Udara malam terasa dingin menusuk, namun amarah Kevin jauh lebih membara. Di bawah sorot lampu taman yang remang, Marlina diseret paksa ke arah kolam renang belakang rumah. Perlawanan kecil dari wanita itu hanya membuat genggaman Kevin semakin kuat, jarinya mencengkeram lengan rapuh sang istri hingga memerah.
"Kevin, lepaskan aku! Tolong… aku minta maaf!" Marlina berusaha meronta, namun tubuhnya terlalu lemah setelah siksaan tadi. Kevin mendesis, matanya menyala penuh kebencian. "Diam! Kau pikir aku tidak muak dengan wajah pura-pura baikmu itu? Setiap langkahmu hanya membawa aib untukku, Marlina!" Tanpa memberi kesempatan lagi, byurrrr! tubuh Marlina dilempar begitu saja ke dalam kolam. Air memercik tinggi, dingin langsung menyelimuti tubuhnya. Wanita itu panik, tangannya menggapai-gapai permukaan, suaranya parau meminta pertolongan. "Ke…vin! Tolong! Aku… tidak bisa… berenang!" Namun Kevin hanya berdiri di tepi kolam, menatap dari atas dengan sorot penuh kebencian. "Berhenti bersandiwara! Bahkan di depan mataku pun kau masih mencoba menarik simpatiku? Dasar menyedihkan!" Air terus menelan Marlina, jeritannya semakin lemah. Kepanikan berubah menjadi rasa sesak. Tubuhnya terseret ke bagian kolam yang lebih dalam, dua meter penuh ketakutan. Dia berusaha menendang-nendang air, tapi tenaganya habis. Beberapa detik kemudian, suara teriakannya lenyap. Hening. Hanya riak air yang bergetar pelan. Kevin masih berdiri kaku, napasnya memburu. Tapi tiba-tiba sesuatu menusuk dadanya, ketiadaan suara itu. Dia menoleh cepat, jantungnya terhenti sejenak saat melihat tubuh Marlina tak lagi bergerak, tenggelam ke dasar. "Marlina?!" suara Kevin pecah, panik untuk pertama kalinya. Dengan cepat, dia melompat masuk ke kolam. Tangannya meraih tubuh istrinya yang sudah lunglai, lalu menyeretnya ke tepi dengan tenaga penuh. Nafasnya memburu, wajahnya pucat, seluruh tubuhnya basah kuyup. "Marlina! Bangun!" Kevin mengguncang bahu istrinya yang tak sadarkan diri. Tubuh wanita itu dingin, wajahnya pucat, bibirnya membiru. "Jangan berani meninggalkanku, kau dengar?!" suara Kevin bergetar, kali ini bukan karena marah, tapi karena ketakutan yang asing. Tubuh Marlina masih terbaring di sisi kolam, basah kuyup dan tak bergerak. Nafas Kevin memburu, dadanya naik turun dengan panik. Untuk pertama kalinya, ketakutan yang begitu nyata menyesak dadanya. "Sialan!" desisnya sembari menekan dada wanita itu dengan kasar. Telapak tangannya menekan berkali-kali, tapi tak ada respons. Nafas Marlina tetap tertahan. Dengan gerakan terburu-buru, Kevin menunduk, menempelkan bibirnya ke bibir pucat istrinya, meniupkan udara ke dalam paru-paru Marlina. Sekali. Dua kali. Tubuhnya bergetar, jantungnya hampir pecah karena cemas. "Bodoh! Jangan berani tinggalkan aku begitu saja!" Kevin menepuk pipi Marlina yang dingin. "Kau dengar? Aku tidak mengizinkanmu pergi!" suaranya serak, hampir bergetar. Namun Marlina tetap tak membuka mata. "Brengsek!" Kevin mengumpat keras, lalu kembali menekan dada itu lebih cepat. "Bangun, Marlina! Bangun!" Air mata yang jarang sekali muncul di matanya kini menumpuk, membuat penglihatannya kabur. Tangannya gemetar saat kembali memberi nafas buatan. Panas tubuhnya sendiri terasa kontras dengan dinginnya tubuh Marlina yang semakin kaku. Beberapa pelayan yang mendengar keributan berlari mendekat. "Tuan muda!" teriak salah satu dari mereka dengan wajah pucat. Beberapa langsung menelpon ambulans, sementara yang lain berdiri terpaku, ngeri melihat Marlina yang tak bergerak. "Cepat panggil dokter! Sekarang!" bentak Kevin, suaranya pecah penuh histeria. Namun dia tak menghentikan usahanya, tetap menekan dada Marlina berkali-kali, memberi nafas buatan lagi dan lagi. Pelayan yang menelpon ambulans melapor dengan suara gemetar, "Ambulans dalam perjalanan, Tuan!" "Persetan dengan ambulans! Dia butuh aku sekarang!" Kevin meraung, wajahnya merah, nadanya penuh putus asa. Detik-detik terasa seperti jam. Hingga tiba-tiba tubuh Marlina tersentak kecil, air menyembur keluar dari mulutnya, membuatnya batuk hebat. "Marlina!" Kevin menahan bahunya, panik namun lega. "Sialan! Kau membuatku khawatir..." Wanita itu mengerang pelan, suaranya serak, mata setengah terbuka sebelum kembali terpejam. Nafasnya lemah, tapi ada. Kevin menunduk, keningnya hampir menyentuh bahu Marlina, suaranya bergetar lirih. "Hei bangun!" Pelayan-pelayan masih berdiri terpaku, beberapa saling berbisik, melihat sisi Kevin yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Campuran amarah, kepanikan, dan ketakutan. Sirine ambulans meraung kencang saat mobil berhenti di depan rumah mewah itu.. Beberapa perawat segera mendorong tandu ke arah kolam renang, lalu mengangkat tubuh Marlina yang masih lemah dan menggigil. Kevin berjalan cepat di samping tandu, wajahnya dingin, tetapi tangannya mengepal kuat hingga buku-bukunya memutih. Sesekali pandangannya jatuh ke arah Marlina yang terbaring pucat, namun setiap kali perasaan cemas itu muncul. Dia buru-buru mengeraskan rahangnya, menolak menunjukkan kelemahan di hadapan orang lain. Mereka sampai rumah sakit. Di ruang gawat darurat, dokter segera memeriksa kondisi Marlina. Perawat dengan cekatan melepas pakaian basahnya, mengganti dengan pakaian rumah sakit, lalu mulai mengecek tekanan darah dan detak jantung. "Pasien mengalami hipotermia ringan, tapi bisa ditangani. Namun…" dokter itu berhenti sejenak, alisnya mengerut. Tangannya menunjuk beberapa memar yang jelas terlihat di lengan dan sisi pinggang Marlina. "Bagaimana bisa luka-luka ini muncul? Ada banyak bekas lebam yang tidak wajar." Kevin yang berdiri di dekat pintu langsung menegang. Sorot matanya tajam, penuh ancaman. "Itu bukan urusanmu.. Tugasmu hanya menyelamatkan istriku. Jangan buang waktu dengan pertanyaan tidak penting." Dokter menatapnya tidak puas, mencoba tetap profesional. "Maaf, Tuan Andreas, tapi kami memiliki kewajiban menanyakan penyebab luka-luka seperti ini. Apalagi jika ada indikasi lain--" "Cukup!" suara Kevin membelah udara, membuat semua perawat sontak terdiam. Dia melangkah mendekat, wajahnya sangat dekat dengan dokter. "Kau berani menuduhku? Hati-hati dengan kata-katamu. Aku bisa membeli rumah sakit ini kapan saja kalau aku mau." Suasana ruangan hening menegangkan. Para perawat menunduk, saling pandang dengan tatapan ngeri. Dokter hanya menghela napas, jelas tak berani memperpanjang argumen. "Baik. Kami hanya akan fokus pada kondisi pasien." Kevin menoleh ke Marlina lagi, matanya sempat bergetar saat melihat wajah pucat itu. Tapi ketika seorang perawat mencoba menyelimuti tubuh Marlina dengan hati-hati, Kevin berucap dingin, menutupi rasa paniknya dengan arogansi. "Rawat dia dengan baik. Jika ada sesuatu yang terjadi, aku pastikan kalian semua akan menyesal." Beberapa jam berlalu, Marlina akhirnya dipindahkan ke ruang rawat inap. Kevin duduk di sofa ruang VIP, satu kaki bertumpu, tampak santai seolah tak terguncang. Namun jarinya mengetuk-ngetuk sandaran kursi, gelisah. Sesekali tatapannya jatuh pada Marlina, yang masih terbaring lemah dengan selang infus di tangannya. Di balik sikap dinginnya, pikirannya kacau. Bayangan Marlina tenggelam tadi terus menghantui. Wajah pucatnya, tubuh tak berdayanya. Semua itu menimbulkan rasa takut yang tak pernah dia rasakan sebelumnya. Namun bibirnya hanya berbisik pelan, hampir seperti desahan obsesif. "Bodoh! Apa kau berniat meninggalkanku, hah?! Kau itu milikku. Aku yang berhak mengatur kspan kau akan mati." Suara mesin monitor berdetak pelan, seirama dengan hembusan nafas Marlina yang mulai kembali stabil. Kelopak matanya bergetar, lalu perlahan terbuka. Pandangan samar-samarnya menangkap cahaya lampu putih yang menyilaukan, membuatnya mengerjap pelan. Saat kesadarannya perlahan kembali, Marlina menoleh dan di sanalah Kevin. Duduk di kursi dekat ranjang, tubuhnya masih basah kuyup, rambutnya berantakan, kemeja yang menempel di tubuhnya sudah kering sebagian tapi tetap kusut. Wajahnya menunduk, siku bertumpu pada lutut, kedua tangannya meremas rambutnya sendiri. Untuk pertama kalinya, Marlina melihat sisi Kevin yang berbeda. Tidak arogan. Tidak angkuh. Tidak juga penuh amarah. Wajah itu tampak letih dan cemas, seolah-olah dunia bisa runtuh jika dia tak segera membuka mata. "Ke..vin..." suara Marlina serak, nyaris tak terdengar. Kepala Kevin terangkat cepat. Mata tajamnya membelalak, sorot dingin itu kini berganti dengan kilatan lega. "Marlina?" Wanita itu berusaha tersenyum meski bibirnya pecah-pecah, tubuhnya masih terasa berat. "Kita dimana?" Kevin mengeraskan rahangnya, seolah berusaha menahan sesuatu. Tatapannya menusuk, tapi jelas ada ketakutan yang ia sembunyikan di baliknya. "Bodoh. Kau hampir mati tadi. Kita sekarang di rumah sakit." Marlina menatapnya lembut, meski matanya masih basah. "Jadi... kau yang membawaku kemari?" Kevin terdiam. Kata-kata itu menampar hatinya. Dia menoleh sebentar, berusaha menyamarkan kegelisahan dengan sikap dingin. "Kalau kau mati, itu akan membuatku kerepotan. Jadi jangan salah sangka." Namun Marlina justru tersenyum lebih lebar. Senyum rapuh, tapi tulus. "Terima kasih, Kevin…" Untuk pertama kalinya, Kevin kehilangan kata-kata. Ada sesuatu yang aneh di dadanya saat melihat senyum wanita itu. Senyum yang tetap dia tunjukkan meski penuh luka, meski baru saja nyaris mati di tangannya. "Dasar bodoh!"Pagi itu, cahaya matahari baru saja menembus tirai kamar, menciptakan guratan lembut di wajah Marlina. Wanita itu sudah bangun lebih dulu, duduk di tepi ranjang dengan tatapan kosong. Sesekali dia melirik ke arah suaminya yang sibuk berdiri di depan lemari, merapikan kemeja hitam dan jas yang akan dia kenakan. Tidak ada percakapan. Hanya suara gesekan resleting koper, derit ikat pinggang yang dikencangkan, dan langkah sepatu yang terdengar kaku di lantai marmer. Marlina ingin berkata sesuatu, setidaknya hati-hati, atau aku akan merindukanmu. Namun lidahnya kelu, tertahan oleh dinginnya aura Kevin yang masih terasa. Setelah bersiap, mereka pun berangkat menuju bandara. Mobil melaju tenang di jalanan pagi. Marlina duduk di samping, kedua tangannya terkunci di pangkuan, pandangan terus tertuju keluar jendela. Kevin, dengan wajah tanpa ekspresi, juga menatap lurus ke luar kaca di sisinya. Tidak ada satu pun kata yang terucap sepanjang perjalanan. Tapi dalam hati, keduanya sama-sama ing
Malam itu kamar utama terasa hening. Hanya terdengar gesekan ritsleting koper dan lipatan kain dari tangan Marlina yang sibuk merapikan pakaian suaminya. Wajahnya masih pucat, meski luka-luka di tubuhnya perlahan mulai sembuh. Gerakan tangannya hati-hati, seakan setiap kemeja yang ia masukkan ke koper adalah bentuk tanggung jawab seorang istri, walau hanya istri kontrak yang sebentar lagi akan berakhir. Kevin berdiri di ambang pintu, diam beberapa saat, hanya menatap punggung istrinya. Ada sesuatu yang menghantam dadanya pelan, perasaan berat yang tak bisa ia definisikan. Rasanya aneh. Lelaki itu melangkah mendekat, menahan napasnya sendiri."Marlina." Suaranya dalam, membuat wanita itu menoleh dengan senyum kecil."Kau sudah siapkan semuanya, Kevin?" tanya Marlina lembut. "Besok pagi kau harus sudah berangkat, jangan sampai ada yang tertinggal." Kevin tidak langsung menjawab. Tatapannya justru jatuh pada wajah istrinya, lalu koper, lalu kembali lagi pada mata teduh itu. "Bukan itu
Ruang keluarga rumah utama dipenuhi cahaya lampu kristal yang berkilauan. Kania duduk anggun di sofa, secangkir teh hangat di tangannya. Dia baru saja mendengar percakapan Tuan David lewat telepon dengan salah satu rekan bisnis, tentang keberangkatan Kevin ke Amerika dua hari lagi. Sudut bibirnya terangkat membentuk senyum sinis. "Akhirnya… jalan itu terbuka juga," gumamnya pelan. Tak lama, langkah kaki Jeno terdengar menuruni tangga. Lelaki itu tampak baru selesai dari ruang kerjanya, wajahnya serius seperti biasa. Kania langsung memanggilnya."Jeno," ujarnya lembut tapi penuh maksud. Jeno menoleh, menatap ibunya dengan tatapan waspada. "Ada apa lagi, Bu?" Kania menaruh cangkir tehnya di meja, lalu menatap putranya lekat-lekat. "Kau tahu, kakakmu akan pergi ke Amerika. Dua hari lagi. Itu artinya Marlina akan sendirian di sini." Alis Jeno mengerut. "Dan apa maksudmu mengatakan itu padaku?" Kania tersenyum tipis, senyum yang selalu membuat orang lain sulit menebak pikirannya.
Malam itu kamar terasa pengap. Aroma alkohol bercampur dengan wangi tubuh Kevin yang menempel erat di atas Marlina. Lelaki itu jelas mabuk, matanya merah, nafasnya berat, namun setiap sentuhannya bukan lagi sekasar biasanya. Marlina terbaring pasrah, tubuhnya masih penuh memar, tapi jantungnya berdetak tak karuan saat Kevin menunduk dan berbisik lirih di telinganya. "Jangan pernah tinggalkan aku…" Wanita itu membeku. Kata-kata yang meluncur dari bibir Kevin, entah karena mabuk atau benar-benar tulus, membuat dadanya bergetar hangat. Selama ini yang dia terima hanya cacian, amarah, dan kekerasan. Tapi malam itu, Marlina melihat sisi lain yang begitu asing dari suaminya. Ciuman Kevin turun perlahan, dari bibirnya ke leher, hingga bahunya yang terbuka karena pakaian tipis yang dia kenakan. Jemari lelaki itu sempat menggenggam pergelangan tangannya kuat, namun kemudian melonggar, berganti dengan belaian. Setiap ciumannya penuh nafsu yang membakar, tapi ada kelembutan yang membuat Marl
Pagi itu, udara rumah sakit masih dingin, bau obat-obatan menyeruak dari setiap sudut. Marlina duduk di tepi ranjang, tubuhnya masih terasa lemah, kepalanya pusing sesekali. Namun, tangannya sibuk merapikan tas kecil berisi pakaian dan obat-obatan. "Dokter menyarankan anda dirawat beberapa hari lagi," suara suster terdengar hati-hati, tatapannya penuh cemas pada wajah pucat Marlina. Namun sebelum Marlina sempat menjawab, suara Kevin sudah memotong tajam. "Tidak perlu. Dia akan pulang hari ini." Marlina menoleh, menatap suaminya yang berdiri dengan kemeja hitam sederhana yang membuatnya tampak semakin dingin. Tatapannya kosong, penuh otoritas yang tak bisa dibantah. Marlina hanya bisa menunduk. "Baik..." Di perjalanan pulang, suasana mobil begitu sunyi. Marlina menyenderkan kepala ke jendela, tubuhnya masih terasa nyeri di beberapa bagian, terutama lengan dan dadanya. Kevin memegang setir dengan satu tangan, wajahnya fokus ke jalan, namun sesekali dia melirik sekilas ke arah ist
"Wanita sialan! Selalu saja membuat keributan. Apa dia memukulmu?" Kevin menoleh ke arah ranjang, menatap Marlina yang masih pucat. Nafasnya berat, tapi senyumnya tipis dan rapuh. Dengan susah payah dia mencoba bangkit, meski tubuhnya masih lemah. "Tidak..." suaranya serak, pelan. "Kevin, Maafkan aku. Karena sampai sekarang aku belum bisa memberikanmu keturunan." Kevin terdiam sepersekian detik. Kalimat itu menghantam dadanya, karena hanya dia yang tahu kebenaran bahwa ketidakmampuannya lah penghalang terbesar. Namun wajah dinginnya kembali mengambil alih, menutupi luka dan takutnya sendiri. Dengan langkah pelan tapi pasti, Kevin mendekat, menatap istrinya dari atas seolah ingin menusuk hatinya lebih dalam. "Apa boleh buat?" suaranya terdengar datar namun penuh sindiran. "Kau memang tidak bisa menjadi istri yang baik." Marlina menunduk, kedua tangannya menggenggam erat sprei putih rumah sakit. Matanya berkaca-kaca, tapi dia berusaha menahan air mata itu agar tidak jatuh di had