Dastan melangkah pelan, matanya tajam menusuk.“Lyra Adiwangsa. Itu sekarang namamu. Kau adalah tanggung jawabku. Jika kau merasa ada yang kurang, kau harusnya bicara padaku. Bukan lagi pada ibumu.” suara Dastan terdengar tenang, tapi nadanya mengandung bara yang siap menyala.“Aku... akan menjelaskan ini pada Ibuku. Dia hanya... khawatir,” ucap Lyra pelan, nyaris seperti pembelaan kosong.Dastan tertawa kecil, kering. “Aku bisa memberikanmu gaun dari desainer yang lebih baik, paling ternama, Lyra. Kau tinggal bilang. Apa aku perlu menghubungi Nancy sekarang?”Lyra tersentak, matanya membesar. “Tidak! Tidak perlu!”Dastan tak boleh bertemu Nancy. Dia bisa diinterogasi soal insiden di hari pengantin itu. Semuanya akan makin runyam.Nada panik Lyra membuat Dastan mengernyit. “Kenapa?” tanyanya, menyipit penuh selidik.“Karena...” Lyra menelan ludah. Otaknya berpacu mencari dalih yang terdengar masuk akal. “Karena dia sedang sibuk. Hari itu dia bilang sedang ada kerja sama dengan desain
Telepon di atas meja bergetar pelan. Tangan Dastan terulur untuk membukanya. "Aku akan pastikan gaun-gaun itu sampai sore ini. Kau tidak boleh mengecewakanku di acara nanti."Dastan meletakkan ponsel Lyra ke meja dengan wajah kaku. Matanya masih terpaku pada layar yang sebelumnya menampilkan pesan dari Talia.Isinya singkat, tapi menyentuh harga dirinya seperti pisau tajam. Seolah semua yang dia berikan pada Lyra selama ini tak cukup berharga di mata keluarga Sasmita. Padahal, kalau dia mau, dia bisa membeli seluruh butik ternama, bahkan menyewa desainer pribadi untuk Lyra. Tapi nyatanya, satu pesan dari Talia cukup untuk membuat pemberiannya tampak tak layak pakai.Dastan mengepalkan tangan. Rahangnya mengeras.Jelas bukan soal gaun. Bukan soal penghinaan yang diam-diam disisipkan di balik perhatian seorang ibu. Tapi soal jarak yang dibentangkan oleh Lyra, hingga saat ini Dastan seolah hanya berjuang sendiri. Tanpa banyak pikir, Dastan menghubungi Alba. Suaranya rendah tapi tegas,
Ponsel itu masih bergetar untuk beberapa saat sebelum Dastan menekan tombol hijau dan membawa ponsel ke telinganya.“Kenapa baru diangkat?! Dan kenapa kau tidak membalas pesanku dari semalam?” Suara Talia langsung menyambar tanpa basa-basi. Nyaring. Tajam. Bahkan dari posisinya, Lyra bisa mendengar jelas. Dastan mendengus pelan. “Bu Talia, aku tahu Anda seorang ibu yang perhatian. Tapi sepagi ini? Yang benar saja... Lyra juga butuh istirahat. Seharusnya Anda tahu waktu.”Hening. Suara di seberang terdengar menarik napas. “Dastan?”Nada itu langsung berubah. Talia terdengar terkejut, seperti baru sadar bahwa yang menjawab bukan putrinya.“Aku pikir Anda menelepon karena sesuatu yang darurat,” lanjut Dastan datar. “Kalau hanya untuk memastikan pesan Anda dibaca, aku pastikan Lyra baik-baik saja di sini. Tidak perlu khawatir. Selama dia berada di rumah ini, aku yang akan menjaganya.”“Baiklah…” Talia terdiam beberapa detik. Lalu dengan suara lembut yang dibuat-buat, ia berkata, “Kalau b
Detik itu juga udara seperti membeku.“Maaf!” seru Lyra buru-buru sambil menarik tangan. Wajahnya seperti anak kecil yang tertangkap basah menyentuh barang terlarang. Suara lirihnya nyaris tenggelam. “Aku tidak sengaja…”Dastan menatap Lyra sesaat. Pertanyaan yang hampir terlontar dari mulutnya, tertelan kembali. Dia akhirnya mengerjap pelan, menghela napas, dan kembali memejamkan mata. Menarik diri, seolah menyudahi interaksi itu.Lyra terpaku dengan tangan teremas di depan dadanya. Ada gelombang kecewa yang menghantam dadanya tanpa peringatan. Bukan hanya karena ia gagal meminta tolong, tapi karena dia merasa… diabaikan.Rasa perih perlahan menjalar dari hati ke dadanya. Membuat Lyra merasa sesak. Matanya memanas. Ada rasa aneh yang menusuk, seperti duri kecil yang sulit dicabut. Kecewa."Kenapa… sedih begini? Kenapa harus sepedih ini?" batinnya tak mengerti. Ia bahkan tak sadar kapan air matanya mulai jatuh, hanya tahu kalau suara isaknya perlahan terdengar di tengah kamar yang he
Dastan menangkap gurat kecemasan di wajah Lyra.Bukan jenis ketakutan biasa, tapi yang muncul saat seseorang tak bisa menghindar dari kenyataan yang menyesakkan. Ia nyaris bertanya, tapi menahan diri.“Tidak ada alternatif lain, Dok?” tanya Lyra bersikukuh. “Aku akan membuatkan gips untuk kaki Anda dan memasangnya besok,” jawab dokter dengan profesional.“Tapi, aku tidak bisa berbaring terus selama beberapa hari. Aku—”“Sebisa mungkin, jangan banyak bergerak, Nyonya,” potong sang dokter, kali ini dengan ketegasan lebih. “Kalau butuh ke kamar mandi atau keluar ruangan, minta bantuan suami Anda.”Lyra terperangah. “Suami? Aku—”“Baik, Dok. Dia tidak akan ke mana-mana tanpaku,” sela Dastan tanpa ekspresi, suaranya datar namun penuh otoritas.Kepala Lyra perlahan berpaling menatapnya. Pandangan mereka bertemu, tapi tak seimbang. Dastan seperti batu karang. Tenang, kokoh juga tak tergoyahkan. Sedangkan dirinya? Sekeping kaca rapuh yang bisa retak oleh debar jantung sendiri.Dokter menyele
Rupanya bukan Alba atau pelayan lain yang berdiri di sana.Melainkan Dastan.Masih mengenakan kemeja putih dengan kancing atas terbuka, jas hitam tergantung di satu tangan, dasi terpasang longgar serta wajah yang jelas menunjukkan bahwa ia baru saja kembali dari luar.Dastan berdiri terpaku, pandangannya tertambat pada sosok Lyra yang berdiri di ambang balkon, hanya berbalut gaun tidur tipis satin yang memeluk tubuhnya, lembut seperti kabut. Angin yang meniup dari luar membuat helaian rambut Lyra berkibar dramatis. Sinar mentari pagi yang membingkai tubuh indahnya seperti cahaya latar panggung pertunjukan. Lyra sungguh seperti dewi dalam lukisan yang hidup.Dastan tidak bergerak. Tidak berkedip. Hanya jakunnya yang naik-turun. Bibirnya seolah kehilangan kata. Dan untuk sesaat... dunia seperti membeku di antara mereka.Lyra tercekat.Matanya membulat ketika ia menyadari betapa terekspos dirinya saat ini di depan pria itu. Lyra terpekik pelan, memalingkan wajah dan buru-buru menarik ti
David Adiwangsa muncul di ambang pintu besar rumah itu, mengenakan jubah tidur mahal berwarna gelap. Sorot matanya tajam, wajahnya merah padam menahan amarah.“Kalian pikir ini tempat apa?! Bertengkar seperti bocah pagi-pagi begini, di rumahku!” suaranya mengguntur.Tak ada yang berani menyela. Bahkan Daniel yang barusan mengaum seperti singa pun menunduk. Dastan hanya berdiri tegak, rahangnya mengeras, tapi tak berkata apa-apa.Kursi roda David bergerak hingga di depan anak tangga, matanya masih menyapu mereka berdua dengan sorot kecewa. “Kapan kalian akan benar-benar bersikap selayaknya pria dewasa? Atau kalian memang tidak pernah menjadi pria?” ”Suasana berubah hening. Hanya napas kasar Daniel yang terdengar, dan derit halus kursi roda David yang berbalik kembali ke dalam rumah. Dastan mendengus pelan, lalu melirik Daniel sekali lagi. Kali ini, tanpa kata-kata. Hanya tatapan penuh peringatan sebelum ia melangkah masuk ke dalam rumah, diikuti Charlie. Meninggalkan Daniel berdiri m
Di ruang kantor yang senyap, hanya ditemani cahaya lembut fajar yang merambat lewat celah tirai, Dastan tersentak bangun dari tidurnya. Ia langsung terduduk, bingung sejenak sebelum menyadari dirinya tertidur di sofa kantor. Masih dengan setelan lengkap yang dikenakannya semalam.Dengan gerakan malas, ia mengusap wajah, menghalau rasa lelah yang masih menggantung di pelupuk mata. Saat pandangannya jatuh pada jam tangan di pergelangan, napasnya tertahan.Pukul enam pagi.Sial. Dia benar-benar tidak pulang.Baru saja ia hendak berdiri, pintu terbuka pelan. Charlie masuk sambil membawa secangkir kopi yang masih mengepul, alisnya terangkat begitu melihat Dastan sudah terjaga.“Tuan, sudah bangun?” tanyanya dengan nada terkejut, meski wajahnya tetap tenang.Dastan mendesah panjang, menerima cangkir kopi itu dan meneguknya sedikit sebelum bicara. “Kenapa tidak membangunkanku?”Charlie menahan napas sejenak sebelum menjawab hati-hati, “Kupikir Anda tidak ingin pulang...”Jawaban itu membuat
Suasana kamar pengantin begitu sunyi. Hanya detak jam dinding dan desah napas Lyra yang terdengar. Ia duduk di tepi ranjang, saat pintu diketuk.Lyra refleks menoleh dengan harapan yang segera padam ketika menyadari orang yang mengetuk tidak mungkin Dastan."Siapa?" tanya Lyra lirih."Ini Alba, Nyonya."Pintu kamar terbuka pelan. "Permisi, Nyonya," sapa Alba dengan senyum sopan. "Maaf mengganggu. Aku ingin memastikan semua pakaian yang tadi diantarkan sudah dikemas untuk dilaundry. Supaya bisa dipakai secepatnya.” Alba melirik sejenak ke arah kemeja yang dipakai Lyra, lalu tersenyum kecil. “Tapi sepertinya Nyonya sudah menemukan sesuatu yang nyaman, ya?”Lyra jadi salah tingkah, mengeratkan ujung kemeja Dastan yang menjuntai di pahanya. “Ini… hanya karena udara agak dingin.”Alba mengangguk pelan, lalu matanya bergerak ke arah lemari. “Ngomong-ngomong, kenapa Nyonya tidak memakai gaun-gaun yang sudah kami siapkan?”Lyra tidak langsung menjawab. Ia sempat ragu, namun akhirnya memutusk