela napas panjang setelah melihat pesannya terkirim. Ia tidak menunggu balasan dari Putra. Ia langsung meletakkan ponselnya di atas meja, lalu bersiap untuk tidur yang sempat tertunda.

Ia berharap, semoga esok membawa hal yang membuatnya tenang.

Tapi yang pasti, malam ini hatinya sedikit lebih hangat, hanya karena satu pesan dari Putra.

---

TERIMA KASIH SUDAH MEMBACA DAN MEMBERI DUKUNGAN

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Tari Olana
Kok alurnya bedaaa?
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • MENGAJAR CINTA   45. Hari yang Berbelok

    SELAMAT MEMBACA SEMUANYA...Angin sore dari balkon kamar hotel membawa aroma susu coklat yang samar. Dinda duduk di tepi ranjang, jemarinya memainkan ujung selimut tanpa sadar. Langkah cepat Cindy terdengar mendekat, diikuti bunyi pintu yang terbuka tergesa. "Bagaimana?" tanya Dinda pelan, matanya mencari jawaban di wajah sahabatnya. Cindy menarik napas panjang, lalu menatap Dinda dengan sorot ragu. "Maaf, Din... lo nggak jadi ikut. Tiketnya harus dikasih ke Pak Harry." Senyum tipis mencoba menghiasi wajah Dinda, meski dadanya mengeras. "Iya, nggak apa-apa. Lagian, itu memang hak beliau," ujarnya, suaranya nyaris tak terdengar. "Tapi kan lo ikut gue karena mau nonton seminar itu," Cindy terdengar penuh penyesalan. Matanya memanas, tapi Dinda tetap diam. Cindy menatap ke arah jendela, kesal. "Lagian, si Harry ini kenapa plin-plan banget? Katanya nggak mau ikut, eh sekarang malah mau. Itu pun bilangnya mendadak!"

  • MENGAJAR CINTA   44. Di balik Wajah Datar

    SELAMAT MEMBACA SEMUANYA...Setelah menempuh perjalanan hampir dua jam setengah, Putra akhirnya menepikan mobilnya di sebuah rumah makan untuk makan siang.Ia menoleh sekilas, mendapati ketiga penumpangnya masih terlelap. Bahkan Dinda baru saja ikut tertidur sekitar setengah jam lalu. “Dinda, bangun sebentar,” panggil Putra pelan. Dinda mengerjap, matanya masih berat. “Sudah sampai, Mas?” tanyanya dengan nada linglung. “Kita makan siang dulu,” jawab Putra singkat. “Bangunkan temanmu.” Dinda mengangguk pelan, lalu menyentuh bahu Cindy untuk membangunkannya. Sementara itu, Putra memilih langsung mengangkat Ares ke gendongannya. Bocah itu masih terlelap, kepalanya bersandar di bahu ayahnya, saat mereka melangkah masuk ke dalam rumah makan. Begitu masuk, Putra langsung mengarahkan langkah ke pojok ruangan, memilih meja yang cukup luas untuk mereka berempat. Tak lama, Dinda dan Cindy menyusul lal

  • MENGAJAR CINTA   43. Perjalanan

    SELAMAT MEMBACA SEMUANYA ... Dinda yang baru saja keluar dari rumah terlonjak kaget. "Hai, Ares," sapanya sambil tertawa kecil saat melihat mobil berhenti tepat di depan rumahnya, disusul pekikan semangat dari Ares. "Miss Dindaaa!" teriak Ares lagi dari dalam mobil, masih duduk di atas car seat-nya. "Ye ye ye Miss Dinda!" ujarnya penuh semangat, seperti menyambut idola. Putra menggeleng pelan, tak habis pikir dengan anaknya. "Sabar, Boy..." gumamnya pelan. Flashback on: Putra menarik napas sebentar sebelum melanjutkan, "Masalahnya... Ares ingin kamu juga ikut." Perkataan Putra membuat Dinda terdiam sejenak. "Maksudnya... Ares ngajak aku, ya, Mas?" tanyanya memastikan. Putra mengangguk pelan. Dinda tampak ragu. "Mmm... bagaimana ya, Mas..." Putra buru-buru menanggapi, suaranya terde

  • MENGAJAR CINTA   42. Rencana Liburan

    SELAMAT MEMBACA SEMUANYA...Setelah mempertimbangkan beberapa hal, akhirnya Putra memutuskan untuk mempertimbangkan permintaan Ares. Dua hari yang lalu, Ares memintanya untuk pergi berlibur—bermain ke Dufan. Flashback On "Papa, tadi Kakak Lia celita kalau dia pelnah main di Dufan," cerita Ares pada Putra. Saat ini mereka sedang berbaring di atas kasur Ares. "Terus, apa lagi kata Kakak Lia?" tanya Putra penasaran. Ares memandang wajah ayahnya dengan seksama. "Kata Kakak Lia, di sana banyak pelmainannya. Telus nanti kita bebas main sepuasnya, Papa," jelasnya lagi. Putra mengangguk setuju mendengar ucapan tersebut. Ia mengelus kepala Ares dengan lembut. "Jadi anak Papa ini mau main ke sana juga, ya?" ucapnya, peka terhadap ketertarikan Ares yang tampak ingin mengunjungi Dufan. Putra pun menyadari bahwa ia memang belum pernah sekalipun mengajak Ares ke tempat itu.

  • MENGAJAR CINTA   41. Teman Baru?

    SELAMAT MEMBACA SEMUANYA...Hari ini, Ares dan Nita kembali pergi ke taman. Tepatnya, hanya Ares yang akan bermain, sementara Nita hanya mengawasi dari kejauhan.Ares terlihat sangat senang. Ia duduk di bangku taman bersama Nita sambil memperhatikan anak-anak lain yang bermain. Padahal, Nita sudah mempersilakan Ares untuk bergabung, tetapi Ares memilih tetap duduk di dekatnya. Hingga akhirnya, seorang anak perempuan mendekatinya dan mengajak Ares bermain bersama."Halo, adik kecil," sapa anak perempuan itu pada Ares.Ares yang disapa tiba-tiba langsung memeluk Nita sambil menunduk malu.Nita terkekeh pelan. "Aduh, Adek Ares-nya malu, nih, sama Kakak," godanya sambil mengelus kepala Ares."Ayo, Sayang, sapa balik dong. Gak boleh malu terus gini," bujuk Nita lembut.Anak perempuan itu masih berdiri di hadapan Ares, memandangi wajahnya dengan tatapan gemas."Ah, namanya Ares, ya? Nama Kakak Amelia," ucap

  • MENGAJAR CINTA   40. Tulul Gulung

    SELAMAT MEMBACA AEMUANYA...Sore yang membosankan bagi Ares. Ia hanya berdiam diri di rumah—ya, seperti biasanya juga begitu."Mbak, Yes mau jalan," adu Ares pada Nita yang sedang menyiapkan bahan masakan."Jalan ke mana, Dek?" tanya Nita sambil tetap sibuk mengolah bahan-bahan di dapur."Ke taman. Yes mau, Mbak," katanya."Taman, ya?" Nita mengulang sambil melirik ke jam dinding. Jarum jam menunjukkan pukul tiga sore. "Boleh," putusnya akhirnya."Tapi... boleh nggak, Mbak masak sebentar dulu?" tanya Nita sambil merunduk, menyamakan tinggi badannya dengan Ares.Ares mengangguk setuju. "Boleh, Mbak. Tapi jangan lama ya, Mbak," pintanya.Nita terkekeh pelan. "Tentu! Mbak akan mengeluarkan jurus kilat Mbak buat masak sore ini!"Ares tertawa geli. "Iya, Mbak! Halus kelualkan julusnya!"***Ares dan Nita sudah berada di luar gerbang rumah. Mereka berdua menuju taman dengan menaiki

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status