Hendra memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Dia menancap gas, agar mobil Maya bisa tersusul. Dia tak ingin kehilangan jejaknya. Sayang, mobil wanita itu sudah tak terlihat lagi.
Akan tetapi, Hendra tak kehilangan akalnya. Dia mengarahkan mobilnya ke rumah indekos Maya. Pria itu merasa yakin, bahwa kekasihnya pasti pulang ke rumah ini.
Sampai di depan rumah indekos Maya, Hendra baru teringat. Malam sudah beranjak larut. Sehingga dia tak bisa seenaknya bertamu ke sana. Bisa runyam akibatnya. Hendra pun mengurungkan niatnya. Dia hanya bisa memandang rumah indekos itu dari jalan raya.
Kamar indekos Maya yang berada di lantai atas, dapat di lihat dari luar. Hendra melihat kamar itu tampak gelap. Mungkin dia sudah tidur. Gumamnya.
“Ah! Oke, ndak papa. Aku akan menunggumu di sini,” ucap Hendra liri, bergumam sendiri. Dia menyatukan jari kedua tangannya kemudian meletakkannya di belakang kepala. Sambil masih memerhatikan kamar indekos Maya.
Tiba-tiba Hendra dikejutkan dengan suara orang yang mengetuk pintu mobilnya dari luar. Dengan tergagap, Hendra membuka matanya. Dia melihat di luar mobilnya tampak begitu terang. Rupanya, pria itu telah tertidur semalaman di dalam mobil hardtopnya hingga seseorang telah membangunkannya dari luar.
“Maaf, Pak. Saya ketiduran,” jelas Hendra tanpa dimintai. Dia sambil membuka jendela mobilnya.
“Oh, ya. Saya tahu. Kelihatan dari wajah Mas-e,” ucap pria yang telah membangunkan Hendra sambil tersenyum arif.
“Hmmm, kelihatannya Mas ini lagi nunggu seseorang? Kalau boleh tahu, siapa?” tanya pria itu lagi.
Hendra pun bergegas keluar dari mobilnya. Sekadar menghormati pria yang menjadi lawan bicaranya.
“Anu, Pak. Eh, iya. Sebenarnya saya sedang menunggu teman. Tapi, saya kok malah ketiduran di sini,” jawab Hendra menjelaskan setelah berada di luar mobilnya.
“Nyuwunsewu (mohon maaf) dengan Bapak siapa, nggeh?” lanjutnya seraya bertanya.
“Saya Martono. Pemilik rumah indekos itu,” jawab pria yang usianya sekitar lima puluh tahun itu.
“Nggeh, Pak Martono. Saya Hendra. Teman saya indekos di rumah Bapak. Semalam saya ndak enak mau mertamu di sana. Jadi, saya milih tiduran di sini. Eh, ternyata ketiduran beneran.” Hendra memberitahukan.
“Oh, gitu? Iya sih, Mas Hendra. Memang indekos di sini ndak boleh terima tamu malem-malem. Bisa digrebeg hansip nantin,” seloroh pak Martono sambil terkekeh.
“Tapi ngomong-ngomong temannya Mas Hendra yang indekos di situ, siapa?” lanjut tanya bapak itu.
“Maya, Pak. Maya Rinjani.”
“Owalah, Mbak Maya? Mbak Maya yang cuantik itu?” seloroh pak Martono yang disambut senyum oleh Hendra.
“Nggeh, leres (iya, betul), Pak.”
“Loh, Mas Hendra ini bagaimana to. Memangnya, Mbak Maya ndak ngabarin Mas Hendra, po?”
“Kayaknya sih ndak ada kabar apa-apa dari Maya itu, Pak? Memangnya ada apa dengan Maya, Pak? Kenapa dengan Maya?” Hendra tampak kaget mendengar ucapan pak Martono. Ia mengira Maya sedang terkena masalah di indekos itu.
“Ndak, ndak ada apa-apa. Mbak Maya ndak kenapa-napa. Cuma, Mbak Maya itu kan sudah tiga bulan ini ndak di situ lagi. Dia sudah pindah,” jelas pak Martono sambil menenangkan Hendra yang terlihat mulai gelisah.
“Pindah? Pindah kemana, Pak?” serang Hendra dengan pertanyaan yang tampaknya dia sudah tak sabar lagi untuk mengetahuinya.
“Wah, kalu pindah ke mananya, sih. Saya yo ndak tahu. Cuma kalau ndak salah denger, kayaknya waktu itu dia mau pindah ke luar kota gitu. Pastinya ke kota apa saya juga ndak tahu,” jelas pria itu dengan wajah yang sedikit kecewa karena tak bisa memberikan informasi yang pasti kepada Hendra.
“Maaf yo, Mas. Saya ndak bisa kasih informasi yang jelas. La, wong saya sendiri juga ndak begitu mau campuri urusan orang lain. Jadi, ya begitu. Minim informasi.”
“Ndak papa, Pak. Saya juga berterimakasi banyak, Pak Martono sudah kasih tahu saya. Kalau gitu, saya ta pamit pulang saja. Saya ta nyari informasi ke teman-teman saja. Matursurun, Pak?” ucap Hendra seraya berpamit. Dia pun bergegas masuk ke mobilnya dan meninggalkan rumah yang dulu pernah sebagai tempat indekos Maya.
“Aaaahhh! Sial! Kenapa kamu ndak bilang-bilang sih, May? Pindah kemana kamu sekarang?” teriak Hendra sambil melajukan mobilnya. Dengan wajah yang penuh kecewa berkali-kali dia mengumpat. Entah, untuk siapa umpatan itu.
Hendra mengambil gawainya yang berada di atas dashboard. Menggulir layarnya untuk mencari kontak Maya. “Brengsek! Kenapa hp-nya ndak diaktifin, sih!” teriak Hendra sekali lagi. Dia begitu tampak frustasi.
Sekali lagi, jari tangannya menggulir layar gawainya. “Tris, kamu tahu ndak, Maya pindah ke mana?” tanyanya kepada Trisno salah satu tim dari ‘Kenangan Manis’.
“Ndak tahu itu, Mas. Loh, memangnya Mbak Maya pindah kemana, to?”
“Lah, kamu gimana to, Tris. La wong saya nanya sama kamu, kamu kok balik nanya ke saya. Ya mana saya tahu? Coba kamu hubungi Maya. Cari tahu, pindah kemana dia. Nanti kalau sudah dapat infonya, kabari saya,” perintah Hendra lalu menutup teleponnya. Tak memberikan kesempatan kepada Trisno untuk beralasan lagi.
Hati Hendra semakin kalut saja. Dia seperti orang yang kehilangan arah. Berkali-kali dia mendesah karena kecewa, kesal dan marah. Semua emosinya dia luapkan di dalam mobil. Hingga tak peduli orang-orang di luar meneriakinya karena mobilnya sempat berhenti di tengah jalan beberapa menit.
Hendra melempar begitu saja kunci mobilnya ke atas nakas. Seolah ingin melampiaskan semua kekesalannya hari ini. Pintu kamar pun dia banting sekeras-kerasnya. Hingga membuat rumah yang saat ini tampak sepi menjadi menggema. Teriakan kesal pun meluap. Membuat sebuah langkah dari luar kamar berlari. Menghampiri.
“Mas Hendra! Ada apa, Mas?” Perempuan itu membuka pintu kamar dan menegur. Walau sebenarnya dia tak berani melihat wajah Hendra.
“Hey! Sini kamu,” panggil Hendra dengan menjentikkan jari telunjuknya. Lelaki itu memandang Lita dengan wajah yang penuh amarah. Napasnya terengah-engah, matanya menatap Lita tajam dengan gigi yang seolah-olah siap mencabik-cabik seluruh tubuh perempuan itu. Bagaikan seekor singa yang siap menerkam.
Lita pun menurut walau dengan perasaan takut. Dengan ragu, perempuan itu mendekati suaminya. Tanpa berani mengangkat wajah untuk membalas tatapan Hendra yang bagaikan kesurupan makhluk tak kasat mata. Tampak bengis.
“Ta kasih tahu ya. Semua ini gara-gara kamu, tahu ndak!” hardik Hendra ketika Lita sudah mendekatinya. Dia mendorong Lita hingga tersungkur di atas ranjang. Membuat Lita seketika menangis.
“Apa salahku, Mas. Aku ndak ngerti yang dimaksud Mas Hen,” isak Lita yang meringkuk di atas ranjang.
Hendra mendekati istrinya. Meraih dagu Lita dan mencengkeramnya dengan kasar. Sehingga wajah mereka dalam satu arah. “Banyak! Salahmu tuh banyak! Salah satunya, kenapa kamu mau di jodohkan dengan aku!” suara Hendra penuh tekanan, membuat perempua itu terseduh kian menjadi.
“Sampai-sampai, Maya sekarang pergi.” Hendra melengkapi kalimatnya.
Benarkah Maya sudah pergi? kemana? Syukurlah kalau memang seperti itu. ndak penting buatku dia pergi kemana. Memang, seharusnya dia pergi, agar ndak membayangi kehidupan Mas Hen terus. Dalam hati Lita bersorak. Walau dia tak terima dengan perlakuan Hendra. Namun, kali ini Lita memaafkan suaminya karena kabar yang membuat hatinya bahagia.
Hendra melepas cengkeramannya. Dia beranjak dari ranjang dan pindah ke sofa. Masih menatap tajam istrinya yang terisak. Seakan Hendra masih belum puas untuk melampiaskan semua amarahnya.
Bersambung …!
“Tapi, itu semua kemauan orang tua kita. Aku juga ndak ngerti apa-apa, Mas. Aku juga ndak tahu, kalau Mas Hen ternyata sudah punya pacar,” jawab Lita pelan sambil masih terisak.“Kalau aku tahu, aku juga ndak bakalan mau dijodohkan sama Mas Hen. Aku juga ndak mau merusak hubungan njenengan (kamu) sama dia,” beritahu Lita melengkapi kalimatnya sambil membenahi posisi duduknya, kemudian menyeka air matanya.Mendengar penjelasan Lita, wajah Hendra yang semula menegang, sekatika mengendur. Ia baru menyadari bahwa ini memang bukan salah Lita sepenuhnya. Dia hanya mengikuti tradisi yang sudah turun temurun. Dia hanya manut apa yang sudah menjadi titah keluarga. Sedangkan aku, mungkin satu-satunya orang yang membangkang dengan aturan itu.Hendra menarik napas. Kemudian mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Mencoba menyapu kekalutan yang tersirat di rautnya. “Hah! Ya, sudah. Aku
“Piye, Le? Lita sudah bisa dihubungi?” tanya pak Wiryo yang sedari tadi duduk di samping istrinya.“Dereng (belum), Pak,” jawab singkat Hendra yang masih terus sibuk menghubungi Lita.“Ya, sudah. Mending telpon dokter langganan saja. Biar ibumu gek (biar) ndang (cepat) waras (sembuh),” usul pak Wiryo.“Nggeh, Pak,” jawab Hendra.Akhirnya Hendra berhenti menelepon Lita dan berlaih menghubungi dokter praktek yang sudah menjadi langganan keluarga pak Wiryo. Tiga puluh menit setelahnya, dokter itu pun datang dan segera memeriksa dan memberikan resep obatnya. Selain itu, Hendra meminta agar dokter tersebut memberitahukan obat yang ada, yang masih bisa dikonsumsi oleh ibunya.“Jadi, ini yang masih bisa di minum ibu, Dok?” tanya Hendra mengambil obat yang di tunjuk dokter it
Bergegas Lita mengambil baju ganti Hendra dan selimut bersih. Saat berbalik perempuan itu melihat suaminya sudah berbaring begitu saja di atas sofa. Semula dia mengira bahwa suaminya sangat mengantuk dan lelah. Namun, ketika dia mencoba memasangkan selimut itu ke tubuh Hendra, tangannya sempat menyentuh tangan lelaki itu.Lita terperanjat, “Mas Hendra, gerah (sakit)?”Hendra hanya bergeming, tak menjawab pertanyaan perempuan itu. Tiba-tiba tangannya perlahan menyentuh kening Hendra. Dia ragu. Takut Hendra tak suka bila Lita menyentuhnya.“Masya Allah. Mas Hendra demam!” seru Lita lirih, seolah ia berbicara sendiri.Berkali-kali Lita berjalan hilir mudik. Mengambil kompres dan obat demam untuk diminumkan ke Hendra.“Mas Hen, tidur di ranjang saja bagaimana? Biar aku yang gantian tidur di sofa,” tukas Lita berhati-hati.
Perjalanan menuju Bali, menurut Hendra sangat membosankan. Tak sedikit pun dia menikmatinya. Gerutu dalam hati selalu mengiringi, apa lagi harus melakukan perjalanan berdua dengan Lita, perempuan yang sama sekali tak dicintainya.Akh! Kenapa aku harus nurut begitu saja? Sial! Bulan madu? Hah! Buat apa pergi kalau bukan bersama orang yang kucintai? Sudut hati Hendra bergemuru.Sikapanya yang acuh kepada Lita, sehingga duduk di dalam pesawat pun membuatnya tak nyaman sepanjang perjalanannya. Kaku dan tegang, tak ada seuntai senyum yang menghias di wajah Hendra dan Lita. Sebongkah es di kutup utara menyelimuti suasana di antara mereka berdua. Harusnya banyak peluang untuk bermesraan, tapi mereka lewat begitu saja.Lita sibuk menekuri novelnya. Karena perempuan itu tahu, hanya ini jalan satu-satunya agar dia bisa menutupi kekakuan itu. Dia tak ingin waktunya akan dihabiskan hanya untuk merutuki nas
“Tidak, Tuan. Kurang lebih sekitar satu kilo meter lagi kita sampai.” Arya memberitahukan dengan nada bicara yang sopan.Pandangan Hendra menatap lurus kedepan, dengan tangan menopang di pintu mobil sambil menyangga kening. Memijatnya untuk mengusir rasa bosan. Akan tetapi, setelah beberapa detik menikmati pemandangan sepanjang perjalanan, wajahnya mulai terlihat berubah. Ada yang menarik perhatiannya di sepanjang jalan itu.Hendra melihat sejumlah perempuan Bali berjalan beriringan dengan menggunakan kebaya yang sama, khas daerah itu. Sedang menyunggi sesajen berupa buah, jajanan tradisional, bunga dan hiasan janur yang disusun di atas sebuah wadah, hingga tingginya mencapai satu meter. Sebuah pertunjukan unik bagi Hendra yang baru saja menyaksikan hal itu. Tak menyia-nyiakan kesempatan, pria itu mengarahkan kameranya ke objek yang membuatnya tertarik.“Itu namanya Mapeed, Tuan. Tradisi orang-orang Bali yang hanya boleh dilakukan oleh wanita s
Lita melihat Hendra pergi begitu saja meninggalkannya. Entah, apakah dia tak mendengar pertanyaan istrinya? Kalau pun dengar, belum tentu juga dia mau menjawabnya.Sebenarnya Lita ingin sekali menyusulnya. Menemani sang suami untuk memadu kasih bersamanya. Menikmati pemandangan yang indah selama di pulau Bali. Pulau eksotis yang menyajikan keromantisan kepada tamunya. Terutama bagi pasangan suami-istri seperti Hendra dan Lita. Namun, itu adalah sesuatu yang mustahil Lita dapatkan. Karena sampai detik ini Hendra sama sekali belum mencintainya.Hah! Lita mengembuskan napasnya kuat-kuat. Seolah-olah ia ingin membuang beban yang menekan di dada. Terasa berat untuk selalu dibawa.Sampai kapan aku harus seperti ini? Selalu menyaksikan Mas Hen lebih memilih berkencan dalam gawai dengan Maya Rinjani. Keluh Lita. Tiba-tiba buliran bening merembas keluar dari sela-sela kelopak matanya, ketika nama Maya Rinjani teringat dalam pikirannya. Lita membayangkan wajah perempuan c
“Mas Hen?” Perempuan itu mundur selangkah. Hingga punggungnya menubruk dinding dan tak berkutik. Tak bisa lari untuk menghindar dari tatapan suaminya.Hendra pun menunjukkan reaksi yang sama. Matanya terbelalak tak berkedip, melihat pemilik tubuh indah nan molek itu yang ternyata Lita—istrinya.Beberapa kali dia menelan ludah yang seakan menyekat tenggorokan. Jantungnya berdegub kencang. Darahnya pun berdesir memberikan rasa yang bergejolak menyelimuti hati Hendra. Tentu, sebagai pria dewasa yang masih normal, reaksi itu pasti dialami, ketika melihat sesuatu yang dapat membangunkan hasrat kelelakian mereka. Begitu pula dengan Hendra.Apa lagi selama setahun pernikahan mereka, jangankan menyentuh, melihat tubuh indah Lita, Hendra sama sekali belum pernah. Jadi, wajar saja jiwa kelelakian Hendra seketika tergugah.Hendra mendekati Lita. Namun, saat kakinya terantuk pinggir bathup, dia baru tersadar bahwa tak bisa melakukan ini dengan
Entahlah. Lita hanya bisa berharap agar perubahan ini tak berakhir. Dia akan tetap percaya bahwa sebuah usaha tak akan menghianati hasilnya. Dan, sudah pasti alam pun akan ikut mendukung untuk buah dari kesabarannya.“Loh, kenapa ndak dihabisin? Ndak suka?” Hendra menegur Lita yang tak menghabiskan steak yang dia beri.“Maaf, sudah kenyang banget, Mas. Perut saya sudah ndak bisa nampung makanan ini lagi.” Perempuan cantik itu menolak. Dia merasa tak enak sudah menolak pemberian dari suaminya.Akan tetapi kejadian malam ini membuat Lita menjadi surprise. Dia tak menyangka Hendra menghabiskan sisa makanannya.Hendra pun mau bicara dengan dia walau masih terasa kaku, dan Hendra memerhatikannya. Itu semua membuat Lita menjadi tersanjung dengan perlakuan suaminya malam ini.Lita benar-benar tak bisa menebak pola pikir suaminya. Namun, Lita tak berani menegur lelaki itu. Perempuan itu diam saja sambil memerhatikan Hendra menghabis