Hari-hari berjalan dengan ritme yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Setiap pagi, Azzam selalu menyambutku dengan senyum hangat, mengajakku sarapan bersama, dan memastikan aku merasa nyaman di rumah besar ini. Semua ini terasa terlalu sempurna, terlalu ... salah.
Aku tidak pernah membayangkan akan berada di posisi seperti ini, hidup bersama pria yang aku bahkan tidak kenal sebelumnya. Tapi Azzam berbeda. Dia memperlakukanku dengan begitu lembut, seolah aku adalah pusat dunianya. "Apa yang ingin kamu lakukan hari ini?" tanyanya suatu pagi sambil mengambil teh yang sudah disiapkan oleh Mbak Siti. Ternyata wanita yang pertama kali menyambut kedatanganku hari itu adalah Mbak Siti, pekerja dirumah ini. Aku menatapnya sejenak, masih bingung bagaimana harus bersikap. "Aku akan pergi ke rumah sakit. Aku ingin memastikan keadaan Ibu." Azzam mengangguk sambil tersenyum. "Aku tahu kamu pasti akan mengatakan itu. Tenang saja, aku akan menemanimu seperti biasa. Seperti yang kamu lihat setelah kehadiranmu keadaan ibu semakin membaik." Dia selalu begitu. Setiap hari, dia mengantarku ke rumah sakit untuk menjaga ibunya. Bahkan saat aku mencoba menolak dan berkata bahwa aku bisa pergi sendiri, dia tetap bersikeras. Ucapan Azzam ada benarnya juga, Alhamdulillah ibunya semakin baik berbeda saat pertamakali aku jumpa dengannya terkulai lemah tak berdaya. --- Aroma antiseptik rumah sakit langsung menyergap, membuat suasana terasa dingin. Aku duduk di samping tempat tidur Ibu Azzam. Aku memanggilnya "Ibu" sekarang, meskipun dalam hatiku terasa ganjil. Wanita itu selalu memandangku dengan kasih sayang yang tulus, seolah aku benar-benar anak dari sahabat lamanya. Ku genggam tangannya yang terasa hangat meski kulitnya sedikit kering. Ada rasa nyaman yang sulit dijelaskan. "Ibu, gimana rasanya hari ini? Wajah ibu kelihatan lebih segar, lho," tanyaku, mencoba membuat suasana lebih ringan. Beliau tertawa pelan, suaranya serak tapi tetap terdengar hangat. "Iya, Alhamdulillah… mungkin karena lihat kamu. Rasanya hati Ibu lebih hangat," katanya, membuat dadaku terasa hangat juga. Aku tersenyum lebar, mencoba menutupi rasa haru yang tiba-tiba muncul. "Ah, Ibu bisa aja. Ivana juga senang bisa ketemu Ibu. Semoga cepat sehat, ya, Bu," ucapku tulus. Beliau mengangguk pelan, matanya menatapku lembut. "Aamiin… Ibu suka deh kalau kamu datang. Karena kalau hanya Azzam yang menemani ibu banyak diam nya." Aku tersenyum, menoleh ke arah Azzam yang wajahnya mulai cemberut. "Hari ini aku bawakan bubur ayam untuk Ibu, Ibu belum sarapan kan?" tanyaku sambil membuka rantang yang aku bawa. Ibu mengangguk, aku pun mulai mengaduk dan memberikan suapan pada ibu. "Ivana," katanya lembut menggenggam tanganku. "Aku sangat berterima kasih karena kamu selalu ada di sini. Rasanya seperti Elvira ada di dekatku lagi." Aku hanya tersenyum kecil, meski hatiku terasa berat. Kebohongan ini semakin membebaniku setiap harinya. Tak lama kemudian, Dokter masuk ke ruangan ibu mengatakan kalau kondisi Ibu sudah benar-benar pulih. Ibu juga di bolehkan pulang dan melanjutkan perawatan di rumah. "Ibu senang akhirnya bisa pulang," katanya dengan senyum yang lemah tapi penuh kebahagiaan. "Ibu pasti akan lebih cepat sembuh di rumah," balas Azzam, membantu ibunya masuk ke dalam mobil. Sepanjang perjalanan, aku hanya diam, memperhatikan mereka dari kursi belakang. Azzam dan ibunya tampak begitu dekat, dan aku merasa seperti seorang penyusup di tengah hubungan mereka. Ketika kami sampai di rumah, semua sudah disiapkan dengan sempurna. Kamar Ibu sudah rapi dan perawat pribadi sudah menunggu untuk membantunya. Ibu disuruh beristirahat oleh perawatnya, Aku berjalan ke balkon kamar, menatap langit yang masih terlihat cerah menyambut senja. Angin sepoi-sepoi menyentuh wajahku, membawa serta perasaan aneh yang sulit kujelaskan. "Ivana," suara Azzam memanggil dari belakang. Aku menoleh, melihatnya berjalan mendekat dengan segelas teh di tangannya. Dia menyerahkan teh itu padaku, lalu berdiri di sampingku. "Kamu kelihatan gelisah. Apa ada yang mengganggumu?" Aku menggeleng, mencoba tersenyum. "Tidak, hanya sedikit lelah." Azzam menatapku dalam diam sejenak, lalu mengangguk pelan. "Kalau ada apa-apa, kamu tahu kamu bisa cerita padaku, kan?" Aku hanya mengangguk lagi, meskipun aku tahu aku tidak mungkin memberitahunya kebenaran. Kebohongan ini semakin menjeratku, dan aku tidak tahu bagaimana cara keluar darinya. Tapi untuk saat ini, aku hanya bisa mengikuti alurnya. Setidaknya sampai aku menemukan cara untuk mengungkapkan semuanya tanpa menghancurkan apa yang sudah ada.Sejak kejadian kemarin, aku dan Mas Azzam benar-benar berusaha saling memperbaiki diri. Kami banyak berbicara dari hati ke hati, mencoba memahami satu sama lain tanpa ada lagi prasangka atau kesalahpahaman.Mungkin, semua yang terjadi adalah teguran sekaligus pelajaran berharga.Kini, hubungan kami jauh lebih harmonis, terlebih dengan kehadiran janin kecil di dalam perutku. Setiap pagi, Mas Azzam selalu menyempatkan diri untuk mengusap perutku, berbicara lembut dengan calon buah hati kami."Assalamualaikum, Nak. Hari ini Mama sehat, kan?" bisiknya sambil mengelus lembut perutku. "Papa nggak sabar ketemu kamu."Aku tersenyum melihat wajahnya yang penuh cinta. "Dia pasti juga senang mendengar suara Papa setiap hari."Mas Azzam menatapku lembut, lalu mengecup keningku. "Aku janji, aku akan selalu ada untuk kalian. Aku nggak akan pernah mengulangi kesalahan kemarin."Aku menggenggam tangannya erat. "Aku juga, Mas. Aku ingin kita terus seperti ini, saling menguatkan."Kondisi Ibuku juga su
Aku berlari menyusuri trotoar dengan napas memburu. Suara sepatu hakku beradu dengan jalanan berbatu, tapi aku tidak peduli. Yang ada di kepalaku sekarang hanya satu hal—aku harus bertemu Tante Hilda sebelum semuanya terlambat. Begitu tiba di rumah, aku langsung membuka pintu dengan kasar. Mbak Siti yang sedang menyapu menatapku dengan terkejut. “Mbak, Tante Hilda mana?” tanyaku cepat, tanpa basa-basi. Mbak Siti tampak ragu sesaat sebelum menjawab. “Tadi Ibu pergi ke rumah temannya.” Aku mengernyit. “Teman? Siapa teman Tante di sini? Aku tidak pernah melihat dia punya teman.” “Iya, teman arisannya selama ini. Mereka memang sudah lama tidak berjumpa.” Aku mendengus pelan. Alasan yang sangat tidak masuk akal. Tante Hilda jarang sekali keluar rumah, apalagi hanya untuk bertemu teman arisan. “Tapi biasanya Ibu tidak lama-lama. Paling sebentar lagi juga pulang. Kenapa, Mbak?” Aku menggeleng, mencoba menyembunyikan kegelisahan di hatiku. “Nggak papa, cuma nanya aja.” Tapi dalam hati
Aku berjalan cepat di lorong rumah sakit, detak jantungku berpacu dengan langkah kakiku. Yudi ada di sampingku, menyesuaikan langkah tanpa berkata apa pun. Kami langsung menuju resepsionis untuk menanyakan keberadaan ibu Ivana.“Pasien atas dirawat di kamar 207, lantai tiga,” jawab perawat di meja depan.Tanpa menunggu lama, aku dan Yudi segera menuju ke ruangan itu. Begitu sampai, aku berdiri di depan pintu, menarik napas dalam-dalam, lalu mengetuk pelan.“Silakan masuk,” suara terdengar dari dalam.Aku membuka pintu perlahan. Ruangan itu cukup sunyi. Di sana, hanya ada seorang perawat dan wanita yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Namun, sosok yang selama ini kucari tidak ada.Mataku menyapu ruangan. Kosong.Dimana Ivana?Aku melangkah mendekat, lalu menundukkan tubuhku agar bisa melihat wajah ibu mertuaku dengan jelas. Wajah itu tampak pucat, tetapi masih ada cahaya ketegaran di matanya yang redup.“Kamu siapa?” tanyanya sambil menatapku.Aku tersenyum tipis, meski ada beb
Tante Hilda benar-benar telah masuk ke dalam perangkapku. Dia semakin percaya padaku bahkan saat di apartemen dia berjanji padaku akan menyerahkan salah satu restoran untuk aku kelola. Ya itu adalah tujuan utamaku, tapi kalau hanya satu restoran rasanya tidak cukup. Aku akan mengambil aset-aset berharga lainnya. Namun, lagi-lagi perempuan kampung itu membuatku pusing. Kenapa Azzam masih mau mencarinya seharusnya biarkan saja dia pergi. Jadi aku bisa menjadi istri Azzam tentu saja aku sebagai menantu satu-satunya akan menjadi pewaris. Aku duduk di ruang tamu bersama Tante Hilda, menyesap teh hangat yang dihidangkan Mbak Siti. Senyuman manis, sikap lembut, seolah aku adalah sahabat terbaik yang pernah dimilikinya. Padahal dalam kepalaku, aku sedang menyusun strategi terakhir.Disaat Azzam sibuk mencari perempuan kampung itu. Aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk mendapatkan tanda tangannya."Tante, terima kasih banyak. Aku sungguh tidak menyangka bisa mendapatkan kepercayaan s
Akhirnya, aku melepas masker. Di ruangan ibu, aku tidak tahan jika tidak menggunakannya. Udara terasa sesak, bercampur dengan aroma obat dan antiseptik yang menusuk. Aku harus mencari pekerjaan. Aku harus pegang uang. Tidak mungkin selamanya begini, bertahan dengan sisa tabungan yang semakin menipis, sementara pengobatan ibu harus terus berjalan. Pagi ini, aku ingin sekali makan dimsum. Aroma gurihnya menguar dari seberang jalan, menggoda perut kosongku. Tanpa pikir panjang, aku membelinya dan langsung mencicipi satu. Dimsum yang masuk ke mulutku terasa luar biasa enak. Kenyal, gurih, dengan isian yang lembut dan sedikit meleleh di lidah. Rasanya aku bisa menghabiskan lebih banyak dari biasanya. Mungkinkah ini pengaruh hormon kehamilanku? Selama ini, aku tidak pernah terlalu menyukai dimsum, tapi sekarang, setiap gigitannya terasa begitu memanjakan lidah. Namun, di tengah kenikmatan itu, ada sesuatu yang mengganjal. Aku mengusap perutku yang mulai membuncit. Rasanya sedikit sesak s
Aku duduk di ruang kerja, menatap meja yang berantakan dengan tangan mengepal. Ini adalah hari ke tiga aku tanpa Ivana. Dadaku masih terasa sesak, kepalaku berdenyut keras. Foto-foto yang tersebar di depanku seolah mengejek perasaan yang selama ini kujaga.Ivana. Wanita yang kupikir berbeda dari yang lain. Yang kupikir tulus. Yang kupikir tidak akan pernah menyakitiku. Aku jatuh cinta padanya bukan karena parasnya, tapi karena caranya bersikap. Cara dia membuatku merasa istimewa.Tapi pada akhirnya, dia sama saja.Aku benar-benar kecewa. Hatiku hancur sehancur-hancurnya.Dalam foto-foto itu, Ivana terlihat begitu bahagia bersama pria itu. Lelaki yang katanya sudah menjadi bagian dari masa lalunya. Tapi dari ekspresi wajahnya, dari sorot matanya… bagaimana mungkin aku percaya kalau perasaan itu benar-benar sudah hilang?Aku menggertakkan gigi, tanganku meremas kertas di atas meja.Mungkinkah aku yang terlalu bodoh? Terlalu percaya? Terlalu mudah dikelabui?Aku sengaja meminta Ibu untuk