Suasana ruang tamu mendadak hening setelah Clara mengutarakan pendapatnya. Sementara anggota Kanigara menghela nafas. Ada kesalahpahaman di sini dan itu harus segera diluruskan.
“Bukan begitu sayang. Bukan sama Sebastian, ya kali sama putra kedua tante ini. Kan dia masih sekolah.”
Carissa menuntun Clara duduk ke sofa yang kosong dan muat untuk mereka berdua.
“Maksudnya?”
Kini giliran Clara yang mendadak lemot, seperti yang ia tuduh pada bi Asih.
“Sebenarnya tante dan om melamar kamu untuk nikah sama putra pertama kami bukan sama Ian. Cuma malam ini dia tidak bisa datang karena mengurus perpindahan dari Singapura.”
“Oh dia benar-benar jadi kuliah di sana?” tanya Martin yang sedari tadi hanya menyimak sama seperti istrinya. Ia juga sempat mengira kalau putrinya akan dilamar untuk putra keduanya. Jelas hal itu membuat Martin tidak setuju.
Tapi dia memilih diam menunggu respon dan keputusan dari Clara dulu siapa tau putrinya benar-benar suka dan mau menerima lamaran itu.
Reinard mengangguk. “Iya, tapi sekarang dia mau pindah tugas ke Jakarta.”
Martin mangut-mangut. “Berarti sudah lama ya dia tinggal di sana.”
“Benar. Tapi sejak kepergian neneknya dua bulan lalu, dia jadi merasa bosan tinggal di sana, mungkin itu alasannya dia ingin kembali ke Jakarta,” jawab Reinard.
“Jadi bukan sama bocah ini, kan?” tanya Clara pelan sambil memperhatikan orang yang ia maksud yang duduk di sofa berhadapan dengannya.
Mata Sebastian terbelalak lalu menatap tidak suka setelah mendengarkan kalimat yang dilontarkan oleh Clara.
“Enak saja. Bocah-bocah gini udah bisa juga kali buat anak.”
Ucapan absurd itu jelas membuat semua pasang mata tertuju padanya.
Sebastian tentu terkaget kala ditatap horor oleh mereka apalagi mamanya.
“Kenapa pada liatin Ian? Kan Ian cuma merespon ucapan kak Clara. Tenang aja ma pa, Ian nggak pernah lakuin hal-hal yang aneh kok,” ujar Sebastian memberi penjelasan maksud dari perkataannya barusan.
Semuanya menghela nafas lega meski ada sedikit keraguan dengan ucapan Sebastian.
Tak terasa waktu pun terus berlalu, setelah kedua keluarga itu selesai berbincang membahas mengenai perjodohan putra dan putri mereka.
Kini semuanya sudah berada di ruang makan keluarga Magenta. Beberapa masakan sudah tersaji di sana dan tampak terlihat enak sampai tatatapan Sebastian berhenti pada satu masakan yang membuatnya tidak berselera.
“Ini apa tan?” tanya Sebastian menatap aneh pada mangkuk yang tak jauh darinya.
“Nggak tau. Itu hasil masakan Clara.”
Semuanya pun kini menatapi Clara seakan menantikan jawabannya karena mereka pun penasaran pada makanan itu.
“Itu dimsum loh. Masa nggak tau.”
“Dimsum apaan ini, hancur gini. Mana bentuknya aneh lagi.” komen Sebastian dengan wajah julidnya.
Mama Clara terlihat mengangguk setuju. Dia bernafas lega, akhirnya ada juga yang memberi komentar pada masakan putrinya itu. Tadi sore dia melihat putrinya berkutat di dapur memasak sesuatu di sana. Saat melihat masakan itu, mama Clara berniat ingin berkomentar tapi tidak jadi karena tidak ingin merusak mood putrinya yang terlihat bagus saat itu.
“Jangan sepele, meskipun hancur gini tapi jangan ragukan dengan rasanya. Coba deh dijamin enak,” seru Clara dengan memasang wajah penuh keyakinan.
“Silahkan dinikmati. Aku sudah susah payah loh masakin ini. Enak kok.”
Tapi meskipun begitu semuanya terlihat ragu akan dengan ucapan Clara.
Martin juga mengamati makanan yang dimasak oleh putrinya. Ia sangat mengenali putrinya dengan dengan baik.
Semoga putrinya ada sedikit perubahan.
Tak lama kemudian Carissa pun membuka suara.
Carissa menepuk pelan pundak Sebastian. “Kamu Ian jangan begitu. Caman mama udah niat banget loh masakin ini buat kita.”
Ada perasaan haru dalam diri Clara ketika mendengar ucapan camernya.
Clara dalam posisi duduk menundukkan kepala diam-diam mencuri pandangan pada Carrisa bergerak mengambil sumpit yang tersedia di meja sisinya berniat mencicipi dimsun ala Clara.
Dimsun buruk rupa itu akhirnya terangkat dan mencoba masuk ke dalam mulutnya Carissa.
Dengan tatapan penasaran, Sebastian pun bertanya. “Bagaimana ma? Enak?”
Sebastian melihat sang mama tidak menunjukkan ekspresi apapun. Jadi wajar dia bertanya seperti itu.
“Enak kok,” jawab Carissa sembari mengunyah makanan yang ada dimulutnya.
Sebastian yang telanjur kepo pun mengambil satu bagian dan memasukkan ke dalam mulutnya.
Belum ada beberapa detik mengunyah, Sebastian dengan merasa sedikit bersalah pada orang tua Clara berlari pergi meninggalkan meja makan menuju dapur ingin membuang sesuatu yang ada di mulutnya ke westafel cuci piring.
“Anjir. Tuh orang masak apaan sih.”
Sebastian kembali mengumur-ngumur isi dalam mulutnya dengan air westafel lalu membuangnya. Setelah itu dia kembali lagi bergabung dengan yang lain.
“Mama kok bisa tahan sih sama rasa asinnya.”
Lalu Sebastian menatap horor mata Clara. “Kak Clara bisa masak nggak sih? Kasihan deh nanti bang Gino tiap hari dapat masakan begitu kalau nikah sama kak Clara.”
‘Memang itu tujuanku. Jadi urungkan niat kalian yang ingin menjadikanku anggota Kanigara.'
“Maafkan aku. Aku kira masakan buatanku seenak itu.”
Begitulah Clara. Lain dihati lain pula kata-kata yang keluar dari bibirnya.
“Jadi kamu belum ada cobain?” tanya Sebastian yang sudah tidak memanggil Clara dengan sebutan ‘kak’
Clara mengeleng polos.
“Tidak masalah sayang. Nanti tante bisa mengajarmu memasak.”
“Maaf ya jeng. Ini akibat dimanjain papanya,” ucap Sara lalu menatap ke arah Martin.
Selama ini Martin memang melarang keras putrinya untuk masuk ke dalam dapur. Ia lebih suka putrinya untuk belajar dengan rajin saja. Jika urusan memasak itu urusan belakang jika Clara berumah tangga nantinya.
Karena saat awal-awal menikah, Martin masih ingat betul bahwa istrinya juga tidak pandai memasak. Tapi karena terus belajar melalui ponsel dan ajaran mendiang dari ibunya, akhirnya Sara bisa juga memasak makanan yang enak dilidahnya.
“It’s okay sayang. Jangan sedih dong.” ujar papa Clara.
Clara mencoba berpura-pura untuk tersenyum.
Ia sedih bukan karena masalah masakannya tidak enak melainkan karena rencananya untuk membatalkan perjodohan itu gagal lagi. Tampak Carissa tidak mempermasalahkan kekurangannya itu. Clara mengira calon mertuanya itu akan tidak menyukai dirinya karena tidak bisa memasak dengan baik untuk putranya nanti.
Untuk melarutkan suasana di ruangan itu, Martin pun membuka suara untuk memimpin acara makan malam mereka.
Dengan perasaan berbeda-beda yang dirasakan oleh mereka karena masakan Clara, mereka pun memulai makan malamnya.
Makan malam pun usai, tetapi mereka masih berada di ruang makan sembari berbincang-bincang kecil. Biasalah percakapan-percakapan orang tua seputar kehidupan.
Sementara Clara dan Sebastian sibuk dengan ponselnya masing-masing entah menghubungi siapa.
Dalam keadaan hening begitu, tiba-tiba penjaga pos gerbang kediamanan Magenta datang menghampiri hingga ke ruang makan.
“Ada apa pak Toyib?” tanya Martin penasaran.
‘Anjir namanya.’ batin Sebastian dengan muka julidnya membuat Clara menatap tidak suka pada Sebastian. Ia tau kalau pemuda itu sedang mengatakan sesuatu yang jelek pada pekerja papanya.
Karena diawal-awal masuk kerja, Clara juga melakukan hal yang sama. Mengingat itu Clara menjadi merasa berdosa banget padahal pak Toyib sangat baik dan benar-benar mengabdikan dirinya pada keluarganya.
“Ini pak... ada penyusup yang mencoba masuk ke rumah. Tadi saya lihat mereka ngintip-ngintip dari arah jendela situ,” pak Toyib pun menunjukkan jendela yang ia maksud.
“Apa?!”
Teriak mamanya membuat jantung Clara mau copot. “Mama ih suaranya bikin kaget aja,” seru Clara sembari mengusap-usap dadanya.
Bukan hanya Clara melainkan semua yang ada di meja makan itu juga ikut terkejut.
“Penyusupnya gimana bisa masuk pak? Berarti bapak nggak bagus jagain gerbangnya,”celetuk Sebastian.
Clara mengangguk setuju. Baru juga ia memuji cara kerja pak Toyib.
“Maaf pak atas kelalaian saya. Tadi pas bukain gerbang buat kamunya.” Pak Toyib menunjuk ke arah Sebastian. “Saya lupa langsung kunciin karena mendadak perut saya mules pak. Jadi saya langsung tinggalin begitu aja gerbangnya tanpa dikunci dulu. Sekali lagi maaf pak.”
“Jadi penyusupnya dimana?” tanya Martin.
“Diluar pak sudah saya ikat.”
***
Bersambung...
Di malam hari dekat gerbang kediaman Magenta terlihat dua orang berpakaian hitam dengan memakai penutup kepala layaknya seorang pencuri mencoba membuka pintu gerbang tersebut. “Gerbangnya nggak dikunci sek.” “Kita kayak pencuri anjrit.” “Lebih tepatnya penguntit pesek.” “Stop panggil gue pesek napa,” serunya tidak suka. “Kan memang faktanya begitu sayang. Sudah... kita debatnya nanti aja. Ayo masuk... keburu penjaganya datang.” Kedua orang itu melewati pos jaga. Terlihat di sana seseorang sudah tertidur pulas di dalam pos tersebut. “Pelan-pelan. Tungguin gue,” ucap orang itu memanggil temannya yang berjalan cepat di depannya. “Kurasa ini terlalu berlebihan nggak? Mending kita langsung masuk ke rumahnya secara baik-baik daripada ngendap-endap gini.” Orang yang berjalan paling depan menghentikan langkahnya lalu menoleh ke belakang. “Itu memang bagus, tapi aku suka ide ini, lebih menantang dan menegangkan tau,” “Ntar lo tanggung jawab ya kalau bokap sama nyokap gue sampai tau
Sudah dua minggu berlalu setelah acara lamaran malam. Clara dengan berat hati mau nggak mau harus menerimanya ketika sang papa justru menyetujui lamaran tersebut. Rencananya acara pertunangan akan dilakukan setelah kepulangan pria bernama Georgino Kanigara kembali ke Jakarta. Di pagi hari yang cerah, suasana di Kanigara University sudah terlihat ramai berdatangan mahasiswa yang berlalu lalang mengisi kawasan kampus tersebut. Ada yang sudah memulai aktivitas belajar mengajarnya, ada juga yang masih menunggu kehadiran sang dosen yang belum kunjung hadir ke ruang kelas belajar mereka. “Anjir, pagi-pagi gue udah dibuat olahraga sama nih kampus.” Clara tampak sedang menaiki tangga menuju lantai tiga gedung fakultas Ekonomi Bisnis. “Untung kelas gue ada di lantai tiga.” “Pakai lift napa sih. Masa di gedung sebelah udah dibuat liftnya. Dasar tuh petinggi-petinggi kampus pilih kasih banget.” Sepanjang menaiki tangga, Clara terus mengomel. Tak hanya itu, sesekali Clara juga menyempat di
“Ma,” seru Georgino memanggil mamanya.Hari sudah menjelang sore, setelah tidur sebentar Georgino terbangun dan langsung turun ke bawah menemui mamanya.Georgino berjalan cepat menuruni anak tangga lalu mengedarkan pandanganya mencari keberadaan sang mama.“Mama dimana?”Georgino mencoba pergi ke ruang santai, siapa tau mamanya sedang menonton drakor di sana, pikir Georgino. Tapi hasilnya nihil, Georgino tidak mendapati mamanya ada di sana.‘Kemana, apa lagi di dapur?’Tanpa menunggu lama Georgino turun ke dapur untuk memastikan.“Gino kamu udah bangun.”Ketika ingin masuk ke dapur, Georgino tersentak kaget mendengar suara mamanya dari arah belakangnya, “Mama dari mana saja sih, Gino dari tadi nyariin," raut wajahnya terlihat kesal sekali, mungkin karena dibuat terkejut sama mamanya.Lain dengan Carissa justru terlihat kebingungan, “Mama nggak kem
“Bisa tepos bokong gue kalau lama-lama duduk di sini,” gerutu Clara. Dia sedang menunggu seseorang di salah satu kursi beton yang tersedia tak jauh dari gerbang utama Universitas Kanigara sembari mengipas-ngipas karena kegerahan.‘Menunggu sesuatu yang sangat menyebalkan bagiku.’Clara justru jadi bernyanyi dalam hatinya.Seseorang yang diutus untuk menjemputnya belum menunjukkan tanda-tanda akan kedatangan dari orang tersebut.Kedua teman Clara sudah pulang duluan sekitar sepuluh menit yang lalu. Makanya Clara duduk sendirian di sana.“Kenapa lama sekali? Nggak tau apa menunggu itu capek banget,” hanya itulah yang bisa Clara lakukan, menggerutu lalu kesal sendiri.“Tau gitu, aku nebeng sama Tasya tadi.”Clara jadi melamun dengan tatapan yang memandang lurus ke arah gerbang.Lalu tak lama kemudian Clara menajamkan penglihatannya ketika melihat sebuah mobil mewah berwarna mer
‘Sebastian panjang umurnya,’ pikir Clara. Orang yang sedang mereka bicarakan akhirnya datang juga. Sementara Sebastian di dalam mobilnya dengan tatapan heran melihat Clara sedang menunjuk ke arahnya. “Ngapain lagi nih orang?” Di sisi lain, Carissa berjalan maju mendekati mobil itu membuat Sebastian jadi menghentikan mobilnya sejengkal tepat di depan mamanya. Terlihat Carissa langsung mengitari mobilnya menuju pintu tempat Sebastian berada. Sebastian menoleh ke samping melihat mamanya. “Ian... keluar mama bilang,” ujar Carissa sambil terus mengetuk kaca jendela mobilnya. Sebastian di dalam mobil mengabaikan perkataan mamanya, dia justru memalingkan wajah dan melihat ke arah Clara sedang memeletkan lidah ke arahnya, “Gue nggak tau dia sudah ngomong apa sama mama. Awas kau Clara.” Kemudian Sebastian menoleh ke samping dan melihat wajah mamanya, “Firasat gue nggak enak lagi.” “Ian buka pintunya,” perin
“Selamat datang di rumah kami sayang,” seru Carissa ketika pintu besar rumah itu sudah terbuka, “Semoga kamu nyaman menginap di sini ya.”Clara mengangguk pelan dan tampak ragu. Clara tidak tau apakah dirinya akan merasa nyaman atau tidak di sana apalagi mengingat ada Sebastian di rumah itu.Dan jangan lupa juga dengan calon suaminya. Siapa tau keduanya memiliki sikap yang tak jauh berbeda, sama-sama menjengkelkan.Ah... memikirkan itu Clara jadi mendadak merasa jadi tidak betah. Padahal dia akan memasuki rumah besar tersebut.‘Tidak-tidak, kau sendiri yang menyetujuinya Clara.’Karena menghargai Carissa yang berstatus lebih tua darinya, Clara jadi setuju untuk menginap beberapa hari di sana sembari menunggu kepulangan orang tuanya dari Bali.Raut wajah Clara yang tadi tampak sedang berkeluh kesah seketika berubah menjadi full senyum ketika memasuki rumah besar itu yang tampak seperti istana.Kini Clara berdiri tercengang merasa takjub melihat rumah besar milik keluarga Kanigara. Des
“Selamat datang di rumah kami sayang,” seru Carissa ketika pintu besar rumah itu sudah terbuka, “Semoga kamu nyaman menginap di sini ya.” Clara mengangguk pelan dan tampak ragu. Clara tidak tau apakah dirinya akan merasa nyaman atau tidak di sana apalagi mengingat ada Sebastian di rumah itu. Dan jangan lupa juga dengan calon suaminya. Siapa tau keduanya memiliki sikap yang tak jauh berbeda, sama-sama menjengkelkan. Ah... memikirkan itu Clara jadi mendadak merasa jadi tidak betah. Padahal dia akan memasuki rumah besar tersebut. ‘Tidak-tidak, kau sendiri yang menyetujuinya Clara.’ Karena menghargai Carissa yang berstatus lebih tua darinya, Clara jadi setuju untuk menginap beberapa hari di sana sembari menunggu kepulangan orang tuanya dari Bali. Raut wajah Clara yang tadi tampak sedang berkeluh kesah seketika berubah menjadi full senyum ketika memasuki rumah besar itu yang tampak seperti istana. Kini Clara berdiri tercengang merasa takjub melihat rumah besar milik keluarga Kanigar
“Apa yang kau lakukan, nak? Astaga.., kamu kan bisa tahan sebentar napa sampai kalian menikah?”Georgino langsung menjauhkan tubuhnya ketika mendengar suara mamanya, dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa diantara mereka berdua.Carissa meletakkan nampan berisi minuman dan makanan ringan ke atas meja lalu menghampiri Clara.Lalu tatapan yang nyalang tertuju pada Georgino, “Kamu mau apakan dia?” Carissa tak lupa memberi pukulan pada lengan kekarnya Georgino.Tanpa sadar Clara tersenyum tipis menyaksikan itu.“Gino nggak ngapain-ngapain dia.” Kemudian melihat ke arah Clara, “Tadi matanya kelilipan, terus dia minta tolong itu nge-check siapa tau ada yang masuk.”“Ya kan?” tanya Georgino sambil menatap Clara dengan intimidasi seakan menyuruh Clara untuk membenarkan ucapannya barusan.