Share

BINGUNG

“Tapi, itu semua kemauan orang tua kita. Aku juga ndak ngerti apa-apa, Mas. Aku juga ndak tahu, kalau Mas Hen ternyata sudah punya pacar,” jawab Lita pelan sambil masih terisak.

“Kalau aku tahu, aku juga ndak bakalan mau dijodohkan sama Mas Hen. Aku juga ndak mau merusak hubungan njenengan (kamu) sama dia,” beritahu Lita melengkapi kalimatnya sambil membenahi posisi duduknya, kemudian menyeka air matanya.

Mendengar penjelasan Lita, wajah Hendra yang semula menegang, sekatika mengendur. Ia baru menyadari bahwa ini memang bukan salah Lita sepenuhnya. Dia hanya mengikuti tradisi yang sudah turun temurun. Dia hanya manut apa yang sudah menjadi titah keluarga. Sedangkan aku, mungkin satu-satunya orang yang membangkang dengan aturan itu.

Hendra menarik napas. Kemudian mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Mencoba menyapu kekalutan yang tersirat di rautnya. “Hah! Ya, sudah. Aku mau mandi,” beritahu Hendra kepada istrinya.

Tanpa menunggu diperintah, bergegas Lita mengambil handuk bersih dari dalam lemari. Lalu ia ke kamar mandi, untuk mengatur air panas yang akan di pakai Hendra mandi. Setelah itu, dia menyiapkan pakaian suaminya selagi lelaki itu melakukan ritualnya.

Lita merapikan tas, telepon genggam dan juga kunci mobil Hendra yang semula lelaki itu meletakkannya sembarangan. Kemudian, Lita keluar mengambilkan segelas air putih hangat untuk Hendra. Ia tak tahu apakah suaminya membutuhkan air minum itu atau tidak. Yang pasti, sudah menjadi suatu kebiasaannya selalu menyediakan air itu.

Saat Lita masuk lagi ke kamar untuk meletakkan gelas yang berisi air minum itu, bersamaan Hendra keluar dari kamar mandi dengan bebatan handuk di pinggangnya. Melihat situasi seperti itu, Lita merasa tak enak. Dia masuk sebentar dan berniat cepat-cepat keluar dari kamar itu. Perempuan itu masih merasa risih dengam situasi seperti ini. Walau sebenarnya dia ingin sekali memeluk tubuh wangi Hendra, apa lagi setelah mandi seperti ini. Dia membayangkan, betapa segar dan nyamannya tubuh itu bila ia bersandar di sana.

Akan tetapi, dia menyadari hal itu. hingga detik ini Hendra masih belum bisa mencintainya. Sehingga tak mungkin dia akan melakukan itu.

Sabar ya, Lit. suatu saat suamimu pasti akan bertekuk lutut padamu,” sisi lain hati Lita berbisik. Untuk sementara ini Lita hanya bisa menelan ludah.

“Bapak sama ibu kemana?” tanya Hendra yang tiba-tiba saja. Membuat Lita menghentikan langkahnya saat ia akan berbalik keluar kamar.

Dengan ragu, Lita memutar kembali tubuhnya menghadap Hendra yang membelakanginya dan masih sibuk mengenakan pakaiannya. Namun, Lita tak berani melihat secara terang-terangan ke Hendra. Perempuan itu selalu menunduk.

Sowan (menjenguk) ke Pak De Roso,” perempuan itu menjawab dengan nada pelan.

“Kamu kenapa ndak ngikut sekalian.”

Mboten (tidak).”

Ngopo (kenapa)?”

"Diutus (disuruh) ibu nunggu Mas Hendra mawon (saja).”

“Tapi aku ndak bisa. Masih banyak kerjaan. Kalau kamu mau ke sana, biar di anatar Kusno aja,” ucap Hendra sambil meletakkan handuknya begitu saja di atas tempat tidur. Kemudian dia mengambil laptop dan membawanya ke sofa.

“Pesan Ibu, kalau Mas Hen ndak bisa, ya sudah. Kita ndak usah kesana,” jawab Lita yang tak ditanggapi Hendra. Lelaki itu mulai sibuk dengan laptopnya.

“Mas Hend, kalau mau dahar (makan), semua sudah disiapkan,” kasih tahu Lita yang lagi-lagi tak mendapatkan tanggapan dari suaminya. Melihat situasi yang menurut Lita kembali normal, perempuan itu segera meninggalkan Hendra. Sebelumnya dia mengambil pakaian kotor Hendra dan handuk yang diletakkan begitu saja di atas tempat tidur, untuk dipindahkan ke ruang laundry supaya dibersihkan oleh asisten bagian laundry.

Yah, baru kali ini Hendra berbicara banyak dengan Lita semenjak ultimatum yang dia lontarkan di malam pertamanya. Hal itu menurut Lita menjadi hal yang sudah biasa dia jalani di hari-hari yang suwung (sepi) dalam hidupnya. Tak ada keluhan sedikit pun yang keluar dari bibirnya. Semua, dia telan sendiri, dengan harapan ini akan berakhir pada waktunya.

“Saya mau keluar dulu. Sama Ambar,” pamit Lita dengan hati-hati. Dia tak ingin mengganggu konsentrasi Hendra yang dari tadi masih fokus di depan laptopnya.

Masih seperti biasa. Tak ada respon sedikit pun dari Hendra. Sehingga Lita tak bisa mengartikan bahwa suaminya mengizinkan atau tidak. Namun, dia tak mau ambil pusing dengan hal itu. Perempuan itu mengambil keputusan sendiri. Dia tetap akan keluar bersama Ambar. Sekadar bersenang-senang melepaskan duka hariannya untuk sementara waktu.

Tak lama suara mobil Ambar terdengar masuk halaman rumah. Lita bergegas menemuinya dan mereka siap-siap pergi.

“Kok, sepi?” tanya Ambar saat dia keluar dari mobilnya.

“Bapak sama Ibu sowan ke kakaknya,” jawab Lita

”La, Mas Hen?”

“Ada di kamar. Lagi ngurusin kerjaannya. Wes ah. Yuk?”

Opo (apa) ndak pamit dulu sama bojomu?”

“Sudah. Tadi aku sudah pamit sama dia,” jawab Lita sambil menarik tangan Ambar. Mereka pun masuk ke mobil dan Ambar siap melajukan mobilnya.

Ambar sangat tahu bagaimana perasaan Lita selama dia menikah dengan Hendra. Karena, dia adalah satu-satunya sahabat sejak duduk di bangku sekolah dasar kelas enam. Dia adalah sahabat yang paling mengerti, dia adalah satu-satunya teman sebagai tempat curahan hatinya. Lita sangat percaya dengan Ambar.

Menjelang sore.

“Lit, Lita!” panggil pak Wiryo sambil memapah istrinya masuk hingga ke ruang tengah. Beberapa asistennya seketika tergopoh membantunya saat mendengar sang majikan memanggi Lita dengan suara panik.

Mendengar keributan di luar kamar, Hendra pun keluar. Menyusul orang tuanya yang baru saja pulang membawa kepanikan.

“Hen, bojomu (istrimu) mana? Iki, loh. Ibumu kumat (kambuh) penyakite,” tanya pak Warso sekaligus memberitahukan. Mendengar ibunya sakit, Hendra pun bergegas mendekati ibunya dan ikutan panik.

“Ta-tadi kayaknya pergi. Tapi Hen ndak tahu dia pergi kemana,” jawab Hendra gugup.

“La piye, to. Bojone lungo (pergi) kok ndak ngerti, kowe ki,” tukas pak Wiryo menatap Hendra dengan wajah geram.

Wes (sudah) to wes, ndak usah do padu (rebut) gitu. Tambah pusing kepalaku ini,” lerai bu Wiryo.

“Tolong ambilin obat ibu, Le. Yang biasa Lita kasihkan ke ibu,” pinta wanita itu sambil memegangi kepalanya. Wajahnya tampak memerah karena menahan sakit yang luar biasa. Rupanya, vertigo yang diderita bu Wiryo kambuh. Sehingga dia harus mengkonsumsi obat yang biasa Lita berikan sesuai resep yang diberikan oleh dokter keluarga mereka.

“Sebentar, Bu. Hen carikan.” Hendra bergegas mencari obat yang dimintai ibunya di tempat biasa Lita menyimpan obat tersebut. Tepatnya di lemari bufet televisi.

Namun, “ Ish! Yang mana to obatnya?” gerutunya bingung. Tak tahu obat yang mana yang harus diberikan kepada ibunya. Sehingga dia membawa seluruh kotak obat itu agar bu Wiryo bisa memilihnya.

“Yang mana bu, obatnya? Hen ndak ngerti,” tanya Hendra sambil menunjukkan kotak obat tersebut di hadapan ibunya.

“Owala, Le, ibu sendiri juga yo ndak ngerti yang mana. Biasa-e yo Lita kuwi yang ngambilin,” keluh bu Wiryo yang masih terus memijat-mijat kepalanya.

“Coba kamu telepon Lita,” lanjutnya.

Tanpa menunggu lama lagi, Hendra langsung mengambil gawainya yang dia kantongi dan mencari nomor telepon Lita. Tapi sayang, telepon Hendra tak di angkat. Membuat Hendra kesal. “Kemana ini? Telepon berkali-kali kok ya ndak diangkat, to?”

Bersambung…!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status