Share

Tindakan Bodoh

Author: Nona Lee
last update Last Updated: 2025-09-06 18:25:02

Udara malam terasa dingin menusuk, namun amarah Kevin jauh lebih membara. Di bawah sorot lampu taman yang remang, Marlina diseret paksa ke arah kolam renang belakang rumah. Perlawanan kecil dari wanita itu hanya membuat genggaman Kevin semakin kuat, jarinya mencengkeram lengan rapuh sang istri hingga memerah.

"Kevin, lepaskan aku! Tolong… aku minta maaf!" Marlina berusaha meronta, namun tubuhnya terlalu lemah setelah siksaan tadi.

Kevin mendesis, matanya menyala penuh kebencian. "Diam! Kau pikir aku tidak muak dengan wajah pura-pura baikmu itu? Setiap langkahmu hanya membawa aib untukku, Marlina!"

Tanpa memberi kesempatan lagi, byurrrr! tubuh Marlina dilempar begitu saja ke dalam kolam. Air memercik tinggi, dingin langsung menyelimuti tubuhnya. Wanita itu panik, tangannya menggapai-gapai permukaan, suaranya parau meminta pertolongan.

"Ke…vin! Tolong! Aku… tidak bisa… berenang!"

Namun Kevin hanya berdiri di tepi kolam, menatap dari atas dengan sorot penuh kebencian. "Berhenti bersandiwara! Bahkan di depan mataku pun kau masih mencoba menarik simpatiku? Dasar menyedihkan!"

Air terus menelan Marlina, jeritannya semakin lemah. Kepanikan berubah menjadi rasa sesak. Tubuhnya terseret ke bagian kolam yang lebih dalam, dua meter penuh ketakutan. Dia berusaha menendang-nendang air, tapi tenaganya habis.

Beberapa detik kemudian, suara teriakannya lenyap. Hening. Hanya riak air yang bergetar pelan.

Kevin masih berdiri kaku, napasnya memburu. Tapi tiba-tiba sesuatu menusuk dadanya, ketiadaan suara itu. Dia menoleh cepat, jantungnya terhenti sejenak saat melihat tubuh Marlina tak lagi bergerak, tenggelam ke dasar.

"Marlina?!" suara Kevin pecah, panik untuk pertama kalinya.

Dengan cepat, dia melompat masuk ke kolam. Tangannya meraih tubuh istrinya yang sudah lunglai, lalu menyeretnya ke tepi dengan tenaga penuh. Nafasnya memburu, wajahnya pucat, seluruh tubuhnya basah kuyup.

"Marlina! Bangun!" Kevin mengguncang bahu istrinya yang tak sadarkan diri. Tubuh wanita itu dingin, wajahnya pucat, bibirnya membiru.

"Jangan berani meninggalkanku, kau dengar?!" suara Kevin bergetar, kali ini bukan karena marah, tapi karena ketakutan yang asing.

Tubuh Marlina masih terbaring di sisi kolam, basah kuyup dan tak bergerak. Nafas Kevin memburu, dadanya naik turun dengan panik. Untuk pertama kalinya, ketakutan yang begitu nyata menyesak dadanya.

"Sialan!" desisnya sembari menekan dada wanita itu dengan kasar. Telapak tangannya menekan berkali-kali, tapi tak ada respons. Nafas Marlina tetap tertahan.

Dengan gerakan terburu-buru, Kevin menunduk, menempelkan bibirnya ke bibir pucat istrinya, meniupkan udara ke dalam paru-paru Marlina. Sekali. Dua kali. Tubuhnya bergetar, jantungnya hampir pecah karena cemas.

"Bodoh! Jangan berani tinggalkan aku begitu saja!" Kevin menepuk pipi Marlina yang dingin. "Kau dengar? Aku tidak mengizinkanmu pergi!" suaranya serak, hampir bergetar.

Namun Marlina tetap tak membuka mata.

"Brengsek!" Kevin mengumpat keras, lalu kembali menekan dada itu lebih cepat. "Bangun, Marlina! Bangun!"

Air mata yang jarang sekali muncul di matanya kini menumpuk, membuat penglihatannya kabur. Tangannya gemetar saat kembali memberi nafas buatan. Panas tubuhnya sendiri terasa kontras dengan dinginnya tubuh Marlina yang semakin kaku.

Beberapa pelayan yang mendengar keributan berlari mendekat.

"Tuan muda!" teriak salah satu dari mereka dengan wajah pucat. Beberapa langsung menelpon ambulans, sementara yang lain berdiri terpaku, ngeri melihat Marlina yang tak bergerak.

"Cepat panggil dokter! Sekarang!" bentak Kevin, suaranya pecah penuh histeria. Namun dia tak menghentikan usahanya, tetap menekan dada Marlina berkali-kali, memberi nafas buatan lagi dan lagi.

Pelayan yang menelpon ambulans melapor dengan suara gemetar, "Ambulans dalam perjalanan, Tuan!"

"Persetan dengan ambulans! Dia butuh aku sekarang!" Kevin meraung, wajahnya merah, nadanya penuh putus asa.

Detik-detik terasa seperti jam. Hingga tiba-tiba tubuh Marlina tersentak kecil, air menyembur keluar dari mulutnya, membuatnya batuk hebat.

"Marlina!" Kevin menahan bahunya, panik namun lega. "Sialan! Kau membuatku khawatir..."

Wanita itu mengerang pelan, suaranya serak, mata setengah terbuka sebelum kembali terpejam. Nafasnya lemah, tapi ada.

Kevin menunduk, keningnya hampir menyentuh bahu Marlina, suaranya bergetar lirih. "Hei bangun!"

Pelayan-pelayan masih berdiri terpaku, beberapa saling berbisik, melihat sisi Kevin yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Campuran amarah, kepanikan, dan ketakutan.

Sirine ambulans meraung kencang saat mobil berhenti di depan rumah mewah itu.. Beberapa perawat segera mendorong tandu ke arah kolam renang, lalu mengangkat tubuh Marlina yang masih lemah dan menggigil.

Kevin berjalan cepat di samping tandu, wajahnya dingin, tetapi tangannya mengepal kuat hingga buku-bukunya memutih. Sesekali pandangannya jatuh ke arah Marlina yang terbaring pucat, namun setiap kali perasaan cemas itu muncul. Dia buru-buru mengeraskan rahangnya, menolak menunjukkan kelemahan di hadapan orang lain.

Mereka sampai rumah sakit. Di ruang gawat darurat, dokter segera memeriksa kondisi Marlina. Perawat dengan cekatan melepas pakaian basahnya, mengganti dengan pakaian rumah sakit, lalu mulai mengecek tekanan darah dan detak jantung.

"Pasien mengalami hipotermia ringan, tapi bisa ditangani. Namun…" dokter itu berhenti sejenak, alisnya mengerut. Tangannya menunjuk beberapa memar yang jelas terlihat di lengan dan sisi pinggang Marlina. "Bagaimana bisa luka-luka ini muncul? Ada banyak bekas lebam yang tidak wajar."

Kevin yang berdiri di dekat pintu langsung menegang. Sorot matanya tajam, penuh ancaman. "Itu bukan urusanmu.. Tugasmu hanya menyelamatkan istriku. Jangan buang waktu dengan pertanyaan tidak penting."

Dokter menatapnya tidak puas, mencoba tetap profesional. "Maaf, Tuan Andreas, tapi kami memiliki kewajiban menanyakan penyebab luka-luka seperti ini. Apalagi jika ada indikasi lain--"

"Cukup!" suara Kevin membelah udara, membuat semua perawat sontak terdiam. Dia melangkah mendekat, wajahnya sangat dekat dengan dokter. "Kau berani menuduhku? Hati-hati dengan kata-katamu. Aku bisa membeli rumah sakit ini kapan saja kalau aku mau."

Suasana ruangan hening menegangkan. Para perawat menunduk, saling pandang dengan tatapan ngeri. Dokter hanya menghela napas, jelas tak berani memperpanjang argumen. "Baik. Kami hanya akan fokus pada kondisi pasien."

Kevin menoleh ke Marlina lagi, matanya sempat bergetar saat melihat wajah pucat itu. Tapi ketika seorang perawat mencoba menyelimuti tubuh Marlina dengan hati-hati, Kevin berucap dingin, menutupi rasa paniknya dengan arogansi.

"Rawat dia dengan baik. Jika ada sesuatu yang terjadi, aku pastikan kalian semua akan menyesal."

Beberapa jam berlalu, Marlina akhirnya dipindahkan ke ruang rawat inap. Kevin duduk di sofa ruang VIP, satu kaki bertumpu, tampak santai seolah tak terguncang. Namun jarinya mengetuk-ngetuk sandaran kursi, gelisah. Sesekali tatapannya jatuh pada Marlina, yang masih terbaring lemah dengan selang infus di tangannya.

Di balik sikap dinginnya, pikirannya kacau. Bayangan Marlina tenggelam tadi terus menghantui. Wajah pucatnya, tubuh tak berdayanya. Semua itu menimbulkan rasa takut yang tak pernah dia rasakan sebelumnya.

Namun bibirnya hanya berbisik pelan, hampir seperti desahan obsesif. "Bodoh! Apa kau berniat meninggalkanku, hah?! Kau itu milikku. Aku yang berhak mengatur kspan kau akan mati."

Suara mesin monitor berdetak pelan, seirama dengan hembusan nafas Marlina yang mulai kembali stabil. Kelopak matanya bergetar, lalu perlahan terbuka. Pandangan samar-samarnya menangkap cahaya lampu putih yang menyilaukan, membuatnya mengerjap pelan.

Saat kesadarannya perlahan kembali, Marlina menoleh dan di sanalah Kevin. Duduk di kursi dekat ranjang, tubuhnya masih basah kuyup, rambutnya berantakan, kemeja yang menempel di tubuhnya sudah kering sebagian tapi tetap kusut. Wajahnya menunduk, siku bertumpu pada lutut, kedua tangannya meremas rambutnya sendiri.

Untuk pertama kalinya, Marlina melihat sisi Kevin yang berbeda. Tidak arogan. Tidak angkuh. Tidak juga penuh amarah. Wajah itu tampak letih dan cemas, seolah-olah dunia bisa runtuh jika dia tak segera membuka mata.

"Ke..vin..." suara Marlina serak, nyaris tak terdengar.

Kepala Kevin terangkat cepat. Mata tajamnya membelalak, sorot dingin itu kini berganti dengan kilatan lega. "Marlina?"

Wanita itu berusaha tersenyum meski bibirnya pecah-pecah, tubuhnya masih terasa berat. "Kita dimana?"

Kevin mengeraskan rahangnya, seolah berusaha menahan sesuatu. Tatapannya menusuk, tapi jelas ada ketakutan yang ia sembunyikan di baliknya. "Bodoh. Kau hampir mati tadi. Kita sekarang di rumah sakit."

Marlina menatapnya lembut, meski matanya masih basah. "Jadi... kau yang membawaku kemari?"

Kevin terdiam. Kata-kata itu menampar hatinya. Dia menoleh sebentar, berusaha menyamarkan kegelisahan dengan sikap dingin. "Kalau kau mati, itu akan membuatku kerepotan. Jadi jangan salah sangka."

Namun Marlina justru tersenyum lebih lebar. Senyum rapuh, tapi tulus. "Terima kasih, Kevin…"

Untuk pertama kalinya, Kevin kehilangan kata-kata. Ada sesuatu yang aneh di dadanya saat melihat senyum wanita itu. Senyum yang tetap dia tunjukkan meski penuh luka, meski baru saja nyaris mati di tangannya.

"Dasar bodoh!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MENIKAHI CEO AROGAN   Amarah Kania

    Koridor rumah besar keluarga Davidson terasa sunyi, terlalu sunyi untuk jam segini. Jeno baru saja pulang dari konferensi pers Kevin, masih mengenakan kemeja yang sama. Wajahnya lelah namun hatinya ringan, setidaknya untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun, dia merasa memilih pihak yang tepat. Namun ketenangan itu hancur begitu suara tumit sepatu beradu keras dari arah ruang tamu. Kania. Wanita itu berdiri tegap, wajahnya memerah, mata membelalak seperti singa betina yang baru saja terusik. Rambutnya masih tersusun rapi, namun aura di sekelilingnya kacau, berantakan, penuh kemarahan. Di tangan kanannya, dia menggenggam ponsel. Layar masih menampilkan potongan konferensi pers Kevin. Tatapannya berhenti tepat pada Jeno."Kau sudah lihat ini, Jeno?" suaranya bergetar, namun bukan karena sedih, melainkan marah. Belum sempat Jeno membuka mulut. PLAK! Tamparan pertama mendarat di pipinya. Tajam. Cepat. Dinginnya seperti bilah pisau menusuk sampai ke tulang. Jeno tertegun, tubuhny

  • MENIKAHI CEO AROGAN   Aku Tidak Takut

    Pagi itu kota masih berkabut ketika notifikasi berita mulai meledak dari ponsel ke ponsel. Headline besar dengan foto Kevin terpampang di setiap layar."SKANDAL PEWARIS DAVIDSON. KEVIN ANDREAS DIDUGA MENGIDAP AZOOSPERMIA!" Media sosial mendidih, forum saham bergetar. dan para investor panik. Namun di lantai tiga rumah sakit, suasana justru tenang, nyaris hening. Di kamar rawat VIP, Kevin duduk tegak di ranjang dengan selang infus masih terpasang, menyilangkan kaki dengan ketenangan menakutkan. Marlina duduk di sisi kirinya, memijat pelan jemarinya yang dingin. Sementara Jeno berdiri di depan jendela besar, memandang kota yang mulai gaduh. Telepon Gino berdering berkali-kali hingga akhirnya dia melempar ponselnya ke sofa sambil mengumpat."KEVIN!" serunya gusar. "Berita itu... kau sudah lihat?!" Kevin menyeringai tipis. Bukan terkejut. Bukan takut. Tetapi seperti seseorang yang akhirnya melihat bidak terakhir bergerak sesuai rencana."Tidak. Aku memang ingin berita itu muncul," kat

  • MENIKAHI CEO AROGAN   Aku Di Pihakmu

    Pagi itu sinar matahari menyusup lembut lewat tirai putih kamar rawat inap VIP. Bau khas rumah sakit campuran obat-obatan dan antiseptik mengambang samar di udara. Mesin monitor di dekat ranjang Kevin berbunyi pelan, stabil, menandakan kondisinya sudah jauh lebih baik. Kevin sudah bisa duduk, meski masih bersandar dengan bantal tebal di belakangnya. Tubuhnya belum sepenuhnya pulih, wajahnya masih pucat, tapi matanya sudah kembali menampilkan ketegasan khas seorang pemimpin. Di sampingnya, Marlina sibuk menyuapi bubur hangat. Setiap suapan penuh dengan kesabaran dan kasih sayang. Sesekali dia mengomel kecil karena Kevin terlalu cepat mengunyah atau memaksa menggerakkan tubuhnya sendiri."Sayang.. kenapa kau terus memarahiku di depan Jeno!" rengek Kevin kesal. Dia merasa malu karena Marlina terus mengomelinya tanpa henti. Sementara itu, Jeno duduk di sofa dengan laptop terbuka. Jari-jarinya bergerak cepat di atas keyboard, wajahnya fokus namun jelas lelah. Sejak operasi Kevin dimul

  • MENIKAHI CEO AROGAN   Awal Dari Penyelesaian Masalah

    Lorong rumah sakit itu begitu sepi. Lampu-lampu neon di langit-langit memancarkan cahaya pucat yang membuat suasana tampak dingin, namun juga menenangkan. Beberapa perawat lewat sesekali, langkah mereka pelan seperti bayangan. Di balik pintu kamar pemulihan, Kevin tengah beristirahat, setelah pertarungan panjang antara hidup dan ketegaran yang selama ini ia sandang. Marlina berdiri bersandar pada dinding, bahunya turun perlahan setelah menahan banyak kecemasan sejak kemarin. Napasnya akhirnya terasa sedikit ringan. Ia menatap ke arah jendela kecil yang menghadap taman rumah sakit, sebelum akhirnya menoleh ketika seseorang menghampiri, Jeno. Wajah adik iparnya itu terlihat lebih dewasa dari biasanya. Ada kelelahan yang dia sembunyikan, tapi juga ketulusan yang jarang terlihat darinya. Marlina mencoba tersenyum, senyum lembut yang selalu berhasil menenangkan siapa pun yang melihatnya. "Terima kasih, Jeno," katanya pelan namun tulus. "Karena sudah mau berada di pihak Kevin." Jeno me

  • MENIKAHI CEO AROGAN   Hubungan Kakak Beradik Yang Membaik

    Lorong rumah sakit masih memantulkan aroma obat yang menusuk ketika Marlina akhirnya diizinkan masuk. Sejak Kevin dibawa keluar dari ruang operasi, napasnya tak pernah stabil. Semua ketegangan beberapa jam terakhir masih membekas di wajahnya yang pucat. Tangannya gemetar ketika dia mendorong pintu ruang pemulihan itu. Ruangan itu temaram dan sunyi. Hanya suara mesin monitor yang berdetak pelan. Kevin berbaring di tengah ruangan, tubuhnya tampak lebih kecil dari biasanya, seolah semua kesombongan dan kekuatan yang selalu dia pertontonkan ikut hilang diambil pisau operasi. Gino berdiri di samping ranjang, tangan terlipat di dada, wajahnya dipenuhi lelah, emosi, dan sedikit sebal pada sahabat keras kepala itu. Melihat Marlina masuk, Gino mengangguk kecil dan mundur. "Dia sudah sadar," katanya pelan. "Tapi jangan biarkan dia bicara terlalu banyak. Dia masih keras kepala bahkan ketika setengah mati." Marlina mengangguk, menelan haru yang menggumpal di dadanya, lalu mendekat. Ketik

  • MENIKAHI CEO AROGAN   Operasi Yang Berjalan Baik

    Operasi berlangsung jauh lebih lama dari perkiraan. Tiga jam… lima jam… sampai melewati batas enam jam. Setiap menit terasa seperti mimpi buruk bagi Marlina.Dia tidak bisa duduk, tidak bisa berdiri lama. Kaki dan tangannya terus gemetar. Bahkan napasnya terasa pendek seolah paru-parunya ikut menahan rasa sakit Kevin. Jeno duduk di sampingnya, namun tak berani bersuara. Matanya sesekali memperhatikan pintu ruang operasi yang tak kunjung terbuka. Setiap kali lampu tanda operasi masih menyala merah, dia bisa melihat Marlina semakin pucat."Dia akan baik-baik saja," kata Jeno untuk kedua puluh kalinya. "Duduklah." Namun kalimat itu tidak bisa menenangkan Marlina. Tidak ada yang bisa. Sampai akhirnya, lampu operasi mati. Pintu terbuka dan Gino keluar dengan pakaian operasi yang masih penuh keringat. Marlina langsung berdiri, hampir jatuh karena lututnya ikut lemas. Gino membuka masker. Senyum tipis, lega, sekaligus lelah muncul di wajahnya."Operasinya berhasil. Semuanya beres." Ma

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status