Share

7. Musafir

Setelah melaksanakan salat Asar, ingatan tentang makanan dan kue yang dibawa dari kampung tadi pagi menuntun kaki ke dapur.

Saat melewati ruang keluarga, tampak dua sejoli itu serius menyaksikan layar TV, lalu sekali-kali tertawa. Marta berbaring di sofa dan menggunakan paha Mas Rio sebagai bantal, sedang lelaki itu menyandarkan punggung di sandaran sofa. Mereka hanya melirikku sekilas dan kembali fokus ke TV. Pasangan aneh, baru saja bertengkar sampai berdarah-darah, tak cukup tiga jam, sudah terlupa. Bucin bin kuadrat, aku rasa itulah kalimat pas buat mereka.

Biar sajalah! Setidak mengetahui mereka bergerak, berarti pelipis Mas Rio tak apa, pun Marta tidak bunuh diri seperti prasangka burukku tadi.

Tentang sikap tak peduli mereka ke aku? Sepertinya diri akan membiasakan dianggap setan karena menjadi yang ketiga.

Kupercepat pergerakan, mengambil yang kubutuhkan dan masuk kembali ke kamar. Entah kenapa sekarang ada yang tiba-tiba berdenyut di balik dada melihat adegan mesra mereka.

Adakah yang bisa menyadarkanku kalau rasa ini salah alamat? Adakah yang bisa mengingatkanku kalau cemburu ini adalah kebodohan yang hakiki?

"Kapan Bulan pindah, sih, Mas? Kehadirannya ganggu banget hidup kita."

Samar terdengar suara Marta dari kemar sebelah, setelah sedari tadi kunikmati kue-kue mama sambil berselancar di media sosial.

Mungkin acara menontonnya di luar tadi telah berakhir.

"Kata Mas, kan, Bulan pasti secepatnya pergi, ato jangan-jangan benalu itu sudah gak punya sama sekali harga diri lagi." Ucapan Marta kali ini sungguh keterlaluan. Tapi aku cepat mengelus dada sambil beristigfar untuk meredam amarahku yang mulai tersulut.

Sebelum mendengar jawaban Mas Rio, aku beralternatif memasang headset di telinga dan menambahkan volume pull di HP.

Meski aku sudah bisa menebak jawaban lelaki egois itu, rasanya terlalu sakit jika mendengarnya langsung.

Entah kenapa hati ini masih ragu melangkah pergi saat Mas Rio melarang.

Aku yakin rasa ini hanya bentuk taatku pada syariat. Yang melarang seorang istri keluar rumah tanpa izin suami.

Ah, kenapa masih memikirkan hal tersebut? Sedang suami yang mau didengarkan itu, tak perduli sama sekali kebaikan istrinya.

Selemah itukah diriku?

**

Seperti biasa, sepulang dari toko, arah motor menuju masjid. Sambil menunggu waktu Magrib, aku mandi di sana. Tas yang tergantung di punggung dan kubawa kemana-mana, berupa ransel, kebiasaan waktu kuliah dulu. Isinya bermacam-macam, laptop, bedak dan kawan-kawannya, alat mandi, handuk kecil, dan baju ganti. Bahkan sendal jepit juga tersimpan di bagasi roda dua seperjuangan itu.

Mungkin yang melihat, pasti mengatakan hidupku rempong. Ya, memang seperti itu. Apalagi sekarang, diri ini bagai musafir sejati. Ada rumah, tapi tak berpunya. Ada suami, tapi tak termiliki. Ada keluarga, tapi rasanya tetap merasa sendiri. Hiks ...

Setelah melaksanakan salat Magrib berjamaah, aku memutuskan duduk bersantai di halaman masjid yang memang luas dan ramai, ditempati jamaah menunggu salat Isya, atau sekedar melepas penat dan lelah seharian beraktifitas.

Sementara melihat keramaian lalu lalang dan memikirkan rumah sewa paling tepat, teman-teman yang kemarin datang di rumah Mas Rio, menyapa dan ikut bergabung.

Kali ini ada sepuluh orang, lima wanita dan lima pria. Mungkin sahabatan atau ..., entahlah. Aku tidak mau pikir urusan orang. Urusanku saja, tak satu pun yang beres.

Seperti biasa, kami bercerita panjang kali lebar kali tiinggi. Di tengah asyiknya ngobrol, Mas Rio dan Marta masuk bergandengan tangan.

Seketika wajahku memanas dan jantung menghentak keras menyaksikan itu. Bukan karena cemburu, tapi rasa malu pada teman-teman dan orang-orang yang mengetahui pernikahan ini.

Andai aku punya ilmu menghilang, tentu sudah kulakukan sekarang. Harga diriku sebagai istri dan wanita seakan terinjak sehancur-hancurnya.

Tatapan aku dan Mas Rio sempat bersirobok saat dia melewati kami. Sementara Marta, bibirnya terangkat mengukir senyum mengejek menyadari keberadaanku.

Ya ... Rabb ...? Apakah tak ada sama sekali belas kasih kau titip di hati dua sejoli itu, pada perasaanku?

Kembali aku teralih lagi ke teman-teman, sambil berdoa dalam hati, mereka tak melihat atau tak mengenali lelaki tanpa nurani bersama dengan pasangan lebaynya.

"Itukan Mas Rio, Lan?" Yang kutakutkan terjadi juga. Reta menunjuk ke lelaki egois yang masuk kamar kecil.

"Mana? Mana?" Serempak yang lain menanggapi. Dadaku kini berdegup kencang. Mau disimpan di mana wajahku, Ya, Allah ...

Sambil teman-teman masih menunjuk dan mencari tahu, lafadz doa terus kulantunkan dalam hati, "Allahummastur auratii wa amirrautii fagfirllzzunubi. Tutuplah aurat dan maluku ya, Allah ... Mohon dengan sangat, mohon dengan sangat."

"Allahu Akbar ... Allahu Akbar ..."

Suara adzan pengeras masjid terdengar, aku segera bangkit sambil mengelus dada, "trima kasih untuk pertolonganmu Ya, Allah. Aku hanya punya Engkau sekarang, selalu, dan selamanya," lirihku dalam hati, lalu mengajak mereka ambil wudhu.

Selepas salat Isya, kami bersebelas bertemu kembali di warung makan dalam pantai Senggol.

Sembari menunggu pesanan, kami berselfi ria. Tujuannya ingin mengaploud di grup reuni.

Entah jepretan keberapa kali, Mas Rio muncul dengan rahang mengeras, sepertinya dia menahan marah. Pada siapa?

"Yuk, kita pulang, Sayang," ajaknya dengan gaya menengadahkan tangan kanan, sedang tangan kiri dimasukkan saku celananya.

Aku sempat terpaku beberapa detik, tak memungkiri memang, dia memiliki kriteria semua pria. Tinggi, atletis, tampan, cool, dan mapan. Sayang, prilaku dan wataknya berbanding terbalik dengan kelebihan fisiknya.

Tunggu! Ada apa lagi dengan lelaki ajaib ini? Kok, tumben-tumbenan dia bersikap aneh begitu?

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status