Arisha keluar dari mobil Biantara. “Ibu sedang apa di sini?”
“Kamu kok bisa ada di mobil Bian? Ibu pikir kakakmu,” ucap Anin yang terkejut ketika melihat Arisha yang keluar.Biantara keluar menghampiri Anin, kemudian menyalami dan berkata, “Ibu belum tidur? Tadi aku bertemu Ari di jalan.”Biantara melirik pada Arisha. “Setelah itu kami ….”Mata Arisha melebar dan berucap dalam hati, “Apa yang akan Mas Bian katakan pada Ibu?”“Kami apa?” tanya Anin penasaran.“Kami makan malam dulu sebelum aku mengantar Ari pulang,” ucap Biantara.Arisha bernapas lega setelah mendengar kelanjutan ucapan Biantara. Ia pikir Biantara berubah pikiran dan akan menceritakan semuanya saat itu juga. Arisha berharap malam ini akan aman dan terbebas dari pertanyaan-pertanyaan Anin.“Oh ibu pikir apa … kamu mau mampir dulu?” tanya Anin.“Tidak usah, aku langsung pulang saja. Sepertinya Asyila sudah menunggu,” kata Biantara. Walaupun ia tahu mungkin istrinya akan senang jika ia terlambat pulang.“Ya sudah kalau begitu hati-hati di jalan,” ucap Anin. “Ayo Ari, masuk!”Arisha dan Anin sudah masuk ke dalam rumah. Saat Arisa hendak masuk ke dalam kamar, tiba-tiba saja Anin menarik tangannya. Detik itu juga jantung Arisha seolah berdetak tak beraturan.“Ari.”Arisha mengatur napasnya, kemudian tersenyum pada Anin. “Iya Bu, ada apa?”“Saat kamu bertemu Bian, kamu sedang tidak melakukan yang aneh, bukan?” tanya Anin.“Tidak, Bu. Tadi Ari bertemu Mas Bian saat sedang menunggu taksi,” jawab Arisha terbata-bata.“Kamu sedang bohongin ibu?” Anin menatap lekat Arisha.Arisha terkejut dengan pertanyaan Anin dan berkata, “A–apa maksud Ibu? Ari tidak bohong.”“Kamu lupa, ibu sudah merawat kamu selama 10 tahun? Ibu tahu kalau kamu lagi bohong, Ari. Cepat bilang sama ibu!” kata Anin.Arisha menggeleng dan masih berusaha keras untuk menutupi. “Ari tidak mungkin bohongin Ibu. Ari capek, Bu. Boleh ya Ari istirahat.”Arisha bukan hanya lelah, tetapi ia juga masih merasakan nyeri di bagian inti tubuhnya. Selain itu, ia juga menghindari pertanyaan-pertanyaan lain yang akan dilontarkan ibunya. Arisha memang jarang sekali berbohong pada sang ibu, itu sebabnya Anin sangat mudah membaca wajah dan gelagat Arisha.“Permisi, Bu.” Arisha bergegas ke kamarnya.“Cepat tidur dan matikan lampu!” ujar Anin.***Keesokan hari, Biantara pulang dari restoran tepat waktu. Ia melihat sang istri sudah rapi dengan dress di atas lutut dan mematut diri di cermin. Biantara hanya memperhatikan istrinya di ambang pintu.“Sebelum aku tahu pengkhianatan kamu, aku selalu memelukmu saat aku pulang bekerja,” ucap Biantara dalam hati.“Loh, Mas Bian sudah pulang? Aku pikir akan lembur lagi,” kata Asyila saat melihat Biantara dari cermin.“Ya, kenapa memangnya? Kamu lebih suka aku lembur?” Biantara berjalan dan duduk di tepi ranjang.Asyila memutar tubuhnya menghadap Biantara. “Aku cuma bertanya. Jelas saja aku lebih senang Mas Bian pulang tepat waktu seperti ini.”Asyila berjalan ke arahnya dan duduk di samping Biantara sembari memeluk. “Capek ya? Aku buatkan kopi mau?”“Teh saja, aku mau mandi dulu,” kata Biantara.“Peluk dulu, ciumnya juga mana?” Asyila menatap Biantara dengan wajah yang dibuat manja.Biantara tersenyum samar dan berucap dalam hati, “Kamu benar-benar jago berakting, Syila. Baiklah, kalau begitu aku juga akan menunjukkan keahlianku dalam berakting.”Biantara memeluk dan mencium kening Asyila. “Kamu selalu membuatku jatuh cinta setiap hari.”“Mas Bian juga, aku selalu mencintai Mas Bian tiap detiknya, selama waktu terus berputar,” tutur Asyila.“Dulu aku selalu terbuai dengan mulut manismu, tapi jangan harap kali ini bisa membodohiku lagi!” ucap Biantara dalam hati.“Ya sudah, aku mandi dulu.” Biantara bangkit dan meninggalkan Asyila di sana.Beberapa menit berlalu. Setelah selesai mandi, Biantara bergegas ke dapur. Dari kejauhan, Biantara melihat Asyila asyik tertawa dengan ponsel yang ditempelkan pada telinga.“Apa Bayu yang kamu hubungi? Begini kelakuan kamu saat tidak bersamaku, Syila,” ucap Biantara.Baru saja hendak melangkahkan kakinya menghampiri Asyila. Biantara melihat sang istri memasukkan sesuatu ke dalam minuman yang sedang dibuat. Lelaki itu pun memilih bersembunyi dan memperhatikan Asyila.“Sayang, aku sudah memasukkan obat tidur ke dalam minuman Mas Bian, setelah ini aku yakin dia akan tidur nyenyak sampai pagi,” ucap Asyila sembari tertawa pada seseorang di seberang telepon.Tangan Biantara mengepal, rahangnya mengeras. Ia benar-benar tidak menyangka jika wanita yang ia nikahi lima tahun lalu, tega mengkhianatinya. Biantara berusaha menetralkan gejolak kemarahan di dadanya.“Aku ikuti permainanmu istriku tersayang,” gumam Biantara dengan wajah yang memerah.“Syila, apa sudah siap tehnya?” tanya Biantara sembari berjalan menghampiri Asyila.Asyila terkesiap dan memutuskan sambungan telepon. “Sudah siap, Mas. Silakan diminum, aku sengaja buatkan hangat. Langsung dihabiskan ya.”Biantara duduk di kursi meja bar, begitupun Asyila. “Apa kamu masih belum siap untuk memiliki anak?”“Repot deh punya anak, Mas. Lebih baik kita berdua saja, menikmati masa-masa seperti ini,” ucap Asyila tersenyum, “lagi pula, beberapa kali kita mencoba untuk punya anak, nyatanya gagal terus. Sepertinya kita memang ditakdirkan untuk berdua saja.”“Terserah kamu saja,” ucap Biantara, kemudian meminum teh yang Asyila buat.Biantara tidak benar-benar meminumnya. Saat Asyila lengah, Biantara membuang teh tersebut ke dalam vas bunga. Namun, ia tetap bersikap seolah merasakan efek dari obat tidur yang Asyila berikan.“Tiba-tiba mataku ngantuk sekali,” ucap Biantara dengan sesekali menguap.“Kita ke kamar saja, Mas Bian pasti lelah sekali,” kata Asyila.“Kamu harus temani aku tidur ya,” ujar Biantara.“Iya Mas, aku akan selalu berada di samping Mas Bian.” Asyila membantu Biantara berdiri.Kedua orang tersebut sudah berada di kamar. Biantara sudah merebahkan tubuhnya di ranjang dengan Asyila di sampingnya. Namun, baru beberapa menit Biantara memejamkan matanya, tiba-tiba saja ia merasakan sang istri mulai mengecek kondisinya, kemudian turun dari ranjang.“Halo, Mas. Suamiku sudah tidur, kita bertemu di hotel yang biasa ya,” ucap Asyila yang terdengar jelas di telinga Biantara.Diam-diam Biantara membuka sedikit matanya untuk memperhatikan sang istri. Biantara yakin, orang yang hendak ditemui Asyila di hotel adalah Bayu. Hati Biantara terasa panas mengingat saat Asyila danBayu masuk ke dalam hotel.Biantara benar-benar membuka matanya saat melihat Asyila sudah keluar dari kamar. “Akan kubalas pengkhianat sepertimu Syila.Di sisi lain, Arisha baru saja memasak untuk makan malam. Namun, ponselnya tiba-tiba saja berdering, Arisha pun melihat panggilan tersebut. Dengan hati-hati Arisha memperhatikan sekitarnya.“Mas Bian? Mas Bian ngapain telepon? Bagaimana kalau Ibu tahu?” Arisha menarik napas lebih dulu, sebelum menjawab panggilan itu.“Halo, Mas. Ada apa?” tanya Arisha.“Kita bertemu di hotel sekarang juga! Cepat bersiap dan jangan banyak tanya,” pinta Biantara.“I–iya, aku ke hotel sekarang. Kirim alamatnya,” ucap Arisha.Belum sempat mendengar jawaban Biantara, tiba-tiba saja Anin datang dan merampas ponsel Arisha. Wanita itu terkejut bukan main hingga matanya membelalak lebar. Terlebih saat Anin hendak memeriksa ponsel Arisha."Kenapa melamun?" Pertanyaan itu sontak membuat Arisha menoleh. Ya, Biantara baru saja pulang dari restoran. Ia menghampiri sang istri yang berdiri menatap ke luar jendela. "Apa yang kamu pikirkan sampai tidak tahu aku pulang?" tanya Biantara. "Mas Bian, maaf Ari tidak mendengar suara mobilnya. Ari hanya sedang memperhatikan bunga-bunga di sana," ujar Arisha. Biantara memeluk sang istri dari belakang. Tentu saja ia tidak percaya dengan apa yang dikatakan Arisha. "Aku tahu Bayu datang ke sini. Apa dia mengancammu?" "Mas Bian tahu dari mana?" tanya Arisha. Biantara terkekeh, ia memutar tubuh Arisha hingga menatapnya. "Kamu naif sekali, apa kamu pikir aku bisa tenang meninggalkanmu di rumah? Aku sudah memasang CCTV di rumah ini dan terhubung di tab-ku, aku memantaumu." Arisha menghela napas dan memeluk Biantara. "Hari ini Ari sudah berpikiran buruk tentang Mas Bian, maaf." "Ini pasti karena Bayu, aku akan memberi pelajaran," kata Biantara. Sejak kepergian Bayu, Arisha se
"Bu, kita makan sama-sama ya," kata Arisha.Anin hanya mengurung diri di kamar setelah Asyila tak lagi di rumah. Arisha semakin tak enak hati, ia merasa bersalah ketika melihat Anin hanya murung tanpa gairah hidup. Posisinya selalu saja serba salah."Kamu saja duluan, Ibu belum lapar," ucap Anin.Arisha duduk di sisi ranjang, di mana Anin tengah berbaring. "Jangan seperti itu, Bu. Ini sudah malam, Ibu harus mengisi perut sebelum tidur nanti.""Ari tahu Ibu sangat mengkhawatirkan Kak Asyila, tetapi Ibu harus memikirkan kesehatan Ibu," ujar Arisha."Maafkan kakakmu ya, Ibu tidak menyangka kalau Asyila akan nekat. Bian benar, andai dia tak cepat-cepat datang mungkin keadaannya sudah berbeda. Ibu sudah ikhlas dengan keadaan kakakmu, semoga kamu dan Bian bisa menjalani rumah tangga sebagaimana mestinya," kata Anin.Arisha terdiam sejenak, ia menggenggam tangan Anin dan menciumnya. "Terima kasih ya, Bu. Ari minta maaf karena sudah menjadi anak yang tidak tahu diuntung, Ari menjadi anak yang
"Mas tolong Kak Asyila juga. Dia sedang hamil, Ari takut terjadi sesuatu dengan kandungannya," ujar Arisha sesaat setelah Biantara membawanya masuk ke dalam mobil.Biantara bergeming, rasa sakit semakin dalam, ketika mengingat Asyila tak menginginkan kehamilan saat bersama dengannya."Aku tidak peduli," ujar Biantara.Arisha menggenggam tangan Biantara. "Mas, kasihan Kak Asyila. Mas Bayu tidak mau bertanggung jawab, Kak Asyila akan merasa sedih jika kehilangan calon bayinya, aku juga sedang hamil ... aku bisa merasakannya."Dengan perasaan berat, Biantara menuruti permintaan Arisha, ia melangkah kembali masuk ke dalam rumah. Beruntung ia tidak pernah percaya pada ucapan Asyila jika wanita itu hamil dengannya."Sekarang kamu dicampakkan orang yang kamu perjuangkan, sama sepertiku," gumam Biantara.Biantara baru saja masuk ke dalam kamar dan melihat Anin yang sedang berusaha menolong Asyila. Biantara pun segera mengangkat tubuh mantan istrinya tersebut."Bian tolong Asyila!" kata Anin.
"Apa dia memaksamu?" tanya Biantara sekali lagi saat di kamar."Tidak, Mas. Aku sudah pikirkan, aku mengkhawatirkan Ibu. Aku takut tidak ada yang menjaga Ibu, sedangkan Mas Bian terus menginginkan Kak Asyila di sini," kata Arisha.Biantara menghentikan tangan Arisha yang sedang mem*uka kancing kemejanya. "Apa kamu cemburu?""Tidak," jawab Arisha kembali fokus dengan aktivitasnya.Biantara mengangkat dagu Arisha. "Sungguh? Lalu apa alasanmu tidak mengizinkan?""Aku hanya takut kesehatan Ibu semakin drop jika melihat aku dan Mas Bian bersama," jawab Arisha."Tadi Ibu sudah melihatnya. Tidak ada masalah, bukan?" Biantara lantas menc*um bibir Arisha.Untuk sesaat tatapan mereka terpaut."Kamu tidak ingin memelukku?" tanya Biantara."Mas Bian harus mandi," ujar Arisha."Baiklah, aku akan segera mandi," ucap Biantara. "Setelah itu kamu harus memelukku, Sayang."Arisha terkekeh. "Mas Bian ada-ada saja."Tangan Biantara berada di sisi kiri dan kanan pipi Arisha. "Aku serius, atau kamu mau k
Asyila berlari mengejar Biantara ketika lelaki itu hendak masuk ke dalam mobil. Arisha memperhatikan sang kakak dari teras."Mas Bian, tunggu!" Asyila menahan pintu mobil dan menutupnya.Biantara menatap nyalang. "Kamu bisa lebih sopan sedikit tidak?""Maaf, Mas. Siang ini Ibu keluar dari rumah sakit, aku minta tolong agar Ibu bisa tinggal di sini," ujar Asyila.Biantara menoleh ke belakang karena ia yakin Arisha masih berada di sana. "Aku tidak bisa memutuskannya sendiri, aku akan bicarakan pada istriku."Biantara lantas memanggil Arisha."Aku yakin Ari pasti izinkan karena itu juga ibunya Ari," kata Asyila.Asyila tersenyum, ia ingin membawa sang ibu ke rumah Biantara, bukan hanya karena tidak memiliki tempat tinggal. Akan tetapi, ia juga butuh dukungan untuk merebut kembali Biantara dari Arisha."Ada apa, Mas?" tanya Arisha."Bicaralah! Aku tidak akan mengizinkan jika istriku tidak mengizinkan, begitu pun sebaliknya," ujar Biantara pada Asyila."Arisha, hari ini Ibu sudah diperbole
Suasana makan malam berjalan sangat romantis, di mana Biantara mem-booking rooftop restoran khusus untuk mereka. Musik mengalun dengan indahnya di telinga, kelopak bunga menghampar di sekitar mereka, cahaya lilin menambah kehangatan hubungan kedua insan."Mas Bian menyiapkan ini semua untuk Ari?" Arisha tak kuasa menyembunyikan raut wajah bahagia."Ya, apa kamu senang?" tanya Biantara memastikan.Arisha mengangguk. "Tentu. Terima kasih, Mas.""Aku akan selalu membuatmu merasa senang bersamaku," ujar Biantara.Senyum Arisha perlahan memudar, ia sangat bahagia dengan kata-kata sang suami. Namun, hatinya semakin yakin jika Biantara benar-benar hanya ingin permainkan perasaannya. Pada kenyataan, Arisha berharap lebih pada Biantara, berharap tak hanya menjadikannya alat balas dendam."Ayo makan! Kamu harus makan banyak dan bergizi, aku tidak ingin calon bayiku kelaparan," ujar Biantara."Mas Bian tenang saja, Ari akan jaga calon anak kita," imbuh Arisha.Mereka memulai makan malam. Biantar