LOGIN"Aku... aku akan membersihkan semuanya."
Tangannya bergetar saat Marlina berlutut di lantai, memunguti butiran nasi dan lauk yang berserakan di karpet. Matanya panas, air mata sudah membasahi pelupuk, namun dia menggigit bibir dalam-dalam. Dia tidak ingin Kevin atau siapa pun mendengar tangisnya. Namun justru pemandangan itu semakin membakar amarah Kevin. Dengan langkah kasar, dia menghampiri Marlina, lalu meraih rambut wanita itu tanpa belas kasihan. Kepala Marlina terangkat paksa, tubuhnya bergetar menahan sakit. "Aku muak melihat wanita menyedihkan sepertimu!" suaranya menggema, penuh kebencian. "Jangan pernah berani menginjakkan kakimu lagi ke kantorku. Kau mengerti?!" Marlina menahan napas, mencoba mengangguk meski rambutnya masih dijambak kuat. "A-aku… mengerti…" suaranya pecah, hampir berbisik. Di luar, pintu yang tidak tertutup rapat membuat semua yang terjadi terlihat jelas. Beberapa staf saling pandang, ada yang menutup mulut kaget, ada pula yang buru-buru mengambil ponsel, merekam diam-diam. Hanya butuh hitungan menit, video itu sudah menyebar ke grup kantor. Bisikan-bisikan bermunculan. "Tuan Kevin keterlaluan…" "Istrinya diperlakukan begitu… di kantor sendiri…" "Bagaimana bisa dia mempermalukan Davidson Group begini…" Gosip itu menyebar cepat, sampai akhirnya terdengar di telinga Jeno yang masih berada di lantai lain. Seorang staf muda dengan wajah gugup menghampirinya. "TTuan Jeno… a-ada sesuatu yang harus anda lihat" Ponsel itu disodorkan, menampilkan rekaman singkat. Kevin menjambak rambut Marlina, mempermapukannya seperti sampah tidak berguna. Jeno membeku sejenak. Matanya menatap layar tanpa berkedip, darahnya mendidih. Tangannya mengepal hingga buku-buku jarinya memutih. "Kevin... kau sungguh keterlaluan." desisnya pelan, penuh amarah. Lorong kantor Davidson Group terasa mencekam setelah insiden memalukan itu. Video singkat yang beredar sudah cukup membuat hampir semua staf tahu bagaimana CEO mereka memperlakukan istrinya. Meski tak ada yang berani bicara terang-terangan, tatapan-tatapan kasihan dan bisikan-bisikan tajam sudah menyebar seperti api yang menjilat kayu kering. Marlina berjalan cepat, menunduk dalam. Dia hanya ingin menemukan tempat sepi untuk menenangkan diri. Air matanya terus mengalir, tubuhnya bergetar hebat. Dia masuk ke toilet wanita, mencoba mengunci diri di salah satu bilik. Di sana, Marlina menutup mulut dengan telapak tangan, membiarkan isak kecilnya pecah. Namun tak lama kemudian, pintu toilet berderit terbuka. Suara langkah yang tak asing terdengar, lalu suara bariton yang menahan nada gusar memanggilnya. "Kak... Kakak ipar?" Wanita itu kaget. Dia buru-buru keluar dari bilik, wajahnya masih merah, matanya bengkak. "Jeno?" ucapnya kaget, cepat-cepat ingin melewati lelaki itu. "Kau tidak seharusnya ada di sini..." Namun Jeno sigap meraih pergelangan tangannya. Sentuhannya hangat, namun tegas. "Kakak ipar..." suaranya rendah, menahan emosi. "Kau baik-baik saja?" Marlina menunduk, menarik tangannya pelan agar terlepas. Dia tidak ingin masalah baru muncul. Tidak ingin Kevin salah paham lagi, tidak ingin dirinya menjadi alasan pertengkaran dua saudara itu. "Aku baik-baik saja," jawabnya cepat, meski jelas-jelas suaranya bergetar. "Lebih baik kau jangan ikut campur lagi, Jeno. Aku mohon…" Matanya memohon, penuh luka. Jeno terdiam, hatinya seperti diremas. Dia ingin membantah, ingin berkata kalau Marlina tidak harus menanggung semua ini sendiri. Tapi tatapan wanita itu membuatnya menahan diri. Perlahan, Marlina melepaskan tangannya dari genggaman Jeno. Dengan langkah gontai, dia meninggalkan toilet. Begitu keluar, tatapan puluhan pasang mata staf langsung tertuju padanya. Ada iba, ada rasa bersalah, bahkan ada yang hanya berani berbisik lirih. Marlina merapatkan tas ke dadanya, menunduk dalam, berusaha berjalan secepat mungkin menuju pintu keluar. Namun hatinya hancur tak karuan. Niatnya hanya ingin memberi perhatian kecil untuk suaminya, tapi yang dia dapat hanyalah penghinaan di depan umum. Sementara dari dalam toilet, Jeno berdiri kaku, kedua tangannya mengepal erat. Dadanya sesak, matanya memerah. Kakak ipar… sampai kapan kau harus menanggung semua ini sendirian? Tidak butuh waktu lama sampai gosip itu sampai ke telinga Kevin. Siang itu, sekretaris pribadinya melangkah masuk dengan wajah pucat. Tangannya gemetar saat meletakkan beberapa dokumen di meja, tapi Kevin bisa membaca jelas kegugupan yang berlebihan. "Ada apa?" tanyanya singkat, tatapan tajam menusuk seperti pisau. Sekretaris itu menelan ludah. "T-tuan… ada sebuah video… tersebar di grup kantor. Tentang… tentang Nyonya Marlina dan anda." Tubuh Kevin seketika tegang. Wajahnya berubah gelap, nadinya berdenyut di pelipis. "Video?" suaranya pelan, namun berbahaya. "Tunjukkan padaku." Dengan tangan bergetar, sekretaris itu menyerahkan ponsel. Kevin menonton beberapa detik rekaman singkat dirinya yang menjambak Marlina, membentak, lalu melempar bekal makanannya ke lantai. Detik berikutnya, BRAK! ponsel itu dihantam keras ke meja hingga retak. Seluruh ruangan hening, hanya terdengar napas berat Kevin. "Panggil semua staf lantai ini. Sekarang!" Tak butuh lama, puluhan pegawai berdiri kaku di depan ruangannya. Mereka menunduk, suasana mencekam. Kevin melangkah keluar, menatap satu per satu wajah mereka dengan sorot mata tajam, penuh intimidasi. "Siapa yang merekam?!" suaranya menggema, membuat semua orang menahan napas. Tak ada yang berani menjawab. Dengan gerakan kasar, Kevin meraih ponsel salah satu staf yang tangannya tampak gemetar. Dia membuka galeri cepat, menemukan video itu masih tersimpan. Tanpa pikir panjang, BRUK! ponsel itu dibanting ke lantai, pecah berkeping. "Berani sekali kalian mempermainkan namaku dengan gosip murahan seperti ini." Nadanya penuh racun. "Siapa pun yang ketahuan menyebarkannya, akan kubuat menyesal bekerja di Davidson Group seumur hidup!" Hening panjang menyelimuti koridor. Semua staf menunduk lebih dalam, jantung mereka berdegup panik. Aura Kevin begitu menakutkan, hingga tak ada yang berani sekadar berbisik. Kevin mengibaskan tangannya kasar, seperti mengusir sekumpulan serangga. "Kembali ke pekerjaan kalian. Dan ingat kata-kataku." Satu per satu staf bubar, menunduk dalam. Namun di antara mereka, bisikan kecil tetap menyebar, meski sangat hati-hati. Kejadian itu memang menutup mulut mereka, tapi tidak bisa menghentikan pikiran. CEO Davidson Group benar-benar di luar batas. Sore itu, Kania tengah duduk di ruang kerjanya yang elegan, dikelilingi wangi bunga segar dan secangkir teh hangat. Salah satu orang kepercayaannya mengetuk pintu, lalu masuk dengan sikap hati-hati. "Nyonya… saya baru mendapat kabar dari kantor pusat Davidson Group," ucapnya sambil menunduk. "Sejak siang tadi, seluruh staf membicarakan kejadian memalukan yang melibatkan Tuan Kevin dan istrinya. Bahkan setelah beliau mengancam, orang-orang masih berani berbisik. Mereka mulai menyebutnya arogan dan tidak pantas menjadi seorang CEO." Kania meletakkan cangkirnya dengan tenang, tapi sorot matanya berkilat puas. Senyum tipis, licik, terlukis di bibirnya. "Benar-benar sesuai dugaanku… Iblis itu tidak perlu ditumbangkan. Dia akan menjatuhkan dirinya sendiri." Dia mengangkat ponsel, jari lentiknya menekan nomor yang sudah sangat dihafalnya. Begitu tersambung, suara lembut namun sarat intrik terdengar. "Jeno..." Kania mendesah kecil, seperti baru saja menemukan harta karun. "Sepertinya kita tidak perlu repot-repot memutar otak untuk menjatuhkan kakakmu. Iblis itu sedang sibuk menggali lubangnya sendiri. Seluruh kantor bergosip, seluruh mata menilai. Kau tahu apa artinya?" Di seberang sana, Jeno terdiam beberapa saat sebelum menjawab pelan, "Bahwa lambat laun, posisi itu akan runtuh dengan sendirinya." Senyum Kania semakin lebar, suaranya dingin penuh kemenangan. "Tepat sekali. Yang perlu kita lakukan hanyalah menunggu… dan sedikit mendorongnya pada saat yang tepat." Telepon berakhir, namun di mata Kania ada kilatan puas yang nyaris menyeramkan. Baginya, langkah Kevin semakin hari semakin menuju kehancuran, dan itu berarti jalan untuk Jeno akan segera terbuka lebar. Waktu berlalu. Malam itu, suasana rumah Davidson dipenuhi ketegangan yang mencekik. Marlina berdiri di ruang tamu dengan wajah pucat, meremas dress polosnya. Dia nyaris tidak sempat bernapas ketika suara berat Kevin menggelegar dari balik pintu. "Jadi… kau puas, Marlina?" Kevin melangkah masuk, jas kerjanya masih melekat, dasinya longgar, wajahnya gelap penuh amarah. "Karena ulahmu, seluruh kantor mempergunjingkanku! Kau pikir aku tidak tahu?!" Marlina buru-buru mendekat, mencoba menenangkan. "Kevin, aku tidak bermaksud--" Plak! Sebuah tamparan keras mendarat di pipinya. Marlina terhuyung, hampir jatuh, tapi Kevin sigap menjambak rambutnya kasar hingga wanita itu meringis menahan sakit. "Berhenti bersikap sok tulus padaku!" desis Kevin dengan suara rendah namun penuh racun. "Aku tahu, kau datang ke kantor hanya untuk mempermalukanku, kan? Jawab!" Marlina memegang lengan suaminya erat, mencoba melepaskan diri. "Tidak, Kevin. Aku bersumpah… aku tidak punya niat buruk. Aku hanya ingin mengantarkan makanan untukmu." Dorongan keras menghantam tubuh Marlina, membuatnya jatuh ke lantai dingin. Napasnya tercekat, tubuhnya gemetar. "Hentikan semua sandiwaramu itu!" Kevin menunduk, sorot matanya liar. "Setiap kebaikanmu, setiap senyum palsu itu tidak pernah membawa apa-apa selain kesialan! Apa kau sadar, Marlina? Kau hanyalah beban! Semua yang menyakitiku… selalu berawal darimu!" Bugh! Tinju Kevin mendarat di bahu Marlina, membuat wanita itu meringkuk, menutupi wajahnya dengan tangan gemetar. Tangisnya pecah, sesak bercampur rasa sakit. "Maafkan aku…" bisiknya lirih, hampir tak terdengar. Beberapa pelayan yang mendengar keributan akhirnya berlari masuk. Seorang di antaranya, perempuan paruh baya yang sudah lama bekerja di rumah itu, memberanikan diri menahan lengan Kevin. "Tuan muda, hentikan! Nyonya tidak bersalah!" serunya. Kevin menoleh dengan tatapan tajam, sorot matanya seperti binatang buas. "Keluar kalian semua, sebelum aku melupakan batasanku!" Para pelayan saling pandang, bimbang antara takut dan ingin menolong. Marlina sendiri hanya bisa menggigil, menekuk tubuhnya di lantai, menahan rasa sakit fisik dan luka batin yang semakin dalam. Malam itu sekali lagi membuktikan. Dalam rumah megah itu, yang disebut sebagai keluarga terhormat, tidak ada cinta. Hanya obsesi, kebencian, dan luka yang tak pernah berhenti menganga. "Kemari kau sialan! Ketika beberapa pelayan memberaniikan diri menolong nyonya mereka. Kevin menyeret paksa kaki Marlina. menggusurnya seperti karung, mengarah ke kolam belakang rumah. Wanita itu menjerit ketakutan. "Kevin ampun!!"Pagi itu kota masih berkabut ketika notifikasi berita mulai meledak dari ponsel ke ponsel. Headline besar dengan foto Kevin terpampang di setiap layar."SKANDAL PEWARIS DAVIDSON. KEVIN ANDREAS DIDUGA MENGIDAP AZOOSPERMIA!" Media sosial mendidih, forum saham bergetar. dan para investor panik. Namun di lantai tiga rumah sakit, suasana justru tenang, nyaris hening. Di kamar rawat VIP, Kevin duduk tegak di ranjang dengan selang infus masih terpasang, menyilangkan kaki dengan ketenangan menakutkan. Marlina duduk di sisi kirinya, memijat pelan jemarinya yang dingin. Sementara Jeno berdiri di depan jendela besar, memandang kota yang mulai gaduh. Telepon Gino berdering berkali-kali hingga akhirnya dia melempar ponselnya ke sofa sambil mengumpat."KEVIN!" serunya gusar. "Berita itu... kau sudah lihat?!" Kevin menyeringai tipis. Bukan terkejut. Bukan takut. Tetapi seperti seseorang yang akhirnya melihat bidak terakhir bergerak sesuai rencana."Tidak. Aku memang ingin berita itu muncul," kat
Pagi itu sinar matahari menyusup lembut lewat tirai putih kamar rawat inap VIP. Bau khas rumah sakit campuran obat-obatan dan antiseptik mengambang samar di udara. Mesin monitor di dekat ranjang Kevin berbunyi pelan, stabil, menandakan kondisinya sudah jauh lebih baik. Kevin sudah bisa duduk, meski masih bersandar dengan bantal tebal di belakangnya. Tubuhnya belum sepenuhnya pulih, wajahnya masih pucat, tapi matanya sudah kembali menampilkan ketegasan khas seorang pemimpin. Di sampingnya, Marlina sibuk menyuapi bubur hangat. Setiap suapan penuh dengan kesabaran dan kasih sayang. Sesekali dia mengomel kecil karena Kevin terlalu cepat mengunyah atau memaksa menggerakkan tubuhnya sendiri."Sayang.. kenapa kau terus memarahiku di depan Jeno!" rengek Kevin kesal. Dia merasa malu karena Marlina terus mengomelinya tanpa henti. Sementara itu, Jeno duduk di sofa dengan laptop terbuka. Jari-jarinya bergerak cepat di atas keyboard, wajahnya fokus namun jelas lelah. Sejak operasi Kevin dimul
Lorong rumah sakit itu begitu sepi. Lampu-lampu neon di langit-langit memancarkan cahaya pucat yang membuat suasana tampak dingin, namun juga menenangkan. Beberapa perawat lewat sesekali, langkah mereka pelan seperti bayangan. Di balik pintu kamar pemulihan, Kevin tengah beristirahat, setelah pertarungan panjang antara hidup dan ketegaran yang selama ini ia sandang. Marlina berdiri bersandar pada dinding, bahunya turun perlahan setelah menahan banyak kecemasan sejak kemarin. Napasnya akhirnya terasa sedikit ringan. Ia menatap ke arah jendela kecil yang menghadap taman rumah sakit, sebelum akhirnya menoleh ketika seseorang menghampiri, Jeno. Wajah adik iparnya itu terlihat lebih dewasa dari biasanya. Ada kelelahan yang dia sembunyikan, tapi juga ketulusan yang jarang terlihat darinya. Marlina mencoba tersenyum, senyum lembut yang selalu berhasil menenangkan siapa pun yang melihatnya. "Terima kasih, Jeno," katanya pelan namun tulus. "Karena sudah mau berada di pihak Kevin." Jeno me
Lorong rumah sakit masih memantulkan aroma obat yang menusuk ketika Marlina akhirnya diizinkan masuk. Sejak Kevin dibawa keluar dari ruang operasi, napasnya tak pernah stabil. Semua ketegangan beberapa jam terakhir masih membekas di wajahnya yang pucat. Tangannya gemetar ketika dia mendorong pintu ruang pemulihan itu.Ruangan itu temaram dan sunyi. Hanya suara mesin monitor yang berdetak pelan. Kevin berbaring di tengah ruangan, tubuhnya tampak lebih kecil dari biasanya, seolah semua kesombongan dan kekuatan yang selalu dia pertontonkan ikut hilang diambil pisau operasi.Gino berdiri di samping ranjang, tangan terlipat di dada, wajahnya dipenuhi lelah, emosi, dan sedikit sebal pada sahabat keras kepala itu. Melihat Marlina masuk, Gino mengangguk kecil dan mundur."Dia sudah sadar," katanya pelan. "Tapi jangan biarkan dia bicara terlalu banyak. Dia masih keras kepala bahkan ketika setengah mati."Marlina mengangguk, menelan haru yang menggumpal di dadanya, lalu mendekat.Ketika Kevin m
Operasi berlangsung jauh lebih lama dari perkiraan. Tiga jam… lima jam… sampai melewati batas enam jam. Setiap menit terasa seperti mimpi buruk bagi Marlina.Dia tidak bisa duduk, tidak bisa berdiri lama. Kaki dan tangannya terus gemetar. Bahkan napasnya terasa pendek seolah paru-parunya ikut menahan rasa sakit Kevin. Jeno duduk di sampingnya, namun tak berani bersuara. Matanya sesekali memperhatikan pintu ruang operasi yang tak kunjung terbuka. Setiap kali lampu tanda operasi masih menyala merah, dia bisa melihat Marlina semakin pucat."Dia akan baik-baik saja," kata Jeno untuk kedua puluh kalinya. "Duduklah." Namun kalimat itu tidak bisa menenangkan Marlina. Tidak ada yang bisa. Sampai akhirnya, lampu operasi mati. Pintu terbuka dan Gino keluar dengan pakaian operasi yang masih penuh keringat. Marlina langsung berdiri, hampir jatuh karena lututnya ikut lemas. Gino membuka masker. Senyum tipis, lega, sekaligus lelah muncul di wajahnya."Operasinya berhasil. Semuanya beres." Ma
Suara Gino mengoyak ketegangan ruang tunggu yang membeku seperti udara malam. Keputusan itu jatuh seperti palu yang memecahkan seluruh kendali diri Marlina. Matanya melebar, tubuhnya seolah ditarik ke belakang oleh ketakutan yang menggelegak. Kevin belum sadar sepenuhnya, namun tubuhnya terus gemetar setiap beberapa menit. Monitor kecil di samping ranjangnya menampilkan detak yang tidak stabil. Marlina menggigit bibir sampai terasa asin. Dia tahu ini bukan lagi soal kesiapan, tapi ini soal waktu. Soal hidup dan mati lelako yang begitu dia cintai.Setelah beberapa saat, akhirnya dia mengangguk, meski suaranya hilang di tenggorokannya."Lakukan, Gino. Tolong selamatkan Kevin."Satu anggukan kecil, tapi seperti keputusan terbesar dalam hidupnya. Sebelum tim operasi masuk, Gino menoleh pada Jeno dengan tatapan tajam yang nyaris menembus kulit."Jaga Marlina. Jangan berani macam-macam." Nada suaranya bukan sekadar perintah, tapi itu peringatan. Jeno tidak tersinggung. Dia hanya menata







