LOGINPagi itu, suasana kantor pusat Davidson Group dipenuhi ketegangan. Kevin Andreas duduk di balik meja kerjanya yang besar, kemeja putihnya rapi dengan lengan yang digulung hingga siku. Matanya tajam meneliti layar laptop, sementara beberapa berkas berserakan di meja.
"Ini laporan minggu lalu?" tanyanya dingin kepada sekretaris yang baru saja masuk. "Y-ya, Tuan. Masalah di cabang Surabaya sudah-" "Masalah kecil seperti itu tidak perlu sampai ke mejaku," potong Kevin tajam, matanya tidak lepas dari layar. "Apa gunanya aku membayar manajer cabang kalau hal sepele saja mereka tidak bisa tangani? Sampaikan, kalau mereka tidak mampu, aku akan cari orang lain yang lebih layak." Sekretaris itu menunduk dalam, gemetar menerima amarahnya, lalu buru-buru keluar setelah diizinkan. Kevin menghela napas berat, meraih gelas kopi hitam yang sudah hampir dingin. Matanya penuh kelelahan, tapi tangannya terus sibuk merapikan berkas-berkas lain. Obsesi dan ambisinya tidak pernah mengizinkan sedikit pun celah dalam pekerjaannya. Namun suara pintu yang terbuka membuat kepalanya terangkat. Sosok Tuan David masuk dengan langkah mantap, diikuti aura wibawa yang langsung memenuhi ruangan. "Ayah," sapa Kevin singkat, tanpa meninggalkan kursinya. Tuan David berdiri di depan meja, menatap putra sulungnya dengan tajam. "Aku tidak suka mengulang hal yang sama, Kevin. Apa kau sudah memikirkan perintahku? Amerika. Proyek hotel baru. Kau sudah punya jawaban?" Kevin menyandarkan tubuh ke kursi, mengusap pelipisnya. "Aku sudah memikirkan, Ayah. Tapi situasi perusahaan di sini sedang tidak stabil. Banyak masalah kecil yang harus aku atasi langsung. Aku tidak bisa meninggalkan Davidson Group sekarang." "Masalah kecil?" suara Tuan David meninggi sedikit. "Kau CEO, Kevin. Kalau kau harus turun tangan untuk urusan kecil, berarti kau gagal mendelegasikan. Jangan jadikan alasan lemah itu untuk melawan keputusan Ayahmu." Kevin mengepalkan tangan di bawah meja, menahan emosi. "Aku tidak melawan, Ayah. Aku hanya berpikir logis. Kalau aku pergi sekarang, siapa yang akan mengawasi semua ini? Apa Ayah ingin perusahaan hancur hanya karena aku harus pergi?" Hening sejenak. Lalu Kevin menambahkan dengan nada lebih datar, tapi jelas, "Biarkan Jeno yang ke Amerika. Bukankah Ayah juga ingin melihat potensinya? Dia bisa memimpin proyek itu. Aku akan tetap di sini, mengurus kendali pusat. Itu lebih masuk akal." Mata Tuan David menyipit, meneliti wajah putra sulungnya. "Kau serius menyarankan adikmu mengambil alih tanggung jawab sebesar itu?" Kevin mengangguk singkat. "Iya. Ini waktunya dia membuktikan dirinya. Kalau dia memang pantas, maka Ayah akan lihat hasilnya. Kalau tidak… aku tetap ada di sini untuk memperbaiki semua kekacauan yang mungkin terjadi." Tuan David tidak langsung menjawab. Dia berjalan perlahan ke arah jendela, menatap keluar gedung tinggi dengan kedua tangan di belakang punggung. "Entahlah... Ayah tidak yakin dia mampu." Sementara itu, dada Kevin terasa berat. Bukan hanya karena dia ingin menyingkirkan Jeno sejauh mungkin dari Marlina, tapi juga karena alasan yang tidak bisa dia katakan. Penyakitnya, rahasia memalukan yang membuatnya semakin tertekan. "Kevin." Suara Tuan David terdengar berat, mengandung peringatan. Dia berbalik dari jendela, menatap putra sulungnya lurus-lurus. "Jangan mencari alasan. Amerika bukan sekadar proyek biasa, ini tonggak baru. Jika kau menolaknya, sama saja kau menolak kesempatan membuktikan dirimu pada Ayah." Nafas Kevin memburu, rahangnya mengeras. Dia menahan diri agar tidak membalas terlalu kasar. Dalam hatinya, ada rasa muak. Muak karena seolah-olah apa pun yang dia lakukan tak pernah cukup di mata ayahnya. "Aku tidak menolak, Ayah," suaranya menajam. "Aku hanya mengingatkan bahwa waktunya tidak tepat. Aku lebih dibutuhkan di sini. Kalau Ayah memaksa, perusahaan bisa kacau." Ketegangan menguasai ruangan. Tuan David menatapnya lama, seakan ingin menguji sejauh mana Kevin berani berdiri melawan. Namun tiba-tiba, pintu diketuk singkat dan terbuka. Jeno melangkah masuk dengan tenang, meski jelas dia sudah menangkap suasana yang panas. "Ayah, Kak." Suaranya dalam, berusaha terdengar hormat. "Aku tidak bermaksud mengganggu. Tapi, aku mendengar sedikit percakapan kalian." Kevin melirik sekilas, matanya berkilat puas. Seolah kedatangan Jeno adalah jawaban dari rencananya. "Apa yang kau bersedia, Jeno?" tanya Tuan David, nada suaranya kaku. Jeno menarik napas, lalu menatap keduanya bergantian. "Kalau memang Ayah dan Kakak menginginkan aku ke Amerika, aku akan pergi. Aku siap membuktikan diriku. Aku akan melakukan yang terbaik demi Davidson Group." Keheningan menyelimuti ruangan sejenak. Kevin menyandarkan tubuhnya ke kursi, sudut bibirnya terangkat samar. Dalam hati, dia merasa puas. Pergilah, Jeno. Tunjukkan dirimu. Dan biarkan kau jatuh sendiri. Kau tidak akan bisa mengurus proyek sebesar itu. Dan ketika kau gagal, Ayah akan sadar, hanya aku yang pantas memimpin. Sementara itu, Tuan David tetap menatap adik bungsu itu dengan tatapan tajam. Ada keraguan jelas di matanya. "Kau sadar, ini bukan permainan, Jeno. Amerika bukan tempat belajar. Jika kau ke sana, kau akan langsung bertanggung jawab atas proyek yang bernilai ratusan juta dolar." "Aku sadar, Ayah." Jeno mengangguk mantap, meski di balik hatinya ada kegelisahan. "Aku tidak akan mengecewakanmu." Tuan David terdiam lama, lalu mengalihkan pandangannya pada Kevin. "Dan kau benar-benar setuju, Kevin?" Kevin menatap ayahnya dengan wajah serius, meski di dalam hatinya penuh kepuasan licik. "Iya. Aku rasa ini langkah terbaik. Jeno pantas diberi kesempatan." Hening lagi. Tuan David menimbang dalam, menatap kedua putranya bergantian. Ia jelas masih bimbang, tidak sepenuhnya percaya pada Jeno, tapi keputusan harus dibuat. Akhirnya, ia menghela napas panjang. "Baik. Kalau begitu, Jeno yang akan berangkat ke Amerika. Aku tidak ingin mendengar alasan apa pun setelah ini. Bersiaplah secepatnya. Dan, jangan membuat masalah." Jeno menunduk hormat. "Baik, Ayah." Kevin menyembunyikan senyum tipis yang ingin sekali dia tunjukkan. Di kepalanya hanya ada satu pikiran. Dia berhasil menyingkirkan si pengganggu. Setelah selesai berbicara mengenai proyek di Amerika, Jeno dan tuan David keluar dari ruangan Kevin. Mereka sempat berpapasan dengan Marlina di lorong, dan saling menyapa sebentar. "Apa ayah mertua baru saja bertemu, Kevin?" gumam Marlina pelan. Pintu ruang CEO itu terbuka pelan. Marlina melangkah masuk, menunduk sopan. Kotak bekal masih digenggam erat, wajahnya berusaha tenang meski hatinya terus mengingat kejadian semalam. Kevin sama sekali tidak menoleh. Matanya sibuk menekuri dokumen, mengetik cepat di laptop, sementara wajahnya tegang. Seperti biasanya, Marlina datang dengan penampilan sederhana. Walaupun sempat mendapat teguran dari tuan David, Kevin tak pernah mempermasalahkan penampilan wanita itu. Baginya, Marlina tidak penting. "Aku… aku bawakan makan siang untukmu," ucap Marlina pelan, menaruh kotak bekal di sudut meja. Kevin hanya mengangkat alis, tak berniat membalas sapaan. Marlina lalu berinisiatif merapikan tumpukan berkas di meja suaminya yang berantakan, berharap bisa sedikit meringankan beban lelaki itu. Tapi tangannya yang gemetar membuat sebuah map tebal tergelincir, kertas-kertas penting berhamburan di lantai. "Ah, maaf… aku..." Marlina buru-buru berjongkok, berusaha merapikan berkas-berkas itu. Namun Kevin mendadak berdiri, kursinya berderit keras. Wajahnya memerah, matanya menyala penuh amarah. "Sial! Kau tidak bisa melakukan satu hal kecil pun dengan benar, hah?!" Marlina terkejut, tubuhnya kaku. Dengan gerakan kasar, Kevin menyambar kotak bekal yang baru saja dia letakkan. Tanpa pikir panjang, dia melemparkannya ke lantai. Kotak itu terhempas, terbuka, dan makanan yang dengan sabar dimasak Marlina berserakan, mengotori karpet mahal di ruangan itu. "Bahkan ini pun tak berguna!" bentaknya lantang. Pintu yang tidak tertutup rapat membuat beberapa staf yang melintas berhenti, menoleh. Bisikan lirih terdengar di koridor, tatapan kaget bercampur iba tertuju pada Marlina yang masih berjongkok, tangannya bergetar mengumpulkan kertas. Wajahnya memerah karena malu, matanya berair, tapi dia menunduk dalam, menahan tangis. "M-maafkan aku, Kevin…" suaranya hampir tak terdengar. Kevin berdiri tegak, dadanya naik-turun karena emosi. Dia tahu ada tatapan orang lain dari luar, tapi amarahnya terlalu menguasai untuk peduli. Baginya, Marlina hanya beban, dan kemarahan itu harus dilampiaskan, meski dengan cara serendah ini. Di luar pintu, Jeno yang baru saja kembali dari koridor sempat menyaksikan sekilas kejadian itu. Rahangnya mengeras, matanya memancarkan murka yang dia tahan mati-matian. Namun dia memilih diam, mengepalkan tangan di sisi tubuhnya. Dia melirik sekilas para staf yang membicarakan sikap buruk CEO mereka. "Hei kalian... kembali bekerja."Pagi itu kota masih berkabut ketika notifikasi berita mulai meledak dari ponsel ke ponsel. Headline besar dengan foto Kevin terpampang di setiap layar."SKANDAL PEWARIS DAVIDSON. KEVIN ANDREAS DIDUGA MENGIDAP AZOOSPERMIA!" Media sosial mendidih, forum saham bergetar. dan para investor panik. Namun di lantai tiga rumah sakit, suasana justru tenang, nyaris hening. Di kamar rawat VIP, Kevin duduk tegak di ranjang dengan selang infus masih terpasang, menyilangkan kaki dengan ketenangan menakutkan. Marlina duduk di sisi kirinya, memijat pelan jemarinya yang dingin. Sementara Jeno berdiri di depan jendela besar, memandang kota yang mulai gaduh. Telepon Gino berdering berkali-kali hingga akhirnya dia melempar ponselnya ke sofa sambil mengumpat."KEVIN!" serunya gusar. "Berita itu... kau sudah lihat?!" Kevin menyeringai tipis. Bukan terkejut. Bukan takut. Tetapi seperti seseorang yang akhirnya melihat bidak terakhir bergerak sesuai rencana."Tidak. Aku memang ingin berita itu muncul," kat
Pagi itu sinar matahari menyusup lembut lewat tirai putih kamar rawat inap VIP. Bau khas rumah sakit campuran obat-obatan dan antiseptik mengambang samar di udara. Mesin monitor di dekat ranjang Kevin berbunyi pelan, stabil, menandakan kondisinya sudah jauh lebih baik. Kevin sudah bisa duduk, meski masih bersandar dengan bantal tebal di belakangnya. Tubuhnya belum sepenuhnya pulih, wajahnya masih pucat, tapi matanya sudah kembali menampilkan ketegasan khas seorang pemimpin. Di sampingnya, Marlina sibuk menyuapi bubur hangat. Setiap suapan penuh dengan kesabaran dan kasih sayang. Sesekali dia mengomel kecil karena Kevin terlalu cepat mengunyah atau memaksa menggerakkan tubuhnya sendiri."Sayang.. kenapa kau terus memarahiku di depan Jeno!" rengek Kevin kesal. Dia merasa malu karena Marlina terus mengomelinya tanpa henti. Sementara itu, Jeno duduk di sofa dengan laptop terbuka. Jari-jarinya bergerak cepat di atas keyboard, wajahnya fokus namun jelas lelah. Sejak operasi Kevin dimul
Lorong rumah sakit itu begitu sepi. Lampu-lampu neon di langit-langit memancarkan cahaya pucat yang membuat suasana tampak dingin, namun juga menenangkan. Beberapa perawat lewat sesekali, langkah mereka pelan seperti bayangan. Di balik pintu kamar pemulihan, Kevin tengah beristirahat, setelah pertarungan panjang antara hidup dan ketegaran yang selama ini ia sandang. Marlina berdiri bersandar pada dinding, bahunya turun perlahan setelah menahan banyak kecemasan sejak kemarin. Napasnya akhirnya terasa sedikit ringan. Ia menatap ke arah jendela kecil yang menghadap taman rumah sakit, sebelum akhirnya menoleh ketika seseorang menghampiri, Jeno. Wajah adik iparnya itu terlihat lebih dewasa dari biasanya. Ada kelelahan yang dia sembunyikan, tapi juga ketulusan yang jarang terlihat darinya. Marlina mencoba tersenyum, senyum lembut yang selalu berhasil menenangkan siapa pun yang melihatnya. "Terima kasih, Jeno," katanya pelan namun tulus. "Karena sudah mau berada di pihak Kevin." Jeno me
Lorong rumah sakit masih memantulkan aroma obat yang menusuk ketika Marlina akhirnya diizinkan masuk. Sejak Kevin dibawa keluar dari ruang operasi, napasnya tak pernah stabil. Semua ketegangan beberapa jam terakhir masih membekas di wajahnya yang pucat. Tangannya gemetar ketika dia mendorong pintu ruang pemulihan itu.Ruangan itu temaram dan sunyi. Hanya suara mesin monitor yang berdetak pelan. Kevin berbaring di tengah ruangan, tubuhnya tampak lebih kecil dari biasanya, seolah semua kesombongan dan kekuatan yang selalu dia pertontonkan ikut hilang diambil pisau operasi.Gino berdiri di samping ranjang, tangan terlipat di dada, wajahnya dipenuhi lelah, emosi, dan sedikit sebal pada sahabat keras kepala itu. Melihat Marlina masuk, Gino mengangguk kecil dan mundur."Dia sudah sadar," katanya pelan. "Tapi jangan biarkan dia bicara terlalu banyak. Dia masih keras kepala bahkan ketika setengah mati."Marlina mengangguk, menelan haru yang menggumpal di dadanya, lalu mendekat.Ketika Kevin m
Operasi berlangsung jauh lebih lama dari perkiraan. Tiga jam… lima jam… sampai melewati batas enam jam. Setiap menit terasa seperti mimpi buruk bagi Marlina.Dia tidak bisa duduk, tidak bisa berdiri lama. Kaki dan tangannya terus gemetar. Bahkan napasnya terasa pendek seolah paru-parunya ikut menahan rasa sakit Kevin. Jeno duduk di sampingnya, namun tak berani bersuara. Matanya sesekali memperhatikan pintu ruang operasi yang tak kunjung terbuka. Setiap kali lampu tanda operasi masih menyala merah, dia bisa melihat Marlina semakin pucat."Dia akan baik-baik saja," kata Jeno untuk kedua puluh kalinya. "Duduklah." Namun kalimat itu tidak bisa menenangkan Marlina. Tidak ada yang bisa. Sampai akhirnya, lampu operasi mati. Pintu terbuka dan Gino keluar dengan pakaian operasi yang masih penuh keringat. Marlina langsung berdiri, hampir jatuh karena lututnya ikut lemas. Gino membuka masker. Senyum tipis, lega, sekaligus lelah muncul di wajahnya."Operasinya berhasil. Semuanya beres." Ma
Suara Gino mengoyak ketegangan ruang tunggu yang membeku seperti udara malam. Keputusan itu jatuh seperti palu yang memecahkan seluruh kendali diri Marlina. Matanya melebar, tubuhnya seolah ditarik ke belakang oleh ketakutan yang menggelegak. Kevin belum sadar sepenuhnya, namun tubuhnya terus gemetar setiap beberapa menit. Monitor kecil di samping ranjangnya menampilkan detak yang tidak stabil. Marlina menggigit bibir sampai terasa asin. Dia tahu ini bukan lagi soal kesiapan, tapi ini soal waktu. Soal hidup dan mati lelako yang begitu dia cintai.Setelah beberapa saat, akhirnya dia mengangguk, meski suaranya hilang di tenggorokannya."Lakukan, Gino. Tolong selamatkan Kevin."Satu anggukan kecil, tapi seperti keputusan terbesar dalam hidupnya. Sebelum tim operasi masuk, Gino menoleh pada Jeno dengan tatapan tajam yang nyaris menembus kulit."Jaga Marlina. Jangan berani macam-macam." Nada suaranya bukan sekadar perintah, tapi itu peringatan. Jeno tidak tersinggung. Dia hanya menata







