Share

Bab 2

Author: Jeni Sasmita
last update Last Updated: 2025-05-09 15:31:51

Mobil berhenti di depan gerbang besar yang berdiri kokoh dengan ornamen emas berkilauan. Aku menatapnya dengan perasaan campur aduk—bingung, lelah, dan masih merasa seperti sedang bermimpi buruk yang tak kunjung selesai.

"Ini di mana?" tanyaku pelan, mencoba memahami situasi.

Pria berseragam hitam yang mengemudi menatapku sekilas melalui kaca spion. "Kita sudah sampai, Nona. Silakan turun, semua sudah menunggu."

Aku mengernyitkan dahi. "Semua? Menunggu apa?"

Namun, dia tidak menjawab. Sebaliknya, dia keluar dari mobil, membukakan pintu untukku, dan mengambil koperku dengan sigap. "Ayo, Nona. Jangan membuat mereka menunggu terlalu lama."

Langkahku ragu saat mengikuti pria itu melewati gerbang, menuju rumah yang begitu besar hingga terlihat seperti istana kecil. Halamannya dipenuhi dengan taman yang indah, lengkap dengan air mancur yang mengalir lembut. Aku tidak berhenti bertanya-tanya siapa pemilik rumah ini, dan kenapa aku dibawa ke sini?

Di depan pintu utama, seorang wanita masih muda sekitar umur 30an dengan kebaya mewah berdiri menyambutku. Senyum lebarnya memancarkan kehangatan. "Akhirnya kamu sampai. Kami sudah menunggu."

Aku tertegun.

Wanita itu menggenggam tanganku dengan lembut dan membawaku masuk tanpa memberikan kesempatan untuk bertanya. Rumah ini bahkan lebih megah di dalamnya, dengan chandelier kristal besar yang menggantung di langit-langit dan lantai marmer yang memantulkan kilaunya.

"Sebentar lagi semuanya akan dimulai. Kamu pasti lelah dari perjalanan panjangmu, ya? Jangan khawatir, kami sudah menyiapkan semuanya untukmu," katanya dengan nada lembut.

Aku mencoba membuka mulut untuk bertanya, tapi tiba-tiba beberapa wanita masuk dan menarikku ke sebuah ruangan besar yang penuh dengan gaun, perhiasan, dan riasan. "Kak, ayo cepat ganti baju! Sudah hampir waktunya," kata salah satu dari mereka dengan nada riang.

"Tunggu, tunggu! Apa yang sedang terjadi? Kenapa aku harus ganti baju?"

"Kak, ayo cepat ganti baju! Sudah hampir waktunya," salah satu dari mereka berkata sambil mendorongku ke kursi.

"Apa maksud kalian? Waktunya apa?" tanyaku bingung, mulai merasa panik.

Mereka semua tertawa kecil. "Yah, Kakak lucu sekali. Gugup ya? Hari pernikahan memang seperti itu."

"Pernikahan?" Suaraku nyaris memekik. "Pernikahan siapa?"

Namun, tidak ada yang menjawab. Mereka mulai mendandaniku, memasangkan riasan di wajahku, dan memakaikan gaun putih yang terlihat begitu mewah, lengkap dengan renda halus dan detail berkilauan. Aku merasa seperti boneka hidup, digerakkan tanpa daya.

Saat aku melihat diriku di cermin, aku hampir tidak mengenal pantulan itu. Wajahku tampak begitu sempurna, tapi di balik semua itu, hatiku masih berantakan.

Beberapa menit kemudian seorang pria datang menghampiriku. Dia mengenakan setelan jas hitam yang rapi, dan wajahnya tampan, tapi benar-benar asing.

"Jadi, kamu sudah siap?" tanyanya, suaranya terdengar berat namun ramah.

Aku menatapnya bingung. "Maaf, siapa kamu?"

Pria itu tampak tersenyum. "Aku Azzam, calon suamimu."

Jantungku serasa berhenti berdetak. Aku tidak mengenal pria ini, dan dia berpikir aku adalah calon istrinya? "Tunggu sebentar," ucapku, mencoba menguasai diriku. "Ini pasti ada kesalahan."

Namun, sebelum aku bisa menjelaskan lebih jauh, pintu ruangan terbuka, dan wanita tadi masuk dengan senyum lebar. "Ayo kita mulai. Semua tamu sudah menunggu."

Aku membuka mulut untuk memprotes, tapi wanita itu menatapku dengan begitu penuh harap dan kebahagiaan, hingga kata-kataku tertahan.

"Aku kesini hanya untuk menanyakan siapa namamu dan ayahmu. Kemarin ibu sudah bercerita tapi aku lupa. Bagaimana nanti aku jawab ijab-qobul nya."

Aku terdiam, tidak mengerti maksud kata-katanya.

"Kenapa diam? Kita tidak punya banyak waktu. Setelah ini kita harus segera ke rumah sakit."

"Namaku Ivana, ayahku Hendri William." Ucapan itu keluar begitu saja dari mulutku. Entah kenapa ada rasa berdesir saat ia mengucapkan rumah sakit.

Lelaki itu tersenyum lalu mengangguk.

"Ini pasti salah," gumamku, lebih kepada diriku sendiri. Tapi sebelum aku bisa melakukan apa pun, lelaki bernama Azzam sudah menggandeng lenganku dan membawaku keluar.

---

Aku berjalan di sepanjang lorong yang dihias bunga-bunga putih, menuju tempat yang sudah disiapkan dengan rapi. Para tamu tersenyum dan bertepuk tangan. Aku bisa merasakan tatapan mereka, tapi semuanya terasa seperti kabur.

Di sampingku, Azzam tampak tenang, seolah dia benar-benar mengenalku. Tapi aku tidak tahu apa-apa tentang dia.

"Apakah kalian sudah siap?" tanya Pak Penghulu.

Pertanyaan itu membuatku terkejut. Aku menoleh ke arahnya, lalu ke arah Azzam, yang menatapku dengan senyuman kecil di wajahnya.

Aku ingin mengatakan tidak. Aku ingin berteriak bahwa ini semua salah. Tapi kata-kata itu tidak keluar.

Sesuatu di dalam diriku berkata, mungkin ini adalah jalan untuk melupakan luka yang baru saja kualami.

Dengan suara bergetar, aku akhirnya berkata, "Ya."

Seperti negeri dongeng, takdir seolah sedang mempermainkan hidupku. Baru saja aku menerima luka yang sangat perih, sekarang harus menikah dengan seseorang yang tidak aku kenali.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MENGGENGGAM PERIH MENIKAHI TAKDIR    Bab 25

    Sejak kejadian kemarin, aku dan Mas Azzam benar-benar berusaha saling memperbaiki diri. Kami banyak berbicara dari hati ke hati, mencoba memahami satu sama lain tanpa ada lagi prasangka atau kesalahpahaman.Mungkin, semua yang terjadi adalah teguran sekaligus pelajaran berharga.Kini, hubungan kami jauh lebih harmonis, terlebih dengan kehadiran janin kecil di dalam perutku. Setiap pagi, Mas Azzam selalu menyempatkan diri untuk mengusap perutku, berbicara lembut dengan calon buah hati kami."Assalamualaikum, Nak. Hari ini Mama sehat, kan?" bisiknya sambil mengelus lembut perutku. "Papa nggak sabar ketemu kamu."Aku tersenyum melihat wajahnya yang penuh cinta. "Dia pasti juga senang mendengar suara Papa setiap hari."Mas Azzam menatapku lembut, lalu mengecup keningku. "Aku janji, aku akan selalu ada untuk kalian. Aku nggak akan pernah mengulangi kesalahan kemarin."Aku menggenggam tangannya erat. "Aku juga, Mas. Aku ingin kita terus seperti ini, saling menguatkan."Kondisi Ibuku juga su

  • MENGGENGGAM PERIH MENIKAHI TAKDIR    Bab 24

    Aku berlari menyusuri trotoar dengan napas memburu. Suara sepatu hakku beradu dengan jalanan berbatu, tapi aku tidak peduli. Yang ada di kepalaku sekarang hanya satu hal—aku harus bertemu Tante Hilda sebelum semuanya terlambat. Begitu tiba di rumah, aku langsung membuka pintu dengan kasar. Mbak Siti yang sedang menyapu menatapku dengan terkejut. “Mbak, Tante Hilda mana?” tanyaku cepat, tanpa basa-basi. Mbak Siti tampak ragu sesaat sebelum menjawab. “Tadi Ibu pergi ke rumah temannya.” Aku mengernyit. “Teman? Siapa teman Tante di sini? Aku tidak pernah melihat dia punya teman.” “Iya, teman arisannya selama ini. Mereka memang sudah lama tidak berjumpa.” Aku mendengus pelan. Alasan yang sangat tidak masuk akal. Tante Hilda jarang sekali keluar rumah, apalagi hanya untuk bertemu teman arisan. “Tapi biasanya Ibu tidak lama-lama. Paling sebentar lagi juga pulang. Kenapa, Mbak?” Aku menggeleng, mencoba menyembunyikan kegelisahan di hatiku. “Nggak papa, cuma nanya aja.” Tapi dalam hati

  • MENGGENGGAM PERIH MENIKAHI TAKDIR    Bab 23

    Aku berjalan cepat di lorong rumah sakit, detak jantungku berpacu dengan langkah kakiku. Yudi ada di sampingku, menyesuaikan langkah tanpa berkata apa pun. Kami langsung menuju resepsionis untuk menanyakan keberadaan ibu Ivana.“Pasien atas dirawat di kamar 207, lantai tiga,” jawab perawat di meja depan.Tanpa menunggu lama, aku dan Yudi segera menuju ke ruangan itu. Begitu sampai, aku berdiri di depan pintu, menarik napas dalam-dalam, lalu mengetuk pelan.“Silakan masuk,” suara terdengar dari dalam.Aku membuka pintu perlahan. Ruangan itu cukup sunyi. Di sana, hanya ada seorang perawat dan wanita yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Namun, sosok yang selama ini kucari tidak ada.Mataku menyapu ruangan. Kosong.Dimana Ivana?Aku melangkah mendekat, lalu menundukkan tubuhku agar bisa melihat wajah ibu mertuaku dengan jelas. Wajah itu tampak pucat, tetapi masih ada cahaya ketegaran di matanya yang redup.“Kamu siapa?” tanyanya sambil menatapku.Aku tersenyum tipis, meski ada beb

  • MENGGENGGAM PERIH MENIKAHI TAKDIR    Bab 22

    Tante Hilda benar-benar telah masuk ke dalam perangkapku. Dia semakin percaya padaku bahkan saat di apartemen dia berjanji padaku akan menyerahkan salah satu restoran untuk aku kelola. Ya itu adalah tujuan utamaku, tapi kalau hanya satu restoran rasanya tidak cukup. Aku akan mengambil aset-aset berharga lainnya. Namun, lagi-lagi perempuan kampung itu membuatku pusing. Kenapa Azzam masih mau mencarinya seharusnya biarkan saja dia pergi. Jadi aku bisa menjadi istri Azzam tentu saja aku sebagai menantu satu-satunya akan menjadi pewaris. Aku duduk di ruang tamu bersama Tante Hilda, menyesap teh hangat yang dihidangkan Mbak Siti. Senyuman manis, sikap lembut, seolah aku adalah sahabat terbaik yang pernah dimilikinya. Padahal dalam kepalaku, aku sedang menyusun strategi terakhir.Disaat Azzam sibuk mencari perempuan kampung itu. Aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk mendapatkan tanda tangannya."Tante, terima kasih banyak. Aku sungguh tidak menyangka bisa mendapatkan kepercayaan s

  • MENGGENGGAM PERIH MENIKAHI TAKDIR    Bab 21

    Akhirnya, aku melepas masker. Di ruangan ibu, aku tidak tahan jika tidak menggunakannya. Udara terasa sesak, bercampur dengan aroma obat dan antiseptik yang menusuk. Aku harus mencari pekerjaan. Aku harus pegang uang. Tidak mungkin selamanya begini, bertahan dengan sisa tabungan yang semakin menipis, sementara pengobatan ibu harus terus berjalan. Pagi ini, aku ingin sekali makan dimsum. Aroma gurihnya menguar dari seberang jalan, menggoda perut kosongku. Tanpa pikir panjang, aku membelinya dan langsung mencicipi satu. Dimsum yang masuk ke mulutku terasa luar biasa enak. Kenyal, gurih, dengan isian yang lembut dan sedikit meleleh di lidah. Rasanya aku bisa menghabiskan lebih banyak dari biasanya. Mungkinkah ini pengaruh hormon kehamilanku? Selama ini, aku tidak pernah terlalu menyukai dimsum, tapi sekarang, setiap gigitannya terasa begitu memanjakan lidah. Namun, di tengah kenikmatan itu, ada sesuatu yang mengganjal. Aku mengusap perutku yang mulai membuncit. Rasanya sedikit sesak s

  • MENGGENGGAM PERIH MENIKAHI TAKDIR    Bab 20

    Aku duduk di ruang kerja, menatap meja yang berantakan dengan tangan mengepal. Ini adalah hari ke tiga aku tanpa Ivana. Dadaku masih terasa sesak, kepalaku berdenyut keras. Foto-foto yang tersebar di depanku seolah mengejek perasaan yang selama ini kujaga.Ivana. Wanita yang kupikir berbeda dari yang lain. Yang kupikir tulus. Yang kupikir tidak akan pernah menyakitiku. Aku jatuh cinta padanya bukan karena parasnya, tapi karena caranya bersikap. Cara dia membuatku merasa istimewa.Tapi pada akhirnya, dia sama saja.Aku benar-benar kecewa. Hatiku hancur sehancur-hancurnya.Dalam foto-foto itu, Ivana terlihat begitu bahagia bersama pria itu. Lelaki yang katanya sudah menjadi bagian dari masa lalunya. Tapi dari ekspresi wajahnya, dari sorot matanya… bagaimana mungkin aku percaya kalau perasaan itu benar-benar sudah hilang?Aku menggertakkan gigi, tanganku meremas kertas di atas meja.Mungkinkah aku yang terlalu bodoh? Terlalu percaya? Terlalu mudah dikelabui?Aku sengaja meminta Ibu untuk

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status