Wira Menggeleng tak percaya, rupanya sahabat karib dan sekaligus tangan kanannya itu tengah jatuh cinta. Dia mengambil sendok yang lainnya dan melanjutkan menghabiskan spageti yang sudah dimasak oleh Satrio.
“Kira-kira gue bisa ketemu dia lagi kapan ya, Tan? Jangankan tempat tinggalnya, namanya saja Cuma denger samar doang ….” Satrio menatap kosong pada spageti miliknya. Selera makannya mendadak berkurang ketika dirinya teringat sosok Ririn. Perempuan unik yang membuatnya susah melupakan pesonanya.
“Ck! Usaha, dong! Kalau lu emang jatuh cinta, carilah dia! Kayak gue sekarang, gue usaha cari calon istri gue!” Wira melengos meninggalkan Satrio yang wajahnya tampak galau. Dia menyimpan piring ke dapur dan membiarkannya di wastafel. Lalu dia melewati Satrio begitu saja dan menuju kamar milik sahabatnya. Wira merebahkan tubuhnya, telentang di atas k
Wira terbangun dengan enggan. Ketiadaan kabar dari orang-orang yang dimintanya mencari Rinai membuat moodnya berantakan. Namun minggu pagi seperti itu biasanya dia akan berolah raga di luar. Biasanya dia lari ke luar komplek perumahannya atau sekadar mengikuti lintasan yang dibuatnya mengelilingi kediamannya yang luas.Wira mengenakan kaos oblong yang membuat badannya yang atletis terlihat sempurna dan celana selutut membuatnya tampak begitu santai. Handuk kecil tersampir di bahunya. Baru saja kakinya hendak menuruni anak tangga, langkahnya terhenti, kedua netranya menyipit memperhatikan seorang gadis yang tengah mematung menatap foto keluarga ketika dirinya wisuda dulu. Hatinya berdebar anatara senang dan heran.“Rinai?” gumam Wira dalam dada. Dia bisa mengenali gadis dengan rambut kuncir ekor kuda itu. Wira menautkan kedua alisnya da
Rinai yang terburu-buru berangkat bersama Pak Mahmud---sopir Mami dan Papi sudah tiba di supermarket. Bi Siti hanya mengantarnya sampai teras dan memberinya catatan belanja yang tertinggal, awalnya masih mau mengantar akan tetapi dia mendapatkan telepon dari Wira untuk mengerjakan tugas lain. Karenanya, mulai hari itu, Rinai sudah dilepas sendirian. Toh, masih ditemani oleh Pak Mahmud juga jadi tak mungkin hilang. Di rumah Wira memang ada dua sopir pribadi. Pak Imam---khusus untuk mengemudikan mobil Wira. Sementara itu, Pak Mahmud adalah sopir kepercayaan Mami dan Papi sejak lama. Dia yang biasa mengantar para ART belanja.Rinai sudah tiba di supermarket dan langsung mencari barang-barang yang dimaksud. Dia dibekali sebuah kartu debit oleh Bi Siti dan sudah diberi nomor pin. Kartu debit itu memang khusus digunakan untuk belanja bulanan. Mami mengisinya secara berkala dari rekening miliknya.
“Ingat! Jangan coba lagi melarikan diri dariku! Aku ini dekat, bukan jauh seperti apa yang ada dalam pikiranmu,” ucap Wira sambil tersenyum. Rinai hanya mengangguk. Sekilas sudut matanya menatap Wira, lalu menoleh dan berjalan tergesa. Pikirannya kalut karena kartu debit yang diberikan Bi Siti kini terblokir akibat ulahnya.Rinai berjalan tergesa menuju ke luar supermarket. Dia masih tak habis pikir dengan perjalanan nasib yang begitu cepat membawa Wira kembali padanya.Pikiran yang sedang kosong membuatnya tidak fokus, hingga sebuah tubrukkan kembali terjadi. Seorang lelaki berjalan tergesa masuk ke supermarket itu juga. Salah satu plastik belanjaan Rinai terlepas, isinya berhamburan. Beberapa menggelinding ke arah lintasan mobil dan terinjak mobil yang sedang melaju.“Upsss … Maaf!”
Tasya cukup terkejut mendengar ucapan Lala. Dia tak menjawab melainkan berjalan cepat menuju ke depan gedung di mana acara dilaksanakan.“Mas Rendi!”Tasya memekik sambil berjalan cepat. Highheel lima belas senti membuat dirinya tak bisa berlari, padahal hatinya sudah ingin segera tiba di mana Rendi sedang berhadapan dengan dua orang polisi.“Maaf, Sya!”Hanya itu ucapan dari mulut Rendi. Pak Harsuadi, Ibu Kamelia, Tisya dan Hengki turut menghampiri Tasya yang mematung mendengar kata maaf dari calon tunangannya itu.“Mas, kamu mau ke mana? Kenapa ada polisi segala, Mas?”Tasya gemetar, menatap Rendi yang tangannya sudah terborgol. Lelaki itu hanya m
"Rahasia apa?”Suara seraknya terdengar menggemaskan.“Tapi aku mau nagih janji kamu dulu! Kamu akan menjadi perempuan tangguhku! Kita akan menghadapi apapun yang ada di depan nanti bersama-sama!”Rinai terdiam sesaat. Wira pun menunggu. Tak berapa lama helaan napas terdengar.“Bang, aku gak yakin … asal kamu tahu, karena ketidak yakinan itulah akhirnya aku memilih pergi. Eh, malah ketemu lagi …,” ucapnya terdengar sedih. Aku menghela napas panjang.“Apakah ada lelaki lain di hatimu?” tanya Wira dengan hati ketar-ketir.“Bukan itu. Hanya saja aku merasa tak pantas untukmu … usai semua urusan kita te
Rinai hanya menyipitkan mata dan tak ingin lebih banyak terlibat dengan calon menantu Nyonya yang ternyata gayanya bak artis ibu kota. Dia langsung keluar di antar supir.Sementara itu, Angel sudah tiba di depan kamar Wira. Dia mendorong begitu saja pintu kamar itu tanpa diketuk. Ketika tiba di dalam, rupanya Wira baru saja selesai mandi dan masih memakai handuk yang dililitkan pada pinggang. Angel sontak menelan Saliva melihat dada bidang yang sandarabel itu. Dia mendekat, akan tetapi Wira menatap murka.“Siapa yang mengijinkanmu masuk? Pergi dari kamarku, sekarang!”Wira menatap kesal pada Angel yang masuk ke dalam kamar secara tiba-tiba. Gadis itu malah tersipu dan menutup daun pintu. Dia seolah terhipnotis dengan pemandangan mengagumkan yang ada di depannya. Wira menggeleng kepala, dia berjalan mendekat d
“Ririn! Es kelapanya tambah dua lagi, ya!” teriak Mami pada gadis yang tengah mengantri di penjual es kelapa yang tak jauh dari sana. Sontak Satrio menoleh ke arah mata Mami memandang, karena nama itu begitu familiar di telinganya. Kedua netranya berbinar. Satrio menepuk bahu Wira sambil berucap.“Tan, kalau jodoh gak kemana memang! Rupanya cewek yang gue taksir itu asisten Mami lu!”Kedua netra Wira mengikuti arah tatapan Satrio. Bersamaan dengan itu Rinai tengah menoleh ke arahnya karena teriakan Mami tadi. Keduanya bersitatap sejenak, lalu Rinai kembali membuang muka. Wajah Wira sedikit menegang, bagaimanapun dia masih menyembunyikan siapa dirinya yang sesungguhnya dari Rinai. Seketika otaknya berputar mencari cara, bagaimana menjelaskan padanya tanpa membuat Mami curiga.“Hey, Tan! Lu kenapa b
“M—maksudku, bagus ‘gak, Mas?”Rinai mengulangi kalimatnya seraya mengalihkan pandangannya pada Satrio. Tatapan dari Satrio dan Angel lah yang akhirnya membuat Rinai sadar di mana mereka berada kini.Satrio tersenyum, mengangguk dan mengacungkan dua jempolnya. Meskipun hatinya sempat bingung dengan kekajadian yang janggal tadi.Satrio dan Wira pun bergantian berganti kemeja kerja mereka dengan kemeja lengan pendek dengan motif senada dengan yang Rinai gunakan. Satrio menatap tak terima ketika Wira berjalan mendauhuluinya ke mobil. Kenapa lelaki itu menyamai motif pakaian wanita yang disukainya. Namun tak lagi banyak berdebat, gak enak.Kedua orang dewasa itu kini tampak tak lebih daripada dua anak kecil yang berebut mainan. Dia saling menilik dalam