Mungkin hanya ada dalam pikirannya saja. Tapi ia melihat pria di balik kemudi forklift itu luar biasa dan masih menyimpan pesona serta tak kalah gesit dari anak muda. Verdi menyimpan sebuah pesona yang entah kenapa, menurutnya, hanya ada pada pria berumur seperti dirinya.
“Ayo naik,” Verdi menawarkan dengan senyumnya yang khas.
‘Oh man, pria ini selalu penuh kejutan,’ Rania membatin. ‘Enerjik, banyak akal, masih menyisakan tampan kendati sudah mulai berumur dan mulai ada helai rambut memutih.’
“Ayolah. Mau ikut apa nggak sih?”
Aduh. Rania tersentak dari lamunannya. Ia masih belum mengambil tindakan apapun. Pun saat itu ia ragu. Detik demi detik berlalu. Ia mengerti bahwa kendaraan pengangkut drum atau palet itu sebentar lagi berangkat. Siap keluar dari gudang dan meninggalkan dirinya seorang diri.
Verdi tidak sabar. Ia mulai menjalankan forklift.
Rania
Alasan jujur dari Verdi tidak dianggap masalah besar bagi Rania. Merasakan hembusan angin di atas kendaraan yang seumur-umur baru ia naiki benar-benar mendatangkan sensasi tersendiri. Tapi ada sesuatu yang mendadak perlu ia tanyakan pada Verdi."Eh, ini garpu forklift masih bawa palet lho.""Waktu gue cari-cari, cuma forklift ini yang kunci kontaknya masih nempel.""Tapi elo nggak terganggu pandangan ke depan?"Saat Rania menoleh ke samping, Verdi terlihat tegang membawa kendaraan yang didekasikan khusus untuk lingkungan pabrik itu."Elo tegang betul, Ver? Dan... tolong turunin kecepatannya. Nyeremin tauk!"Sambil tetap mengemudi dengan mata tertuju ke depan, Verdi mendadak merogoh jas lab yang ia kenakan, mengambil ponselnya dan menyerahkan pada Rania."Nih tolong baca."Rania membaca apa yang nampaknya sejak tadi dibaca oleh Verdi sebelum mengemudi. Matanya seolah hendak terlepas dari
"Nggak apa-apa sih. Cuma kaki kiri lecet, betis kanan tergores, tangan kanan dan kiri pegal linu, bahu memar, dengkul sakit, paha nyeri dan kepala nyutnyutan. Puas?" Verdi langsung menyadari kebodohannya karena sindiran tadi. Walau Rania ‘lebay’ ia tetap tak menyangka bahwa kondisi Rania lumayan parah walau tentunya tak seperti yang ia tadi katakan. "Tadi kamu bilangnya nggak apa-apa." "Kamu tuh nggak ngerti bahasa cewek ya? Peristiwa ini nggak akan terjadi kalau kamu nggak jadi sok pinter dengan nyetir forklift." "Peristiwa ini nggak akan terjadi kalau kamu nggak nginjak kakiku. Sudahlah, jangan bikin cerita lagi. Kalau kamu tanya apakah aku salah, ya, aku salah. Dan aku benar-benar minta maaf. Aku serius kepingin nolong kamu." Sengatan di bahu membuat Rania memeganginya sambil menggigit bibir sembari mendesis keras. "Perlu aku urut?" Ditawari bantuan seperti itu, Rania malah
"Ver, kamu koq bisa mengerti LC sejauh itu?"Pertanyaan Rania tidak dijawab Verdi yang kini tengah mengamat-amati kondisi forklift dan efek tabrakan yang ditimbulkannya."Kamu belajar tentang perdagangan internasional dari mana?"Jawaban masih belum meluncur keluar dari mulut Verdi. Pria itu seolah menemukan mainan baru dengan mengamati seksama tiang yang rusak karena kecelakaan yang baru saja terjadi."Koq dicuwekin?"Bukannya menjawab pertanyaan itu, Verdi malah memberi isyarat agar Rania mendekat ke arahnya."Kamu bisa kemari sebentar?"Masih dengan kaki sedikit nyeri, Rania mendekat."Lihat," Verdi menunjuk tiang yang tertusuk forklift. "Tiang kayu gudang ternyata bagian tengahnya bolong dan jadi sarang rayap. Bolong seperti ini jadi potensi tikus masuk.”Verdi menjumput seekor dari ratusan rayap di permukaan
Info bahwa Rania berhasil mencapai jenjang karier sebagai manajer di sebuah perusahaan multi nasional asing ternyata sama sekali tidak menarik bagi rekannya, para emak-emak penggosip tadi.“Jangan ngoyo ngejar karier, bilang sana.”“Aku sih lebih suka punya momongan daripada soal karier.”“Teman-temanmu seperti aku udah punya momongan. Kamu mau tunggu berapa lagi?”“Bujuklah puterimu, Mbakyu. Siapa tau dia mau tuh kawin cepat.”Saat Lidya memberikan dalih lebih lanjut, segera saja ia diterjang pernyataan dan pertanyaan lain dari tiap-tiap mereka.“Kalo udah lewat kepala tiga, udah susah lho nyari calon suami.”“Aku tau anakmu cantik. Tapi jangan pasang harga tinggi juga, Mbakyu.”“Sama anakku aja. Pendi udah 26 tahun, cocok tuh.”“Kesibukan karier nggak selalu bagus lho.”
Gejolak amarah dalam diri Aditya jelas tak mudah dihilangkan.“Sekali lagi kamu bilang bahwa aku ini bajingan, awas. Mungkin aku bajingan, tapi tanpa aku kamu tidak ada apa-apanya. Kamu akan rasakan manfaatnya. Aku tidak pernah seterhina itu.”Selanjutnya Ditya melangkah masuk ke dalam rumah sembari tetap memegangi lengan Rania. Langkah-langkah panjang pria itu membuat Rania sampai melangkah terseret-seret ke dalam rumahnya sendiri. Ditya membuka pintu rumah dan melangkah masuk diikuti Rania. Pintu kemudian tertutup sampai tak lama kemudian mereka masuk ke dalam kamar dimana cahaya lampu kamar menampilkan bayangan siluet keduanya di gorden.Bayangan kedua orang itu berhadapan dimana Ditya nampak marah dan berkata-kata sambil menunjuk-nunjuk Rania yang terlihat gentar. Suara kemarahan Ditya hanya terdengar sangat lamat dan Rania sesekali menggeleng dan mengangguk. Dalam keadaan sesenggukan, beberapa saat kemud
“Nah, gitu dong. Terus kembali ke soal LC. Buat aku untuk so..al... LC..."Ucapan Rania tertahan sejenak karena rasa nyeri yang mendadak menyergap. Sakit akibat jatuh dari forklift tempo hari kumat lagi. Verdi yang melihat itu spontan menawarkan bantuan yang sayangnya langsung ditampik oleh Rania."Lihat kamu nahan sakit, aku selalu merasa bersalah.""Nggak segitunya lah. Aku sudah ke klinik dan kata dokter paling-paling juga sembuh dalam 1-2 hari ini.""Bener?""Bener. Cuma sakit kecil di tangan, kepala dan pundak. Itu aja."Verdi menarik nafas panjang. “Apa itu penyebabnya kamu kemarin gak angkat telpon aku?”Rania terkesiap. Ia tahu ada panggilan telpon semalam dari Verdi. Ia abaikan karena…..ah, dasar Aditya sialan. Ia merutuk dalam hati.“Gak apa-apa kalo kamu gak mau cerita.”Rania tersenyum kecut.*Rapat antar empat departemen yang ber
Pintu lift menuju lantai atas terbuka. Saat Verdi melangkah masuk dan pintu lift siap menutup, sebuah suara memanggilnya.“Tunggu!”Spontan Verdi menekan tombol dan pintu kembali terbuka. Seseorang melangkah masuk. Ketika orang itu mengucap terima kasih, Verdi hanya mengangguk. Ia lalu kembali menekan tombol hingga pintu lift menutup.Saat pintu lift menutup itulah, pantulan orang di belakang Verdi jadi terlihat jelas. Ternyata itu Rania yang kemudian menyapanya dari belakang.“Hai.”Disapa demikian, Verdi membalik tubuh. Keduanya kini berhadapan. Verdi juga jadi tahu bahwa di ruangan lift ada seorang lain. Seorang pria sedikit tambun yang saat ia melihat orang itu raut wajah Verdi berubah. Ia mengenali orang itu sebagai orang dari sebuah perusahaan pelayaran yang pernah ia lihat di mall Jayakarta bersama Renty."Terima kasih buat masukanmu," ucap Rania tulus.Verdi berpikir sejenak. "Ini kasus bahan baku yang
Selama lebih dari empat bulan bekerja di tempat itu Rania semakin menyadari bahwa penting untuk meng-iya-kan saja apa yang dikatakan atasan. Ini berlaku bukan hanya bagi dirinya tapi juga bagi semua orang yang memiliki atasan di perusahaan itu, jika mereka masih ingin periuk nasi, atau tepatnya rice cooker, mereka tetap berasap. Aneh memang, tapi mencari info lebih lanjut dengan menyelidiki secara detil tentang suatu permasalahan kerap dianggap sebagai sikap mbalelo, melawan. Rania juga mendapati bahwa mereka yang memiliki posisi cukup tinggi dan dapat bertahan lama di perusahaan ternyata karena mereka umumnya memiliki sikap yang sama: membebek. Mengikuti apa saja kata atasannya tanpa perlu bertanya.Itu sebabnya ketika Edwin menampik untuk menjawab pertanyaannya, Rania belajar untuk meng-iya-kan saja. Tak perduli jika itu akan sedikit mengusik nuraninya yang protes atas ketidakberesan yang terjadi.Semenit s