Clara dan Georgino yang sama-sama ogah untuk menikah justru terikat dalam sebuah pernikahan akibat dijodohkan oleh orang tua mereka. Seperti kata pepatan 'Cinta tumbuh karena terbiasa' Diawal pernikahan cinta diantara mereka belum tumbuh dan malah sering bertengkar layaknya kucing dan tikus, tetapi karena Clara dan Georgino sering bersama-sama lama kelamaan cinta itu akhirnya mulai tumbuh. Hubungan yang semula harmonis, mendadak terancam gara-gara datangnya orang ketiga akibat kesalahputusan yang dibuat Clara ketika Georgino datang membawa seorang gadis yang tak sengaja ditolongnya ketika pulang dari perjalanan bisnis. Apakah Clara mampu mempertahankan rumah tangganya bersama Georgino? Apakah Georgino akan justru tergoda dari jerat orang ketiga yang selalu mengambil kesempatan untuk menggodanya? Penasaran? Ayo baca dan tunggu kisah selanjutnya tentang Clara dan Georgino di novel ‘Menikahi Dosen Tampan Menyebalkan’ FB : Lovenic Author
View More“Clara, cepat bangun! Bukain pintunya.”
Suara teriakan dari mama Clara terus terdengar diiringi dengan beberapa ketukan pada pintu kamar bertuliskan ‘Kamar Princess Clara Magenta’
Tapi sang pemilik kamar justru mengabaikan panggilan mamanya. Gadis itu sebenarnya sudah terbangun tapi kelopak matanya serasa enggan untuk terbuka. Rasanya malas sekali untuk bangun. Jadi Clara membiarkan mamanya terus berteriak di sana.
Perkara kena semprot omelan mamanya, itu urusan belakangan saja. Yang jelas Clara ingin tidur kembali.
Tapi sialnya, suara mamanya terus terdengar.
Mama Clara tampak masih betah berada di pintu dan terus mencoba membangunkannya.
Kring...
Sial. Clara mengumpat dalam hatinya.
Baik mamanya maupun alarm di kamarnya, memang tidak bisa membiarkannya untuk tidur sebentar saja.
Bukannya bangun, Clara malah menyumpal kedua telingannya dengan menggunakan bantal. Ia gelojotan, malas untuk bangun pagi.
“Clara ini untuk yang terakhir kalinya mama memanggilmu. Jangan sampai mama menyuruh pak Toyib mendobrak pintu ini,” ancam mama Clara.
Di dalam kamar, Clara spontan membuka matanya. Mendengar ancaman mamanya membuat Clara sekejap langsung bangun dan beranjak dari kasur nyamannya.
‘Mama ih, kenapa sih pake acara manggil-manggil pak Toyib segala?’ batin Clara kesal.
Clara mau nggak mau harus segera segera bangun. Clara di antara kasur dan selimut selalu membuatnya merasa nyaman. Memang definisi hubungan segitiga yang terasa nyaman, siapapun tidak akan ada yang marah kecuali jika sang mama datang dan membuat Clara harus pergi meninggalkan mereka.
Clara membuka pintu kamarnya, paginya yang cerah ia sambut dengan melihat wajah masam mamanya. Ia menghela nafas bersiap untuk mendengar omelan mamanya.
“Apa sih mah, pagi-pagi wajahnya masam begitu.”
Mata mama Clara membulat. “Pagi katamu. Heran deh lihat kamu Clara, gimana nanti nasib ibu mertuamu dapat menantu kayak gini.”
“Mertua apaan sih? Kan Clara belum nikah?”
“Terserah, sekarang lihat jam di sana Clara. Tengok sudah pukul berapa?”
Clara mengendikkan bahunya acuh. Mana dia tau sekarang sudah pukul berapa, yang Clara ingat kalau semalam dia menyetel alarm pukul 11.00 untuk membangunkannya karena Clara ingin menonton drakor favoritnya yang baru-baru ini sedang tayang.
“Nggak tau mah. Lagian kenapa sih bangunin Clara. Kan semalam Clara sudah bilang kalau hari ini Clara nggak ke kampus. Pak Baron dosen Clara lagi ke Selangor.”
Mama Clara menghela nafas sabar. Ia sangat jengah menghadapi sikap putri satu-satunya. Begini hasilnya kalau sudah dimanjakan oleh papanya sedari kecil. “Astaga Clara, meskipun kamu tidak pergi ke kampus, tapi biasakan untuk bangun cepat di pagi hari. Gimana nanti nasib suamimu kalau kebiasaanmu terbawa sampai kamu sudah menikah,” omel mama Clara.
“Mama kenapa sih dari tadi bawaanya mama mertualah, suamilah?”
“Hidup nggak usah diperumit ma. Kalau pun nggak ada yang suka dengan sikap Clara, mending sekalian nggak usah menikah. Ribet banget,” jawabnya santai.
Pletak
Satu jentikan maut melayang di keningnya Clara membuat gadis itu meringis kesakitan akibat ulah mamanya.
“Mama ih... sakit loh.”
Clara mengusap-usap jidat cantiknya sembari membagusi poninya lalu menatap kesal pada mamanya.
“Kan, poni anti badai Clara jadi rusak. Ah mama ih, suka banget buat mood Clara jadi down,”
“Biarin.”
“Gausah nikah-gausah nikah. Mulutnya pengen mama cubit. Mau dicap perawan tua sama tetangga, hah?”
‘Mana gue pikirin apa kata tetangga. Selagi bukan uang dia yang ngehidupi gue, apa urusannya?’
Clara merengut kesal. “Jadi mama mau apa sekarang?”
Clara berjalan menuju meja hiasnya dan bercermin untuk melihat apakah poninya baik-baik saja.
“Jangan berkaca, cepat beresin kamarmu lalu mandi. Siap itu bantuin mama masak. Nanti malam papamu kedatangan tamu penting.”
Clara menatap malas ke arah mamanya, “Siapa sih?”
“Nggak tau. Kata papa teman lamanya.”
“Ck. Tumben-tumbenan. Ada acara apaan sih?”
“Teman papamu mau melamar kamu?”
“Apa!? Aku?”
“Iya. Jadi siapa lagi. Nggak mungkin mama.”
“Sama om-om gitu. Nggak maulah. Udah tua lagi kayak papa. Clara nggak mau,” tolaknya langsung. Masa dia harus nikah sama pria yang seusia papanya. Sama teman papanya pula lagi. Ogah. Ingat kata Tiara Andini ‘masih banyak ikan di laut’ Kenapa harus sama om-om?
Memang selera mantu orang tuanya kelewatan banget parahnya. Clara jadi mengendik ngeri memikirkan hal itu.
“Astaga siapa yang bilang udah tua?”
“Mama barusan.”
Mama Clara menepuk jidatnya. “Maksud mama orang tuanya mau melamar kamu untuk putranya. Ya kali sama papanya. Orang papanya masih punya istri. Kamu nanti mama aduin lo. Tadi kamu bilang papa udah tua. Tau rasa nanti uang sakumu dikurangi.”
“Kan memang udah tua mama.”
“Jangan bilang suami mama udah tua. Mama marah ini loh.”
Bi Asih yang datang ke kamar untuk memanggil nyonya-nya untuk menanyakan sesuatu perihal bumbu dapur hanya mematung di antara mereka, terdiam menyaksikan perdebatan kedua majikannya.
“Nyonya bumbunya sudah siap, jadi dimasakkan nyonya?” ujarnya mengingatkan tujuannya mendatangi kamar nona Clara.
“Jadi,” lalu mama Clara menatapi Clara yang ingin duduk di tepi kasur, membuat Clara membatalkan niatnya untuk duduk, “Setelah kamu selesai membereskan kamarmu dan mandi, langsung turun ke dapur bantuin mama.”
“Bibi tolong bantuin Clara ya,” mata Clara memandang harap pada bik Asih.
“Nggak usah bi, biarkan dia yang membereskan kamarnya sendiri,” seru mama Clara melarang bik Asih yang ingin bergerak membantu putrinya.
“Heran deh masa udah besar kamarnya masih bik Asih yang beresin. Padahal sebentar lagi sudah mau jadi istri orang."
‘Kan itu udah tugasnya bi Asih, Ma. Jadi apa gunanya di gaji.’
Clara hanya bisa menyampaikan itu dalam hatinya karena tidak ingin di semprot oleh omongan pedas mamanya.
Tunggu?
“Jadi Clara benar-benar mau dijodohkan?”
Apa-apaan ini? Dirinya saja belum memberi keputusan.
“Iya. Papamu dan papanya sudah berteman lama, jadi nggak usah banyak tanya, sekarang belajar cara membersihkan kamarmu sendiri, biar pas kamu nikah, kamu nggak pusing sendiri.”
“Kamu contoh mama, lihat gimana mama mengurus rumah, papamu dan kamu. Makanya papamu sangat sayang sama mama.”
Mendengar ucapan mamanya, Clara menunjukkan ekspresi julidnya alias bombastic said eyes ke arah mamanya.
“Ayo bi.”
Langkah Mama Clara terhenti lalu ia menoleh ke belakang melihat Clara yang masih mematung di ambang pintu. “Awas tidur lagi. 15 menit kamu nggak turun-turun juga, nggak perlu nunggu lama-lama lagi, detik itu juga mama langsung nikahkah kamu sama anaknya biar kamu cepat keluar dari rumah ini. Mama stres ngadapin kelakuan Clara.”
‘Stres-stres. Di kasih anak malah stres. Nggak ada anak nanti stres juga.’
Setelah keduanya benar-benar pergi Clara menutup pintu kamarnya cukup keras karena kesal. “Enak aja nyuruh aku pindah. Kupastikan rencanamu gagal mama. Lihat aja nanti. Aku nggak mau nikah. Clara masih ingin bebas dan belum siap mengurus suami.”
***
Di dalam ruangan yang ber AC, seseorang tengah membaca dokumen penting di meja kerjanya.
Terdengar suara ketukan pintu membuat perhatian pria itu teralihkan dan menoleh ke sumber suara.
“Masuk,” ucap pria itu dengan suara cukup berat tapi terdengar tegas.
Pintu terbuka dan seseorang berpakaian formal sama sepertinya memasuki ruangan pria tersebut.
“Ada apa? Aku sudah memperingati untuk jangan menganggu—"
Ucapanya terhenti ketika sang asisten justru menyodorkan ponsel padanya.
“Ini nyonya yang menelpon tuan.”
Haris mendekati tuannya dan memberikan ponsel miliknya.
“Ya ma, ada apa?”
“Kenapa kamu tidak mengangkat telpon mama?”
“Aku sibuk. Kan mama tau kalau aku sedang menyelesaikan urusanku di sini.”
“Ya mama tau. Tapi masa kamu nggak punya waktu sejenak untuk menelpon mama. Kasih kabar kek apa kek.”
“Kalau soal itu aku minta maaf mah. Oh ya papa dimana?”
“Lagi di kantor. Kamu jangan lama-lama di sana. Ingat mama dan papa sudah merencanakan untuk melamar putri teman papamu.”
“Mah kan aku sudah bilang kalau aku tidak setuju dengan rencana bodoh mama dan papa. Please jangan lakukan itu deh,” pintanya pada sang mama.
“Mama nggak bisa menolak permintaan papamu. Lagian usia kamu sudah cukup untuk menikah sayang. Jadi cepat selesaikan urusanmu di sana, nanti malam kami akan berkunjung ke rumah calon istrimu.”
“Tapi ma—”
“Nggak ada tapi-tapian. Sudah dulu ya mama mau pergi keluar beli sesuatu untuk mama bawa buat calon mantu mama.”
Dengan cepat Haris mengambil ponselnya kala melihat tuannya memandang benda pipih itu dengan tatapan kesal bercampur marah. Ia hanya tidak ingin ponselnya menjadi sasaran empuk untuk meluapkan semua rasa yang sedang dipendam oleh tuannya.
“Tuan… apa saya sudah boleh keluar? Maksud saya... apa ada yang tuan perlukan lagi?” tanyanya penuh kehati-hatian. Haris bertanya seperti itu siapa tau tuannya masih membutuhkan bantuannya.
“Tidak ada. Kau bisa keluar,” serunya pada Haris.
“Baik tuan kalau begitu saya permisi keluar dulu.”
Haris beranjak dari tempatnya dan menutup pintu ruangan itu dengan hati-hati. Ia sangat tau kalau tuannya sedang dalam mood yang tidak baik saat ini.
“Kita lihat nanti apa dia masih mau menikah denganku,” ucapnya sambil menatap lekat pada dokumen yang sedang ia pegang itu.
***
Bersambung
“Baiklah, besok aku akan pergi ke sana.” Clara menutup panggilan telponnya. Clara menoleh ketika pintu kamarnya terbuka. Ada Georgino yang berdiri di sana lalu berjalan pelahan memasuki kamar.Seperti tidak ada niat untuk menyambut kepulangan sang suami, dia melangkah acuh menuju kasur dan duduk ditepi ranjang kemudian memainkan ponselnya.Georgino di dekat meja untuk meletakkan tas kerjanya di sana.“Apa masih sakit?”Clara tidak menjawab, dia sibuk memainkan ponselnya. Georgino mendekat, "Hei", panggil Georgino. "Aku sedang berbicara denganmu.”"Oh. Kau memanggilku— sorry, saking sibuknya dengan ponsel.” Clara berpura-pura seakan-akan tidak mendengarnya tadi.Clara mengalihkan pandangannya dan jadi salah tingkah karena Georgino hanya diam namun terus memandangnya dengan tajam. “Kenapa kau menatapku seperti itu?” Clara tidak tahan lagi saat ditatap seperti itu oleh Georgino.Pria itu mengabaikannya, Georgino masih menatap Clara dengan intens. "Apa masih sakit?" Georgino kembali bert
“Ra, bisa diam napa, gue jadi pusing lihat lo mondar-mandir gitu.”Karina menoleh menghadap Tasya lalu menatap Clara lagi. “Betul tuh. Apa udah nggak sakit lagi. Lo kan baru siap coblos semalam?”Keduanya sedari tadi sibuk memperhatikan Clara yang mondar-mandir seperti setrika sejak mereka memberitaukan bahwa Georgino bersama Kiara diperpustakaan.‘Sial. Udah dapat enaknya aja, berani juga dia asik-asik’an dengan si Kiara itu.’“Kalian tidak berbohong, kan? Mereka nggak ngapa-ngapain, kan?” tanyanya yang tidak tahan lagi karena penasaran di dorong rasa cemburu. Maybe.“Tadi sih nggak ada. Cuma Kiara aja nabrak kak Darian habis itu dia pergi, makanya kami bisa bertemu dengan pak Gino.” sahut Karina.“Tapi bisa aja, kan pas kita pergi dia jumpai pak Gino lagi.” timpal Tasya membuat Karina terlebih Clara menatap heran ke arah gadis itu.“Lo kok gitu sih Sya.” Karina memukul kakinya Tasya.Tasya terkekeh ditempatnya melihat Clara yang sudah meringkuk di sofa panjang di depannya. Dari waj
Clara sudah berada di dalam kamarnya lagi tengah berbaring memeluk gulingnya dengan erat sembari memikirkan sesuatu yang membebani pikirannya.“Kenapa ya? Heran aja gitu, tumben-tumbenan aja dia mau balik ke sini. Biasa juga harus dipaksa dulu, itupun kalau boleh dihitung biasanya cuma setahun sekali, udah kayak anniversary aja.” Clara bergumam pelan.Suara ketukan pintu membuat Clara menoleh ke arah pintu. “Siapa?” Clara bertanya pada dirinya sendiri. “Mama kan baru pergi lagi? Apa bibi? Tapi ngapain?”Meski merasa malas, Clara memaksa dirinya berjalan membuka pintu kamar. Saat pintu terbuka, Clara dengan wajah melongoh terkejut melihat kehadiran kedua sahabatnya.“Hai.” sapa Karina.“Kalian sejak—Maksudku ngapain kalian kesini?”Karina tidak menjawab, dia tersenyum-senyum sendiri karena sikap Clara yang sangat menggemaskan saat ini. Clara terlihat lucu dimatanya kalau sedang dalam mode blo-on“Gila. Rumah suami lo besar juga ya. Rumah orang tua gue nggak ada apa-apanya.” decak Karin
“Semoga tim kak Darian menang. Sayang kita nggak bisa datang, mana si Clara juga ijin nggak masuk lagi.” tutur Karina.“Katanya sih sakit.” timpal Tasya. “Tapi sumpah deh aku jera kalau mau ngajak dia ke bar lagi. Tatapan pak Gino waktu itu seram. Untung si Clara bertingkah, jadi bisa ngalihin perhatian dia.”“Masa sih.” seru Karina tidak percaya.“Kau mah nggak tau. Kan kau lagi mabuk juga waktu itu.”Di kampus, Tasya dan Karina sudah berjalan keluar dari gedung fakultas mereka. Untuk hari ini mereka hanya satu jadwal matkul saja. Jadi setelah tidak memiliki kegiatan lagi.“Kita mau kemana?”“cari makan dulu, siap itu kita pergi lihat Clara.”“Memang kau tau dia tinggal dimana?”“Kan bisa ditanya nanti sama Clara lewat telpon, kalau nggak sharelock.”Langkah keduanya mendadak terhenti ketika melihat sosok pria yang sangat dia kenal.“Pak Gino.”Tasya dan Karina saling tatap-tatapan. Sepertinya pikiran mereka saling terhubung hingga tanpa dikomando terlelebih dahulu, baik Karina dan
“Apa yang kau kau lakukan di dalam sana? Udah lumutan aku gara-gara nungguin kalian.”Georgino malas menanggapinya, dia menatap Haris dengan raut wajah datar. “Berisik.” ucapnya singkat, namun wajahnya tampak begitu kesal. “Kalau kau memang nggak mau kerja samaku lagi mending kembali ke Singapura sana.”Haris mencebikkan bibirnya. “Santai napa bos. Sensi amat.”Georgino mengulurkan tangannya mengambil paper bag yang dipegang sama Haris. Dia membukanya untuk memeriksa barang yang dibawakan oleh asistennya itu.“Pakaian dari rumah, kan?”“Iya. Aku mana tau ukuran baju istrimu, jadi mending ke rumah aja, eh syukurnya ada nyonya besar di rumah. Jadi gampang deh, yang susahnya cuma nungguin kalian di sini.”“Orangtuaku udah pulang?” Georgino mengabaikan ucapan terakhir dari Haris.“Sudah, makanya pakaian nona Clara mamamu yang ngambilin.”“Oke, terima kasih. Kalau begitu kau boleh pulang.”“Tentu saja... eh tapi kalian mau pulang sekarang, kan? Mamamu tadi nanyain. Kau sih orang nelpon ngg
Keesokan harinya Clara terbangun dari tidurnya, dia memegang kepalanya yang serasa mau pecah. Sementara disebelahnya, Georgino merasa masih ngantuk, langsung menarik Clara ke dalam dekapannya. "Jangan bergerak. Lebih baik kau tidur lagi.”Mendengar suara serak Georgino membuat mata Clara melotot sempurna. Dia menoleh dan melihat Georgino dalam keadaan shirtless alias bertelanjang dadanya.Merasakan ada sensasi hangat yang terhantar karena tubuh mereka saling bersentuhan, sontak Clara menyibak selimut dan melihat tubuhnya dalam keadaan polos yang sedang didekap oleh Georgino.“Akkkhhh.”Clara menjerit kala melihat sesuatu tersembunyi di dalam selimut dan sukses membuat Clara kembali menutup selimutnya. Clara segera terduduk membuat tidur Georgino jadi terganggu.“Kenapa kau berisik sekali?!”“Apa yang sudah kau lakukan padaku?” cecar Clara dengan tatapan sinis bercampur marah.“Memangnya apa yang sudah kulakukan padamu?”Clara menggeram tak percaya. Ingin bertanya, justru pria itu ya
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments