Di malam hari dekat gerbang kediaman Magenta terlihat dua orang berpakaian hitam dengan memakai penutup kepala layaknya seorang pencuri mencoba membuka pintu gerbang tersebut.
“Gerbangnya nggak dikunci sek.”
“Kita kayak pencuri anjrit.”
“Lebih tepatnya penguntit pesek.”
“Stop panggil gue pesek napa,” serunya tidak suka.
“Kan memang faktanya begitu sayang. Sudah... kita debatnya nanti aja. Ayo masuk... keburu penjaganya datang.”
Kedua orang itu melewati pos jaga. Terlihat di sana seseorang sudah tertidur pulas di dalam pos tersebut.
“Pelan-pelan. Tungguin gue,” ucap orang itu memanggil temannya yang berjalan cepat di depannya.
“Kurasa ini terlalu berlebihan nggak? Mending kita langsung masuk ke rumahnya secara baik-baik daripada ngendap-endap gini.”
Orang yang berjalan paling depan menghentikan langkahnya lalu menoleh ke belakang.
“Itu memang bagus, tapi aku suka ide ini, lebih menantang dan menegangkan tau,”
“Ntar lo tanggung jawab ya kalau bokap sama nyokap gue sampai tau kalau gue ngutit rumah orang.”
“Iya-iya. Ayo... entar keburu ketauan.”
Mereka pun berjalan mengitari rumah besar milik Clara hingga akhirnya mereka berhenti di sebuah jendela besar.
Seakan dewa fortuna berpihak pada mereka, disebuah jendela yang penutup gordennya masih tembus pandang memperlihatkan ruang makan dimana pemilik rumah tersebut sedang makan bersama dengan yang berkemungkinan adalah tamu mereka.
“Udahan yok. Kita mending masuk aja ke rumahnya, jangan kayak gini. Gue memang nggak berbakat jadi penguntit. Gue takut ketahuan anjir.”
“Stts mending lo diam dulu.”
“Apaan sih. Lo memang dengar mereka omong apaan? Enggak kan.”
Orang bertubuh pendek itu mencebikkan bibirnya kesal pada temannya.
“Hei siapa kalian.”
Mereka kedua kompak terkejut ketika ada yang berhasil memergoki mereka.
Penjaga yang berhasil menangkap basah mereka pun datang menghampiri dua orang itu yang hendak melarikan diri.
Tapi sialnya salah satu dari mereka terjatuh dan membuat mereka berhasil ditangkap.
Keduanya pun dengan paksa bawa ke pos penjaga.
“Ujang... Ujang. Bangun. Cepat bawa tali ke sini.”
Pak Ujang yang tertidur pulas itu sontak terbangun dan kaget melihat dua sosok yang bawa oleh pak Toyib. “Mereka siapa?”
“Pencuri.”
“Pak kami bukan pencuri,” salah satu dari mereka mencoba membela diri.
“Diam. Mending kalian tunggu di sini, saya mau panggilkan pemilik rumah ini.”
“Kamu awasi mereka dulu. Saya mau ke dalam panggilin tuan dan nyonya.”
Pak ujang pun mengangguk. Sepeninggalan pak Toyib menuju rumah majikan mereka, Pak Ujang menatap sambil mengeleng pada dua orang itu.
“Cewe-cewe kok jadi pencuri sih.”
“Pak. Kan gue sudah bilangin kalau kami itu bukan pencuri. Lepas kan nggak ikatan tali ini sebelum bapak menyesal.”
“Nggak bakalan saya lepas sampai tuan Martin datang ke sini.”
“Reseh banget sih jadi satpam.”
“Kenapa rupanya kalau saya satpam. Yang pentingkan halal, memang kayak situ, pencuri.”
Hendak membalas ucapan satpam itu, tiba-tiba pak Toyib sudah kembali bersama dengan pemilik rumah ini disusul dengan anggota yang lainnya.
“Ini tuan, penyusupnya. Mereka pasti berencana mau mencuri di rumah tuan.”
“Beb tolong lepasin napa talinya.”
Clara yang berdiri di sebelah papanya sejenak tertegun. “Karin?”
Dengan langkah ragu Clara mendekat dan mencoba membuka penutup kepala itu.
“Astaga, jadi benar lo.”
Clara pun membuka penutup kepala orang yang disebelah Karin.
“Kalian ngapain pakai baju ini. Pake acara nyusup lagi ke rumah gue,” ucapnya heran dengan kelakukan bestienya.
“Nggak tau nih si Karin. Ini ide dia. Dia penasaran sama om—“
Ucapan Tasya terhenti karena Karin membekap mulut.
“Maaf om dan tante. Tadi kami lagi gabut aja pengen cobain bertamu dengan gaya yang berbeda. Ya kan Sya. Keren kan kami,” seru Karin sambil tersenyum manis ala-ala dirinya.
Sementara itu Sebastian tentu saja memandang kedua orang itu dengan wajah julidnya.
‘Ide bagus nih. Bisa nih dipraktekin sama teman-teman,’ batin Sebastian.
Martin tampak bingung harus merespon bagaimana. Sedangkan Reinard awalnya kaget dan masih syok kini membuka suaranya.
“Mereka teman-teman kamu?” tanya Reinard pada Clara lalu dibalas anggukan olehnya. “Iya om, mereka teman sekampusnya Clara.”
“Malam om tante.” Ucap mereka bersamaan menyapa pada Reinard dan Carissa.
“Teman-teman kamu unik ya Ra.”
Clara menggaruk kepalanya sembari memandang malu pada tante Carissa, kepalanya terasa gatal karena kelakuan temannya.
“Eh... Iya tan.”
"Umur aja yang bertambah tua tapi kelakuannya seperti anak-anak” celetuk Sebastian.
Mendengar itu membuat Karin langsung meradang, Tasya mencoba menenangkannya agar tidak menyebabkan keributan.
“Lepaskan ikatan tali itu pak setelah itu kalian berdua ikut masuk ke dalam. Om bingung dengan kelakuan kalian. Apa orangtua kalian udah tau kalau kalian ke sini?” tanya Martin penuh selidik.
“Sudah om,” jawab Tasya dibarengin dengan anggukan kepala dari Karina.
“Benar?”
“Benar om.”
“Yaudah. Om cuma tidak ingin orangtua kalian sampai kecarian.”
“Ayo.”
Martin berbalik dan meminta maaf pada tamunya kegaduan yang disebabkan oleh teman putrinya.
“Tidak masalah. Namanya juga anak-anak.”
'Pantasan, rupanya anaknya turunan bapaknya.' batin Karin.
Semuanya pun beranjak memasuki rumah lagi tak terkecuali juga dengan Clara yang mengajak kedua temannya untuk ikut bersamanya.
Ada banyak hal yang ingin dia pertanyakan nanti jika sudah sampai di kamarnya, terutama mengenai tujuan kedatangan mereka ke rumahnya.
***
Bersambung
“Baiklah, besok aku akan pergi ke sana.” Clara menutup panggilan telponnya. Clara menoleh ketika pintu kamarnya terbuka. Ada Georgino yang berdiri di sana lalu berjalan pelahan memasuki kamar.Seperti tidak ada niat untuk menyambut kepulangan sang suami, dia melangkah acuh menuju kasur dan duduk ditepi ranjang kemudian memainkan ponselnya.Georgino di dekat meja untuk meletakkan tas kerjanya di sana.“Apa masih sakit?”Clara tidak menjawab, dia sibuk memainkan ponselnya. Georgino mendekat, "Hei", panggil Georgino. "Aku sedang berbicara denganmu.”"Oh. Kau memanggilku— sorry, saking sibuknya dengan ponsel.” Clara berpura-pura seakan-akan tidak mendengarnya tadi.Clara mengalihkan pandangannya dan jadi salah tingkah karena Georgino hanya diam namun terus memandangnya dengan tajam. “Kenapa kau menatapku seperti itu?” Clara tidak tahan lagi saat ditatap seperti itu oleh Georgino.Pria itu mengabaikannya, Georgino masih menatap Clara dengan intens. "Apa masih sakit?" Georgino kembali bert
“Ra, bisa diam napa, gue jadi pusing lihat lo mondar-mandir gitu.”Karina menoleh menghadap Tasya lalu menatap Clara lagi. “Betul tuh. Apa udah nggak sakit lagi. Lo kan baru siap coblos semalam?”Keduanya sedari tadi sibuk memperhatikan Clara yang mondar-mandir seperti setrika sejak mereka memberitaukan bahwa Georgino bersama Kiara diperpustakaan.‘Sial. Udah dapat enaknya aja, berani juga dia asik-asik’an dengan si Kiara itu.’“Kalian tidak berbohong, kan? Mereka nggak ngapa-ngapain, kan?” tanyanya yang tidak tahan lagi karena penasaran di dorong rasa cemburu. Maybe.“Tadi sih nggak ada. Cuma Kiara aja nabrak kak Darian habis itu dia pergi, makanya kami bisa bertemu dengan pak Gino.” sahut Karina.“Tapi bisa aja, kan pas kita pergi dia jumpai pak Gino lagi.” timpal Tasya membuat Karina terlebih Clara menatap heran ke arah gadis itu.“Lo kok gitu sih Sya.” Karina memukul kakinya Tasya.Tasya terkekeh ditempatnya melihat Clara yang sudah meringkuk di sofa panjang di depannya. Dari waj
Clara sudah berada di dalam kamarnya lagi tengah berbaring memeluk gulingnya dengan erat sembari memikirkan sesuatu yang membebani pikirannya.“Kenapa ya? Heran aja gitu, tumben-tumbenan aja dia mau balik ke sini. Biasa juga harus dipaksa dulu, itupun kalau boleh dihitung biasanya cuma setahun sekali, udah kayak anniversary aja.” Clara bergumam pelan.Suara ketukan pintu membuat Clara menoleh ke arah pintu. “Siapa?” Clara bertanya pada dirinya sendiri. “Mama kan baru pergi lagi? Apa bibi? Tapi ngapain?”Meski merasa malas, Clara memaksa dirinya berjalan membuka pintu kamar. Saat pintu terbuka, Clara dengan wajah melongoh terkejut melihat kehadiran kedua sahabatnya.“Hai.” sapa Karina.“Kalian sejak—Maksudku ngapain kalian kesini?”Karina tidak menjawab, dia tersenyum-senyum sendiri karena sikap Clara yang sangat menggemaskan saat ini. Clara terlihat lucu dimatanya kalau sedang dalam mode blo-on“Gila. Rumah suami lo besar juga ya. Rumah orang tua gue nggak ada apa-apanya.” decak Karin
“Semoga tim kak Darian menang. Sayang kita nggak bisa datang, mana si Clara juga ijin nggak masuk lagi.” tutur Karina.“Katanya sih sakit.” timpal Tasya. “Tapi sumpah deh aku jera kalau mau ngajak dia ke bar lagi. Tatapan pak Gino waktu itu seram. Untung si Clara bertingkah, jadi bisa ngalihin perhatian dia.”“Masa sih.” seru Karina tidak percaya.“Kau mah nggak tau. Kan kau lagi mabuk juga waktu itu.”Di kampus, Tasya dan Karina sudah berjalan keluar dari gedung fakultas mereka. Untuk hari ini mereka hanya satu jadwal matkul saja. Jadi setelah tidak memiliki kegiatan lagi.“Kita mau kemana?”“cari makan dulu, siap itu kita pergi lihat Clara.”“Memang kau tau dia tinggal dimana?”“Kan bisa ditanya nanti sama Clara lewat telpon, kalau nggak sharelock.”Langkah keduanya mendadak terhenti ketika melihat sosok pria yang sangat dia kenal.“Pak Gino.”Tasya dan Karina saling tatap-tatapan. Sepertinya pikiran mereka saling terhubung hingga tanpa dikomando terlelebih dahulu, baik Karina dan
“Apa yang kau kau lakukan di dalam sana? Udah lumutan aku gara-gara nungguin kalian.”Georgino malas menanggapinya, dia menatap Haris dengan raut wajah datar. “Berisik.” ucapnya singkat, namun wajahnya tampak begitu kesal. “Kalau kau memang nggak mau kerja samaku lagi mending kembali ke Singapura sana.”Haris mencebikkan bibirnya. “Santai napa bos. Sensi amat.”Georgino mengulurkan tangannya mengambil paper bag yang dipegang sama Haris. Dia membukanya untuk memeriksa barang yang dibawakan oleh asistennya itu.“Pakaian dari rumah, kan?”“Iya. Aku mana tau ukuran baju istrimu, jadi mending ke rumah aja, eh syukurnya ada nyonya besar di rumah. Jadi gampang deh, yang susahnya cuma nungguin kalian di sini.”“Orangtuaku udah pulang?” Georgino mengabaikan ucapan terakhir dari Haris.“Sudah, makanya pakaian nona Clara mamamu yang ngambilin.”“Oke, terima kasih. Kalau begitu kau boleh pulang.”“Tentu saja... eh tapi kalian mau pulang sekarang, kan? Mamamu tadi nanyain. Kau sih orang nelpon ngg
Keesokan harinya Clara terbangun dari tidurnya, dia memegang kepalanya yang serasa mau pecah. Sementara disebelahnya, Georgino merasa masih ngantuk, langsung menarik Clara ke dalam dekapannya. "Jangan bergerak. Lebih baik kau tidur lagi.”Mendengar suara serak Georgino membuat mata Clara melotot sempurna. Dia menoleh dan melihat Georgino dalam keadaan shirtless alias bertelanjang dadanya.Merasakan ada sensasi hangat yang terhantar karena tubuh mereka saling bersentuhan, sontak Clara menyibak selimut dan melihat tubuhnya dalam keadaan polos yang sedang didekap oleh Georgino.“Akkkhhh.”Clara menjerit kala melihat sesuatu tersembunyi di dalam selimut dan sukses membuat Clara kembali menutup selimutnya. Clara segera terduduk membuat tidur Georgino jadi terganggu.“Kenapa kau berisik sekali?!”“Apa yang sudah kau lakukan padaku?” cecar Clara dengan tatapan sinis bercampur marah.“Memangnya apa yang sudah kulakukan padamu?”Clara menggeram tak percaya. Ingin bertanya, justru pria itu ya