Setelah melaksanakan salat Asar, ingatan tentang makanan dan kue yang dibawa dari kampung tadi pagi menuntun kaki ke dapur.
Saat melewati ruang keluarga, tampak dua sejoli itu serius menyaksikan layar TV, lalu sekali-kali tertawa. Marta berbaring di sofa dan menggunakan paha Mas Rio sebagai bantal, sedang lelaki itu menyandarkan punggung di sandaran sofa. Mereka hanya melirikku sekilas dan kembali fokus ke TV. Pasangan aneh, baru saja bertengkar sampai berdarah-darah, tak cukup tiga jam, sudah terlupa. Bucin bin kuadrat, aku rasa itulah kalimat pas buat mereka.Biar sajalah! Setidak mengetahui mereka bergerak, berarti pelipis Mas Rio tak apa, pun Marta tidak bunuh diri seperti prasangka burukku tadi.Tentang sikap tak peduli mereka ke aku? Sepertinya diri akan membiasakan dianggap setan karena menjadi yang ketiga.Kupercepat pergerakan, mengambil yang kubutuhkan dan masuk kembali ke kamar. Entah kenapa sekarang ada yang tiba-tiba berdenyut di balik dada melihat adegan mesra mereka.Adakah yang bisa menyadarkanku kalau rasa ini salah alamat? Adakah yang bisa mengingatkanku kalau cemburu ini adalah kebodohan yang hakiki?"Kapan Bulan pindah, sih, Mas? Kehadirannya ganggu banget hidup kita."Samar terdengar suara Marta dari kemar sebelah, setelah sedari tadi kunikmati kue-kue mama sambil berselancar di media sosial.Mungkin acara menontonnya di luar tadi telah berakhir."Kata Mas, kan, Bulan pasti secepatnya pergi, ato jangan-jangan benalu itu sudah gak punya sama sekali harga diri lagi." Ucapan Marta kali ini sungguh keterlaluan. Tapi aku cepat mengelus dada sambil beristigfar untuk meredam amarahku yang mulai tersulut.Sebelum mendengar jawaban Mas Rio, aku beralternatif memasang headset di telinga dan menambahkan volume pull di HP.Meski aku sudah bisa menebak jawaban lelaki egois itu, rasanya terlalu sakit jika mendengarnya langsung.Entah kenapa hati ini masih ragu melangkah pergi saat Mas Rio melarang.Aku yakin rasa ini hanya bentuk taatku pada syariat. Yang melarang seorang istri keluar rumah tanpa izin suami.Ah, kenapa masih memikirkan hal tersebut? Sedang suami yang mau didengarkan itu, tak perduli sama sekali kebaikan istrinya.Selemah itukah diriku?**Seperti biasa, sepulang dari toko, arah motor menuju masjid. Sambil menunggu waktu Magrib, aku mandi di sana. Tas yang tergantung di punggung dan kubawa kemana-mana, berupa ransel, kebiasaan waktu kuliah dulu. Isinya bermacam-macam, laptop, bedak dan kawan-kawannya, alat mandi, handuk kecil, dan baju ganti. Bahkan sendal jepit juga tersimpan di bagasi roda dua seperjuangan itu.Mungkin yang melihat, pasti mengatakan hidupku rempong. Ya, memang seperti itu. Apalagi sekarang, diri ini bagai musafir sejati. Ada rumah, tapi tak berpunya. Ada suami, tapi tak termiliki. Ada keluarga, tapi rasanya tetap merasa sendiri. Hiks ...Setelah melaksanakan salat Magrib berjamaah, aku memutuskan duduk bersantai di halaman masjid yang memang luas dan ramai, ditempati jamaah menunggu salat Isya, atau sekedar melepas penat dan lelah seharian beraktifitas.Sementara melihat keramaian lalu lalang dan memikirkan rumah sewa paling tepat, teman-teman yang kemarin datang di rumah Mas Rio, menyapa dan ikut bergabung.Kali ini ada sepuluh orang, lima wanita dan lima pria. Mungkin sahabatan atau ..., entahlah. Aku tidak mau pikir urusan orang. Urusanku saja, tak satu pun yang beres.Seperti biasa, kami bercerita panjang kali lebar kali tiinggi. Di tengah asyiknya ngobrol, Mas Rio dan Marta masuk bergandengan tangan.Seketika wajahku memanas dan jantung menghentak keras menyaksikan itu. Bukan karena cemburu, tapi rasa malu pada teman-teman dan orang-orang yang mengetahui pernikahan ini.Andai aku punya ilmu menghilang, tentu sudah kulakukan sekarang. Harga diriku sebagai istri dan wanita seakan terinjak sehancur-hancurnya.Tatapan aku dan Mas Rio sempat bersirobok saat dia melewati kami. Sementara Marta, bibirnya terangkat mengukir senyum mengejek menyadari keberadaanku.Ya ... Rabb ...? Apakah tak ada sama sekali belas kasih kau titip di hati dua sejoli itu, pada perasaanku?Kembali aku teralih lagi ke teman-teman, sambil berdoa dalam hati, mereka tak melihat atau tak mengenali lelaki tanpa nurani bersama dengan pasangan lebaynya."Itukan Mas Rio, Lan?" Yang kutakutkan terjadi juga. Reta menunjuk ke lelaki egois yang masuk kamar kecil."Mana? Mana?" Serempak yang lain menanggapi. Dadaku kini berdegup kencang. Mau disimpan di mana wajahku, Ya, Allah ...Sambil teman-teman masih menunjuk dan mencari tahu, lafadz doa terus kulantunkan dalam hati, "Allahummastur auratii wa amirrautii fagfirllzzunubi. Tutuplah aurat dan maluku ya, Allah ... Mohon dengan sangat, mohon dengan sangat.""Allahu Akbar ... Allahu Akbar ..."Suara adzan pengeras masjid terdengar, aku segera bangkit sambil mengelus dada, "trima kasih untuk pertolonganmu Ya, Allah. Aku hanya punya Engkau sekarang, selalu, dan selamanya," lirihku dalam hati, lalu mengajak mereka ambil wudhu.Selepas salat Isya, kami bersebelas bertemu kembali di warung makan dalam pantai Senggol.Sembari menunggu pesanan, kami berselfi ria. Tujuannya ingin mengaploud di grup reuni.Entah jepretan keberapa kali, Mas Rio muncul dengan rahang mengeras, sepertinya dia menahan marah. Pada siapa?"Yuk, kita pulang, Sayang," ajaknya dengan gaya menengadahkan tangan kanan, sedang tangan kiri dimasukkan saku celananya.Aku sempat terpaku beberapa detik, tak memungkiri memang, dia memiliki kriteria semua pria. Tinggi, atletis, tampan, cool, dan mapan. Sayang, prilaku dan wataknya berbanding terbalik dengan kelebihan fisiknya.Tunggu! Ada apa lagi dengan lelaki ajaib ini? Kok, tumben-tumbenan dia bersikap aneh begitu?***Biasanya, melipat dan menyetrika pakaian tak sampai dua jam selesai. Namun, kali ini terasa sangat lama. Nailah dan Azmi yang sempat membantu menurut mereka, jadi ketiduran, aslinya, sih, memang lagi main-main sambil seru-seruan.Bukan karena pakaian yang menumpuk setelah habis acara pesta sederhana, dalam rangka mengumumkan kehalalan hubungan kami.Terlebih disebabkan tentang keberangkatan besok untuk menemui umminya Nailah di Makassar, jadi aku kurang fokus. Padahal ini hampir dua bulan rencana kedatangannya mundur dari informasi sebelumnya.Abi Nailah yang baru datang dari pondok hanya menggeleng kecil sambil tersenyum melihat dua bocah terlelap asal, kemudian memindahkan mereka satu-persatu di biliknya. Kamar memang tempat favoritku mengerjakan kegiatan tersebut, selain nyaman melantai dan dingin kena AC, juga aman meski tak memakai jilbab andai kedatangan tamu tiba-tiba."Tidak usah disetrika, Ummi Sayang." Abi Nailah menyamakan posisi, dia mengambil duduk di belakang sambil mel
"Andai kutahu sahabatku seterluka ini, dari awal tak akan beramah-tamah dengan Simbah dan putrinya," kataku menatap Reta sendu. "Ck, meski aku frustasi begini, masih waras tuk melibatkan mereka dalam persoalan hati." Aku meringis merasakan cubitan kecil Reta di pinggang, sekaligus syahdu menyadari my sister itu telah kembali.Serasa ada yang mengharu biru di dada. "Kalau kamu tinggal di rumah Simbah, aku sama siapa?" tanya Reta seperti dulu, yang selalu nyeplos tanpa berfikir. Anak itu kini benar-benar telah legowo."Makanya nikah juga. Bulan udah dua kali, kamu tinggal perawan tua." Bantal langsung dilayangkan Reta, menimpuk kepala Mas Gading yang menyela pembicaraan. "Semua yang pernah pedekate ke kamu melalui aku, mulai dari belum matang, setengah matang, matang berkali-kali atau gosong sekalian, Abang masih punya nomor HP mereka semua." Mas Gading memperlihatkan gawainya ke Reta dengan mimik lucu tapi serius."Abang ..." Mas Gading langsung berlari keluar mendengar adiknya bert
Entah hanya berapa jam waktu tidurku semalam, setelah melakukan pengaduan panjang lewat salat tahajud dan dilanjut salat Subuh, aku berkutat di dapur lalu membersihkan rumah.Rumah sakit yang terpikir sekarang, entah Reta tak memaafkan lantas mengusir, aku akan jelaskan semua dan memohon maaf yang sebesarnya. Bahkan akan berencana mempertemukan Abi Nailah, agar dia mendengar langsung pernyataan dari bibir pria yang diimpikannya itu."Semoga Allah memudahkanmu, Sayang." Doa Simbah saat aku pamit, beliau mengusap kepalaku sambil tersenyum hangat."Bawain bakso bakar yang dekat masjid kalau pulang nanti, ya, Ummi," pesan Nailah dan Azmi hampir berbarengan, makanan itu mamang favorit mereka. Aku menaikkan jempol tanda setuju.Aku sampai ke rumah sakit dengan ojek sesuai rencana, namun segera berbalik ke toko setelah mendapat telepon Pak Sholeh, ada instansi yang ingin mengambil barang dalam jumlah besar dan harus ada tanda tangan pemilik tokoh sebagai tanda bukti. Okelah, bertemu Reta kit
Aku menumpukan bobot tubuh di kursi taman, meredam rasa bercampur yang masih bergolak. Aku tak tahu apa yang ada di pikiran Mas Rio, bisa-bisanya muhallil yang bercokol di otaknya dan seakan tak bisa diubah. Dia pikir semudah menggoreng ikan lalu melahapnya? Dan luar biasanya, Reta mendukung rencana gila itu agar mendapatkan Abi Nailah. Tak salah lagi, kedua orang ini bucin akut. Ajaibnya semua menyangkut diriku.Huft ...Kututup mata beberapa saat sambil memijit pangkal hidung, ini salah satu cara merilekskan otot-otot syaraf yang masih menegang. Entah itu benar apa tidak, diri selalu mengaplikasikan cara ini."K-kapan, Mas, di sini?" Aku memegang dada mendapati rupa menawan itu sangat dekat saat membuka mata, berjarak sekitar setengah lengan dewasa, hembusan desahan panjangnya menyapu wajahku.Abi Nailah tak menjawab, dia menarik lenganku lembut menuju parkiran, lalu memintaku naik ke roda empatnya. Pria ini kenapa bersikap aneh?Seperti biasa, tak ada percakapan, hanya suara grub
Aku menatap tak berkedip ke arah Reta sekaligus berusaha menajamkan pendengaran ke lawan bicaranya yang kini dia kurangi volume suara di ponselnya. Sama, gadis manis itu tetap bersikap benci, malah sekarang dia seakan jijik walau sekedar menoleh ke arahku meski hanya sejenak. Ya, walau tak sepenuhnya aku menyalahkan diri, tetap saja posisiku tersudut bila berhadapan Reta. Ya, itu disebabkan sebegitu sayangnya aku pada dia. Tidak! Sekira persahabatan kami ini benar-benar tak bisa diselamatkan, aku harus menahan ego. Setidak aku telah berusaha berjuang untuk memperbaiki walau ujungnya akan tetap salah, dimaki, dan dijauhi. Ya, Rabb .... Beri hamba sejumput sabar lagi. Pliss .... Mohon dengan sangat. "Seberapa besar marahmu ke aku, sejumlah itu juga diri akan memohon maaf," kataku dengan bibir bergetar. Sungguh ... jangankan dalam dunia maya, dalam mimpipun aku tak pernah berniat menyakiti hati sahabatku. "Tidak untuk kali ini. Anggap saja aku sudah mati, begitupun sebaliknya." Mimi
Setelah Marta mampu mengontrol emosinya, dia lantas mengajak kami ke arah kamarku dulu."Sekuat apa aku berjuang sepertinya akan sia-sia. Lihatlah! Tak ada aku di sana," ucapnya menunjuk isi ruangan yang telah terenov, foto pengantin kami dalam ukuran besar terpajang di dinding, ditambah gambar Azmi berbagai gaya dan pose.Abi Nailah sempat terpaku setelah menyusuri dengan bola mata ruang penuh kenangan."Jangan pernah sedikitpun menyimpan cemburu untukku, Mar, karena hari di mana satu malam Mas Rio mengambil paksa haknya, aku membuang diri ke esokan paginya ke tempat asing, mengobati sakit, bahkan melahirkan tanpa keluarga," kataku mengusap pipi, lalu melirik Abi Nailah. Ah, biarlah dia tahu seperti apa wanita yang telah dinikahinya."Bertahun tertatih berjuang mengikhlaskan semua yang terjadi, lihatlah, meski jauh dari baik, aku bisa bilang, sahabatmu ini bahagia, pun tak menyimpan dendam pada kalian," ujarku menarik senyum."Intinya, jangan berputus asa, Marta. Yakinlah, Allah akan