Itu bar tempatnya mabuk setelah memergoki perselingkuhan Darren dan Livia.Lyra menyaksikan video rekaman itu berulang-ulang.Disana terlihat Lyra masuk tergesa ke dalam bar. Lalu beberapa menit kemudian, Dastan terlihat memasuki tempat yang sama, pada tanggal yang sama, seolah menyusul. Puncaknya adalah, mereka keluar bersama sambil bergenggaman tangan dan Lyra jelas terlihat mabuk. Narasi di video itu menggiring opini yang sangat tajam.'Skandal keluarga Adiwangsa kembali menggemparkan! Ternyata ini alasan pertunangan Darren Adiwangsa gagal? Si cantik ini diam-diam punya hubungan dengan paman tunangannya sendiri!'Komentar netizen membanjiri unggahan itu. Sebagian mencibir, sebagian lagi bergosip liar tanpa dasar.Lyra tergagap panik. Napasnya mulai tersendat oleh rasa cemas luar biasa. “Dari mana... siapa yang menyebarkan ini?” bisiknya, nyaris tak terdengar.Nancy menatap sahabatnya lekat. Seolah mencari kebenaran di sana. “Ly, apa ini... benar-benar terjadi? Di belakang Darren,
Beberapa detik Talia hanya terdiam, seolah sedang memproses isi pesan dari Lyra.Sekarang, anak itu berani memberinya syarat?Satu pesan segera masuk. Talia membacanya dengan seksama. "Berkas pengalihan saham tetap bersamaku selama 6 bulan."Mata wanita itu melebar. Tiga puluh persen saham Adiwangsa, dokumen sebesar itu, disimpan oleh Lyra?"Untuk keamanan. Dastan sangat protektif. Dia bisa saja mengecek tanpa aku tahu."Talia menatap layar penyeranta dengan mata menyipit, wajahnya tegang namun penuh perhitungan. Helaan napas panjang meluncur dari hidungnya. Ada sedikit geli yang menyelinap di ujung bibirnya. Bukan karena marah—justru karena kagum.“Gadis licik…” gumamnya pelan. “Akhirnya kau juga tahu cara bermain.”Ia menatap layar sekali lagi sebelum mengetik balasan:"Baik. Simpan itu baik-baik. Aku tidak akan menuntut berkasnya sekarang. Tapi kau tahu, Lyra... waktu kita tidak banyak."Talia menggigit bibirnya. Lalu menambahkan:"Ayahmu akan dapat pengobatan terbaik, aku akan pa
"Eh, bahumu!" Lyra berseru mengingatkan."Jangan khawatir, ini sudah sembuh," jawab Dastan mematahkan usahanya yang mencoba mengalihkan situasi.Akhirnya gadis itu terbungkam, Dastan mendekatkan wajah. Nafas mereka hampir beradu, membuat udara di antara mereka terasa makin menyesakkan. Lyra yang masih terperangkap dalam pelukan itu panik setengah mati. Tapi tubuhnya seperti membeku, tidak mampu melawan, apalagi melarikan diri.Dengan napas tercekat, akhirnya dia memilih menutup mata. Pasrah.Tubuhnya berjengit saat sebuah kecupan ringan yang menggetarkan, berlabuh di keningnya. Sangat lembut. Sangat hati-hati. Mata Lyra pun terbuka perlahan. Dia tidak tahu harus berkata apa. Namun Dastan menatapnya begitu tenang, seolah itu bukan hal baru untuk mereka. "Sebagai ucapan terima kasih karena sudah melalui semua kesulitan ini bersamaku," ucap Dastan pelan, hampir seperti bisikan. "Dan… karena kamu tetap di sini."Wajah Lyra memanas. Dia langsung menghindari tatapan pria itu dan mendorong
Langkah Dastan terhenti tepat di depan pintu kamar Lyra. Tangannya terangkat, siap mengetuk, namun sebelum jari-jarinya menyentuh permukaan kayu, daun pintu lebih dulu terbuka dari dalam. Lyra muncul dengan rambut tergerai dan mata sedikit bengkak, namun dengan senyum cepat yang ia tarik di wajahnya begitu melihat siapa yang berdiri di sana.“Kenapa ke sini?” tanyanya pelan, terkejut tapi berusaha terdengar santai. Tatapannya kemudian berpindah ke Alba yang berdiri beberapa langkah di belakang Dastan. Pelayan itu hanya mengangkat bahu, tak tahu harus menjawab apa.Dastan tidak langsung menjawab. Dia hanya menatap Lyra lekat-lekat, mencoba membaca isyarat di balik raut wajah tenang itu. Tapi Lyra tampak pandai menyembunyikan kegundahan. Tak ada sorot mata redup, tak ada isak tersamar. Hanya ekspresi polos dan netral yang seperti disengaja.“Ada apa?” tanya Lyra lagi, kali ini lebih lembut. “Kau seharusnya tidak banyak gerak. Bukankah dokter bilang kau harus istirahat penuh agar proses
Talia menatap puas. Tangan Lyra gemetar menggenggam lembaran-lembaran hasil pemeriksaan medis dari dalam amplop. Helaan napasnya tertahan ketika matanya menelusuri kalimat demi kalimat.Diagnosis terbaru. Penurunan fungsi vital. Potensi komplikasi.Laporan dokter menyebutkan bahwa obat-obatan yang biasa diberikan mulai dihentikan secara bertahap karena alasan administratif. Ada catatan kecil di bagian bawah: "Atas permintaan keluarga wali pasien."Lyra menatap Talia yang kini duduk dengan kaki bersilang di jok mobil mewah. Matanya berkaca-kaca. "Kenapa kau melakukan ini?" Suaranya serak, lebih seperti bisikan penuh guncangan.Talia mengambil kembali map itu dengan tenang, lalu memasukkannya kembali ke dalam tas kulit mahalnya. “Mau bagaimana lagi?” ucapnya santai. “Keuangan keluarga Sasmita mulai goyah. Bisnis terus melemah. Perusahaan butuh penyokong baru, atau setidaknya, penghubung yang bisa membuka akses ke kekuasaan dan modal yang lebih besar.”Lyra menoleh ragu ke arah rumah
Lyra keluar dari kamar Dastan dengan langkah hati-hati, menenangkan detak jantungnya yang masih belum sepenuhnya stabil usai kejadian absurd tadi.Udara di lorong terasa lebih segar, atau mungkin itu hanya efek dari dirinya akhirnya bisa mengambil napas panjang setelah terus berada dalam ketegangan. Ia menuju dapur utama, berniat menanyakan soal minuman untuk tamu yang tak lain adalah calon mertuanya sendiri.Begitu melangkah ke dalam, beberapa pelayan langsung menoleh dan tersenyum ramah. Alba, menyambut Lyra dengan tatapan penuh arti."Selamat pagi, Nona Lyra. Kami sudah siapkan teh jahe dan camilan ringan untuk Tuan Besar. Apakah boleh langsung kami antar?"Lyra mengangguk pelan, lalu tersenyum sopan. "Boleh. Maaf, aku terlambat menyampaikannya, barusan... suasananya agak canggung di kamar."Salah satu pelayan muda menutup mulutnya, terkikik. "Wah, canggung karena Tuan Besar datang tanpa kabar, atau... karena Nona terlalu betah di kamar Tuan Dastan?"Pelayan lain menyikut temannya
Kaki Lyra refleks mundur, menjauh dari pintu.Handuk yang tersampir begitu saja di lengannya nyaris jatuh ke lantai. Sementara itu, teriakan kesal Dastan makin jelas menyusul sosoknya yang keluar dari kamar mandi. Langkahnya tegap dan kaku.“Lyra, kau benar-benar keterlaluan! Kau mau membuatku masuk angin? Pakaian dalamku—” Kalimat Dastan terhenti begitu menyadari pintu terbuka lebar.Lyra menoleh dengan ekspresi horor. Dastan berdiri di tengah ruangan, masih basah kuyup. Selain perban di area bahu, dia hanya mengenakan pelindung terakhir yang menutupi barang pribadinya.Dastan menggumam kaget. "Ayah?!"David Adiwangsa, berada di ambang pintu dengan alis terangkat, didampingi dua ajudan dan penasehatnya. Ekspresi mereka—terutama David—sangat sulit untuk dijelaskan.Tak ada yang bicara.Kecanggungan menggantung seperti kabut tebal. Hanya suara mesin pendingin dan detak jam yang terdengar.Lyra tersentak sadar. “Ya Tuhan, maaf!” serunya, lalu buru-buru mendorong pintu dan menutupnya de
Apa Dastan bisa membaca pikirannya?Pipi dan telinga Lyra memanas seketika. Ia segera membuang muka ke arah lain.“Aneh apa? Aku hanya… hanya takut menyakitimu,” elaknya cepat. Suaranya sedikit gemetar tapi ia berusaha menjaga wibawa dan lekas menuju lemari, berpura-pura mencari handuk. Dastan tak bisa menahan senyum. Bibirnya terangkat samar, matanya menyipit sedikit seperti menertawakan kepanikan gadis di hadapannya.Lyra menarik napas dalam, menepuk-nepuk pipinya sendiri diam-diam, lalu berbalik. “Oke, aku bantu. Tapi tanggung sendiri akibatnya.” Ucapannya terdengar tegas, tapi tak mampu menyembunyikan kegugupannya yang tetap kentara.Tanpa menunggu respon lebih lanjut, Lyra mengeluarkan handuk kecil berwarna putih, lalu merapikan baskom dan botol sabun cair. Tangannya sibuk menyusun, mempersiapkan, apa pun yang bisa membuatnya terlihat fokus—padahal pikirannya justru makin kacau.Uap air hangat di baskom kecil mengepul tipis seperti meniru suasana hatinya yang mendidih pelan. Ses
Dastan ikut mengangkat alisnya. Seolah bertanya mengapa Lyra masih bergeming. Gadis itu lalu menghela napas dan berpangku tangan. Tak mengira akan terjebak seperti ini. “Aku akan panggil Charlie. Biar dia membantumu,” tawarnya memberi solusi. Tapi Charlie yang sedari tadi diam mendengarkan, langsung angkat tangan dan melangkah mundur. “Maaf Nona, aku harus ke kantor. Ada urusan penting. Sangat penting,” ucapnya buru-buru.Lyra menatap tak percaya. “Charlie—”“Aku titip Tuan pada Nona!” serunya cepat sebelum menghilang di balik pintu.Keheningan menggantung.Lyra mendesah panjang dan menatap Dastan dengan curiga. “Kau sengaja, ya?”Dastan menatapnya datar. “Aku lapar.”“Panggil saja pelayan lain,” elak Lyra.“Lalu untuk apa kau di sini jika tak mau membantu?"Lyra tercekat. Kalimat itu menohok. Dia bukannya tak mau membantu, hanya... merasa canggung. "Yah, sudahlah... aku akan menunggu Charlie pulang, karena pelayan lain belum tentu mau membantu juga," gerutu Dastan dengan wajah p