Sontak teman-teman pada sibuk membully. Walau Mas Rio bersikap begitu, tapi hatiku tidak baik-baik saja. Intinya curiga!
"Cie, cie, pengantin baru." Reta bertindak pimpinan pembully mulai melancarkan aksinya."Jadi baper, nih.""Mau juga nikah secepatnya.""Pesanan Si Bulan, ma, buat aku aja. Toh, dia bentar lagi makan daging mentah dan segar, eh."Ck! Bullyan mereka sukses membuatku merona. Namun, segera tersadar, bahwa ini hanya acting sementara. Tak apalah, Itu lebih baik, daripada lelaki yang konon bergelar suamiku ini, mempertontonkan kemesraan dengan istri keduanya di depan teman-temanku.Aku manut saja, selain tak ingin me-live-kan perdebatan gratis, pun ingin menunjukkan rumah tangga yang SAMAWA. Munafik memang.Sebelum mengikuti keinginan lelaki ajaib itu, terlebih dahulu meraih ransel di kursi dan berpamitan pada teman-teman. Kedipan mata dan senyum cengegesan mereka, melepas kepergianku. Aisht!Aku melipat dahi setelah menyadari Marta ada di mobil Mas Rio. Pertengkaran hebat yang terfikir di otakku sekarang saat sampai di rumah. Meski begitu, tetap kuikuti jua roda empat bermerek expander keluaran terbaru, berwarna hitam pekat.Penuh tanya dan ragu, aku masuk rumah setelah memarkir motor di garasi. Sepertinya aman, yang kufikirkan tadi tidak terjadi, mereka tak nampak batang hidungnya. Hanya suara musik di kamar dua sejoli itu mengalun agak keras. Biarlah, yang penting tak mengganggu hidupku.Baru saja hendak menutup pintu kamar, lengan kukuh Mas Rio menahannya. Dan dia pun ikut masuk, lalu melanjutkan menutup daun pintu. Tentu saja aku kaget, tidak pernah sekalipun dia memasuki ruangan pribadiku."Kamu ngapain di sini? Apa tidak salah masuk? Atau jangan-jangan kamu lupa ingatan?" tanyaku berusaha datar. Andai jantung itu terbuat dari seng, mungkin suara gaduhnya organ utama dalam tubuhku sekarang, terdengar ke arah 40 rumah tetangga dari kanan, kiri, depan, dan belakang."Kalau ama teman-temanmu, kamu bersikap anggun dan sopan, ya? Sama aku? Suamimu?" sindirnya dengan sorot tajam."Memang siapa yang memberiku contoh, kalau bukan kamu? Trus protes sekarang, untuk apa? Cemburu?" ujarku membuka ransel dan mengeluarkan baju kotor bekas ganti tadi."Kalau iyya, salah?" Kini rahangnya mulai mengeras lagi."Aneh! Aku capek, mau istirahat." Tangan menarik hendel dan berdiri depan pintu, tanda mengusirnya. Lalu jemari menutup mulut berpura-pura menguap sebagai penegasan kata mengantuk tadi.Aku memutar bola mata jengah, saat dia melangkah keluar. Tapi, eits! Lelaki itu malah menutup dan mengunci pintu tanpa sedikitpun dia keluar. Otakku cepat loading, dan tiba-tiba tubuh merinding."Apa yang kamu~"Belum sempat kalimatku sampai. Kejadiian di rumah mamanya terulang lagi. Tapi kali ini berlebihan, dia mendorongku hingga kami terjatuh ke tempat tidur, tanpa menghentikan aksinya.Dalam keadaan panik aku mendorong tubuh yang menindih itu kuat. Namun, tenaga terlalu kecil. Aku tahu dia punya hak atas tubuh ini. Tapi, dalam keadaan seperti sekarang? Sungguh tak memungkinkan, aku belum ikhlas."Mas, bagaimana kalau aku sampai hamil sementara di antara kita hanya benci?" ujarku serak saat jilbabku lepas dan baju sudah terbuka semua kancingnya.Dia menghentikan pergerakannya sejenak. Namun, melanjutkan lagi aksinya. Sampai darah kehormatan yang kujaga selama ini terenggut paksa oleh suami yang tak mencintaiku.Hanya menangis, bisa kulakukan. Perih di bagian virgin yang berdenyut, tak seperih benda lunak warna pink di balik dada yang bernama hati. Jadi inikah tujuannya berbaik-baik tadi di depan teman-temanku?Dengan genangan air mata, aku bangkit ke kamar mandi. Suami yang telah mengambil haknya itu telah kembali ke bilik peraduan, bersama wanita yang dikasihinya.Sungguh mengingatnya, menambah nyeri di dada. Andai tak ada Marta, mungkin sakit ini tak terlalu, meski tak dicintai. Tapi ...? Arght!Di bawah guyuran shower aku melampiaskan tangis. Walau musik di kamar sebelah masih memenuhi ruangan, entah kenapa cara ini membuatku sedikit rileks dari kelemahan dan kebodohan yang hakiki.Ibu, Bapak, Bulan ingin pulang.**Entah jam berapa baru bisa memejamkan mata. Sakit hati, benci, dendam, penyesalan, bersatu padu menggerogoti pkiranku.Sayup kumandang azan Subuh membangunkan dari mimpi buruk sejenak. Masih sempat melihat bercak darah semalam di sprei sebelum mandi lagi serta mengambil air wudhu.Kali ini aku merasa benar-benar melakukan sujud panjang. Mengadukan keluh kesah, kebodohan, dan permohonan di atas sajadah.Setelah merasa cukup mengaji, aku menaruh Al-Quran, lalu melipat mukena dan sajadah."Sudah salatnya?" Lelaki semalam yang telah mengambil haknya, tiba-tiba muncul. Entah bagaimana caranya dia membuka pintu, padahal sudah kukunci.Aku pura-pura tak melihat dan terus melanjutkan kegiatan melipatku. Sepertinya perbendaharaan kataku tertelan kejadian semalam."Jangan marah begitu, dong. Seharusnya kamu bangga mempersembahkan sesuatu yang paling berharga buat suamimu. Padahal di luar sana, sudah jarang sekali wanita mampu melakukan itu," ujarnya menatap bercak darah di sprei, lalu bibirnya menarik senyum puas. Ck, lelaki egois selalu mengutamakan kepentingan dan kepuasannya saja.Aku masih bergeming. Buat apa ditanggapi? Semua sudah terjadi."Aku melakukannya agar kau tak pergi dariku," bisiknya sambil melingkarkan tangan di pinggangku dari belakang. Walau kalimatnya masih perlu penelitian, kenapa hatiku berdebar indah mendengarnya?"Begitu, dong. Bukankah malaikat melaknat seorang istri bila menolak suaminya?" bujuknya lagi lembut sambil menyebut arti hadits, setelah merasakan aku tak melawan seperti semalam.Arght, apa salah menyimpan harap pada dia yang telah mengambil segalanya? Apa salah mencoba membenarkan pernikahan yang dikatakan bodoh darinya? Sepertinya, kejadian semalam, membuat keputusan yang telah bulat, menjadi ambyar.Masih waraskah aku?***Biasanya, melipat dan menyetrika pakaian tak sampai dua jam selesai. Namun, kali ini terasa sangat lama. Nailah dan Azmi yang sempat membantu menurut mereka, jadi ketiduran, aslinya, sih, memang lagi main-main sambil seru-seruan.Bukan karena pakaian yang menumpuk setelah habis acara pesta sederhana, dalam rangka mengumumkan kehalalan hubungan kami.Terlebih disebabkan tentang keberangkatan besok untuk menemui umminya Nailah di Makassar, jadi aku kurang fokus. Padahal ini hampir dua bulan rencana kedatangannya mundur dari informasi sebelumnya.Abi Nailah yang baru datang dari pondok hanya menggeleng kecil sambil tersenyum melihat dua bocah terlelap asal, kemudian memindahkan mereka satu-persatu di biliknya. Kamar memang tempat favoritku mengerjakan kegiatan tersebut, selain nyaman melantai dan dingin kena AC, juga aman meski tak memakai jilbab andai kedatangan tamu tiba-tiba."Tidak usah disetrika, Ummi Sayang." Abi Nailah menyamakan posisi, dia mengambil duduk di belakang sambil mel
"Andai kutahu sahabatku seterluka ini, dari awal tak akan beramah-tamah dengan Simbah dan putrinya," kataku menatap Reta sendu. "Ck, meski aku frustasi begini, masih waras tuk melibatkan mereka dalam persoalan hati." Aku meringis merasakan cubitan kecil Reta di pinggang, sekaligus syahdu menyadari my sister itu telah kembali.Serasa ada yang mengharu biru di dada. "Kalau kamu tinggal di rumah Simbah, aku sama siapa?" tanya Reta seperti dulu, yang selalu nyeplos tanpa berfikir. Anak itu kini benar-benar telah legowo."Makanya nikah juga. Bulan udah dua kali, kamu tinggal perawan tua." Bantal langsung dilayangkan Reta, menimpuk kepala Mas Gading yang menyela pembicaraan. "Semua yang pernah pedekate ke kamu melalui aku, mulai dari belum matang, setengah matang, matang berkali-kali atau gosong sekalian, Abang masih punya nomor HP mereka semua." Mas Gading memperlihatkan gawainya ke Reta dengan mimik lucu tapi serius."Abang ..." Mas Gading langsung berlari keluar mendengar adiknya bert
Entah hanya berapa jam waktu tidurku semalam, setelah melakukan pengaduan panjang lewat salat tahajud dan dilanjut salat Subuh, aku berkutat di dapur lalu membersihkan rumah.Rumah sakit yang terpikir sekarang, entah Reta tak memaafkan lantas mengusir, aku akan jelaskan semua dan memohon maaf yang sebesarnya. Bahkan akan berencana mempertemukan Abi Nailah, agar dia mendengar langsung pernyataan dari bibir pria yang diimpikannya itu."Semoga Allah memudahkanmu, Sayang." Doa Simbah saat aku pamit, beliau mengusap kepalaku sambil tersenyum hangat."Bawain bakso bakar yang dekat masjid kalau pulang nanti, ya, Ummi," pesan Nailah dan Azmi hampir berbarengan, makanan itu mamang favorit mereka. Aku menaikkan jempol tanda setuju.Aku sampai ke rumah sakit dengan ojek sesuai rencana, namun segera berbalik ke toko setelah mendapat telepon Pak Sholeh, ada instansi yang ingin mengambil barang dalam jumlah besar dan harus ada tanda tangan pemilik tokoh sebagai tanda bukti. Okelah, bertemu Reta kit
Aku menumpukan bobot tubuh di kursi taman, meredam rasa bercampur yang masih bergolak. Aku tak tahu apa yang ada di pikiran Mas Rio, bisa-bisanya muhallil yang bercokol di otaknya dan seakan tak bisa diubah. Dia pikir semudah menggoreng ikan lalu melahapnya? Dan luar biasanya, Reta mendukung rencana gila itu agar mendapatkan Abi Nailah. Tak salah lagi, kedua orang ini bucin akut. Ajaibnya semua menyangkut diriku.Huft ...Kututup mata beberapa saat sambil memijit pangkal hidung, ini salah satu cara merilekskan otot-otot syaraf yang masih menegang. Entah itu benar apa tidak, diri selalu mengaplikasikan cara ini."K-kapan, Mas, di sini?" Aku memegang dada mendapati rupa menawan itu sangat dekat saat membuka mata, berjarak sekitar setengah lengan dewasa, hembusan desahan panjangnya menyapu wajahku.Abi Nailah tak menjawab, dia menarik lenganku lembut menuju parkiran, lalu memintaku naik ke roda empatnya. Pria ini kenapa bersikap aneh?Seperti biasa, tak ada percakapan, hanya suara grub
Aku menatap tak berkedip ke arah Reta sekaligus berusaha menajamkan pendengaran ke lawan bicaranya yang kini dia kurangi volume suara di ponselnya. Sama, gadis manis itu tetap bersikap benci, malah sekarang dia seakan jijik walau sekedar menoleh ke arahku meski hanya sejenak. Ya, walau tak sepenuhnya aku menyalahkan diri, tetap saja posisiku tersudut bila berhadapan Reta. Ya, itu disebabkan sebegitu sayangnya aku pada dia. Tidak! Sekira persahabatan kami ini benar-benar tak bisa diselamatkan, aku harus menahan ego. Setidak aku telah berusaha berjuang untuk memperbaiki walau ujungnya akan tetap salah, dimaki, dan dijauhi. Ya, Rabb .... Beri hamba sejumput sabar lagi. Pliss .... Mohon dengan sangat. "Seberapa besar marahmu ke aku, sejumlah itu juga diri akan memohon maaf," kataku dengan bibir bergetar. Sungguh ... jangankan dalam dunia maya, dalam mimpipun aku tak pernah berniat menyakiti hati sahabatku. "Tidak untuk kali ini. Anggap saja aku sudah mati, begitupun sebaliknya." Mimi
Setelah Marta mampu mengontrol emosinya, dia lantas mengajak kami ke arah kamarku dulu."Sekuat apa aku berjuang sepertinya akan sia-sia. Lihatlah! Tak ada aku di sana," ucapnya menunjuk isi ruangan yang telah terenov, foto pengantin kami dalam ukuran besar terpajang di dinding, ditambah gambar Azmi berbagai gaya dan pose.Abi Nailah sempat terpaku setelah menyusuri dengan bola mata ruang penuh kenangan."Jangan pernah sedikitpun menyimpan cemburu untukku, Mar, karena hari di mana satu malam Mas Rio mengambil paksa haknya, aku membuang diri ke esokan paginya ke tempat asing, mengobati sakit, bahkan melahirkan tanpa keluarga," kataku mengusap pipi, lalu melirik Abi Nailah. Ah, biarlah dia tahu seperti apa wanita yang telah dinikahinya."Bertahun tertatih berjuang mengikhlaskan semua yang terjadi, lihatlah, meski jauh dari baik, aku bisa bilang, sahabatmu ini bahagia, pun tak menyimpan dendam pada kalian," ujarku menarik senyum."Intinya, jangan berputus asa, Marta. Yakinlah, Allah akan