Pernikahan ini terasa seperti mimpi buruk yang aneh. Aku berdiri di samping Azzam dengan tangan yang ia genggam erat, mengikuti alur yang tidak aku pahami. Semua orang tersenyum bahagia, seolah mereka tahu sesuatu yang tidak kuketahui. Namun, aku tetap diam.
Ketika acara selesai, Azzam berbisik, "Kita harus pergi sekarang." Aku menatapnya bingung. "Pergi? Ke mana?" Dia tersenyum, mengusap bahuku. "Ke rumah sakit, seseorang sedang menanti kehadiranmu disana." Siapa seseorang yang mengharapkan kehadiranku? Masih adakah yang peduli denganku? Batin ini bertanya-tanya, tapi aku hanya mengangguk. Dalam situasi ini, aku tidak punya banyak pilihan selain mengikuti. --- Sekitar 30 menit perjalanan, mobil yang dikendarai sendiri oleh Azzam berhenti di depan sebuah rumah sakit. Aku mengerutkan kening, perasaan cemas mulai merayap di dalam dadaku. Dia menggenggam tanganku, membimbingku keluar dari mobil dan masuk ke dalam gedung. Kami berjalan melalui lorong-lorong yang sunyi, hingga akhirnya berhenti di depan sebuah kamar. Azzam mengetuk pintu perlahan sebelum membukanya. Di dalam, seorang wanita paruh baya terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Wajahnya terlihat lelah, tapi senyumnya tetap memancarkan kehangatan. Ketika dia melihatku, matanya berbinar. "Azzam, akhirnya kamu datang," katanya lembut. Tatapannya kemudian beralih padaku. "Dan ini istrimu?" Aku membeku. Aku hanya mengangguk kecil, meskipun hatiku dipenuhi kecemasan. Wanita itu tersenyum lebih lebar. "Cantik sekali, Wajahmu sangat mirip Elvira, ibumu." Hatiku mencelos. Elvira? Siapa Elvira? Ibuku bukan bernama Elvira, melainkan Mutmainah. Aku membuka mulut untuk menjelaskan, tapi kata-kata itu tidak keluar. Aku hanya bisa menatap wanita itu, bingung dan panik. Azzam tersenyum dan mendekati ibunya. "Ibu, aku sudah bilang, kan? Aku akan menikahinya. Aku yakin Ibu pasti bahagia bertemu dengannya." Wanita itu mengangguk, menatapku dengan mata yang dipenuhi haru. "Elvira pasti sangat bangga padamu, Nak. Aku selalu berharap dia ada di sini untuk kebahagiaan ini, tapi... aku tahu dia pasti ikut bahagia di atas sana." Aku hanya bisa tersenyum kecil, meski hatiku bergejolak. Aku ingin membantah, bahwa aku bukan anak Elvira. Tapi, melihat raut wajah bahagia mereka, aku tidak sanggup melakukannya. --- Setelah beberapa saat berbicara, aku hanya mendengarkan sambil mencoba mencerna situasi ini. Azzam dan ibunya benar-benar mengira aku adalah anak dari teman lama mereka, seseorang yang bahkan aku tidak kenal. Bagaimana ini bisa terjadi? Saat kami meninggalkan rumah sakit, Azzam menatapku dengan senyum penuh kepuasan. "Terima kasih, Ivana. Aku tahu ini semua mendadak, tapi aku ingin Ibu melihatmu. Dia sudah lama menunggu saat ini." Aku menatapnya dengan ragu. "Tapi, apa kamu yakin aku... maksudku, kamu yakin tentang ini semua?" Dia tersenyum. "Aku sangat yakin, Ivana. Aku telah memilihmu untukku menjadi pendamping hidupku. Karena aku tahu kebahagiaan mama ada padamu. Aku harap kamu juga bisa menerima semua ini dengan setulus hati." Aku terdiam. Aku ingin berteriak, ingin mengatakan bahwa mereka salah orang. Tapi aku tetap diam. Aku tidak tahu kenapa, mungkin karena aku terlalu lelah. Malam itu, saat aku kembali ke kamar yang disediakan, merenung dalam diam. Bagaimana caranya menjelaskan tanpa menghancurkan kebahagiaan mereka. Untuk saat ini, aku memutuskan untuk mengikuti alur permainan ini. Aku akan menjadi Ivana, anak Elvira. Setidaknya sampai aku bisa menemukan cara untuk menyelesaikan semuanya. Tapi jauh di dalam hatiku, aku tahu bahwa kebohongan ini tidak akan bertahan lama. Dan saat kebenaran itu akhirnya terungkap, aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada diriku.Seharusnya aku yang menentukan kemana kami pergi. Setidaknya itu yang kupikirkan saat mengajak Ivana jalan-jalan hari ini. Tapi ternyata, dia malah membawaku ke tempat yang sama sekali tidak bisa aku jelaskan."Stop!" Ivana tiba-tiba menyuruhku menghentikan mobil di depan sebuah keramaian.Aku menatap keluar dengan dahi berkerut. "Ini tempat apa?" tanyaku kebingungan.Ivana tersenyum penuh arti. "Sudah, jangan banyak tanya. Sekarang kita turun. Kamu janji tadi mau belajain aku, kan," jawabnya enteng.Aku mengerutkan kening, masih tidak paham dengan maksudnya. "Kita belanja di sini? Tempat apa ini?" tanyaku lagi setelah turun dari mobil.Bagaimana tidak? Tempat ini ramai sekali, penuh sesak dengan orang-orang yang berlalu-lalang, dan yang lebih parah—becek!"Ini namanya pasar," jawab Ivana ringan.Aku meliriknya tak percaya. "Oh, tidak. Aku juga pernah nganterin Ibu ke pasar. Tapi tempatnya bagus dan bukan seperti ini."Ivana malah tertawa kecil. "Iya, ini pasar tradisional, Azzam. Tid
Kelembutan tangan ibu terasa di kepalaku saat jemariku masih sibuk memijat kakinya. Aku bisa merasakan tubuhnya mulai lebih rileks, napasnya teratur. Untung saja keadaan ibu cepat membaik dan sudah kembali ke rumah. “Ibu capek?” tanyaku pelan.Ibu menggeleng, "Nak, boleh ibu tanya sesuatu?"Aku mengangkat wajah, sedikit terkejut dengan nada suaranya yang begitu hati-hati. "Tentu, Bu. Apa itu?"Ibu menggenggam jemariku, tatapannya dalam. "Tentang keluargamu, Nak. Ibu hanya ingin tahu."Aku tercekat. Dadaku terasa berat. Aku sudah menduga pertanyaan ini akan muncul suatu hari nanti, tapi tetap saja, ketika saatnya tiba, rasanya sesak.Aku tersenyum kecil, tapi hambar."Keluargaku ...." Aku menghela napas panjang. "Mereka adalah orang-orang yang paling aku cintai, tapi juga yang paling membuatku terluka."Ibu mengerutkan kening."Apa maksudmu, Nak?"Aku menatap jemari yang saling bertaut di pangkuanku. Suaraku hampir bergetar saat mulai berbicara. "Sejak kecil, aku selalu berusaha me
Pov IvanaAku menatap Azzam, menunggu sesuatu penjelasan, pembelaan, atau setidaknya tatapan yang bisa meyakinkanku bahwa aku tidak sedang bermimpi. Tapi dia hanya diam, ekspresinya tenang seolah semua yang baru saja dia katakan sudah cukup.Aku menelan ludah, mencoba memahami perasaanku sendiri."Jadi kamu sudah mengetahui semuanya sejak awal sebelum pernikahan terjadi?" tanya Ibu dengan nada tajam."Bukan, Bu," Azzam cepat menjawab. "Aku baru tahu setelah menikah."Ibu masih menatapnya dengan penuh selidik, seolah meminta penjelasan lebih lanjut. "Sejak aku melihat kedekatan Ibu dan Ivana yang semakin erat. Awalnya aku hanya penasaran, ingin tahu lebih banyak tentang dia, tentang makanan kesukaannya, hal-hal kecil lainnya yang dia suka. Aku terus mencarinya di internet, tapi tidak ada apapun tentangnya. Itu membuatku sedikit bingung, bukankah ibu bilang kalau Tante Elvira adalah orang yang terkenal."Aku menunduk, kedua tanganku saling mencengkeram erat.Azzam melanjutkan, suaranya
Pov Azzam Udara siang hari di pedalaman terasa lebih terik dari biasanya. Pepohonan yang menjulang tinggi di sekitar rumah Pak Arif terlihat tenang. Aku duduk di kursi kayu dekat jendela, menatap layar ponselku yang kosong dari notifikasi.Sudah enam hari aku di sini. Enam hari tanpa kabar dari ibu dan … tentu saja, Ivana.Ada dorongan kuat untuk menghubunginya, sekadar mendengar suaranya, memastikan bahwa semuanya baik-baik saja. Sinyal di sini seperti harta karun yang sulit ditemukan. Bahkan daya baterai ponselku masih tetap penuh, tidak berkurang sedikit pun karena beberapa hari ini tidak ku sentuh.Pak Arif, yang duduk di sebelahku, menyeruput teh yang disediakan istrinya dengan tenang. Matanya yang tajam sesekali melirikku, seakan membaca kegelisahan yang sedari tadi aku coba sembunyikan."Silakan diminum tehnya, Pak," ucapnya, mendorong gelas ke arahku.Aku mengangguk dan meraih gelas tersebut, tapi bukan teh yang mengisi pikiranku. Sosok Ivana hadir begitu jelas di benakku—sen
Aku menatap Ivana yang duduk di bangku lorong rumah sakit dengan ekspresi penuh kegelisahan. Wajahnya pucat, matanya sembab, dan tangannya gemetar. Pemandangan yang cukup menyenangkan bagiku. Tapi itu belum cukup, aku puas kalau dia pergi dari hidup Azzam.Jujur, aku tidak suka keberaniannya. Seharusnya dia sudah menyerah sekarang, tapi dia masih berani menantangku?Ivana tetap menatapku, dan aku benci melihat ketenangan di matanya. “Mungkin Azzam akan marah, mungkin dia akan kecewa. Tapi aku tidak takut menghadapi kenyataan.”Aku mengepalkan tangan. “Kamu percaya diri sekali. Lihat saja nanti, Ivana. Azzam bukan tipe pria yang bisa dibohongi. Dia tidak akan pernah memilih wanita seperti kamu.”Sebelum Ivana sempat menjawab, seorang dokter keluar dari ICU. Aku menegakkan tubuh, memperhatikan reaksi Ivana saat dia segera berdiri dan menghampiri dokter itu.“Bagaimana kondisi ibu saya, Dok?” tanyanya cemas.Aku mendengarkan dengan seksama.“Kondisinya masih belum stabil. Tekanan darahny
Elisa. Anak Elvira.Nama itu menusuk kepalaku seperti pedang yang siap merobek kenyataan yang susah payah kujaga. Sosok yang selama ini kuhindari, kini berdiri tepat di depan kami dengan wajah penuh keyakinan, seolah rumah ini memang miliknya. Seolah dia memang diharapkan di sini.Aku meremas lengan ibu erat, dinginnya jemariku berpindah ke kulitnya. Napasku berat, serasa ada bongkahan es yang mengganjal di dada. Tidak. Ini tidak boleh terjadi.Ibu harus menutup pintu. Harus mengusirnya. Harus mengatakan bahwa Elisa salah alamat. Tapi tidak. Ibu tetap diam. Mata lebarnya berkaca-kaca, bibirnya menganga, seolah baru saja mendengar sesuatu yang terlalu sulit untuk diterima.“Aku sudah lama ingin bertemu dengan kalian.” Suara Elisa begitu tenang, berbeda dengan pusaran badai yang kini berputar di dalam dadaku. “Nenek bilang kalau Tante adalah orang yang sangat baik. Katanya almarhumah mama banyak bercerita tentang Tante ke nenek.”Tubuh ibu menegang. Aku bisa merasakan jari-jarinya berge